“Cepat habiskan, ya. Saya mau lihat Amanda dulu. abis itu buatkan susu,” ujar Denis lalu bangkit dan membawa piring kotornya ke sink lalu mencucinya.“Pak, biar sama saya saja nyucinya.” Maria membalikan badan untuk melihat kearah Denis. Namun, lelaki itu hanya mengangkat tangan kirinya sebagai tanda jika Maria tidak usah khawatir.Maria merasa tak enak hati, karena Denis begitu baik padanya. Dia sama sekali tak menganggapnya sebagai pembantu.Dia bergegas menyelesaikan makannya, lalu membereskan sisa makanan yang rencananya akan dia makan tengah malam nanti. Menyusui membuatnya cepat sekali menjadi lapar.Walaupun Maria tahu jika Amanda kemungkinan besar tidak akan mau minum susu dot, tetapi dia tidak mau jika Denis tahu kalau selama ini dia memberi ASI. Maria pun membuatkan sebotol kecil susu yang harga satu kalengnya bisa untuk dia hidup selama seminggu.Dengan ragu Maria masuk ke kamar Amanda dimana Denis kini tengah menimang anak itu. Denis terlihat sedang berbicara, mengajak ngo
Hari ini Fery dan Suci datang ke Jakarta khusus untuk menengok Amanda kecil. Mereka sengaja datang ke sana pagi-pagi agar bisa puas menghabiskan waktu dengan bayi mungil itu. Hampir setiap akhir pekan mereka mengunjungi Amanda.Fery begitu antusias saat menggendong putri kandungnya itu. Dia seperti tak mau melepaskan Amanda jika saja Suci tak memintanya.“Nggak kerasa, udah besar. Amanda endut sekali. Padahal baru satu bulan lebih. Susunya kuat ya?” tanya Fery melirik pada Denis juga Maria.Denis tertawa bangga sambil menepuk dada. “Kamu bisa lihat, kan, kalau gue merawat Amanda dengan baik. Maria juga yang punya peranan penting dalam merawatnya.”Fery mengangguk setuju. “Terima kasih banyak, Bro. Gue seneng sekali bisa melihat perkembangan Amanda yang seperti ini. Lihat, dia udah bisa merespon dengan baik setiap gue ajak ngobrol,” ucap Fery yang terus-terusan berbicara dan mengajak main bayinya.“Susunya cocok berarti ya?” tanya Fery. “Gue bersyukur sekali. Awalnya gue kira Amanda
“Kamu kenapa diam, Maria? Jawab!” ujar Denis dengan tegas. Dia kesal karena Maria malah berdiri gemetaran bukannya menjawab.“Mmh, itu … itu hanya kaleng bekas, Pak. Saya kemarin lupa mau ngasihin ke Mamang tukang rongsok. Dia biasanya minta, tapi kemarin kayaknya dia nggak ke sini,” jelas Maria yang masih gemetaran.Mata Denis memicing.“Saya minta maaf, karena telah lancang memberikan kaleng-kaleng itu tanpa minta izin dulu pada Bapak,” ucap Maria dengan suara yang bergetar. Dia ketakutan jika Denis sampai membuka kaleng-kaleng itu dan menemukannya masih penuh terisi dengan susu.Bahu Denis mengendur. Ternyata begitu ceritanya. Dia lalu manggut-manggut.“Nggak, ko. Saya nggak masalah kalau kamu berikan kaleng-kaleng bekas ini sama tukang rongsok. Lagian, buat apa kita menyimpan kaleng bekas. Cuman menuh-menuhin ruangan. Ya sudah, ayo. Sebentar lagi hujan,” ujar Denis kemudian yang kembali menuju pintu masuk.Maria menghela napas lega dengan mata yang memejam. Akhirnya dia bisa men
“Kamu kenapa menangis?” tanya Denis yang merasa tak enak hati. Dia takut jika Maria tersinggung karena tadi dia menanyakan soal kaleng-kaleng susu itu.Maria menggeleng pelan. “Nggak, Pak. Saya hanya merasa takut dan bersalah saja tadi. maaf karena saya sudah lancang memberikan barang-barang tanpa seizin Bapak,” ucapnya dengan suara yang masih terdengar serak.Denis manggut-manggut. “Maaf, Maria. Saya tidak bermaksud membuat kamu sedih. Saya hanya takut jika kamu menjual susu itu di belakang saya. Tapi … sepertinya pikiran saya terlalu bodoh, karena Amanda tumbuh sangat sehat. Nggak mungkin jika kamu menjual susu-susu itu dan mengganti susu untuk Amanda dengan susu murah,” ucapnya terkekeh.Maria menunduk dalam. Dia ingin mengakui jika selama ini memang memberikan susu lain pada Amanda, tetapi susu kaleng itu tidak dia jual. Susu itu dia berikan pada pemulung yang katanya punya bayi juga dan sang istri ASI-nya kurang.Denis merasa kasihan karena Maria hanya menunduk diam tak menjawab.
Maria keluar dari kamar Amanda dengan perasaan takut. Dia menunduk tak berani menatap Denis yang duduk di sofa ruang keluarga.“Duduklah!” pinta Denis dengan suara tegas.Maria pun duduk dengan langkah kaki yang gemetar.Denis menatap Maria dengan mata tak berkedip. Dia seakan ingin menguliti pikiran Maria yang sama sekali tak bisa ditebaknya.“Bisa kamu jelaskan apa yang terjadi tadi? Kenapa kamu tertidur dengan dada yang terbuka, seolah kamu sudah memberikan ASI pada Amanda,” cecar Denis terdengar marah.Maria memejamkan matanya sekilas dan menghela napasnya agar dadanya tak sesak, juga mengulur waktu untuk mencari alasan yang tepat.“Maria!” Denis mengulangi panggilannya. Wanita itu pun tersentak kaget.“Maaf, Pak. Saya … saya hanya ingin menenangkan Dek Manda saat menangis malam tadi—““Kamu malas bikin susu botol, jadi kamu cari jalan pintas dengan memberikan payudaramu pada Amanda, begitu?” potong Denis masih diliputi amarah. Dia tak suka jika Maria berani berbuat seperti itu.
“Kamu saya pecat dan jangan pernah menampakan dirimu lagi di sini. aku benar-benar marah!” teriak Denis.“Saya mohon, Pak. Maafkan saya. Saya hanya merasa sayang pada Dek Manda—““Sayang kamu bilang? Omong kosong! Kamu malah mungkin saja menularkan penyakit berbahaya pada putriku!” Telunjuk Denis menjentik ke arah kamar Amanda.Maria menggeleng pelan. “Saya tidak mengidap penyakit berbahaya, Pak. Saya bersumpah.”“Oh ya? Memangnya kamu sudah periksakan diri kamu ke lab?” tanya Denis yang langsung membungkam mulut Maria. Wanita itu menahan tangis yang sudah hampir pecah sejak tadi.Denis tertawa sinis. “Kamu nggak bisa jawab, kan? Harusnya kamu ngomong dulu sama aku, juga sama Fery kalau mau melakukan itu. kita nggak tau kamu sehat atau tidak.”“Iya, Pak. Saya minta maaf. Saya salah,” jawab Maria dengan isak tangis yang terdengar.Denis mengembus napas kasar. Dia berusaha menenangkan dirinya yang sudah dibakar amarah.“Ok, kamu saya maafkan. Tapi … kamu segera pergi dari sini. Saya tid
Denis sungguh kerepotan, saat dia membuat susu sambil menggendong bayi kecilnya yang terus-terusan menangis mencari sang ibu susu.“Cup, cup, cup. Sabar, ya, Sayang. Papa buatkan susu dulu buat kamu.” Denis menggoyangkan timangannya sementara tangan kanannya berusaha membuka kaleng susu. Sungguh sangat repot.Dia lalu menaruh Amanda di stroler agar dia bisa membuat susu tanpa membahayakan bayinya. Namun, Amanda begitu kejer, menangis dengan keras membuat Denis tidak fokus membuat susunya. Lagipula dia memang tidak paham bagaimana takaran yang seharusnya. Denis hanya mengira-ngira saat menuang susu ke dalam botol, lalu memberinya air panas begitu saja.“Uuupss, panas sekali,” ucapnya lalu membuang sebagian susu panas itu ke sink dan kemudian menambahnya dengan air dingin.“Segini kayaknya, ya,” gumamnya pada diri sendiri, kemudian membawa botol susu itu pada Amanda yang masih menangis dengan keras.“Cup, cup, anak Papa. Susunya udah jadi,” ucap Denis seraya mengambil Amanda untuk dige
Denis merasa senang karena Amanda kembali tertidur setelah kenyang minum susu. Namun, tak lama dia kembali merengek. Denis pun gegas menggendongnya untuk menenangkan. Akan tetapi Amanda tak kunjung diam.“Kamu kenapa, Sayang?” Denis mulai kebingungan. Dia membawa Amanda keluar dari kamar, tetapi bayi itu tetap menangis dan menendang-nendangkan kakinya. Lalu, tercium bau yang tak sedap dari bagian bawah.“Uuhhh!” Denis menjauhkan wajahnya dari Amanda. Sekarang dia tahu kenapa bayi itu tak juga berhenti menangis walau sudah berusaha dibujuk.Denis kebingungan, tak tahu harus bagaimana membersihkan bayi yang buang air besar.Dia membawa Amanda ke kamarnya lagi dan membaringkannya di kasur, tetapi dia tak tahu harus melakukan apa dulu untuk membersihkannya.Denis membuka cela panjang bayi itu dan tercium bau yang semakin menyengat. Lagi-lagi dia menjauhkan wajahnya.“Huuftt!” ternyata mengurus bayi itu tak semudah yang dibayangkan. Dia pikir akan mudah, ternyata membuat susu dan membersi
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
Maria gegas menyilangkan kedua tangan pada dua area sensitifnya. Dia begitu malu dengan perlakuan Denis padanya. Maria hendak jongkok untuk mengambil lagi handuknya, tetapi tangan Denis lekas menahannya.Maria mendongak melihat pada lelaki yang menggelengkan kepalanya. Denis lalu menarik Maria agar kembali tegak berdiri.“Ba-pak, saya ….” Wajah Maria sudah merah saking malunya.“Ini bukan pertama kali kamu melakukannya, bukan? Seharusnya aku yang mesti malu, karena ini adalah hal yang pertama buatku,” ucap Denis yang semakin membuat Maria tersipu malu. Wanita itu menunduk dalam.“Saya … rasanya tidak pantas untuk Bapak. Saya ini hanya perempuan miskin pembawa sial,” ucap Maria dengan suara tercekat. Namun, Denis justru menarik dagu Maria agar kembali menatapnya.“Aku akan buktikan jika kamu adalah wanita yang penuh keberuntungan,” balas Denis dengan tatapan lekat. Dia berusaha memupuk cinta itu agar semakin subur. Maria bukan wanita yang sulit untuk dicintai. Wanita itu begitu tulus
Maria hanya diam selama perjalanan. Dengan hati terpaksa Maria ikut pulang dengan Denis. Mau bagaimana lagi, Amanda tak bisa lepas darinya. Anak itu menangis keras saat Maria menyerahkan pada Denis.Entah apa yang akan terjadi nanti, mungkin Maria akan minta Denis untuk mencarikan baby sitter baru, lalu dirinya akan meminta cerai dan pergi.Denis sesekali melirik ke samping kirinya dan melihat Maria yang memangku Amanda yang tertidur lelap.“Kamu sudah makan?” tanya Denis yang merasa kasihan sekali melihat istrinya itu begitu kurus.Maria mengangguk pelan.“Makan apa?” telisik Denis penasaran.Maria terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Aku makan bubur sisa Amanda tadi.”Denis memejamkan matanyanya sejenak dan menggeleng. Pantas saja wanita itu begitu kurus, karena hanya makan makanan sisa anaknya. Lelaki itu beristigfar dalam hatinya.Benar kata Amanda, jika Maria adalah wanita terbaik yang bisa menggantikannya.“Kita makan dulu,” ujar Denis lalu membelokan mobilnya menuju sebu
Fery segera membuat pengumuman orang hilang dan menyebarnya di berbagai media sosial. Dia yakin cara itu akan jauh lebih mudah dilihat orang-orang saat ini.Dia juga menjanjikan akan memberi imbalan yang besar bagi yang memberikan kabar tentang keberadaan Maria seperti dulu.Fery sangat khawatir dengan nasib Amanda juga pengasuhnya itu.Maria hanya wanita lemah yang membawa seorang bayi. Dia yakin akan susah untuk mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan.Saat ini Maria sedang menyetrika di sebuah rumah. Sementara Amanda duduk sambil memainkan boneka usang yang ditemukan Maria di tempat sampah. Boneka monyet yang dia ambil dan dicuci sampai bersih, lalu dia berikan untuk mainannya Amanda.Beruntung anak itu sangat baik dan tak banyak rewel. Asal sudah kenyang maka tak akan ada lagi rengekan.Setiap hari Maria mengutamakan perutnya Amanda sebelum dia yang makan. Asalkan Amanda sudah kenyang, maka dia akan memakan sisanya, walaupun itu hanya bubur nasi.Tubuh Maria semakin kurus
Mobil Denis meluncur cepat menuju kontrakan Fany. Dia merasa yakin jika Maria akan pergi dan menginap di sana.Denis memukuli handel stirnya saking tak sabar. Jalanan dipadati kendaraan, sehingga macet.“Sial! Kenapa malah macet segala!” rutuk Denis sangat kesal. Berulang kali dia melirik pada jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam 9 malam.“Mudah-mudahan saja Maria benar ke rumahnya Fany. Kalau tidak ….” Denis bahkan tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. Dia khawatir jika terjadi apa-apa pada Maria juga Amanda.Mobilnya perlahan melaju, hingga akhirnya menemukan persimpangan, Denis memilih jalan lain yang tidak macet walaupun lebih jauh.“Huuft!” Dia mengembus napas kasar. Kemacetan telah membuatnya hampir kehilangan akal sehat.“Jakarta semakin hari semakin macet aja. Mengerikan!” umpatnya kesal. Namun, sekarang mobil itu sudah melaju kencang menuju kontrakan Fany yang jaraknya tak jauh lagi.Denis memarkir mobil sembarangan. Dia membanting pintu dan melangkah cepat
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Denis terperanjat turun dari tempat tidurnya.“Aahh, semalam, kan, aku anter kamu pulang ke sini. kenapa kamu lupa?” Irene malah menguap.“Sial!’ umpat Denis yang langsung pergi ke kamar mandi.“Kamu cepat pakai baju dan pulang!” usir Denis sambil membanting pintu kamar mandinya.Irene justru semakin berleha-leha di atas tempat tidur. Namun, rasa haus menyiksa tenggorokannya. Dia lalu bangkit dan turun. Sambil celingak-celinguk dia mencari dapur. Lalu, matanya menangkap sosok Maria yang sedang menyiapkan sarapan.“Hei, kamu pembantu di sini?” tanya Irene sambil memainkan rambutnya. Maria meliriknya dengan hati yang teramat sakit. Irene hanya mengenakan pakaian seadanya.“Iya, Mbak. Mau sesuatu?” tanya Maria dengan sopan.“Aku haus,” jawab Irene yang kemudian duduk di kursi makan.“Tunggu sebentar, saya ambilkan air,” kata Maria yang berbalik menuju dapur dan tak lama kembali dengan segelas air putih.“Silakan diminum, Mbak,” ucap Maria sambil m
Meski tahu jika Denis sama sekali tak menganggapnya seorang istri, tetapi bagi Maria sikap Denis yang seperti itu tetap saja keterlaluan dan melukai harga dirinya sebagai istri. Apalagi sekarang Denis sudah berani membawa wanita lain ke rumah mereka.Maria tak bisa memejamkan matanya. Hatinya gelisah memikirkan apa yang tengah dilakukan dua insan berlainan jenis itu di kamar suaminya.Amanda sudah tidur sejak tadi setelah kenyang menyusu, tetapi Maria tak bisa ikut terlelap padahal badannya sangat lelah.Maria menatap sendu pada Amanda. Jika bukan karena rasa sayangnya pada anak itu, mungkin dia sudah memilih untuk kembali melarikan diri dan menghilang saja.Maria keluar dari kamarnya dan mengendap mendekat ke kamar Denis. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar itu dan menyuruh wanita yang datang bersama Denis itu untuk pergi. Namun, hatinya masih tak berani melakukannya.Rasa pedih dan tak berdaya membuatnya luruh dan bersimpuh di lantai dingin itu dengan air mata yang berderai.Kemudia
Pagi-pagi Denis seperti biasanya hendak sarapan setelah bersiap dengan setelan kerjanya. Maria sengaja menyiapkan sendiri sarapan untuk lelaki yang kini menjadi suaminya. Walaupun dia tahu jika Denis tak akan pernah menganggapnya sebagai seorang istri, tetapi bagi Maria kewajiban tetaplah kewajiban.“Ke mana Bibi? Kenapa kamu yang nyiapin sarapan?” tanya Denis sambil menarik kursi.“Mmh, ada. Bibi lagi beresin perabotan bekas masak,” jawab Maria ragu-ragu.“Lain kali biar si Bibi aja yang nyiapin sarapan. Kamu urus Amanda saja,” kata Denis.Maria mengangguk pelan tak bisa mendebat.“Ingat, pernikahan ini hanya status saja, Maria. Jangan kamu anggap serius. Tidak perlu kamu melayani aku seperti seorang istri. Mengerti?” Denis kembali mengingatkan.“Iya, pak. Saya mengerti. Tapi maaf, saya di sini hanya sebagai pelayan, karena itu saya juga berkewajiban melakukan apapun sebagai pelayan,” sahut Maria dengan suara yang parau.“Hmm, baiklah. Tapi … saya harap kamu tidak melalaikan tugas