Saat pulang kerja, Denis sengaja membelikan ponsel untuk Maria. Ponsel yang cukup bagus untuk Maria yang hanya seorang baby sitter.“Ini untuk saya, Pak?” Maria membolak-balikan ponsel baru yang dibelikan oleh Denis. Dia tak percaya jika majikannya itu memberikan ponsel yang bagus untuknya.“Iya, memangnya untuk siapa lagi?” Denis terdengar menggerutu.Maria mengangguk sopan. “Terima kasih banyak, Pak. Maaf merepotkan,” ucapnya terdengar segan.“HP itu sebagai fasilitas kamu kerja, karena aku lihat kerjaan kamu bagus walau baru satu hari. Amanda sepertinya cocok sama kamu,” sahut Denis.Maria kembali mengangguk sopan.Denis kemudian beranjak untuk melihat kondisi Amanda kecil yang tertidur lelap. Bayi mungil itu tampak nyaman dan bersih. Wangi minyak telon menguar ke penciuman Denis. Lelaki itu menyungging senyum semringah.“Apa kabar Anak Cantik?” ucapnya sambil mengelus pelan lengan yang berselimut itu penuh sayang. Denis melihat wajah Amanda besar di sana. Dia ingin mencium pipi
“Cepat habiskan, ya. Saya mau lihat Amanda dulu. abis itu buatkan susu,” ujar Denis lalu bangkit dan membawa piring kotornya ke sink lalu mencucinya.“Pak, biar sama saya saja nyucinya.” Maria membalikan badan untuk melihat kearah Denis. Namun, lelaki itu hanya mengangkat tangan kirinya sebagai tanda jika Maria tidak usah khawatir.Maria merasa tak enak hati, karena Denis begitu baik padanya. Dia sama sekali tak menganggapnya sebagai pembantu.Dia bergegas menyelesaikan makannya, lalu membereskan sisa makanan yang rencananya akan dia makan tengah malam nanti. Menyusui membuatnya cepat sekali menjadi lapar.Walaupun Maria tahu jika Amanda kemungkinan besar tidak akan mau minum susu dot, tetapi dia tidak mau jika Denis tahu kalau selama ini dia memberi ASI. Maria pun membuatkan sebotol kecil susu yang harga satu kalengnya bisa untuk dia hidup selama seminggu.Dengan ragu Maria masuk ke kamar Amanda dimana Denis kini tengah menimang anak itu. Denis terlihat sedang berbicara, mengajak ngo
Hari ini Fery dan Suci datang ke Jakarta khusus untuk menengok Amanda kecil. Mereka sengaja datang ke sana pagi-pagi agar bisa puas menghabiskan waktu dengan bayi mungil itu. Hampir setiap akhir pekan mereka mengunjungi Amanda.Fery begitu antusias saat menggendong putri kandungnya itu. Dia seperti tak mau melepaskan Amanda jika saja Suci tak memintanya.“Nggak kerasa, udah besar. Amanda endut sekali. Padahal baru satu bulan lebih. Susunya kuat ya?” tanya Fery melirik pada Denis juga Maria.Denis tertawa bangga sambil menepuk dada. “Kamu bisa lihat, kan, kalau gue merawat Amanda dengan baik. Maria juga yang punya peranan penting dalam merawatnya.”Fery mengangguk setuju. “Terima kasih banyak, Bro. Gue seneng sekali bisa melihat perkembangan Amanda yang seperti ini. Lihat, dia udah bisa merespon dengan baik setiap gue ajak ngobrol,” ucap Fery yang terus-terusan berbicara dan mengajak main bayinya.“Susunya cocok berarti ya?” tanya Fery. “Gue bersyukur sekali. Awalnya gue kira Amanda
“Kamu kenapa diam, Maria? Jawab!” ujar Denis dengan tegas. Dia kesal karena Maria malah berdiri gemetaran bukannya menjawab.“Mmh, itu … itu hanya kaleng bekas, Pak. Saya kemarin lupa mau ngasihin ke Mamang tukang rongsok. Dia biasanya minta, tapi kemarin kayaknya dia nggak ke sini,” jelas Maria yang masih gemetaran.Mata Denis memicing.“Saya minta maaf, karena telah lancang memberikan kaleng-kaleng itu tanpa minta izin dulu pada Bapak,” ucap Maria dengan suara yang bergetar. Dia ketakutan jika Denis sampai membuka kaleng-kaleng itu dan menemukannya masih penuh terisi dengan susu.Bahu Denis mengendur. Ternyata begitu ceritanya. Dia lalu manggut-manggut.“Nggak, ko. Saya nggak masalah kalau kamu berikan kaleng-kaleng bekas ini sama tukang rongsok. Lagian, buat apa kita menyimpan kaleng bekas. Cuman menuh-menuhin ruangan. Ya sudah, ayo. Sebentar lagi hujan,” ujar Denis kemudian yang kembali menuju pintu masuk.Maria menghela napas lega dengan mata yang memejam. Akhirnya dia bisa men
“Kamu kenapa menangis?” tanya Denis yang merasa tak enak hati. Dia takut jika Maria tersinggung karena tadi dia menanyakan soal kaleng-kaleng susu itu.Maria menggeleng pelan. “Nggak, Pak. Saya hanya merasa takut dan bersalah saja tadi. maaf karena saya sudah lancang memberikan barang-barang tanpa seizin Bapak,” ucapnya dengan suara yang masih terdengar serak.Denis manggut-manggut. “Maaf, Maria. Saya tidak bermaksud membuat kamu sedih. Saya hanya takut jika kamu menjual susu itu di belakang saya. Tapi … sepertinya pikiran saya terlalu bodoh, karena Amanda tumbuh sangat sehat. Nggak mungkin jika kamu menjual susu-susu itu dan mengganti susu untuk Amanda dengan susu murah,” ucapnya terkekeh.Maria menunduk dalam. Dia ingin mengakui jika selama ini memang memberikan susu lain pada Amanda, tetapi susu kaleng itu tidak dia jual. Susu itu dia berikan pada pemulung yang katanya punya bayi juga dan sang istri ASI-nya kurang.Denis merasa kasihan karena Maria hanya menunduk diam tak menjawab.
Maria keluar dari kamar Amanda dengan perasaan takut. Dia menunduk tak berani menatap Denis yang duduk di sofa ruang keluarga.“Duduklah!” pinta Denis dengan suara tegas.Maria pun duduk dengan langkah kaki yang gemetar.Denis menatap Maria dengan mata tak berkedip. Dia seakan ingin menguliti pikiran Maria yang sama sekali tak bisa ditebaknya.“Bisa kamu jelaskan apa yang terjadi tadi? Kenapa kamu tertidur dengan dada yang terbuka, seolah kamu sudah memberikan ASI pada Amanda,” cecar Denis terdengar marah.Maria memejamkan matanya sekilas dan menghela napasnya agar dadanya tak sesak, juga mengulur waktu untuk mencari alasan yang tepat.“Maria!” Denis mengulangi panggilannya. Wanita itu pun tersentak kaget.“Maaf, Pak. Saya … saya hanya ingin menenangkan Dek Manda saat menangis malam tadi—““Kamu malas bikin susu botol, jadi kamu cari jalan pintas dengan memberikan payudaramu pada Amanda, begitu?” potong Denis masih diliputi amarah. Dia tak suka jika Maria berani berbuat seperti itu.
“Kamu saya pecat dan jangan pernah menampakan dirimu lagi di sini. aku benar-benar marah!” teriak Denis.“Saya mohon, Pak. Maafkan saya. Saya hanya merasa sayang pada Dek Manda—““Sayang kamu bilang? Omong kosong! Kamu malah mungkin saja menularkan penyakit berbahaya pada putriku!” Telunjuk Denis menjentik ke arah kamar Amanda.Maria menggeleng pelan. “Saya tidak mengidap penyakit berbahaya, Pak. Saya bersumpah.”“Oh ya? Memangnya kamu sudah periksakan diri kamu ke lab?” tanya Denis yang langsung membungkam mulut Maria. Wanita itu menahan tangis yang sudah hampir pecah sejak tadi.Denis tertawa sinis. “Kamu nggak bisa jawab, kan? Harusnya kamu ngomong dulu sama aku, juga sama Fery kalau mau melakukan itu. kita nggak tau kamu sehat atau tidak.”“Iya, Pak. Saya minta maaf. Saya salah,” jawab Maria dengan isak tangis yang terdengar.Denis mengembus napas kasar. Dia berusaha menenangkan dirinya yang sudah dibakar amarah.“Ok, kamu saya maafkan. Tapi … kamu segera pergi dari sini. Saya tid
Denis sungguh kerepotan, saat dia membuat susu sambil menggendong bayi kecilnya yang terus-terusan menangis mencari sang ibu susu.“Cup, cup, cup. Sabar, ya, Sayang. Papa buatkan susu dulu buat kamu.” Denis menggoyangkan timangannya sementara tangan kanannya berusaha membuka kaleng susu. Sungguh sangat repot.Dia lalu menaruh Amanda di stroler agar dia bisa membuat susu tanpa membahayakan bayinya. Namun, Amanda begitu kejer, menangis dengan keras membuat Denis tidak fokus membuat susunya. Lagipula dia memang tidak paham bagaimana takaran yang seharusnya. Denis hanya mengira-ngira saat menuang susu ke dalam botol, lalu memberinya air panas begitu saja.“Uuupss, panas sekali,” ucapnya lalu membuang sebagian susu panas itu ke sink dan kemudian menambahnya dengan air dingin.“Segini kayaknya, ya,” gumamnya pada diri sendiri, kemudian membawa botol susu itu pada Amanda yang masih menangis dengan keras.“Cup, cup, anak Papa. Susunya udah jadi,” ucap Denis seraya mengambil Amanda untuk dige