šMaaf telat ya, Othor baru bisa sampaikan ceritanya sekarang. Lopš¹ JANGAN LUPA GEM nya ya š
"Aku hanya mampir. Sekalian mau minta maaf, soal kejadian kemarin. Aku ... tak seharusnya seperti kemarin. Maafkan ya," ucap Badai berusaha lemah lembut. Kinarsih langsung mundur. Tatapannya tajam menyorot tak berkedip. "Pergi dari sini, Badai. Pergi!" "Ayo lah. Redamlah kemarahanmu padaku. Aku ingin berubah, bertaubat, memohon maafmu, Kinarsih. Allah saja pasti menerima taubat hambanya, kita sebagai hamba, jangan melebihi batasan sebagai makhluk." Badai mencoba membujuk Kinarsih dengan mendekati wanita itu. Begitu terdengar indah dan bijak kalimat itu. Namun Kinarsih mundur dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya kembali berkaca-kaca. "Jangan bawa nama Allah, Badai. Saat kau mencampakkanku, memberikanku bangkai yang busuk, dan aku menanggung segala keperihannya, kau sama sekali tidak melibatkan Allah. Jika sedikit saja kau ingat Allah, maka kau tidak akan sekejam itu padaku. Tiga tahun telah terlalui Badai, dan aku masih ingat setiap butir ucapanmu padaku." "Arsih ... ma
Matahari sudah sepenggal naik. Di tengah sawah cabai yang begitu luas, seorang bocah laki-laki mondar mandir, melompat kadang juga ia berlari menelusuri pematang sawah. "Ilham!! Mainnya jangan jauh-jauh!!" teriak ibunya. "Nggih, Mamak!" Begitulah kehidupan janda satu anak itu. Ia sekarang lebih banyak bekerja di sawah orang lain. Kebetulan, musim cabai yang sekali setahun sedang berlangsung. Menjadi buruh harian pemetik cabai lebih banyak upahnya dalam sehari. Bisa sampai 60.000 dalam satu hari penuh. Ia juga sedikit trauma berada di rumah. Takut-takut, mantan suaminya datang lagi. Ia lebih baik membawa anaknya bekerja di sawah, dari pagi sampai menjelang maghrib. "Kinarsih, kenapa kamu tak menikah lagi?" Minah mengawali percakapan. Ada lima wanita muda di sana yang sudah berlangganan memetik cabe. "Jodohku belum ketemu, Nah," jawab Kinarsih datar. "Jodohnya langsung kabur pas sah," ejek Diana. Atun dan Hijjah cekikikan. Sedari dulu memang Diana selalu bersinggungan dengan Arsi
"Mak! Main," pinta Ilham mendengar beberapa temannya sedang saling kejar. "Boleh, ini pakai belanja. Traktir teman-teman juga, ya!" seru Rian menyodorkan uang lima puluh ribu. "Rian, itu terlalu banyak!" seru Kinarsih. Kedipan mata dari Rian membuat Kinarsih langsung terdiam. Rian tersenyum kecil mengiringi langkah kaki Ilham berjinjit-jinjit senang. "Nah, hp ini sudah siap. Gunakan sebaik mungkin." Kinarsih fokus melihat ponsel itu dengan perasaan campur aduk. Senang, tentu saja. Namun dia sangat malu mendapatkan perlakuan baik seorang pemuda tampan dan berkarir sukses. "Ini hadiah dari seorang kawan, jangan kamu anggap hutang," lanjut Rian. "Ini terlalu banyak," lirih Kinarsih dalam. "Tidak sama sekali. Hanya seharga makan siang di restoran," kekeh Rian yang disambut bibir monyong Kinarsih karena merasa Rian begitu gaya. "Aku ingin kamu sukses, Kinarsih. Banyak hal di luar sana yang belum kita ketahui. Carilah sesuatu yang cocok untukmu." Kinarsih mengangguk dengan tan
Adelia menyemprotkan wewangian di sekujur tubuhnya. Malam ini dia akan menggoda suaminya sebab ia yakin, Badai masih menyimpan uang hasil gadai mobil. Melihat istrinya seperti memberikan sinyal, Badai tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sudah sangat lama ia pun tidak mendapatkan kehangatan dari istri cantiknya. Setelah bergumul hingga keduanya sama-sama terengah-engah, Adelia masih memeluk suaminya. "Mas, nafkah bulan ini berarti bisa full ya," rayu Adelia membelai dada Badai. "Maaf Sayang, belum bisa. Kita malah butuh untuk mengurus kasus penipuan itu. Setidaknya biar Paman Rocki bisa segera ditangkap. Kamu mau kan bantu aku? Kalau Paman Rocki bisa balikin duit yang 1 M itu, pastilah kita juga akan mendapatkan bagian." Adelia langsung cemberut. Ia sudah semaksimal mungkin melayani ranjang Badai, meski dirinya belum benar-benar terpuaskan. Sekarang ia tidak hanya mendapatkan penolakan, tapi justru suaminya meminta bantuan. Malas sekali rasanya dan wanita itu menjadi enggan. "Ak
"Kinarsih?" "Hay, Dell. Apa kabar?" sapa Kinarsih sudah tak punya pilihan. "Kau di sini? Ini mengejutkan!" Adelia berseru seolah tanpa merasa bersalah dan terbebani ada yang melihatnya sedang bersama pria lain. Ia justru mendekati Kinarsih dengan wajah sumringah. Berbeda dengan Kinarsih yang berdebar-debar karena melihat Adelia rupanya sedang mengkhianati mantan suaminya itu. "Aku ... sedang memenuhi permintaan Ilham. Sampai usianya tiga tahun lebih, dia tak pernah ke sini. Hanya dengar cerita teman-temannya saja," jawab Kinarsih jujur. "Kau ibu yang luar biasa. Pesanlah sesuatu, aku akan membayarnya." "Tidak perlu, Del. Kami sudah makan," jawab Kinarsih agak gugup saat pria dewasa dan terlihat jauh lebih tua dari mereka sedang mendekat. "Arsih, kenalkan, ini ... pacarku, Andre," ucap Adelia berusaha tersenyum. Kinarsih pun membalas senyum pria itu dan menelungkupkan tangannya karena tidak mau disalami. "Dia best friend-ku, honey. Boleh aku bicara sebentar dengannya?" tan
Adelia sedang asik berselancar di dunia maya, sembari tidur-tiduran di sofa. Badai tiba-tiba datang membuka selimut kakinya dengan kasar. "Siapa laki-laki ini, Dek?" Badai melempar ponsel itu di atas sofa dengan sangat keras hingga memantul. Adelia melirik fotonya saat sedang menikmati makan siang dengan Andre beberapa hari yang lalu. "Hanya teman, Mas. Aku lagi ada masalah sama teman-temanku jadi aku cari suasana baru," jawab Adelia berusaha santai. "Tapi bukan berarti dekat dengan laki-laki, Dek! Kamu kan wanita bersuami!" "Ya, hanya kebetulan saja itu ketemu. Jangan dianggap serius." Badai berdiri garang di depan istrinya, melempar tatapan tajam penuh cemburu. Napasnya terdengar memburu dengan rahangnya mengeras. "Aku paling gak suka kalau dikhianati. Aku bisa nekat nanti!" "Oh ya. Kamu juga kan tempo hari ke rumahnya Kinarsih. Aku gak protes kan?" balas Adelia sinis. Badai sangat terkejut sekali sampai-sampai ia melupakan kemarahannya begitu saja. "Kamu kira aku gak ta
Kinarsih sedang mencoba menulis sebuah cerita di ponselnya. Itu setelah cukup lama dia berlatih. Dia masih belum benar-benar lancar tapi wanita itu tidak akan menyerah. Bahkan sudah lima hari dia tidak keluar untuk bekerja. Rasa penasaran dan keyakinannya dengan ucapan Rian, membuatnya tanpa bosan mencari tahu dan belajar terus. "Mamak! Mamak!" teriak Ilham dari halaman rumah. Bocah itu menangis terisak-isak. "Kamu kenapa, Nak?!" Kinarsih menghambur menangkap Ilham yang berlari. Wajah Kinarsih menjadi sangat panik melihat putranya sampai seperti tidak bernapas. Begitu dalam kesedihan Ilham. Kinarsih mengelus-elus lembut dada putranya sembari mengucapkan istighfar agar Ilham lebih tanang. Setelah suara tangis Ilham mereda, Kinarsih kembali bertanya. "Kenapa, Nak? Cerita sama Mamak." "Aku dibilang ndak punya bapak cama Imlon, Mak! Jojon juga bilang bapak gak mau cama aku, Mak! Aku dibuang bapak Mak. Aku nakal Mak! Bapakku ndak mau cama aku Mak! Aku ndak ada bapak Mak!" Begitu
Kinarsih hanya diam dan menatap tanpa kedip pada Susan yang tertawa terbahak-bahak. Gadis itu sampai-sampai memegang perutnya karena amat merasa lucu. "Apa kamu belum selesai tertawa?" tanya Kinarsih dengan wajah datar. "Aduh, aduh! Kamu ini, menghayalmu terlalu jauh. Kamu kan paling bodoh pas kita sekolah. Aku masih ingat, dulu kamu dicapit hidungmu sama pak guru Amir karena bodohmu gak ngerti-ngerti cara nulis huruf kapital itu dimana saja. Sekarang mau jadi penulis kamu?" "Lain dulu, lain sekarang. Tertawalah terus. Sekarang gantianmu yang menertawai aku. Suatu hari, aku yang akan tertawa pada nasibmu yang buruk. Assalamu'alaikum." Susan menggeleng-geleng masih merasa lucu. Ia menatap penuh cebikan saat Kinarsih keluar menyeret putranya. "Dasar wanita miskin tak punya harga," desis Susan menyeringai sinis. "Mak, mau es krim, Mak!" Kinarsih hanya diam, menggenggam erat tangan putranya. "Cakit, Mak!" Barulah Kinarsih sadar telah menggenggam terlalu erat tangan mungil putranya