🥰GEMnya ya Kak😄
"Kenapa kau lakukan ini padaku, Adelia?" Badai menahan bobot tubuhnya sendiri dengan sekuat tenaga agar dia tidak roboh. Tadi pagi dia pamit akan mengecek kebun kelapanya. Saat dia pulang lebih awal karena lupa dengan ponselnya, ia bertemu di depan pintu dengan sahabatnya, Toni yang buru-buru keluar dari dalam rumahnya. Ia menjadi sangat curiga ketika melihat raut wajah dan peluh di leher Toni, suatu kondisi yang tidak asing baginya sebagai seorang pria dewasa. "Maafkan aku, Mas." Adelia merapikan kancing bajunya. "Kau tahu, aku sudah berusaha menerima kelemahanmu. Tapi, semakin lama aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri." "Dulu awal-awal kita menikah, aku mampu memberikan nafkah batin untukmu dengan baik. Bahkan kau sampai menolaknya berkali-kali. Tidak kah kau bisa sedikit bersabar," lanjut Badai dengan wajah sakitnya. "Aku masih membutuhkannya sampai seterusnya, Mas. Aku wanita normal," timpal Adelia sambil menyisir rambutnya yang berantakan. "Tapi tidak dengan sahabatk
Panasnya cuaca hari itu membuat balita yang sebentar lagi menginjak usia empat tahun itu merengek kepada ibunya. "Mamak ... mam mie dong," pintanya menagih janji ibunya."Mamak lagi nulis, Nak," jawab Kinarsih pelan. "Ayo, Mak!""Baik. Sebentar lagi," ujar Kinarsih melanjutkan pekerjaannya. Ceritanya sedang ditunggu-tunggu oleh pembacanya dan pundi-pundi rupiah menghampirinya dengan cepat. 'Ah ini kisah nyata kah? Kok masuk banget ke hati, sih?! Next dong cepat thor!''Dasar Aldi, laki-laki tak punya hati! Awas karma menunggumu! Lanjut gak pake lama! 'Bertahanlah Arini, kau wanita hebat. Masa lalu adalah pelajaran. Semangat thor! Lanjut!'Komentar-komentar positif dari pembaca buku barunya, membuat Kinarsih semakin bersemangat. Ia pun sudah tak bekerja lagi di luar. Sekarang wanita itu full bekerja dari rumah. Ia jadi lebih banyak memiliki waktu untuk mengurus dirinya dan putranya. Kinarsih sedikit demi sedikit merawat dirinya, juga memperbaiki rumahnya dengan kayu-kayu baru juga
"Ilham, masuklah! Sudah sore!" teriak Kinarsih dari dalam sambil merapikan perkakas P3K pemberian Rian. Mungkin benda itu akan sering dia gunakan selama hidupnya karena ia dikelilingi manusia iri, dengki dan hasad yang memandangnya tak punya rasa, hingga dianggap selayaknya binatang. Melawan agar tak terus diinjak, itu adalah pilihannya setelah ia menjadi seorang ibu. Ia tidak ingin, Ilham melihat ibunya lemah tak berdaya."Ada yang datang, Mamak!" timpal Ilham dari luar.'Pasti Rian' batin Kinarsih. Ia tersenyum, sedikit merapikan wajahnya, memperbaiki pakaiannya lalu lekas meneguk segelas air dengan cepat.'Setidaknya, ketika Rian melihat lukaku bukannya membaik malah bertambah jumlahnya, aku bisa bertahan mendengar ocehannya' senyum batinnya lagi. Kinarsih menyegerakan langkahnya. Rian pernah berjanji akan mengunjunginya di akhir pekan yang tidak ditentukan, mungkin hari ini waktunya. Bagai dihantam batu gunung, Kinarsih membatu tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tak sadar, ia
"Mamak, ke kota lagi, yuk!" ajak Ilham sembari bermain mobil-mobilan. Ia memiliki mainan yang bagus, hingga bocah itu melupakan kejadian buruk yang banyak dilihatnya. "Kan sudah kemarin pas kita beli mobil-mobilan," ujar Kinarsih membersihkan rumah. Untuk mempertahankan moodnya menulis, ia senang bersih-bersih. "Enak ke kota bisa naik motor, Mak! Ayok, Mak! Naik motor!" Kinarsih hanya diam saja. Ilham selalu saja banyak maunya. Ia menoleh pada putranya bermain mobil-mobilan pemberian dari Rian. "Nanti pergi sama Nenek saja kalau Mamakmu sibuk," ujar Marni yang tiba-tiba muncul. "Nenek!" teriak Ilham berdiri dan melompati Marni. Wanita itu tersenyum lebar menggendong cucunya. "MasyaAllah, Bi. Masuklah. Arsih buatin minum dulu." "Tak usah. Aku bisa buat sendiri. Aku bukan tamu kan?" Kinarsih tersenyum lalu mengangguk haru. "Bibi itu ibuku," jawabnya berkaca-kaca. Marni tersenyum lebar melihat banyak perubahan di rumah itu. Sungguh sangat jauh lebih layak dan terlihat rapi
"Supaya tidak perlu aku memikirkanmu dan Ilham yang jauh. Aku sudah terlalu renta untuk sering keluar rumah sekarang. Jadi, aku berharap kamu tinggal lagi bersamaku, Arsih," lanjut Yanto terdengar memohon. Kinarsih terhenyak, jantungnya tersentak. Bagaimana uwaknya berani memintanya kembali ke tempat di mana dia sudah dihancurkan sehancur-hancurnya? "Rumahnya sudah bagus begini, gak mungkin dong ditinggalin," sahut Marni gemas. "Meskipun di rumah reot sekali pun, tapi jadi ratu. Dari pada di istana, malah jadi babu," lanjut Marni tanpa sungkan. Mendengar ucapan Marni, Erni mengeratkan genggamannya karena salah tingkah. Ia sadar memang begitu dan memang dari dalam hatinya, ia ingin Kinarsih kembali untuk menjadi pembantu gratisnya. "Sebenarnya banyak kabar sampai padaku, Marni. Aku mendengar berita, beberapa pria datang ke sini, katanya Rian sama Badai. Banyak berita yang tak enak kudengar, jadilah aku sangat khawatir. Apalagi, berita bahwa Kinarsih digebukin tiga istrinya Aji Sopian
Tok! Tok! Tok!Seorang wanita paruh baya mengetuk keras pintu rumah kayu. Empunya rumah terperanjat kaget. Kinarsih yang sedang mempersiapkan makan malam bersama anaknya menjadi sedikit ketakutan. Musuh mana lagi yang akan datang menjambaknya kali ini? "Buka pintumu, Arsih! Aku Wati!" teriaknya lalu kembali mengetuk pintu lagi dengan keras. Nafasnya tersenggal dan keringat di dahinya memberikan tanda ia telah banyak berlari. Kinarsih pun keluar dengan diikuti sorot mata takut dari anak semata wayangnya.Dreeeeeet!"Lama sekali kamu buka pintu, kayak orang punya suami saja," cerocos tamunya. Kinarsih mengerutkan alis. "Uwakmu dan istrinya kecelakaan tidak jauh dari sini," ucapnya lagi sambil memegang dada."Astagfirullah. Bagaimana bisa Bi?" Kinarsih menyandarkan bahunya pada kayu pintu di sampingnya. Jantungnya berdegub was-was."Iya. Syukur mereka masih selamat. Wak perempuanmu yang parah. Dia terbawa arus lalu tersangkut di jembatan semen. Posisinya cukup jauh dari wak lakimu. Dia s
"Maafkan saya, Bu, Pak. Tolong dipertimbangkan lagi semua keputusan ini. Saya siap mengganti semua kerugian perusahaan. Saya berani bersumpah, saya tidak pernah menggunakan uang itu. Ini bukti transaksi masih saya simpan. Semua uang itu masuk ke rekening Pak Albert.""Urusan nominal, itu nomor sekian. Urusan Pak Albert juga akan kami tangani. Tapi dalam kasus ini, Anda telah berani mencurangi uang nasabah itu adalah kesalahan fatal. Kalau sampai masalah ini terkuak di media sosial, branding bank ini akan hancur! Jangan main-main ya, Bu Susan. Kami pontang panting menaikan nama perusahaan ini tidak instan. Surat pemecatan Anda sudah kami tanda tangani dan maaf, tidak ada pesangon.""Tolong, saya sudah menjadi bagian dari bank ini hampir tujuh tahun, Pak! Tolong jangan pecat saya. Saya akan mengganti dan membayar denda. Saya mohon!"Air mata Susan berderai deras. Bahkan dia langsung bersimpuh di lantai, tegak menggunakan lututnya. Ia menutup mulut dengan tangannya karena terlalu sedih da
Kinarsih terus memandang m-bankingnya yang menggendut setelah mendapatkan transferan dua puluh lima juta dari bank. Ia masih belum percaya dengan apa yang sedang dialaminya. "Apakah aku harus senang sedangkan aku tahu, karena perkara itu, Susan dipecat? Ya Allah, kasihan juga Susan. Dia memang sudah biasa membuliku tapi kalau begini akhirnya, aku jadi tak enak," gumam Kinarsih di bawah pohon mangga. Ia belum selesai menyapu daunan kering yang berserakan tapi pikirannya terbagi-bagi. "Kak Arsih! Ibu minta makan!" seru Rasyid dari dalam. "Minta Kak Ana saja. Kakak lagi nyapu! Belum selesai ini!" Rasyid pun menghilang. Selang beberapa saat, Ana keluar dengan style rapi lalu menghidupkan motornya. "Kamu sudah kasih Ibumu makan?" tanya Kinarsih datar. "Aku terburu-buru," jawab Ana ketus. "Jadi kamu mengharapkan aku yang terus-terusan mengurus ibumu? Ciiih enak sekali kamu. Aku bukan pembantu kalian. Aku juga punya pekerjaan dan selama seminggu ini tertunda. Aku akan pulang seka