Terimakasih banyak untuk GEMnya semua, sehingga cerita Kinarsih masuk daftar buku populer🌹Semoga Rezki melimpah untuk para reader aamiin
"Mamak, ke kota lagi, yuk!" ajak Ilham sembari bermain mobil-mobilan. Ia memiliki mainan yang bagus, hingga bocah itu melupakan kejadian buruk yang banyak dilihatnya. "Kan sudah kemarin pas kita beli mobil-mobilan," ujar Kinarsih membersihkan rumah. Untuk mempertahankan moodnya menulis, ia senang bersih-bersih. "Enak ke kota bisa naik motor, Mak! Ayok, Mak! Naik motor!" Kinarsih hanya diam saja. Ilham selalu saja banyak maunya. Ia menoleh pada putranya bermain mobil-mobilan pemberian dari Rian. "Nanti pergi sama Nenek saja kalau Mamakmu sibuk," ujar Marni yang tiba-tiba muncul. "Nenek!" teriak Ilham berdiri dan melompati Marni. Wanita itu tersenyum lebar menggendong cucunya. "MasyaAllah, Bi. Masuklah. Arsih buatin minum dulu." "Tak usah. Aku bisa buat sendiri. Aku bukan tamu kan?" Kinarsih tersenyum lalu mengangguk haru. "Bibi itu ibuku," jawabnya berkaca-kaca. Marni tersenyum lebar melihat banyak perubahan di rumah itu. Sungguh sangat jauh lebih layak dan terlihat rapi
"Supaya tidak perlu aku memikirkanmu dan Ilham yang jauh. Aku sudah terlalu renta untuk sering keluar rumah sekarang. Jadi, aku berharap kamu tinggal lagi bersamaku, Arsih," lanjut Yanto terdengar memohon. Kinarsih terhenyak, jantungnya tersentak. Bagaimana uwaknya berani memintanya kembali ke tempat di mana dia sudah dihancurkan sehancur-hancurnya? "Rumahnya sudah bagus begini, gak mungkin dong ditinggalin," sahut Marni gemas. "Meskipun di rumah reot sekali pun, tapi jadi ratu. Dari pada di istana, malah jadi babu," lanjut Marni tanpa sungkan. Mendengar ucapan Marni, Erni mengeratkan genggamannya karena salah tingkah. Ia sadar memang begitu dan memang dari dalam hatinya, ia ingin Kinarsih kembali untuk menjadi pembantu gratisnya. "Sebenarnya banyak kabar sampai padaku, Marni. Aku mendengar berita, beberapa pria datang ke sini, katanya Rian sama Badai. Banyak berita yang tak enak kudengar, jadilah aku sangat khawatir. Apalagi, berita bahwa Kinarsih digebukin tiga istrinya Aji Sopian
Tok! Tok! Tok!Seorang wanita paruh baya mengetuk keras pintu rumah kayu. Empunya rumah terperanjat kaget. Kinarsih yang sedang mempersiapkan makan malam bersama anaknya menjadi sedikit ketakutan. Musuh mana lagi yang akan datang menjambaknya kali ini? "Buka pintumu, Arsih! Aku Wati!" teriaknya lalu kembali mengetuk pintu lagi dengan keras. Nafasnya tersenggal dan keringat di dahinya memberikan tanda ia telah banyak berlari. Kinarsih pun keluar dengan diikuti sorot mata takut dari anak semata wayangnya.Dreeeeeet!"Lama sekali kamu buka pintu, kayak orang punya suami saja," cerocos tamunya. Kinarsih mengerutkan alis. "Uwakmu dan istrinya kecelakaan tidak jauh dari sini," ucapnya lagi sambil memegang dada."Astagfirullah. Bagaimana bisa Bi?" Kinarsih menyandarkan bahunya pada kayu pintu di sampingnya. Jantungnya berdegub was-was."Iya. Syukur mereka masih selamat. Wak perempuanmu yang parah. Dia terbawa arus lalu tersangkut di jembatan semen. Posisinya cukup jauh dari wak lakimu. Dia s
"Maafkan saya, Bu, Pak. Tolong dipertimbangkan lagi semua keputusan ini. Saya siap mengganti semua kerugian perusahaan. Saya berani bersumpah, saya tidak pernah menggunakan uang itu. Ini bukti transaksi masih saya simpan. Semua uang itu masuk ke rekening Pak Albert.""Urusan nominal, itu nomor sekian. Urusan Pak Albert juga akan kami tangani. Tapi dalam kasus ini, Anda telah berani mencurangi uang nasabah itu adalah kesalahan fatal. Kalau sampai masalah ini terkuak di media sosial, branding bank ini akan hancur! Jangan main-main ya, Bu Susan. Kami pontang panting menaikan nama perusahaan ini tidak instan. Surat pemecatan Anda sudah kami tanda tangani dan maaf, tidak ada pesangon.""Tolong, saya sudah menjadi bagian dari bank ini hampir tujuh tahun, Pak! Tolong jangan pecat saya. Saya akan mengganti dan membayar denda. Saya mohon!"Air mata Susan berderai deras. Bahkan dia langsung bersimpuh di lantai, tegak menggunakan lututnya. Ia menutup mulut dengan tangannya karena terlalu sedih da
Kinarsih terus memandang m-bankingnya yang menggendut setelah mendapatkan transferan dua puluh lima juta dari bank. Ia masih belum percaya dengan apa yang sedang dialaminya. "Apakah aku harus senang sedangkan aku tahu, karena perkara itu, Susan dipecat? Ya Allah, kasihan juga Susan. Dia memang sudah biasa membuliku tapi kalau begini akhirnya, aku jadi tak enak," gumam Kinarsih di bawah pohon mangga. Ia belum selesai menyapu daunan kering yang berserakan tapi pikirannya terbagi-bagi. "Kak Arsih! Ibu minta makan!" seru Rasyid dari dalam. "Minta Kak Ana saja. Kakak lagi nyapu! Belum selesai ini!" Rasyid pun menghilang. Selang beberapa saat, Ana keluar dengan style rapi lalu menghidupkan motornya. "Kamu sudah kasih Ibumu makan?" tanya Kinarsih datar. "Aku terburu-buru," jawab Ana ketus. "Jadi kamu mengharapkan aku yang terus-terusan mengurus ibumu? Ciiih enak sekali kamu. Aku bukan pembantu kalian. Aku juga punya pekerjaan dan selama seminggu ini tertunda. Aku akan pulang seka
"Assalamu'alaikum jagoan!" seru Rian membuka lengannya menerima kedatangan Ilham. Bocah itu tertawa senang saat dokter tampan itu mengangkatnya. Menyenangkan sekali memiliki Bapak dan Papa ganteng sekaligus. "Rian, kamu ke sini?"Kinarsih menghampiri. Badai ternganga dengan alisnya yang bertaut. Merasa kesal sampai ke puncak kepala karena pemuda itu selalu ikut campur dalam hubungannya dengan Kinarsih. Ia ingat betul bagaimana mereka baku hantam saat ia tak lama menceraikan Kinarsih. Sekarang, dia muncul lagi. Bikin geram. Apalagi nampak putranya begitu dekat dengan dokter itu. "Iya. Aku dengar kabar, ibunya Ana sakit parah karena kecelakaan. Aku kemari untuk menjenguknya. Tadi aku sudah telpon Ana."Rian tidak memandang Kinarsih. Ia berlalu saja saat wanita itu menghampirinya. Patah. Itu yang dirasakan Kinarsih saat ini. Kenapa tiba-tiba ia ingin menangis? Badai mendekatinya lalu mencoba meraih tangannya lagi. Kinarsih menepis."Aku harus menyambut Rian. Dia adalah tamu rumah ini."
Rian melewati jalur keluar menuju kota namun dari sampingnya, sebuah mobil merah memberinya klakson. Rian menoleh. Nampak Badai membuka kaca mobilnya dan memberi isyarat agar mereka menepi. Rian membuang wajah dan kembali fokus menyetir. Badai dibuatnya meradang hingga pria itu menekan klakson beberapa kali. "Pria sinting," desis Rian meluncur lebih kencang dan tentu saja Badai berusaha mengimbanginya. Setelah beberapa menit melaju dengan kecepatan tinggi, Rian akhirnya membelokkan mobilnya ke sebuah parkiran pusat perbelanjaan. Dengan tenang, dia keluar dan menuju cofeeshop di depan parkiran. Badai pun mengikutinya. "Cepat katakan niatmu. Aku seorang dokter, waktuku sangat berharga.""Puih! Sombong. Baru honer, sudah berasa gaji 50 juta."Rian hanya berusaha bernafas tenang. "Jauhi Kinarsih. Kami akan rujuk," lanjut Badai tanpa ragu. "Ya, silahkan."Badai mengkerutkan alisnya seperti menaruh curiga. Nampak Rian seperti santai saja. "Kalian tidak memiliki hubungan spesial kan?""P
Kinarsih melihat Ilham yang sedang tertidur lelap di kamar belakang setelah lelah bermain. "Ilham, bangun, Nak. Kita mau pulang sekarang," ujar Kinarsih mengelus kaki putranya namun nocah itu tak bergerak sedikit pun. Begitu amat lelap. Kinarsih tidak ingin memaksa Ilham lagi seperti sebelumnya karena ia sendiri sudah mengingkakri. Beberapa kali tak jadi pulang, ada saja halangan. "Ilham sudah betah main debgan teman-teman sebayanya, Nak. Tinggallah beberapa hari lagi. Aku mohon." Suara Haryanto lembut dan membuat Kinarsih berbalik menoleh ke arah pintu. "Satu minggu ke depan, aku akan keluar dari pagi sampai sore, Arsih. Ada proyek dari desa. Syukur alhamdulillah, di usiaku ini, masih dipercaya sama kepala desa yang sekarang. Kalau kamu tidak ada di sini, tak tenang aku di luar."Kinarsih menghela napasnya berat. "Setelah selesai pekerjaanku, aku redha kamu pulang. Maaf, Arsih. Aku sangat mengandalkanmu," lanjut Haryanto. Meski amat berat, membayangkan seminggu lagi, Kinarsih menga