Kinarsih sampai di rumahnya. Melegakan sekali bisa kembali di rumahnya sendiri. Dua minggu rasanya sangat lama baginya. Dia langsung merebahkan diri di atas dipannya. Ia masih mempertahankan kasur kapuk peninggalan ibunya. Sampai kapan pun tak akan dia ganti. Wanita itu menutup mata, merasakan tubuhnya yang terasa remuk redam. Apa pun yang telah terjadi, dia pasrahkan."Mak! Main, ya!" seru Ilham membuka sepatunya lalu memakai sandal. "Ingat, jangan jauh-jauh."Entah didengar atau tidak, Ilham sudah berlari keluar. Sejak hadirnya bapaknya, ia sudah tidak takut lagi main. Bapaknya sudah pulang meski mereka tidak tinggal bersama. Bapak sudah berjanji akan tinggal bersama mereka. Bahagia sekali hati Ilham. "Assalamu'alaikum!"Kinarsih mendengar suara salam wanita, namun dia mengabaikannya. Tak ada perempuan yang akan mencarinya, setelah dia berhenti menerima orderan cucian. "Assalamu'alaikum!!! Kinarsih, ini aku, Susan."Mata Kinarsih langsung terbuka kaget. Ia mengusap wajahnya. Susa
Terlihat seorang wanita muda sedang duduk santai di depan meja bundar di sebuah cafe. Terdapat kain biru tua yang menutupi kepalanya namun tidak sempurna. Sebuah kacamata hitam dan besar bertengger di kelopak matanya. Dia Berpura-pura menatap layar hp, sesekali melihat ke depan, seperti menunggu seseorang. Perhiasannya yang memenuhi seluruh jemarinya yang lentik dan kuku berwarna merah nyala, memberikan tanda dia memang wanita yang kaya raya."Kenapa kamu memilih tempat seperti ini? Di sini banyak yang mengenaliku," ketus Nining yang tiba-tiba mendatanginya."Memangnya kenapa, Ma? Toh bertemu dengan menantu bukan hal yang tabukan?" senyum Adelia melepas gawainya santai."Mantan ya, ingat itu." Nining meletakkan kasar tasnya di atas meja. Adelia tersenyum melihat tingkah Nining. Jelas, wanita tua itu sedang menyembunyikan rasa was-wasnya."Permisi, ini list menunya ya, Mbak." Seorang pelayan berwajah manis berdiri di samping mereka. Nining tanpa ekspresi tak menghiraukan. Adelia hanya
Semilir angin dan dinginnya pagi menjadi saksi beberapa anggota keluarga yang sedang berdebat sengit. Untung saja, rumah mereka memiliki halaman yang luas sehingga pantulan suara tidak terdengar oleh tetangga. Kepala keluarga itu heran, istrinya tiba-tiba memihak kepada mantan menantu yang telah berkhianat."Bagaimana bisa, kamu sekarang bersikeras untuk tidak mengusut dan menuntut Adelia? Kamu tahukan, banyak kerugian Badai karenanya. Itu harta kita juga! Kamu ini tak waras!" cerca Nasrun pada Nining yang sedang duduk menerima omelan suaminya. Dengan alasan tak masuk akal, ia sedari tadi terus melarang suami dan anaknya pergi."Mama ini aneh. Terakhir Adelia ke sini, Mama sangat geram padanya. Bahkan Mama yang paling tidak sabar untuk menuntutnya. Apa yang sedang terjadi, Ma? Mama diancam oleh wanita iblis itu?" Badai mendelik mendekati ibunya. Ia mencoba mencari jawaban dari netra tua yang telah berusia kepala lima itu."Aku hanya tidak ingin masalah ini panjang lebar. Kita berdamai
Beberapa kali Kinasih berusaha untuk menghubungi Rian. Namun nomor Rian sama sekali tidak menanggapinya. "Apa dia sudah ganti nomor?" gumam Kinarsih sendirian.Wanita itu tidak putus asa. Pagi-pagi setelah mengantar Ilham sekolah, dia pun pergi ke rumah Niah. Ilham sengaja disekolahkan lebih dini agar bocah itu punya teman bermain yang lebih banyak. Kinarsih melangkah yakin, tak peduli hinaan dan amarah Niah akan terlempar padanya. Namun dia juga tidak menemukan yang dicari. Rumah itu dalam keadaan kosong. Tetangga Nia mengatakan bahwa Niah saat ini sedang berada di kota bersama dengan suaminya karena ada salah satu dari anak tirinya yang menikah."Baiklah, mari kita mencari cinta," ucap Kinarsih pelan tersenyum menghidupkan lagi motornya.Kali ini dia akan berusaha mencari Rian di rumah sakit. Namun dia tidak ingin kehadirannya mengganggu dan membuat Rian tidak nyaman sehingga dia hanya memutuskan untuk menunggu saat jadwal untuk dokter anak. Namun ternyata Berdasarkan informasi dari
Kinarsih terbangun dan dia menemukan banyak orang sedang mengelilinginya. Rumahnya hampir penuh dipenuhi oleh tetangga yang pastinya dia kenali. Sejurus kemudian, Kinarsih mengingat apa yang sudah menimpanya. Ia menghembuskan napasnya kuat-kuat menahan beban dan trauma. "Syukurlah kamu sudah sadar, Arsih," ujar Mal sembari mengusapkan minyak kayu putih di leher dan kening Kinarsih. Tampak yang lain juga memijit kakinya. Kinarsih cukup terkejut dengan perlakuan orang-orang yang tinggal di dekatnya itu. Tak menyangka, mereka mau memperlakukannya dengan sangat baik. "Mana ... mana penjahat itu, Bi?" Suara Kinarsih tertahan seperti menahan isaknya kembali. "Dia sudah dibawa ke kantor polisi. Kamu tenang saja, Arsih. Dokter Rian sudah mengurusnya," sambut Atun yang sedang memijit kaki Kinarsih. "Rian?" tanya Kinarsih heran. "Dia datang pas kamu pingsan. Makin babak belur Si Pian itu olehnya. Satu kampung ribut dan berita ini sudah tersebar luas. Kamu yang tabah ya, Arsih."Sejenak Kin
"Rian ...." Rian tidak menjawab apa-apa."Terimakasih sudah menolongku kemarin," ucap Kinarsih gugup. Tatapan Rian yang tanpa kedip, tanpa suara itu membuatnya salah tingkah. "Tidak hanya itu, terimakasih juga sudah hadir di hidupku, Rian. Kamu memberiku cahaya dalam kegelapanku. Sejak dulu sampai sekarang. Terimakasih." Suara Kinarsih bergetar. "Sudah selesai? Permisi, aku harus pergi sekarang. Aku sibuk sekali, Arsih. Jaga dirimu baik-baik.""Tunggu, Rian! Aku ... aku ...."Kinarsih gugup luar biasa. Dingin rasa tubuhnya hingga merinding bulu kuduknya. Yang di hatinya ini sedang membuncah ruah. Tiba-tiba saja pandangannya buram karena air matanya berkumpul di bola matanya dan akan pecah. "Kita tidak punya alasan untuk kembali bicara. Aku sudah menyerah, Kinarsih. Harusnya aku sadar, kamu tidak akan pernah bisa membuka hati dan percaya padaku. Kamu punya mantan suami dan kalian memiliki anak yang akan mempersatukan kalian."Pe
Kedua bola mata Rian membeliak. Terlalu dekat telinganya dengan suara Ana. Apa yang merasuki gadis itu? Sudah hilang akalkah dia? Jangankan mau menghamili, jika Kinarsih tidak tinggal di sini, takkan dia menginjakkan kaki di tempat ini. Dengan kekuatan penuh Rian melepaskan pelukan Ana. Bahkan tubuh ramping Ana terdorong kuat. "Jangan kamu menebar fitnah yang kejam, Ana! Bagiku, kamu hanya teman satu club organisasi, sejak kita SMA sampai sekarang, kamu masih sama. Hanya teman!" panik Rian lalu melempar pandangan pada Kinarsih. Wanita yang dicintainya itu tampak pelik, nelangsa.Yanto seketika duduk menyungkur. Ujian apa lagi ini. Anak kandungnya hamil? Belum memudar rasa malunya karena kehamilan Kinarsih, keponakannya. Sekarang anak gadisnya sendiri? Laki-laki tua itu tak bisa bicara. Terlalu lemah untuk sekedar berucap kata. Hatinya terus menyebut 'Allah' 'Allah' 'Allah' tak henti."Katakan ini bohong, Ana," ujar Kinarsih dengan jantungnya berdebar-debar. "Untuk apa aku bohong?! Ak
"Astagfirullah!!!" Tiba-tiba Yanto memukul tangan Kinarsih. Tidak hanya gunting itu yang jatuh tapi Kinarsih pun terhempas ke lantai. Ia pun diam. Masih terlalu kaget dengan yang diucapkan Ana. Hingga ia terlambat menyadari, Yanto sedang menatapnya marah."Wak ...," ucapnya lembut."Sudah hilang akalmu!! Apa niatmu!!?" Yanto garang. Ana sejurus memeluk ayahnya, menangis mencari perlindungan. Untung saja ayahnya pulang. Rupanya Yanto kembali ke rumah untuk mengambil foto kopi kartu tanda penduduk, ada perlu untuk urusan pekerjaannya bersama Dolah. "Dia sudah menggunting rambutku, menamparku dan tadi ingin memutuskan urat leherku, Pak!!!! Huhuhuhuhu ... dia sudah tak waras, usir dia Pak, usir!!!""Pergi kamu dari sini Kinarsih!! Aku tak menyangka karena kecemburuanmu pada Ana, kamu bisa segila ini!!"Kinarsih pun keluar dengan membawa hinaan dan cacian Yanto. Ia tak peduli akan itu. Di pikirannya, bagaimana Ana sampai tidak tahu