Suport GEMnya ya kak😃
Rian melewati jalur keluar menuju kota namun dari sampingnya, sebuah mobil merah memberinya klakson. Rian menoleh. Nampak Badai membuka kaca mobilnya dan memberi isyarat agar mereka menepi. Rian membuang wajah dan kembali fokus menyetir. Badai dibuatnya meradang hingga pria itu menekan klakson beberapa kali. "Pria sinting," desis Rian meluncur lebih kencang dan tentu saja Badai berusaha mengimbanginya. Setelah beberapa menit melaju dengan kecepatan tinggi, Rian akhirnya membelokkan mobilnya ke sebuah parkiran pusat perbelanjaan. Dengan tenang, dia keluar dan menuju cofeeshop di depan parkiran. Badai pun mengikutinya. "Cepat katakan niatmu. Aku seorang dokter, waktuku sangat berharga.""Puih! Sombong. Baru honer, sudah berasa gaji 50 juta."Rian hanya berusaha bernafas tenang. "Jauhi Kinarsih. Kami akan rujuk," lanjut Badai tanpa ragu. "Ya, silahkan."Badai mengkerutkan alisnya seperti menaruh curiga. Nampak Rian seperti santai saja. "Kalian tidak memiliki hubungan spesial kan?""P
Kinarsih melihat Ilham yang sedang tertidur lelap di kamar belakang setelah lelah bermain. "Ilham, bangun, Nak. Kita mau pulang sekarang," ujar Kinarsih mengelus kaki putranya namun nocah itu tak bergerak sedikit pun. Begitu amat lelap. Kinarsih tidak ingin memaksa Ilham lagi seperti sebelumnya karena ia sendiri sudah mengingkakri. Beberapa kali tak jadi pulang, ada saja halangan. "Ilham sudah betah main debgan teman-teman sebayanya, Nak. Tinggallah beberapa hari lagi. Aku mohon." Suara Haryanto lembut dan membuat Kinarsih berbalik menoleh ke arah pintu. "Satu minggu ke depan, aku akan keluar dari pagi sampai sore, Arsih. Ada proyek dari desa. Syukur alhamdulillah, di usiaku ini, masih dipercaya sama kepala desa yang sekarang. Kalau kamu tidak ada di sini, tak tenang aku di luar."Kinarsih menghela napasnya berat. "Setelah selesai pekerjaanku, aku redha kamu pulang. Maaf, Arsih. Aku sangat mengandalkanmu," lanjut Haryanto. Meski amat berat, membayangkan seminggu lagi, Kinarsih menga
Kinarsih sampai di rumahnya. Melegakan sekali bisa kembali di rumahnya sendiri. Dua minggu rasanya sangat lama baginya. Dia langsung merebahkan diri di atas dipannya. Ia masih mempertahankan kasur kapuk peninggalan ibunya. Sampai kapan pun tak akan dia ganti. Wanita itu menutup mata, merasakan tubuhnya yang terasa remuk redam. Apa pun yang telah terjadi, dia pasrahkan."Mak! Main, ya!" seru Ilham membuka sepatunya lalu memakai sandal. "Ingat, jangan jauh-jauh."Entah didengar atau tidak, Ilham sudah berlari keluar. Sejak hadirnya bapaknya, ia sudah tidak takut lagi main. Bapaknya sudah pulang meski mereka tidak tinggal bersama. Bapak sudah berjanji akan tinggal bersama mereka. Bahagia sekali hati Ilham. "Assalamu'alaikum!"Kinarsih mendengar suara salam wanita, namun dia mengabaikannya. Tak ada perempuan yang akan mencarinya, setelah dia berhenti menerima orderan cucian. "Assalamu'alaikum!!! Kinarsih, ini aku, Susan."Mata Kinarsih langsung terbuka kaget. Ia mengusap wajahnya. Susa
Terlihat seorang wanita muda sedang duduk santai di depan meja bundar di sebuah cafe. Terdapat kain biru tua yang menutupi kepalanya namun tidak sempurna. Sebuah kacamata hitam dan besar bertengger di kelopak matanya. Dia Berpura-pura menatap layar hp, sesekali melihat ke depan, seperti menunggu seseorang. Perhiasannya yang memenuhi seluruh jemarinya yang lentik dan kuku berwarna merah nyala, memberikan tanda dia memang wanita yang kaya raya."Kenapa kamu memilih tempat seperti ini? Di sini banyak yang mengenaliku," ketus Nining yang tiba-tiba mendatanginya."Memangnya kenapa, Ma? Toh bertemu dengan menantu bukan hal yang tabukan?" senyum Adelia melepas gawainya santai."Mantan ya, ingat itu." Nining meletakkan kasar tasnya di atas meja. Adelia tersenyum melihat tingkah Nining. Jelas, wanita tua itu sedang menyembunyikan rasa was-wasnya."Permisi, ini list menunya ya, Mbak." Seorang pelayan berwajah manis berdiri di samping mereka. Nining tanpa ekspresi tak menghiraukan. Adelia hanya
Semilir angin dan dinginnya pagi menjadi saksi beberapa anggota keluarga yang sedang berdebat sengit. Untung saja, rumah mereka memiliki halaman yang luas sehingga pantulan suara tidak terdengar oleh tetangga. Kepala keluarga itu heran, istrinya tiba-tiba memihak kepada mantan menantu yang telah berkhianat."Bagaimana bisa, kamu sekarang bersikeras untuk tidak mengusut dan menuntut Adelia? Kamu tahukan, banyak kerugian Badai karenanya. Itu harta kita juga! Kamu ini tak waras!" cerca Nasrun pada Nining yang sedang duduk menerima omelan suaminya. Dengan alasan tak masuk akal, ia sedari tadi terus melarang suami dan anaknya pergi."Mama ini aneh. Terakhir Adelia ke sini, Mama sangat geram padanya. Bahkan Mama yang paling tidak sabar untuk menuntutnya. Apa yang sedang terjadi, Ma? Mama diancam oleh wanita iblis itu?" Badai mendelik mendekati ibunya. Ia mencoba mencari jawaban dari netra tua yang telah berusia kepala lima itu."Aku hanya tidak ingin masalah ini panjang lebar. Kita berdamai
Beberapa kali Kinasih berusaha untuk menghubungi Rian. Namun nomor Rian sama sekali tidak menanggapinya. "Apa dia sudah ganti nomor?" gumam Kinarsih sendirian.Wanita itu tidak putus asa. Pagi-pagi setelah mengantar Ilham sekolah, dia pun pergi ke rumah Niah. Ilham sengaja disekolahkan lebih dini agar bocah itu punya teman bermain yang lebih banyak. Kinarsih melangkah yakin, tak peduli hinaan dan amarah Niah akan terlempar padanya. Namun dia juga tidak menemukan yang dicari. Rumah itu dalam keadaan kosong. Tetangga Nia mengatakan bahwa Niah saat ini sedang berada di kota bersama dengan suaminya karena ada salah satu dari anak tirinya yang menikah."Baiklah, mari kita mencari cinta," ucap Kinarsih pelan tersenyum menghidupkan lagi motornya.Kali ini dia akan berusaha mencari Rian di rumah sakit. Namun dia tidak ingin kehadirannya mengganggu dan membuat Rian tidak nyaman sehingga dia hanya memutuskan untuk menunggu saat jadwal untuk dokter anak. Namun ternyata Berdasarkan informasi dari
Kinarsih terbangun dan dia menemukan banyak orang sedang mengelilinginya. Rumahnya hampir penuh dipenuhi oleh tetangga yang pastinya dia kenali. Sejurus kemudian, Kinarsih mengingat apa yang sudah menimpanya. Ia menghembuskan napasnya kuat-kuat menahan beban dan trauma. "Syukurlah kamu sudah sadar, Arsih," ujar Mal sembari mengusapkan minyak kayu putih di leher dan kening Kinarsih. Tampak yang lain juga memijit kakinya. Kinarsih cukup terkejut dengan perlakuan orang-orang yang tinggal di dekatnya itu. Tak menyangka, mereka mau memperlakukannya dengan sangat baik. "Mana ... mana penjahat itu, Bi?" Suara Kinarsih tertahan seperti menahan isaknya kembali. "Dia sudah dibawa ke kantor polisi. Kamu tenang saja, Arsih. Dokter Rian sudah mengurusnya," sambut Atun yang sedang memijit kaki Kinarsih. "Rian?" tanya Kinarsih heran. "Dia datang pas kamu pingsan. Makin babak belur Si Pian itu olehnya. Satu kampung ribut dan berita ini sudah tersebar luas. Kamu yang tabah ya, Arsih."Sejenak Kin
"Rian ...." Rian tidak menjawab apa-apa."Terimakasih sudah menolongku kemarin," ucap Kinarsih gugup. Tatapan Rian yang tanpa kedip, tanpa suara itu membuatnya salah tingkah. "Tidak hanya itu, terimakasih juga sudah hadir di hidupku, Rian. Kamu memberiku cahaya dalam kegelapanku. Sejak dulu sampai sekarang. Terimakasih." Suara Kinarsih bergetar. "Sudah selesai? Permisi, aku harus pergi sekarang. Aku sibuk sekali, Arsih. Jaga dirimu baik-baik.""Tunggu, Rian! Aku ... aku ...."Kinarsih gugup luar biasa. Dingin rasa tubuhnya hingga merinding bulu kuduknya. Yang di hatinya ini sedang membuncah ruah. Tiba-tiba saja pandangannya buram karena air matanya berkumpul di bola matanya dan akan pecah. "Kita tidak punya alasan untuk kembali bicara. Aku sudah menyerah, Kinarsih. Harusnya aku sadar, kamu tidak akan pernah bisa membuka hati dan percaya padaku. Kamu punya mantan suami dan kalian memiliki anak yang akan mempersatukan kalian."Pe
"Itu murni hasil menulis, Bi. Bukan jual sawah Bapak," ulang Kinarsih menegaskan. "Ap-apa dengan menulis bisa dapat segini?" tanya Niah tidak bisa menahan dirinya. Kinarsih mengangguk dengan senyum merekah. Ia rela hasil usaha kerja kerasnya berbulan-bulan, siang malam tak kenal lelah demi membuktikan pada calon ibu mertuanya itu."Tapi itu tidak istan, Bi. Semua berproses," jawab Kinarsih. Niah masih menatap buku rekening itu. Perlahan matanya terus menelisik jejak uang yang masuk. "Pakailah, Bi untuk bantu-bantu acara. Arsih gak mau, Bibi dan Rian banyak beban lagi. Setidaknya ada yang Arsih bisa lakukan untuk bantu Bibi."Setelah menatap lamat-lamat buku rekening itu, Niah menoleh kepada Kinarsih. "Sekarang katakan, jika seandainya aku lumpuh seperti uwakmu yang sudah meninggal itu, apakah kamu akan merawatku juga?""Pertanyaan itu sepertinya sangat sudah jelas jawabannya, Bi. Kepada istri dari adik bapak saja, yang pernah membuat luka di hati, Arsih masih mau untuk merawatnya k
Badai menyandarkan motornya di bawah pohon mangga. Ia sengaja membawa motor, niatnya mau mengajak Ilham jalan-jalan. Akhir pekan begini, biasanya Kinarsih di rumah Yanto. Mungkin wajah manis mantan istrinya yang dia rindukan sepanjang jalan, bisa sedikit menghilangkan pikirannya yang lelah memulai bisnis dari nol. Bulat tekadnya untuk memperbaiki hidupnya bersama Kinarsih dan anaknya, mungkin Tuhan akan sedikit berbaik hati menyempurnakan hidupnya. Bukankah ada pepatah mengatakan, selama janur kuning belum melengkung, kita boleh menikung? Seharusnya ia masih boleh berharap. Badai tersenyum simpul. Baru saja Badai turun, riuh rendah suara beberapa orang dari dalam terdengar. Dia pun baru sadar, di teras rumah terpasang beberapa bunga hias buatan melingkari sisi-sisi tiang. Di langit-langit teras tergantung hiasan bunga-bunga putih seperti kumpulan melati melambai-lambai jatuh. Cantik.Badai mengernyitkan kening heran.Ia pun masuk, tanpa salam. Didapatinya beberapa orang yang tak dike
Niah menghela nafasnya berat. Mencoba menenangkan hatinya. Ini demi putranya, dia harus mengalah. Dilihatnya sekeliling, tampak daun mangga kering yang berguguran menutupi halaman. Ia melangkah terus. Keputusan sudah bulat."Assalamualaikum!" salamnya dengan yakin. Tak ada sahutan jawaban. Ia mencoba sekali lagi. Terbukalah pintu rumah yang terasnya berdinding keramik biru."Waalaikumussalam," jawab seorang lelaki tua. Siapa lagi kalau bukan Yanto. Dahinya mengernyit, heran, siapakah wanita berhijab lebar di depannya ini?"Saya Niah, ibunya Rian," tanggap Niah mengerti keheranan pemilik rumah."Ooh ... ayo silakan masuk, Bu. Maaf berantakan," ucap Yanto sedikit kaku. Hatinya penuh tanda tanya, mengapa sampai ibunya Rian datang? Ia was-was, akan ada perdebatan di rumahnya. Yanto mencoba mencair."Terimakasih." Niah masuk dan duduk di sofa merah, "Kinarsih ada di sini kan?" lanjutnya lagi."Nggih, Bu. Kebetulan sudah dua
Enam bulan kemudian ....Rumah hijau itu lenggang. Tanah kering yang ditiup angin membawa debu masuk sebab jendela-jendela terbuka lebar. Sayup-sayup suara isak wanita terdengar dari dalam bilik kamar."Jangan terlalu keras terhadap keputusan anakmu. Dia sudah dewasa. Usianya bukan remaja lagi. Sudah saatnya dia menikah dengan pilihannya. Apakah kamu bisa menjamin, jika bersama dengan wanita lain, dia akan bahagia? Apa kebahagiaannya tidak menjadi perioritasmu, Niah?" Kamal mendekati istrinya dengan lembut. Dibelainya rambut panjang yang sudah beruban itu. Tangannya yang lain mengusap bahu Niah untuk menyalurkan ketenangan. "Aku tidak memaksa pilihanku, Bang. Aku hanya tidak mau, Kinarsih menjadi menantuku. Masih banyak wanita lain yang jauh lebih baik. Kukira selama ini dia sudah melupakan wanita itu, nyatanya mereka culas! Hiks hiks hiks." Niah sesugukan. Sedari tadi ia tak berhenti menangisi keputusan Rian yang tak masuk di akalnya. Secara tiba-tiba, pemuda itu menyampaikan keing
Ana melangsungkan pernikahan dengan sederhana di mushola yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. Setelah akad berlangsung, dilanjutkan acara makan bersama. Kinarsih dan Marni sibuk mempersiapkan semuanya. Banyak warga yang membantu juga karena Yanto adalah orang yang sangat dekat dengan masyarakat sebab dia dulu sebagai mantan kepala desa. Meski banyak yang bertanya dan heran mengapa sampai Ana mau menikah dengan pria yang bukan sarjana dan sebagai peternak yang baru merintis, Yanto sama sekali tidak menjadikannya bahan pikiran. Ia hanya meminta doa dari para warga yang masih bertanya-tanya."Namanya jodoh, sudah seperti ini. Doakan saja nanti Ana bisa jadi istri yang baik dan mereka sejahtera," tanggap Yanto tenang. Yang penting baginya, ada yang mau menerima kondisi Ana saat ini. Setidaknya setitik ada cahaya harapan, aib itu tidak terbongkar secara gamblang. Setelah acara selesai, Ana langsung diboyong ke rumah suaminya. Haryanto dan Erni melepas putrinya dengan rasa haru dan ikh
Ana langsung meraih tubuh Kinarsih. Ia langsung mengangkat wajah kakak sepupunya itu dan memeluknya. "Arsih! Bangun woy!!! Apa yang barusan kamu lakukan?!" teriak Ana. Suara motor berderum kencang meninggalkan mereka. Keempat pria itu sudah tak terlihat. Ana menangis histris karena Kinarsih tak bersuara dan menutup matanya. "Ba-bawa ke puskesmas aja, Mbak! Gak terlalu jauh dari sini.""Ii-iya, Mas." Pria penyabit itu nampak masih muda. Ana menoleh kiri kanan dan melihat motor Kinarsih. "Masnya bisa bantu gonceng?""Iya, bisa Mbak!" jawab pria itu cepat. Mereka langsung mengangkat tubuh Kinarsih, membawanya naik ke motor. Ana memeluk Kinasih dari belakang."Bertahanlah Kinarsih, aku mohon!"Ana memandang wajah Kinasih yang memucat. Rasa bersalah semakin pekat dan bergelayut kuat dari dalam hatinya. Luar biasa pengorbanan Kinasih untuk dirinya, sampai-sampai wanita itu tidak memperdulikan nyawanya sendiri."Mengapa kamu sebodoh ini, hah?! Kinarsih kamu harus bertahan karena aku belum
Sore itu Kinarsih mondar-mandir di ruang tamu. Bahkan beberapa telepon dan pesan dari Rian tidak dia indahkan karena rasa khawatirnya terhadap Ana. Biar bagaimana pun anak adalah sepupunya. Dulu saat mereka masih kecil seusia SD, mereka sempat dekat. Namun Ana selalu mendapatkan hasutan dari Erni sehingga gadis itu menjadi sangat tidak bersahabat. "Kamu sedang menunggu siapa?" tanya Yanto. "Bukan siapa-siapa, Wak.""Kamu mau pulang?"Kinarsih menggeleng. Tak sampai hatinya untuk meninggalkan Erni yang semakin memburuk. Lebih-lebih, wanita itu sudah meminta maaf berkali-kali. Yanto juga sering keluar tinggalkan rumah jika ada kerjaan dari kantor desa yang membutuhkan tenaganya."Kenapa kamu tampak gelisah begitu?" tanya Yanto. Kinasih menoleh kepada uwaknya itu dengan tatapan sayu. "Tak tenang hati ini memikirkan Ana, Wak. Satu minggu bukanlah waktu yang sedikit.""Biarkan saja dia. Nanti kalau uangnya sudah habis, dia pasti pulang. Aku yakin dia sudah menjual perhiasan itu dan tin
"Tidaak!!!! Kau kira aku barang murahan! Seenaknya kau tawarkan begitu. Aku hanya inginkan Rian. Rian cinta pertamaku. Yakinlah Rian, aku sungguh mencintaimu. Huhuhuhu ...," tangis Ana tak mau Rian melepaskan pelukannya walau Rian sudah memberi isyarat kuat."Kau mengagungkan cinta pertama. Tanyakan Rian, siapa cinta pertamanya?" tantang Kinarsih percaya diri. Diabaikannya Badai yang sedari tadi menatapnya tajam. Ana tak mau bicara. Hanya isaknya saja yang jelas terdengar."Kinarsih cinta pertamaku dan terakhirku, An. Aku akan berjuang untuknya. Tolong lepaskan aku." Rian mencoba lagi. Kali ini dengan sedikit kekuatannya. Namun ia gagal. Ana semakin mengeratkan pelukannya. Jika ia memaksa, takut gadis ini semakin nelangsa. Rian kembali pasrah.Kinarsih mendekati mereka. Memegang kasar bahu Ana lalu menariknya."Lepaskan!" Ana tersungkur ke lantai."Janda setaaaan! Beraninya kamu kasar kepadaku!!!"Ana mengamuk, mencoba menerkam Kinarsih. Rian menangkap tangannya, menghempaskannya lalu
"Aaaa-aarsih," panggil Erni dengan suara yang sangat payah. Kinarsih menoleh, tanpa menjawab. Itu pun dia kembali merapikan kain yang dipakai Erni. Mood Kinarsih sedang buruk. "Mmma-mmaaafkan aak-ku," ucapnya terbata. Kinarsih tak menjawab, terus saja dia membersihkan debu dan pasir yang di sprei itu. Entah darimana datangnya."Kkaaau maau kan?"Kembali Erni mencari jawaban dari mulut Kinarsih. Namun wanita muda itu sungguh enggan untuk berbicara sepatah kata pun padanya. Erni menyerah. Ujung matanya meneteskan air mata dan dia pun tak mampu mengusapnya.Hari berikutnya .... "Ma-aafkan a-aku," suara Erni tersendat namun jelas di telinga Kinarsih yang sedang mengelap tubuhnya. Ia mencoba menatap wajah wanita muda yang dia benci sejak kecilnya, sampai dimana ia sendiri mendengar pengakuan menjijikan putrinya sendiri. Justru, yang dibenci yang berbakti. Sungguh sangat memalukan. Yang disayang-sayang, dimanja-manja, jangankan sudi merawat j