BANTU GEM 💎YA KAK😍
Adelia sedang asik berselancar di dunia maya, sembari tidur-tiduran di sofa. Badai tiba-tiba datang membuka selimut kakinya dengan kasar. "Siapa laki-laki ini, Dek?" Badai melempar ponsel itu di atas sofa dengan sangat keras hingga memantul. Adelia melirik fotonya saat sedang menikmati makan siang dengan Andre beberapa hari yang lalu. "Hanya teman, Mas. Aku lagi ada masalah sama teman-temanku jadi aku cari suasana baru," jawab Adelia berusaha santai. "Tapi bukan berarti dekat dengan laki-laki, Dek! Kamu kan wanita bersuami!" "Ya, hanya kebetulan saja itu ketemu. Jangan dianggap serius." Badai berdiri garang di depan istrinya, melempar tatapan tajam penuh cemburu. Napasnya terdengar memburu dengan rahangnya mengeras. "Aku paling gak suka kalau dikhianati. Aku bisa nekat nanti!" "Oh ya. Kamu juga kan tempo hari ke rumahnya Kinarsih. Aku gak protes kan?" balas Adelia sinis. Badai sangat terkejut sekali sampai-sampai ia melupakan kemarahannya begitu saja. "Kamu kira aku gak ta
Kinarsih sedang mencoba menulis sebuah cerita di ponselnya. Itu setelah cukup lama dia berlatih. Dia masih belum benar-benar lancar tapi wanita itu tidak akan menyerah. Bahkan sudah lima hari dia tidak keluar untuk bekerja. Rasa penasaran dan keyakinannya dengan ucapan Rian, membuatnya tanpa bosan mencari tahu dan belajar terus. "Mamak! Mamak!" teriak Ilham dari halaman rumah. Bocah itu menangis terisak-isak. "Kamu kenapa, Nak?!" Kinarsih menghambur menangkap Ilham yang berlari. Wajah Kinarsih menjadi sangat panik melihat putranya sampai seperti tidak bernapas. Begitu dalam kesedihan Ilham. Kinarsih mengelus-elus lembut dada putranya sembari mengucapkan istighfar agar Ilham lebih tanang. Setelah suara tangis Ilham mereda, Kinarsih kembali bertanya. "Kenapa, Nak? Cerita sama Mamak." "Aku dibilang ndak punya bapak cama Imlon, Mak! Jojon juga bilang bapak gak mau cama aku, Mak! Aku dibuang bapak Mak. Aku nakal Mak! Bapakku ndak mau cama aku Mak! Aku ndak ada bapak Mak!" Begitu
Kinarsih hanya diam dan menatap tanpa kedip pada Susan yang tertawa terbahak-bahak. Gadis itu sampai-sampai memegang perutnya karena amat merasa lucu. "Apa kamu belum selesai tertawa?" tanya Kinarsih dengan wajah datar. "Aduh, aduh! Kamu ini, menghayalmu terlalu jauh. Kamu kan paling bodoh pas kita sekolah. Aku masih ingat, dulu kamu dicapit hidungmu sama pak guru Amir karena bodohmu gak ngerti-ngerti cara nulis huruf kapital itu dimana saja. Sekarang mau jadi penulis kamu?" "Lain dulu, lain sekarang. Tertawalah terus. Sekarang gantianmu yang menertawai aku. Suatu hari, aku yang akan tertawa pada nasibmu yang buruk. Assalamu'alaikum." Susan menggeleng-geleng masih merasa lucu. Ia menatap penuh cebikan saat Kinarsih keluar menyeret putranya. "Dasar wanita miskin tak punya harga," desis Susan menyeringai sinis. "Mak, mau es krim, Mak!" Kinarsih hanya diam, menggenggam erat tangan putranya. "Cakit, Mak!" Barulah Kinarsih sadar telah menggenggam terlalu erat tangan mungil putranya
"Kenapa kau lakukan ini padaku, Adelia?" Badai menahan bobot tubuhnya sendiri dengan sekuat tenaga agar dia tidak roboh. Tadi pagi dia pamit akan mengecek kebun kelapanya. Saat dia pulang lebih awal karena lupa dengan ponselnya, ia bertemu di depan pintu dengan sahabatnya, Toni yang buru-buru keluar dari dalam rumahnya. Ia menjadi sangat curiga ketika melihat raut wajah dan peluh di leher Toni, suatu kondisi yang tidak asing baginya sebagai seorang pria dewasa. "Maafkan aku, Mas." Adelia merapikan kancing bajunya. "Kau tahu, aku sudah berusaha menerima kelemahanmu. Tapi, semakin lama aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri." "Dulu awal-awal kita menikah, aku mampu memberikan nafkah batin untukmu dengan baik. Bahkan kau sampai menolaknya berkali-kali. Tidak kah kau bisa sedikit bersabar," lanjut Badai dengan wajah sakitnya. "Aku masih membutuhkannya sampai seterusnya, Mas. Aku wanita normal," timpal Adelia sambil menyisir rambutnya yang berantakan. "Tapi tidak dengan sahabatk
Panasnya cuaca hari itu membuat balita yang sebentar lagi menginjak usia empat tahun itu merengek kepada ibunya. "Mamak ... mam mie dong," pintanya menagih janji ibunya."Mamak lagi nulis, Nak," jawab Kinarsih pelan. "Ayo, Mak!""Baik. Sebentar lagi," ujar Kinarsih melanjutkan pekerjaannya. Ceritanya sedang ditunggu-tunggu oleh pembacanya dan pundi-pundi rupiah menghampirinya dengan cepat. 'Ah ini kisah nyata kah? Kok masuk banget ke hati, sih?! Next dong cepat thor!''Dasar Aldi, laki-laki tak punya hati! Awas karma menunggumu! Lanjut gak pake lama! 'Bertahanlah Arini, kau wanita hebat. Masa lalu adalah pelajaran. Semangat thor! Lanjut!'Komentar-komentar positif dari pembaca buku barunya, membuat Kinarsih semakin bersemangat. Ia pun sudah tak bekerja lagi di luar. Sekarang wanita itu full bekerja dari rumah. Ia jadi lebih banyak memiliki waktu untuk mengurus dirinya dan putranya. Kinarsih sedikit demi sedikit merawat dirinya, juga memperbaiki rumahnya dengan kayu-kayu baru juga
"Ilham, masuklah! Sudah sore!" teriak Kinarsih dari dalam sambil merapikan perkakas P3K pemberian Rian. Mungkin benda itu akan sering dia gunakan selama hidupnya karena ia dikelilingi manusia iri, dengki dan hasad yang memandangnya tak punya rasa, hingga dianggap selayaknya binatang. Melawan agar tak terus diinjak, itu adalah pilihannya setelah ia menjadi seorang ibu. Ia tidak ingin, Ilham melihat ibunya lemah tak berdaya."Ada yang datang, Mamak!" timpal Ilham dari luar.'Pasti Rian' batin Kinarsih. Ia tersenyum, sedikit merapikan wajahnya, memperbaiki pakaiannya lalu lekas meneguk segelas air dengan cepat.'Setidaknya, ketika Rian melihat lukaku bukannya membaik malah bertambah jumlahnya, aku bisa bertahan mendengar ocehannya' senyum batinnya lagi. Kinarsih menyegerakan langkahnya. Rian pernah berjanji akan mengunjunginya di akhir pekan yang tidak ditentukan, mungkin hari ini waktunya. Bagai dihantam batu gunung, Kinarsih membatu tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tak sadar, ia
"Mamak, ke kota lagi, yuk!" ajak Ilham sembari bermain mobil-mobilan. Ia memiliki mainan yang bagus, hingga bocah itu melupakan kejadian buruk yang banyak dilihatnya. "Kan sudah kemarin pas kita beli mobil-mobilan," ujar Kinarsih membersihkan rumah. Untuk mempertahankan moodnya menulis, ia senang bersih-bersih. "Enak ke kota bisa naik motor, Mak! Ayok, Mak! Naik motor!" Kinarsih hanya diam saja. Ilham selalu saja banyak maunya. Ia menoleh pada putranya bermain mobil-mobilan pemberian dari Rian. "Nanti pergi sama Nenek saja kalau Mamakmu sibuk," ujar Marni yang tiba-tiba muncul. "Nenek!" teriak Ilham berdiri dan melompati Marni. Wanita itu tersenyum lebar menggendong cucunya. "MasyaAllah, Bi. Masuklah. Arsih buatin minum dulu." "Tak usah. Aku bisa buat sendiri. Aku bukan tamu kan?" Kinarsih tersenyum lalu mengangguk haru. "Bibi itu ibuku," jawabnya berkaca-kaca. Marni tersenyum lebar melihat banyak perubahan di rumah itu. Sungguh sangat jauh lebih layak dan terlihat rapi
"Supaya tidak perlu aku memikirkanmu dan Ilham yang jauh. Aku sudah terlalu renta untuk sering keluar rumah sekarang. Jadi, aku berharap kamu tinggal lagi bersamaku, Arsih," lanjut Yanto terdengar memohon. Kinarsih terhenyak, jantungnya tersentak. Bagaimana uwaknya berani memintanya kembali ke tempat di mana dia sudah dihancurkan sehancur-hancurnya? "Rumahnya sudah bagus begini, gak mungkin dong ditinggalin," sahut Marni gemas. "Meskipun di rumah reot sekali pun, tapi jadi ratu. Dari pada di istana, malah jadi babu," lanjut Marni tanpa sungkan. Mendengar ucapan Marni, Erni mengeratkan genggamannya karena salah tingkah. Ia sadar memang begitu dan memang dari dalam hatinya, ia ingin Kinarsih kembali untuk menjadi pembantu gratisnya. "Sebenarnya banyak kabar sampai padaku, Marni. Aku mendengar berita, beberapa pria datang ke sini, katanya Rian sama Badai. Banyak berita yang tak enak kudengar, jadilah aku sangat khawatir. Apalagi, berita bahwa Kinarsih digebukin tiga istrinya Aji Sopian
"Itu murni hasil menulis, Bi. Bukan jual sawah Bapak," ulang Kinarsih menegaskan. "Ap-apa dengan menulis bisa dapat segini?" tanya Niah tidak bisa menahan dirinya. Kinarsih mengangguk dengan senyum merekah. Ia rela hasil usaha kerja kerasnya berbulan-bulan, siang malam tak kenal lelah demi membuktikan pada calon ibu mertuanya itu."Tapi itu tidak istan, Bi. Semua berproses," jawab Kinarsih. Niah masih menatap buku rekening itu. Perlahan matanya terus menelisik jejak uang yang masuk. "Pakailah, Bi untuk bantu-bantu acara. Arsih gak mau, Bibi dan Rian banyak beban lagi. Setidaknya ada yang Arsih bisa lakukan untuk bantu Bibi."Setelah menatap lamat-lamat buku rekening itu, Niah menoleh kepada Kinarsih. "Sekarang katakan, jika seandainya aku lumpuh seperti uwakmu yang sudah meninggal itu, apakah kamu akan merawatku juga?""Pertanyaan itu sepertinya sangat sudah jelas jawabannya, Bi. Kepada istri dari adik bapak saja, yang pernah membuat luka di hati, Arsih masih mau untuk merawatnya k
Badai menyandarkan motornya di bawah pohon mangga. Ia sengaja membawa motor, niatnya mau mengajak Ilham jalan-jalan. Akhir pekan begini, biasanya Kinarsih di rumah Yanto. Mungkin wajah manis mantan istrinya yang dia rindukan sepanjang jalan, bisa sedikit menghilangkan pikirannya yang lelah memulai bisnis dari nol. Bulat tekadnya untuk memperbaiki hidupnya bersama Kinarsih dan anaknya, mungkin Tuhan akan sedikit berbaik hati menyempurnakan hidupnya. Bukankah ada pepatah mengatakan, selama janur kuning belum melengkung, kita boleh menikung? Seharusnya ia masih boleh berharap. Badai tersenyum simpul. Baru saja Badai turun, riuh rendah suara beberapa orang dari dalam terdengar. Dia pun baru sadar, di teras rumah terpasang beberapa bunga hias buatan melingkari sisi-sisi tiang. Di langit-langit teras tergantung hiasan bunga-bunga putih seperti kumpulan melati melambai-lambai jatuh. Cantik.Badai mengernyitkan kening heran.Ia pun masuk, tanpa salam. Didapatinya beberapa orang yang tak dike
Niah menghela nafasnya berat. Mencoba menenangkan hatinya. Ini demi putranya, dia harus mengalah. Dilihatnya sekeliling, tampak daun mangga kering yang berguguran menutupi halaman. Ia melangkah terus. Keputusan sudah bulat."Assalamualaikum!" salamnya dengan yakin. Tak ada sahutan jawaban. Ia mencoba sekali lagi. Terbukalah pintu rumah yang terasnya berdinding keramik biru."Waalaikumussalam," jawab seorang lelaki tua. Siapa lagi kalau bukan Yanto. Dahinya mengernyit, heran, siapakah wanita berhijab lebar di depannya ini?"Saya Niah, ibunya Rian," tanggap Niah mengerti keheranan pemilik rumah."Ooh ... ayo silakan masuk, Bu. Maaf berantakan," ucap Yanto sedikit kaku. Hatinya penuh tanda tanya, mengapa sampai ibunya Rian datang? Ia was-was, akan ada perdebatan di rumahnya. Yanto mencoba mencair."Terimakasih." Niah masuk dan duduk di sofa merah, "Kinarsih ada di sini kan?" lanjutnya lagi."Nggih, Bu. Kebetulan sudah dua
Enam bulan kemudian ....Rumah hijau itu lenggang. Tanah kering yang ditiup angin membawa debu masuk sebab jendela-jendela terbuka lebar. Sayup-sayup suara isak wanita terdengar dari dalam bilik kamar."Jangan terlalu keras terhadap keputusan anakmu. Dia sudah dewasa. Usianya bukan remaja lagi. Sudah saatnya dia menikah dengan pilihannya. Apakah kamu bisa menjamin, jika bersama dengan wanita lain, dia akan bahagia? Apa kebahagiaannya tidak menjadi perioritasmu, Niah?" Kamal mendekati istrinya dengan lembut. Dibelainya rambut panjang yang sudah beruban itu. Tangannya yang lain mengusap bahu Niah untuk menyalurkan ketenangan. "Aku tidak memaksa pilihanku, Bang. Aku hanya tidak mau, Kinarsih menjadi menantuku. Masih banyak wanita lain yang jauh lebih baik. Kukira selama ini dia sudah melupakan wanita itu, nyatanya mereka culas! Hiks hiks hiks." Niah sesugukan. Sedari tadi ia tak berhenti menangisi keputusan Rian yang tak masuk di akalnya. Secara tiba-tiba, pemuda itu menyampaikan keing
Ana melangsungkan pernikahan dengan sederhana di mushola yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. Setelah akad berlangsung, dilanjutkan acara makan bersama. Kinarsih dan Marni sibuk mempersiapkan semuanya. Banyak warga yang membantu juga karena Yanto adalah orang yang sangat dekat dengan masyarakat sebab dia dulu sebagai mantan kepala desa. Meski banyak yang bertanya dan heran mengapa sampai Ana mau menikah dengan pria yang bukan sarjana dan sebagai peternak yang baru merintis, Yanto sama sekali tidak menjadikannya bahan pikiran. Ia hanya meminta doa dari para warga yang masih bertanya-tanya."Namanya jodoh, sudah seperti ini. Doakan saja nanti Ana bisa jadi istri yang baik dan mereka sejahtera," tanggap Yanto tenang. Yang penting baginya, ada yang mau menerima kondisi Ana saat ini. Setidaknya setitik ada cahaya harapan, aib itu tidak terbongkar secara gamblang. Setelah acara selesai, Ana langsung diboyong ke rumah suaminya. Haryanto dan Erni melepas putrinya dengan rasa haru dan ikh
Ana langsung meraih tubuh Kinarsih. Ia langsung mengangkat wajah kakak sepupunya itu dan memeluknya. "Arsih! Bangun woy!!! Apa yang barusan kamu lakukan?!" teriak Ana. Suara motor berderum kencang meninggalkan mereka. Keempat pria itu sudah tak terlihat. Ana menangis histris karena Kinarsih tak bersuara dan menutup matanya. "Ba-bawa ke puskesmas aja, Mbak! Gak terlalu jauh dari sini.""Ii-iya, Mas." Pria penyabit itu nampak masih muda. Ana menoleh kiri kanan dan melihat motor Kinarsih. "Masnya bisa bantu gonceng?""Iya, bisa Mbak!" jawab pria itu cepat. Mereka langsung mengangkat tubuh Kinarsih, membawanya naik ke motor. Ana memeluk Kinasih dari belakang."Bertahanlah Kinarsih, aku mohon!"Ana memandang wajah Kinasih yang memucat. Rasa bersalah semakin pekat dan bergelayut kuat dari dalam hatinya. Luar biasa pengorbanan Kinasih untuk dirinya, sampai-sampai wanita itu tidak memperdulikan nyawanya sendiri."Mengapa kamu sebodoh ini, hah?! Kinarsih kamu harus bertahan karena aku belum
Sore itu Kinarsih mondar-mandir di ruang tamu. Bahkan beberapa telepon dan pesan dari Rian tidak dia indahkan karena rasa khawatirnya terhadap Ana. Biar bagaimana pun anak adalah sepupunya. Dulu saat mereka masih kecil seusia SD, mereka sempat dekat. Namun Ana selalu mendapatkan hasutan dari Erni sehingga gadis itu menjadi sangat tidak bersahabat. "Kamu sedang menunggu siapa?" tanya Yanto. "Bukan siapa-siapa, Wak.""Kamu mau pulang?"Kinarsih menggeleng. Tak sampai hatinya untuk meninggalkan Erni yang semakin memburuk. Lebih-lebih, wanita itu sudah meminta maaf berkali-kali. Yanto juga sering keluar tinggalkan rumah jika ada kerjaan dari kantor desa yang membutuhkan tenaganya."Kenapa kamu tampak gelisah begitu?" tanya Yanto. Kinasih menoleh kepada uwaknya itu dengan tatapan sayu. "Tak tenang hati ini memikirkan Ana, Wak. Satu minggu bukanlah waktu yang sedikit.""Biarkan saja dia. Nanti kalau uangnya sudah habis, dia pasti pulang. Aku yakin dia sudah menjual perhiasan itu dan tin
"Tidaak!!!! Kau kira aku barang murahan! Seenaknya kau tawarkan begitu. Aku hanya inginkan Rian. Rian cinta pertamaku. Yakinlah Rian, aku sungguh mencintaimu. Huhuhuhu ...," tangis Ana tak mau Rian melepaskan pelukannya walau Rian sudah memberi isyarat kuat."Kau mengagungkan cinta pertama. Tanyakan Rian, siapa cinta pertamanya?" tantang Kinarsih percaya diri. Diabaikannya Badai yang sedari tadi menatapnya tajam. Ana tak mau bicara. Hanya isaknya saja yang jelas terdengar."Kinarsih cinta pertamaku dan terakhirku, An. Aku akan berjuang untuknya. Tolong lepaskan aku." Rian mencoba lagi. Kali ini dengan sedikit kekuatannya. Namun ia gagal. Ana semakin mengeratkan pelukannya. Jika ia memaksa, takut gadis ini semakin nelangsa. Rian kembali pasrah.Kinarsih mendekati mereka. Memegang kasar bahu Ana lalu menariknya."Lepaskan!" Ana tersungkur ke lantai."Janda setaaaan! Beraninya kamu kasar kepadaku!!!"Ana mengamuk, mencoba menerkam Kinarsih. Rian menangkap tangannya, menghempaskannya lalu
"Aaaa-aarsih," panggil Erni dengan suara yang sangat payah. Kinarsih menoleh, tanpa menjawab. Itu pun dia kembali merapikan kain yang dipakai Erni. Mood Kinarsih sedang buruk. "Mmma-mmaaafkan aak-ku," ucapnya terbata. Kinarsih tak menjawab, terus saja dia membersihkan debu dan pasir yang di sprei itu. Entah darimana datangnya."Kkaaau maau kan?"Kembali Erni mencari jawaban dari mulut Kinarsih. Namun wanita muda itu sungguh enggan untuk berbicara sepatah kata pun padanya. Erni menyerah. Ujung matanya meneteskan air mata dan dia pun tak mampu mengusapnya.Hari berikutnya .... "Ma-aafkan a-aku," suara Erni tersendat namun jelas di telinga Kinarsih yang sedang mengelap tubuhnya. Ia mencoba menatap wajah wanita muda yang dia benci sejak kecilnya, sampai dimana ia sendiri mendengar pengakuan menjijikan putrinya sendiri. Justru, yang dibenci yang berbakti. Sungguh sangat memalukan. Yang disayang-sayang, dimanja-manja, jangankan sudi merawat j