Vonny begitu gundah sembari menggoyang-goyangkan handphonenya saat pesan yang dia kirimkan pada Wicaksono tak jua dibalas, padahal sudah jelas terkirim dan terbaca. Vonny benar-benar merasa jika papanya berubah total. Tak hanya sikapnya yang sedikit menghindar. Vonny juga merasa jika Wicaksono tak lagi membelanya saat disalahkan kedua kakaknya, padahal biasanya papanya selalu menjadi garda terdepan yang akan membelanya. "Apa papa sudah tahu jika aku bukanlah anak kandungnya?" lirih Vonny dengan tangan gemetar.Apa saat di rumah sakit kemarin, dokter cek darah atau DNAku yang tak sama dengan papa? Apa papa tahu kalau Seto adalah ayah kandungku? Apa papa tahu kalau mami berselingkuh saat menjadi istrinya? Apa ada yang kasih bukti perselingkuhan mami dan laki-laki yang mencampakkan kami itu? Apa papa tahu kalau laki-laki itu sering meminta uang padaku dan mami untuk menutup mulut? Beragam pertanyaan muncul di benak Vonny. Dia benar-benar gugup dan tak tahu harus berbuat apa. Rencanany
"Pa ... memang nggak mudah memutuskan semuanya karena sejak kecil Vonny bersama papa. Papa begitu menyayanginya, tapi ingat juga bagaimana perasaan mama. Mama merelakan papa menikah dengan perempuan lain bukan semata-mata karena tak mencintai papa lagi, tapi sebaliknya. Mama terlalu sayang sama papa dan tak tega membuat papa kecewa. Mama memilih menahan rasa sakitnya selama ini asalkan papa bisa tersenyum bahagia bersama mami Susi. Istri kedua yang mama harap bisa memberikan anak perempuan seperti harapan papa, tapi ternyata justru mengkhianati cinta papa bahkan sengaja bersandiwara dan menikam papa perlahan dari belakang. Papa harus tegas. Jika tidak, Vonny akan terus memanfaatkan kelemahan papa karena dia tahu papa tak mungkin tega menyakitinya, apalagi saat ini dia sedang tak baik-baik saja." Ken menghela napas panjang setelah mengungkapkan apa yang selama ini berkecamuk dalam batinnya. Ken tak ingin melihat papanya lemah dan lengah lagi. Dia tak mau Vonny memanfaatkan kesempatan
Vonny mengunci kamarnya saat mendengar deru mobil Ken berhenti di garasi. Dadanya berdebar tak karuan. Dia benar-benar gelisah dan takut menghadapi kenyataan yang sebentar lagi terjadi. Harapannya masih sama agar keluarga ini terbuai dan tak curiga apapun padanya. Hanya saja saat mengingat perubahan sikap papanya yang terlalu drastis itu membuat Vonny kembali pasrah. Vonny mengambil berkas penting yang diberikan maminya beberapa bulan lalu sebelum tiada. Ada perjanjian pranikah di dalamnya. Vonny membacanya lagi dan lagi. Rumah, kendaraan dan tanah akan dimilikinya sebagai hadiah dari papa pada maminya. Namun, saat membaca salah satu syaratnya untuk tak berselingkuh, batin Vonny mencelos. Dia kembali menghela napas panjang dan berharap jika sandiwaranya ini tak pernah terbongkar sampai dia mendapatkan apa gak maminya. Hak yang tertulis dalam perjanjian itu sebagai bekal untuk masa depannya jika didepak dari rumah megah itu. Seperti pesan terakhir Susi, dia meminta Vonny untuk mendap
Saat ini Vonny benar-benar tersudut. Jika memang sandiwaranya terbongkar saat ini, mau tak mau dia harus mengikuti aturan keluarga ini. Entah bagaimana kehidupannya nanti, yang penting Vonny tetap ingin minta hak almarhum maminya. Saat ini, tak ada satupun yang membela, tapi Vonny tak ingin menyerah. [Sepertinya mereka sudah tahu siapa aku setelah kamu datang ke sini tadi pagi. Sekarang mereka berkumpul untuk mendepakku dari rumah ini. Kamu tak akan pernah mendapatkan apapun setelah ini. Semua karena salahmu sendiri! Kalau kamu punya cara lain untuk merebut hartanya, pikir secepat mungkin. Kalau nggak, cukup hancurkan keluarga ini jika mereka benar-benar mengusirku ke jalanan] Vonny mengirimkan pesan itu pada Seto yang masih menikmati dunia gelapnya bersama beberapa kawannya. Membaca pesan itu, Seto hanya meringis kecil. Dia tak pernah percaya dengan ucapan Vonny karena tahu jika perempuan itu sama seperti Susi yang terlalu pintar bersandiwara. Bukannya memberi solusi, Seto justru m
Vonny terpuruk. Dia jatuh pingsan setelah diusir oleh Wicaksono. Laki-laki itu benar-benar merasa tersakiti oleh pengkhianatan istri kedua dan anaknya. Selama ini Wicaksono terlalu mencintai Susi dan Vonny, bahkan tak peduli dengan nasehat Sundari dan kedua anaknya. Namun, kini semua terbongkar jika orang-orang yang dicintainya hanyalah seorang pengkhianat. Wicaksono tak hanya kecewa luar biasa, tapi dia juga terluka. Dia yang berusaha keras untuk adil pada dua keluarga kecilnya, tak pernah lelah memberikan pengertian pada Sundari dan kedua anak lelakinya agar menerima Susi dan Vonny bahkan selalu royal pada mereka, ternyata semua pengorbanannya selama ini hanya dimanfaatkan oleh mereka. Susi dan Vonny bersekongkol untuk menikmati kemewahan yang Wicaksono miliki lebih dari seperempat abad lamanya. "Telepon ayah kandungmu. Minta dia segera menjemputmu," ucap Wicaksono setelah Vonny membuka kedua matanya. Tiap kali melihat perempuan itu, tiap itu juga bayangan masa lalu muncul di be
"Kalau aku sudah menikah dengan Mas Baim, hidupku tak akan setragis ini. Meira memang dalang dari semua masalah hidupku saat ini. Jika aku jatuh, tak akan kubiarkan dia berdiri tegak. Jika aku sengsara, tak akan kubiarkan dia tertawa bahagia. Aku tak mau terluka dan terpuruk sendirian," gumam Vonny lagi sembari menata beberapa baju kesayangannya ke dalam koper. Tak tahu apa yang akan dilakukannya besok pagi, yang penting dia menata baju dan beberapa barang pentingnya terlebih dahulu. Saat ini dia ingin menenangkan diri dan mengistirahatkan otak. Berharap nanti bisa menemukan jalan terbaik untuk hidupnya. Mendadak ingatannya kembali tertuju pada Brama. Laki-laki itu, sejak dulu selalu setia pada maminya. Vonny ingat betul apa yang diceritakan maminya saat itu. Dia bilang jika Brama sebenarnya adalah anak orang kaya. Hanya saja dia diabaikan keluarganya karena selalu membangkang bahkan bolak-balik masuk penjara karena judi, miras dan narkoba. Orang tuanya angkat tangan dan tak ingin
Kumandang adzan subuh terdengar begitu perkasa membelah keheningan. Suasana di rumah Wicaksono mulai terdengar. Beberapa asisten mulai terjaga lalu menjalankan kewajiban untuk bersujud padaNya. Mereka mulai mengerjakan tugas masing-masing pasca shalat subuh. Vonny yang nyaris tak tidur semalaman karena gelisah, kini membuka matanya dengan sempurna. Dia menghirup napas dalam lalu menghembuskannya. Ada secercah harapan yang muncul dalam benak. Setidaknya dia tak akan tidur di jalanan setelah keluar dari rumah itu. Dua koper berisi barang-barang terbaiknya sudah dia siapkan. Tak peduli dengan pesan Wicaksono untuk tak membawa barang berharga lain, Vonny tetap mengumpulkan perhiasan dan beberapa aksesoris brandednya ke dalam koper. Rencananya akan dia jual online setelah sampai di rumah Brama. Setidaknya bisa buat pegangan sampai tiga atau empat bulan. "Sudah bangun, Von? Butuh apa biar kubantu," ucap Meira saat tak sengaja berpapasan di dapur dengan perempuan berkursi roda itu. Vonny
Jarum jam menunjuk angka enam saat Vonny memutuskan pergi dari kamar itu. Dia bergeming. Menatap kamarnya yang nyaman dan membuatnya tenang. Tak terasa air matanya luruh seketika. Rasa sesak, kesal, benci dan dendam itu begitu terasa dan terlihat dari sorot matanya yang tajam. Vonny tak terima begitu saja diperlakukan seperti itu. Dia tak akan tinggal diam saat impian dan masa depannya dihancurkan. Setelah berusaha tegar dan mengusap kedua matanya yang basah, Vonny membuka pintu kamarnya. Kebetulan ada Tari yang masih membantunya menyiapkan beberapa barang meski perempuan itu tak seramah sebelumnya. Sikapnya itu terjadi saat kabar Vonny anak selingkuhan Susi itu terdengar oleh seksi rumah, termasuk asisten Wicaksono. Mereka justru mewajarkan kabar itu karena selama ini selalu mengira jika Vonny bukanlah anak kandung Wicaksono. Mereka menganggap Vonny terlalu berbeda, tak seperti kedua kakaknya yang berwibawa, sopan, bertanggungjawab dan menghargai sesama. Sikap yang ditunjukkan Von
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,