Saat ini Vonny benar-benar tersudut. Jika memang sandiwaranya terbongkar saat ini, mau tak mau dia harus mengikuti aturan keluarga ini. Entah bagaimana kehidupannya nanti, yang penting Vonny tetap ingin minta hak almarhum maminya. Saat ini, tak ada satupun yang membela, tapi Vonny tak ingin menyerah. [Sepertinya mereka sudah tahu siapa aku setelah kamu datang ke sini tadi pagi. Sekarang mereka berkumpul untuk mendepakku dari rumah ini. Kamu tak akan pernah mendapatkan apapun setelah ini. Semua karena salahmu sendiri! Kalau kamu punya cara lain untuk merebut hartanya, pikir secepat mungkin. Kalau nggak, cukup hancurkan keluarga ini jika mereka benar-benar mengusirku ke jalanan] Vonny mengirimkan pesan itu pada Seto yang masih menikmati dunia gelapnya bersama beberapa kawannya. Membaca pesan itu, Seto hanya meringis kecil. Dia tak pernah percaya dengan ucapan Vonny karena tahu jika perempuan itu sama seperti Susi yang terlalu pintar bersandiwara. Bukannya memberi solusi, Seto justru m
Vonny terpuruk. Dia jatuh pingsan setelah diusir oleh Wicaksono. Laki-laki itu benar-benar merasa tersakiti oleh pengkhianatan istri kedua dan anaknya. Selama ini Wicaksono terlalu mencintai Susi dan Vonny, bahkan tak peduli dengan nasehat Sundari dan kedua anaknya. Namun, kini semua terbongkar jika orang-orang yang dicintainya hanyalah seorang pengkhianat. Wicaksono tak hanya kecewa luar biasa, tapi dia juga terluka. Dia yang berusaha keras untuk adil pada dua keluarga kecilnya, tak pernah lelah memberikan pengertian pada Sundari dan kedua anak lelakinya agar menerima Susi dan Vonny bahkan selalu royal pada mereka, ternyata semua pengorbanannya selama ini hanya dimanfaatkan oleh mereka. Susi dan Vonny bersekongkol untuk menikmati kemewahan yang Wicaksono miliki lebih dari seperempat abad lamanya. "Telepon ayah kandungmu. Minta dia segera menjemputmu," ucap Wicaksono setelah Vonny membuka kedua matanya. Tiap kali melihat perempuan itu, tiap itu juga bayangan masa lalu muncul di be
"Kalau aku sudah menikah dengan Mas Baim, hidupku tak akan setragis ini. Meira memang dalang dari semua masalah hidupku saat ini. Jika aku jatuh, tak akan kubiarkan dia berdiri tegak. Jika aku sengsara, tak akan kubiarkan dia tertawa bahagia. Aku tak mau terluka dan terpuruk sendirian," gumam Vonny lagi sembari menata beberapa baju kesayangannya ke dalam koper. Tak tahu apa yang akan dilakukannya besok pagi, yang penting dia menata baju dan beberapa barang pentingnya terlebih dahulu. Saat ini dia ingin menenangkan diri dan mengistirahatkan otak. Berharap nanti bisa menemukan jalan terbaik untuk hidupnya. Mendadak ingatannya kembali tertuju pada Brama. Laki-laki itu, sejak dulu selalu setia pada maminya. Vonny ingat betul apa yang diceritakan maminya saat itu. Dia bilang jika Brama sebenarnya adalah anak orang kaya. Hanya saja dia diabaikan keluarganya karena selalu membangkang bahkan bolak-balik masuk penjara karena judi, miras dan narkoba. Orang tuanya angkat tangan dan tak ingin
Kumandang adzan subuh terdengar begitu perkasa membelah keheningan. Suasana di rumah Wicaksono mulai terdengar. Beberapa asisten mulai terjaga lalu menjalankan kewajiban untuk bersujud padaNya. Mereka mulai mengerjakan tugas masing-masing pasca shalat subuh. Vonny yang nyaris tak tidur semalaman karena gelisah, kini membuka matanya dengan sempurna. Dia menghirup napas dalam lalu menghembuskannya. Ada secercah harapan yang muncul dalam benak. Setidaknya dia tak akan tidur di jalanan setelah keluar dari rumah itu. Dua koper berisi barang-barang terbaiknya sudah dia siapkan. Tak peduli dengan pesan Wicaksono untuk tak membawa barang berharga lain, Vonny tetap mengumpulkan perhiasan dan beberapa aksesoris brandednya ke dalam koper. Rencananya akan dia jual online setelah sampai di rumah Brama. Setidaknya bisa buat pegangan sampai tiga atau empat bulan. "Sudah bangun, Von? Butuh apa biar kubantu," ucap Meira saat tak sengaja berpapasan di dapur dengan perempuan berkursi roda itu. Vonny
Jarum jam menunjuk angka enam saat Vonny memutuskan pergi dari kamar itu. Dia bergeming. Menatap kamarnya yang nyaman dan membuatnya tenang. Tak terasa air matanya luruh seketika. Rasa sesak, kesal, benci dan dendam itu begitu terasa dan terlihat dari sorot matanya yang tajam. Vonny tak terima begitu saja diperlakukan seperti itu. Dia tak akan tinggal diam saat impian dan masa depannya dihancurkan. Setelah berusaha tegar dan mengusap kedua matanya yang basah, Vonny membuka pintu kamarnya. Kebetulan ada Tari yang masih membantunya menyiapkan beberapa barang meski perempuan itu tak seramah sebelumnya. Sikapnya itu terjadi saat kabar Vonny anak selingkuhan Susi itu terdengar oleh seksi rumah, termasuk asisten Wicaksono. Mereka justru mewajarkan kabar itu karena selama ini selalu mengira jika Vonny bukanlah anak kandung Wicaksono. Mereka menganggap Vonny terlalu berbeda, tak seperti kedua kakaknya yang berwibawa, sopan, bertanggungjawab dan menghargai sesama. Sikap yang ditunjukkan Von
"Papa sudah sadar," ucap Sundari lirih saat Raka dan Ken masuk ke kamar inap Wicaksono. Wajah laki-laki yang terbaring di atas ranjang itu cukup pucat. Dari mimik wajah dan sorot matanya, tampak begitu letih. Mungkin karena terlalu memikirkan masalah Vonny sampai membuatnya seperti ini. Wicaksono yang sebelumnya begitu menyayangi dan menganggap perempuan itu sebagai anak kesayangan, mendadak harus terpisah karena kenyataan yang menyakitkan. "Ka ...." Wicaksono berusaha memanggil anak sulungnya yang berdiri di samping adiknya. Kakak beradik itu pun saling tatap lalu Ken mempersilakan kakaknya untuk mendekat ke arah ranjang. "Jangan terlalu banyak pikiran, Pa," lirih Sundari sembari mengusap lengan suaminya. Wicaksono tersenyum tipis lalu mengangguk pelan. "Kenapa, Pa? Apa papa mau bicara sesuatu?" tanya Raka setelah berdiri di samping papanya. Bapak dan anak itu saling tatap, lalu Wicaksono meminta anak sulungnya untuk mengambil kursi dan duduk di sampingnya. Tak hanya Raka, tapi
"Kenapa begitu, Pa? Memangnya Mas Adrian nggak bisa menunggu Meira sampai kontraknya habis?" tanya Sundari ikut kaget mendengar cerita suaminya. Wicaksono yang sebelumnya menatap Raka, kini mengalihkan pandangannya pada Sundari, istrinya. "Papa juga kurang tahu, Ma. Cuma wajar saja kalau Adrian pengin melihat anak dan cucunya bahagia kan? Bukan berarti sekarang mereka menderita. Hanya saja, dia pasti ingin anak dan cucunya ikut merasakan apa yang dimilikinya sekarang. Apalagi Erina juga sudah menerima mereka dengan senang hati," balas Wicaksono lagi membuat Sundari mengerti. "Papa nggak bisa bujuk Om Adrian sampai kontrak Meira habis?" tanya Ken ikut menimpali. "Nggak bisa, Ken. Om Adrian cukup keras kepala kan? Tapi semua bisa diatur kalau kakakmu mau melakukan satu hal," ucap Wicaksono lagi dengan senyum tipisnya. Ken pun ikut tersenyum saat melirik Sundari. Ketiga orang itu saling lirik lalu sama-sama menatap Raka yang masih kebingungan. "Melakukan apa maksudnya, Pa?" tanya Ra
"Turun di sini, Pak," ucap Vonny setelah sampai di alamat yang dikirimkan Brama padanya. Dia kembali memeriksa pesan di aplikasi hijaunya. Benar. Alamatnya sudah pas. Perlahan supir taksi itu membantu Vonny turun dari mobil lalu membuka kursi rodanya yang terlipat agar bisa diduduki perempuan itu. Tak selang lama, dua koper di bagasi pun dikeluarkan dari mobil. Supir taksi pamit pergi setelah transaksi usai, sementara Vonny masih menatap rumah minimalis di depannya dengan sedikit resah. "Masuk," ucap seseorang setelah beberapa saat Vonny terdiam. Vonny mendongak menatap laki-laki bertato dan bercambang lebat yang kini berdiri di depannya. Brama. Laki-laki itu masih seperti dulu, hanya sedikit lebih kurus dibandingkan terakhir Vonny bertemu. "Makasih. Maaf merepotkan," balas Vonny dengan mata berkaca. Sebenarnya dia nggak mau melibatkan Brama dalam masalah ini, hanya saja dia tak punya pilihan lain. Vonny tak memiliki sanak saudara yang bisa dijadikan tempat menumpang beberapa hari
"Apa-apaan ini, Ken? Kamu pikir bisa lunasi hutang keluarga Hanum dengan uang palsu? Jangan kira saya nggak bisa membedakan uang asli sama uang palsu!" bentak Galih sembari berdiri dengan berkacak pinggang di depan Ken. Ken menatap Juragan Gino dan anak lelakinya bergantian. Dia masih berusaha tenang, meskipun sorot matanya mulai tajam. "Kalau kalian ragu, kita bisa cek keaslian uang ini sekarang juga. Saya siap. Atau kalau perlu panggil polisi jika memang kalian mengira saya sebagai pengedar uang palsu," balas Ken mantap. Tetangga semakin ramai bergosip. Mereka yang sebelumnya nongkrong di rumah Bu Nur, makin penasaran lalu mulai mendekat sampai teras rumah Rudy. Ada empat orang yang menguping obrolan mereka di sana. "Sebenarnya Ken kerja apa, sih? Kok tiba-tiba banyak uang?" bisik seorang ibu paruh baya."Mobil mewah itu juga punya siapa? Apa benar kalau dia cuma nyamar miskin dan kuli bangunan, padahal sebenarnya pengusaha muda yang sukses?" sahut yang lain. "Jangan-jangan Ken
Hanum masih terpaku di tempatnya, menatap tas hitam dari Ken yang terasa agak berat di tangan. Perlahan, Hanum membuka resleting tas hitam itu. Isinya membuat napasnya tercekat. Detik ini dia melihat tumpukan uang seratus ribuan yang terbungkus rapi. Ken berdiri di sebelahnya, wajahnya tenang meski tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Ia baru saja pulang membawa tas itu, tanpa banyak bicara, langsung menyerahkannya pada Hanum. "Mas, uang sebanyak ini milikmu?" Suara Hanum lirih, penuh kebingungan. Dia masih shock karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. "Iya, Sayang. InsyaAllah uang itu cukup untuk melunasi hutang keluarga," jawab Ken singkat, suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan. "Uang sebanyak ini, Mas?" Hanum masih tak percaya dan kaget suaminya memiliki uang sebanyak itu. Hanum melangkah mundur lalu duduk di sofa ruang tamu seperti sebelumnya. Dari ruang tengah, Mawar dan Rena masih ikut shock melihat kedatangan Ken. Keterkejutan mereka belum usai karena
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati
"Kenapa kamu nikah mendadak, Ken? Selama ini kamu nggak pernah cerita soal perempuan pada mama dan papa. Tiba-tiba kamu kasih kabar akan menikah dan kami dilarang datang. Sebenarnya kejadiannya gimana sampai kamu senekat itu?" Wicaksono menatap lekat Ken yang duduk di depannya itu.Keluarga Ken sedang menikmati makan siang bersama, termasuk Raka dan Meira. Mereka sengaja mencari waktu agar bisa duduk bersama membahas pernikahan Ken ya g dadakan itu. "Papa tahu kamu sudah menjelaskannya waktu itu, tapi berhari-hari papa masih nggak habis pikir kenapa kamu senekat itu, Ken. Apalagi pada gadis yang baru kamu lihat pertama kali," sambung Wicaksono lagi. "Papamu benar, Ken. Bukan maksud mama menyalahkanmu atau menyudutkan istrimu, hanya saja papa dan mama masih belum mengerti kenapa tiba-tiba kamu ingin menjadi pengantin penggantinya. Suatu hal yang benar-benar di luar nalar. Kalau kalian sudah kenal lama, mungkin mama nggak akan sekaget ini, tapi kamu sendiri bilang kalau kalian baru be
"Ya Allah, Mas. Kita ke klinik sekarang ya? Saya takut Mas Ridho kenapa-kenapa," ujar Hanum begitu panik saat melihat wajah bodyguard suaminya sedikit pucat setelah menerima bogem mentah itu. "Nggak apa-apa, Mbak Hanum. Sudah biasa begini. Tenang saja," balas Ridho berusaha tersenyum meski pipinya benar-benar nyut-nyutan tak karuan. Nyeri dan terasa sakit saat digerakkan. "Nggak apa-apa gimana, Mas? Ini cukup parah," tunjuk Hanum pada sudut bibir Ridho yang pecah. "Tenang saja, Mbak. Ridho sudah kebal," timpal Bagas dengan senyum tipis, berusaha menenangkan Hanum, tapi tetap saja dia merasa sangat bersalah sampai membuat laki-laki di sampingnya itu babak belur. "Siapa mereka, Num?" Pertanyaan Juragan Gino membuat Hanum menoleh seketika. "Mereka teman baik suami saya, Juragan. Maaf kalau sudah membuat keributan di sini." Hanum sedikit membungkuk lalu kembali menatap belanjaannya yang berantakan. "Kemana suamimu? Kenapa dia menyuruh orang lain untuk mengawasimu?" tanya Juragan Gin