"Kalau aku sudah menikah dengan Mas Baim, hidupku tak akan setragis ini. Meira memang dalang dari semua masalah hidupku saat ini. Jika aku jatuh, tak akan kubiarkan dia berdiri tegak. Jika aku sengsara, tak akan kubiarkan dia tertawa bahagia. Aku tak mau terluka dan terpuruk sendirian," gumam Vonny lagi sembari menata beberapa baju kesayangannya ke dalam koper. Tak tahu apa yang akan dilakukannya besok pagi, yang penting dia menata baju dan beberapa barang pentingnya terlebih dahulu. Saat ini dia ingin menenangkan diri dan mengistirahatkan otak. Berharap nanti bisa menemukan jalan terbaik untuk hidupnya. Mendadak ingatannya kembali tertuju pada Brama. Laki-laki itu, sejak dulu selalu setia pada maminya. Vonny ingat betul apa yang diceritakan maminya saat itu. Dia bilang jika Brama sebenarnya adalah anak orang kaya. Hanya saja dia diabaikan keluarganya karena selalu membangkang bahkan bolak-balik masuk penjara karena judi, miras dan narkoba. Orang tuanya angkat tangan dan tak ingin
Kumandang adzan subuh terdengar begitu perkasa membelah keheningan. Suasana di rumah Wicaksono mulai terdengar. Beberapa asisten mulai terjaga lalu menjalankan kewajiban untuk bersujud padaNya. Mereka mulai mengerjakan tugas masing-masing pasca shalat subuh. Vonny yang nyaris tak tidur semalaman karena gelisah, kini membuka matanya dengan sempurna. Dia menghirup napas dalam lalu menghembuskannya. Ada secercah harapan yang muncul dalam benak. Setidaknya dia tak akan tidur di jalanan setelah keluar dari rumah itu. Dua koper berisi barang-barang terbaiknya sudah dia siapkan. Tak peduli dengan pesan Wicaksono untuk tak membawa barang berharga lain, Vonny tetap mengumpulkan perhiasan dan beberapa aksesoris brandednya ke dalam koper. Rencananya akan dia jual online setelah sampai di rumah Brama. Setidaknya bisa buat pegangan sampai tiga atau empat bulan. "Sudah bangun, Von? Butuh apa biar kubantu," ucap Meira saat tak sengaja berpapasan di dapur dengan perempuan berkursi roda itu. Vonny
Jarum jam menunjuk angka enam saat Vonny memutuskan pergi dari kamar itu. Dia bergeming. Menatap kamarnya yang nyaman dan membuatnya tenang. Tak terasa air matanya luruh seketika. Rasa sesak, kesal, benci dan dendam itu begitu terasa dan terlihat dari sorot matanya yang tajam. Vonny tak terima begitu saja diperlakukan seperti itu. Dia tak akan tinggal diam saat impian dan masa depannya dihancurkan. Setelah berusaha tegar dan mengusap kedua matanya yang basah, Vonny membuka pintu kamarnya. Kebetulan ada Tari yang masih membantunya menyiapkan beberapa barang meski perempuan itu tak seramah sebelumnya. Sikapnya itu terjadi saat kabar Vonny anak selingkuhan Susi itu terdengar oleh seksi rumah, termasuk asisten Wicaksono. Mereka justru mewajarkan kabar itu karena selama ini selalu mengira jika Vonny bukanlah anak kandung Wicaksono. Mereka menganggap Vonny terlalu berbeda, tak seperti kedua kakaknya yang berwibawa, sopan, bertanggungjawab dan menghargai sesama. Sikap yang ditunjukkan Von
"Papa sudah sadar," ucap Sundari lirih saat Raka dan Ken masuk ke kamar inap Wicaksono. Wajah laki-laki yang terbaring di atas ranjang itu cukup pucat. Dari mimik wajah dan sorot matanya, tampak begitu letih. Mungkin karena terlalu memikirkan masalah Vonny sampai membuatnya seperti ini. Wicaksono yang sebelumnya begitu menyayangi dan menganggap perempuan itu sebagai anak kesayangan, mendadak harus terpisah karena kenyataan yang menyakitkan. "Ka ...." Wicaksono berusaha memanggil anak sulungnya yang berdiri di samping adiknya. Kakak beradik itu pun saling tatap lalu Ken mempersilakan kakaknya untuk mendekat ke arah ranjang. "Jangan terlalu banyak pikiran, Pa," lirih Sundari sembari mengusap lengan suaminya. Wicaksono tersenyum tipis lalu mengangguk pelan. "Kenapa, Pa? Apa papa mau bicara sesuatu?" tanya Raka setelah berdiri di samping papanya. Bapak dan anak itu saling tatap, lalu Wicaksono meminta anak sulungnya untuk mengambil kursi dan duduk di sampingnya. Tak hanya Raka, tapi
"Kenapa begitu, Pa? Memangnya Mas Adrian nggak bisa menunggu Meira sampai kontraknya habis?" tanya Sundari ikut kaget mendengar cerita suaminya. Wicaksono yang sebelumnya menatap Raka, kini mengalihkan pandangannya pada Sundari, istrinya. "Papa juga kurang tahu, Ma. Cuma wajar saja kalau Adrian pengin melihat anak dan cucunya bahagia kan? Bukan berarti sekarang mereka menderita. Hanya saja, dia pasti ingin anak dan cucunya ikut merasakan apa yang dimilikinya sekarang. Apalagi Erina juga sudah menerima mereka dengan senang hati," balas Wicaksono lagi membuat Sundari mengerti. "Papa nggak bisa bujuk Om Adrian sampai kontrak Meira habis?" tanya Ken ikut menimpali. "Nggak bisa, Ken. Om Adrian cukup keras kepala kan? Tapi semua bisa diatur kalau kakakmu mau melakukan satu hal," ucap Wicaksono lagi dengan senyum tipisnya. Ken pun ikut tersenyum saat melirik Sundari. Ketiga orang itu saling lirik lalu sama-sama menatap Raka yang masih kebingungan. "Melakukan apa maksudnya, Pa?" tanya Ra
"Turun di sini, Pak," ucap Vonny setelah sampai di alamat yang dikirimkan Brama padanya. Dia kembali memeriksa pesan di aplikasi hijaunya. Benar. Alamatnya sudah pas. Perlahan supir taksi itu membantu Vonny turun dari mobil lalu membuka kursi rodanya yang terlipat agar bisa diduduki perempuan itu. Tak selang lama, dua koper di bagasi pun dikeluarkan dari mobil. Supir taksi pamit pergi setelah transaksi usai, sementara Vonny masih menatap rumah minimalis di depannya dengan sedikit resah. "Masuk," ucap seseorang setelah beberapa saat Vonny terdiam. Vonny mendongak menatap laki-laki bertato dan bercambang lebat yang kini berdiri di depannya. Brama. Laki-laki itu masih seperti dulu, hanya sedikit lebih kurus dibandingkan terakhir Vonny bertemu. "Makasih. Maaf merepotkan," balas Vonny dengan mata berkaca. Sebenarnya dia nggak mau melibatkan Brama dalam masalah ini, hanya saja dia tak punya pilihan lain. Vonny tak memiliki sanak saudara yang bisa dijadikan tempat menumpang beberapa hari
Jarum jam menunjuk angka lima pagi. Suasana yang biasanya masih cukup hening, hari ini sudah cukup sibuk di rumah Wicaksono. Pasalnya, sore nanti Raka akan melamar Meira yang kini sudah dibawa ke rumah baru Adrian. Adrian memang sengaja membeli rumah baru di Jogja untuk tempat bersinggah dan menikmati suasana berbeda di masa tuanya. Rumah dengan khas Jawa itu terasa berbeda dibandingkan rumah modern dan megahnya di Jakarta. Saat di rumah barunya, Adrian bisa lebih dekat dengan Meira dan Aldo. "Ini rumah papa?" tanya Meira sedikit gugup setelah sampai di rumah joglo dengan halaman luas itu. Adrian pun mengangguk. Seorang wanita dengan gaya berpakaian yang modis keluar dari pintu utama yang cukup besar dengan ukiran-ukirannya yang cantik. Meira melengkungkan bibirnya ke atas saat wanita itu mulai mendekatinya. Keduanya saling berpelukan sambil mengusap punggung pelan. Erina sudah luluh setelah mendengar cerita Sundari tentang kebaikannya selama ini dan fitnah yang sengaja dibuat Vonn
"Dahlia, ngapain dia ke sini?" lirih Meira cukup kaget melihat kedatangan perempuan arogan itu. Perempuan dengan gamis berwarna abu-abu tua dan hijab senada itu menatap tajam Meira yang baru keluar rumah. Dahlia mulai melangkah mendekat, sementara Meira masih diam di tempat. Melihat gerak-gerik tamu tak diundangnya itu, Adrian buru-buru berdiri di depan Meira. Dia berusaha melindungi anak semata wayangnya. "Sini kamu, Mei. Hidupku hancur gara-gara kamu tahu nggak!" sentak Dahlia berusaha menarik baju Meira yang kini di belakang papanya. Erina ikut melindungi anak sambungnya itu. Dia berusaha mendorong dan menepis kasar tangan Dahlia yang terus berusaha menarik Meira. "Kamu salah orang, Lia. Bagaimana mungkin Dahlia menghancurkan hidupmu. Dia tak pernah mengusik bahkan mencampuri urusanmu," sentak Adrian dengan tatapan tajam. Laki-laki itu tetap diam di tempat, melindungi Meira yang kini justru muncul dari belakang punggung papanya. Meira tak ingin sembunyi dan dia akan menghadapi p
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,