Dua hari sudah Wicaksono dan Vonny sama-sama dirawat di rumah sakit. Vonny masih koma, sementara Wicaksono mulai membaik meski masih terlihat shock. Setelah membaca pesan dari Raka kemarin, Wicaksono tak banyak bertanya dan bicara. Dia lebih banyak diam dan murung seolah ada beban berat yang dipikulnya. Berulang kali Sundari mencoba bertanya dan menawarkan makanan, tapi Wicaksono selalu menggeleng pelan. Laki-laki itu masih memikirkan Vonny dan almarhum istri keduanya. Wicaksono bingung bagaimana status Vonny yang sebenarnya. Dia masih tak percaya jika Vonny bukanlah darah dagingnya. Tak ingin menduga-duga, akhirnya Wicaksono mengambil keputusan terberat dalam hidupnya. "Ka, tolong panggilkan dokter. Papa ingin minta tolong padanya," lirih Wicaksono saat melihat istri dan kedua anak lelakinya duduk tak jauh dari ranjang. "Iya, Pa. Biar kupanggilkan dulu," balas Raka tanpa membantah. Laki-laki itu beranjak dari kursi lalu keluar kamar. Sundari hanya bergeming meski dalam hati berta
"Papa sudah membaik, salah satu dari kalian bisa mengantar mama pulang. Raka saja yang antar, sekalian istirahat sebentar di rumah. Kasihan Dee pasti kangen sama papanya. Mama juga butuh istirahat karena dari kemarin sudah jaga papa di sini. Biar Ken yang jagain Vonny," pinta Wicaksono kemudian. "Mama nggak apa-apa, Pa. Nanti papa sendirian di sini," ujar Sundari cemas. "Nggak sendirian, Ma. Ada perawat juga kan? Nanti kalau papa butuh sesuatu tinggal tekan bel saja. Nggak masalah kok. Mama harus istirahat. Jangan sampai kita dirawat ramai-ramai di sini," balas Wicaksono dengan senyum tipis. Sundari masih bersikukuh ingin menjaga suaminya, tapi Raka dan Ken sama-sama membujuk mama mereka untuk mengikuti permintaan papanya. Tak ingin membuat Wicaksono cemas akhirnya Sundari mengiyakan. Dia pamit pulang setelah menyiapkan camilan dan sebotol air mineral di meja. Tak lupa meminta Wicaksono untuk segera memanggil perawat jika membutuhkan sesuatu. Sundari terlalu mengkhawatirkan keadaa
Baim bergeming di kamar hotel setelah pulang dari rumah sakit menjenguk Vonny yang masih koma. Sundari benar, kaki Vonny cidera cukup parah sampai membuatnya lumpuh. Meski nggak lumpuh permanen, tapi membutuhkan waktu cukup lama untuk mengembalikannya seperti semula. Itu pun kalah Vonny benar-benar semangat terapi dan optimis sembuh. Jika tidak, kelumpuhannya dipastikan akan semakin lama. Bukan soal itu yang membuat Baim berpikir ulang. Namun, ucapan Sundari saat bertemu dengannya pagi tadi membuat Baim berpikir lagi dan lagi. Benarkah Vonny bukan anak kandung Wicaksono? Jika memang begitu, lantas dia anak siapa? Apakah Vonny tak akan mendapatkan warisan seperti yang pernah dijanjikan Wicaksono dulu? Bagaimana dengan rumah dan perusahaan yang pernah diceritakan Vonny, apakah semua akan ditarik kembali? Berbagai pertanyaan itu lalu lalang di benak Baim. Laki-laki itu tak tahu apa yang sebenarnya terjadi setelah pertunangannya dengan Vonny yang batal beberapa bulan lalu. Sepertinya me
Seminggu sudah Vonny dirawat di rumah sakit. Dia sudah sadar di hari ketiga. Tangis dan jeritan tak pernah sepi dari kamarnya. Tiap kali mengingat soal kakinya yang cidera, tiap itu pula dia kembali histeris. Dia berusaha menggerakkan kaki kanannya, tapi semua sia-sia. Kakinya benar-benar tak bisa berfungsi secara normal. Dia lumpuh. Kursi roda sudah disiapkan Wicaksono di samping ranjang untuk memudahkan Vonny jika ingin keluar kamar sesekali. Tiap kali melihat kursi roda itu, tiap itu pula dia kembali tergugu. Dia kembali menyalahkan Meira atas semua yang dialaminya. Padahal semua terjadi karena kesalahan dan keegoisannya sendiri. Sundari selalu berusaha menenangkan, tapi yang dia dapatkan hanya makian. Akhirnya wanita bermata teduh itu menyerah. Dia malas membujuk Vonny agar lebih tenang dan menerima segala takdirNya. Sundari mulai enggan apalagi saat mengingat golongan darah Vonny yang kemungkinan besar tak sesuai dengan golongan darah kedua orang tuanya."Mama keluar saja, biar
"Mau ngapain ke sini?" tanya Vonny ketus saat Sundari menjenguknya. Vonny masih saja tak terima dan merasa Wicaksono lebih mencintai Sundari dibandingkan maminya yang telah pergi. "Mau ajak papa kamu ke ruangan dokter," balas Sundari ramah dengan senyum tipisnya. Sundari masih saja sabar menghadapi anak tirinya yang terlalu liar dan susah diatur. Meski tak pernah dianggap, tapi Sundari masih tetap berusaha mencuri hati Vonny. Dia tak menyerah sekalipun disakiti berkali-kali. Berusaha menjadi ibu tiri yang baik meski Vonny selalu menganggap kebaikan Sundari hanya sandiwara belaka. "Kalian mau bahas soal kondisiku kan?" tebak Vonny dengan wajah cemas. Sundari menggeleng. Dia berusaha mengusap lengan Vonny perlahan untuk menenangkan, tapi ditepisnya kasar. Wicaksono menatap istrinya dengan mata berkaca. Dia berusaha menasehati Vonny, tapi lagi-lagi hanya jeritan yang terdengar. Vonny tak ingin melihat Sundari berada di kamarnya bahkan di hadapannya. "Pergi dari sini!" sentak Vonny s
"Menurut tes DNA yang dilakukan minggu lalu, hasilnya memang menyatakan begitu, Pak," balas Dokter Ismail sembari memeriksa berkas di tangannya lagi. "Maksudnya gimana, Dok? Berarti memang benar kalau Vonny bukan anak kandung saya?" tanya Wicaksono begitu gugup. Dokter mengangguk pelan lalu menghela napas panjang. "Benar, Pak. Berdasarkan tes DNA ini, Mbak Vonny memang bukan darah daging bapak." Penjelasan Dokter Ismail bagai petir di siang bolong bagi Wicaksono. Meski sejak awal dia sudah menebak hasil tes itu, tapi mendengar ucapan dokter Ismail benar-benar membuatnya shock. Wicaksono bergeming beberapa saat mendengar kenyataan yang ada tentang status anak kesayangannya. Dia semakin tak menyangka jika Susi tega berselingkuh di belakangnya, padahal selama ini Wicaksono sudah berusaha adil dan memberikan fasilitas mewah untuk kedua istrinya. Tak ingin melihat suaminya shock di depan dokter, Sundari pamit keluar ruangan setelah berterima kasih pada lelaki berlesung pipit itu. Sund
Wicaksono mengambil handphone di saku celananya. Dia memotret laki-laki di depan kamar Vonny beberapa kali. Tak membuang waktu, dia memerintahkan anak buahnya untuk menyelidiki laki-laki itu. Setelah selesai mengirimkan pesan pada Surya, asisten pribadinya di kantor, Wicaksono menarik tangan istrinya perlahan. Wicaksono menepuk pundak laki-laki berkaos hitam dengan celana panjang berwarna navy itu. Keduanya saling tatap beberapa saat. Terlihat jelas keterkejutan di wajah laki-laki itu saat tahu Wicaksono dan Sundari memergokinya. Baru saja Wicaksono mengucap sepatah kata, laki-laki itu sudah pergi dan berlari menjauh dari kamar Vonny. Sepasang suami istri itu berusaha mengejar, tapi sia-sia karena yang dikejar sudah menghilang entah kemana. Sundari dan Wicaksono duduk di kursi tunggu dengan napas terengah-engah. Kepergian laki-laki itu dengan segala sikap anehnya semakin membuat Wicaksono curiga."Jangan dikejar lagi, Pa. Capek. Mama yakin dia masih ada di rumah sakit ini, cuma ngga
Meira masih terdiam saat Raka kembali pertanyaan sampai akhirnya laki-laki itu menepuk pundaknya pelan. Sedikit terlonjak Meira justru spontan menyebut nama Keanu. Dia refleks menyebut karena tadi memang masih bertanya-tanya dalam hati apa sebenarnya yang Keanu katakan pada Raka sampai membuatnya berubah seaneh itu. Mendengar Meira menyebut nama Ken, raut wajah Raka berubah masam seketika. Dia tak melanjutkan pertanyaannya, tapi memilih pergi begitu saja keluar kamar tanpa mengucap sepatah katapun. Meira kembali kaget melihat sikap Raka yang kembali dingin seperti sebelumnya. Lagi-lagi perempuan itu menghela napas. Dia merasa tak enak hati karena keterkejutannya membuat Raka memilih pergi. Meira takut jika Raka merasa tak dihargai karena mengajak bicara dengan perempuan yang justru memikirkan hal lain sampai tak mendengar pertanyaannya tadi. Serba salah dan bingung. Itulah yang dirasakan Meira detik ini. Bahkan saat Meira menggendong Dee ke lantai bawah, Raka diam saja sembari meng
"Apa-apaan ini, Ken? Kamu pikir bisa lunasi hutang keluarga Hanum dengan uang palsu? Jangan kira saya nggak bisa membedakan uang asli sama uang palsu!" bentak Galih sembari berdiri dengan berkacak pinggang di depan Ken. Ken menatap Juragan Gino dan anak lelakinya bergantian. Dia masih berusaha tenang, meskipun sorot matanya mulai tajam. "Kalau kalian ragu, kita bisa cek keaslian uang ini sekarang juga. Saya siap. Atau kalau perlu panggil polisi jika memang kalian mengira saya sebagai pengedar uang palsu," balas Ken mantap. Tetangga semakin ramai bergosip. Mereka yang sebelumnya nongkrong di rumah Bu Nur, makin penasaran lalu mulai mendekat sampai teras rumah Rudy. Ada empat orang yang menguping obrolan mereka di sana. "Sebenarnya Ken kerja apa, sih? Kok tiba-tiba banyak uang?" bisik seorang ibu paruh baya."Mobil mewah itu juga punya siapa? Apa benar kalau dia cuma nyamar miskin dan kuli bangunan, padahal sebenarnya pengusaha muda yang sukses?" sahut yang lain. "Jangan-jangan Ken
Hanum masih terpaku di tempatnya, menatap tas hitam dari Ken yang terasa agak berat di tangan. Perlahan, Hanum membuka resleting tas hitam itu. Isinya membuat napasnya tercekat. Detik ini dia melihat tumpukan uang seratus ribuan yang terbungkus rapi. Ken berdiri di sebelahnya, wajahnya tenang meski tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Ia baru saja pulang membawa tas itu, tanpa banyak bicara, langsung menyerahkannya pada Hanum. "Mas, uang sebanyak ini milikmu?" Suara Hanum lirih, penuh kebingungan. Dia masih shock karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. "Iya, Sayang. InsyaAllah uang itu cukup untuk melunasi hutang keluarga," jawab Ken singkat, suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan. "Uang sebanyak ini, Mas?" Hanum masih tak percaya dan kaget suaminya memiliki uang sebanyak itu. Hanum melangkah mundur lalu duduk di sofa ruang tamu seperti sebelumnya. Dari ruang tengah, Mawar dan Rena masih ikut shock melihat kedatangan Ken. Keterkejutan mereka belum usai karena
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati
"Kenapa kamu nikah mendadak, Ken? Selama ini kamu nggak pernah cerita soal perempuan pada mama dan papa. Tiba-tiba kamu kasih kabar akan menikah dan kami dilarang datang. Sebenarnya kejadiannya gimana sampai kamu senekat itu?" Wicaksono menatap lekat Ken yang duduk di depannya itu.Keluarga Ken sedang menikmati makan siang bersama, termasuk Raka dan Meira. Mereka sengaja mencari waktu agar bisa duduk bersama membahas pernikahan Ken ya g dadakan itu. "Papa tahu kamu sudah menjelaskannya waktu itu, tapi berhari-hari papa masih nggak habis pikir kenapa kamu senekat itu, Ken. Apalagi pada gadis yang baru kamu lihat pertama kali," sambung Wicaksono lagi. "Papamu benar, Ken. Bukan maksud mama menyalahkanmu atau menyudutkan istrimu, hanya saja papa dan mama masih belum mengerti kenapa tiba-tiba kamu ingin menjadi pengantin penggantinya. Suatu hal yang benar-benar di luar nalar. Kalau kalian sudah kenal lama, mungkin mama nggak akan sekaget ini, tapi kamu sendiri bilang kalau kalian baru be
"Ya Allah, Mas. Kita ke klinik sekarang ya? Saya takut Mas Ridho kenapa-kenapa," ujar Hanum begitu panik saat melihat wajah bodyguard suaminya sedikit pucat setelah menerima bogem mentah itu. "Nggak apa-apa, Mbak Hanum. Sudah biasa begini. Tenang saja," balas Ridho berusaha tersenyum meski pipinya benar-benar nyut-nyutan tak karuan. Nyeri dan terasa sakit saat digerakkan. "Nggak apa-apa gimana, Mas? Ini cukup parah," tunjuk Hanum pada sudut bibir Ridho yang pecah. "Tenang saja, Mbak. Ridho sudah kebal," timpal Bagas dengan senyum tipis, berusaha menenangkan Hanum, tapi tetap saja dia merasa sangat bersalah sampai membuat laki-laki di sampingnya itu babak belur. "Siapa mereka, Num?" Pertanyaan Juragan Gino membuat Hanum menoleh seketika. "Mereka teman baik suami saya, Juragan. Maaf kalau sudah membuat keributan di sini." Hanum sedikit membungkuk lalu kembali menatap belanjaannya yang berantakan. "Kemana suamimu? Kenapa dia menyuruh orang lain untuk mengawasimu?" tanya Juragan Gin