Meira masih terdiam saat Raka kembali pertanyaan sampai akhirnya laki-laki itu menepuk pundaknya pelan. Sedikit terlonjak Meira justru spontan menyebut nama Keanu. Dia refleks menyebut karena tadi memang masih bertanya-tanya dalam hati apa sebenarnya yang Keanu katakan pada Raka sampai membuatnya berubah seaneh itu. Mendengar Meira menyebut nama Ken, raut wajah Raka berubah masam seketika. Dia tak melanjutkan pertanyaannya, tapi memilih pergi begitu saja keluar kamar tanpa mengucap sepatah katapun. Meira kembali kaget melihat sikap Raka yang kembali dingin seperti sebelumnya. Lagi-lagi perempuan itu menghela napas. Dia merasa tak enak hati karena keterkejutannya membuat Raka memilih pergi. Meira takut jika Raka merasa tak dihargai karena mengajak bicara dengan perempuan yang justru memikirkan hal lain sampai tak mendengar pertanyaannya tadi. Serba salah dan bingung. Itulah yang dirasakan Meira detik ini. Bahkan saat Meira menggendong Dee ke lantai bawah, Raka diam saja sembari meng
"Sudah siap?" tanya Raka tiba-tiba cukup mengagetkan Meira yang masih memakaikan sepatu Dee. Perempuan itu menoleh lalu mengangguk pelan. "Sudah, Pak." Meira menggendong Dee yang sudah cantik dengan stelan berwarna biru muda dan sepatu senada. Sementara Raka memilih kaos polos berwarna navy dengan celana pendek di bawah lutut. "Nggak ganti baju?" tanya Raka kemudian. Dia memperhatikan penampilan Meira yang tak berubah. "Belum ganti, Pak," balas Meira pendek. "Sini biar aku yang jagain Dee. Kamu ganti baju," balas Raka sembari meminta Dee ke dalam gendongannya. Tak membantah, Meira pun mengiyakan. Setelah Raka menggendong putri semata wayangnya, Meira membuka pintu kamar. "Mei!" panggil Raka lirih membuat Meira menghentikan langkahnya di tengah tangga. Degup jantungnya berdetak lebih cepat saat Raka mensejajari langkahnya. Keduanya saling toleh dan bersitatap beberapa saat. "Buat kamu." Raka menyodorkan sebuah paper bag untuk Meira. Perempuan itu pun mengernyit. Dia tak tahu ap
Sejak awal Ken sudah berusaha menasehati Dahlia agar tak mengkhianati kakak semata wayangnya itu. Sayangnya Dahlia dibutakan oleh nafsu sesaat sampai akhirnya memilih laki-laki itu dan meninggalkan keluarga kecilnya. Kini, setelah impiannya bersama laki-laki itu hancur, Dahlia menyesal dan berusaha keras untuk merebut Raka kembali. Raka yang kini telah move on bahkan mulai berusaha mencari penggantinya. "Makanya bantu aku untuk mendapatkan Mas Raka dan Dee kembali, Ken. Aku tahu kalau kamu menyukai Meira kan? Kita bisa bekerja sama untuk itu," lirih Dahlia saat menghentikan langkahnya. Lagi-lagi Ken tersenyum tipis. Dia tak membalas, tapi hanya mengibaskan telapak tangannya di depan wajah sebagai tanda tak menyukai tawaran Dahlia. "Kita bisa kerja sama dan itu saling menguntungkan, Ken," balas Dahlia sembari mengejar langkah Ken yang sudah sampai di ruang keluarga. Raka dan Meira menatap mereka bergantian. Dahlia terlihat begitu gugup, sementara Ken tampak santai lalu menjatuhkan
Vonny sudah diizinkan pulang dari rumah sakit. Seperti penjelasan dokter, kaki kanannya lumpuh dan dia hanya bisa beraktivitas dengan kursi roda. Kesusahan naik turun tangga, Wicaksono meminta Tari untuk memindahkan barang-barang milik Vonny ke kamar bawah, bersebelahan dengan kamar Keanu. Meski semua tahu jika Vonny bukan darah daging Wicaksono, tapi seperti rencana awal jika mereka masih bungkam sampai akhirnya menemukan kunci siapa laki-laki yang mengintip Vonny di rumah sakit itu. Wicaksono juga masih menunggu kabar dari anak buahnya yang masih menyelidiki apakah Vonny sudah tahu masalah ini sebelumnya atau dia benar-benar tak tahu kejadian yang sebenarnya. Terlalu banyak hal yang sengaja disembunyikan Vonny. Perempuan itu cukup licik dan culas, kini Wicaksono mengakui itu. Selama ini dia selalu menutup mata dan membela Vonny karena dia pikir Vonny adalah anak kandungnya. Anak perempuan satu-satunya yang amat dia sayangi. Namun, setelah semua bukti itu terpampang nyata, Wicakson
"Kamu baru pulang dari rumah sakit, Von. Mana boleh keluar rumah sesuka hati apalagi ini mau ke restoran yang dipastikan banyak orang. Lagipula, kamu belum bisa makan sembarangan. Di rumah aja, makan sesuai menu anjuran dokter sampai kondisi tubuhmu membaik," balas Sundari masih berusaha sabar dan tenang seperti biasanya. Sebenarnya rasa sakit dan kecewa itu benar-benar menghujam dadanya. Pengorbanannya selama ini untuk dipoligami ternyata disalah gunakan oleh Susi. Bukannya ikut membahagiakan suaminya, Susi justru menanamkan luka yang begitu menganga untuk Wicaksono. Andai Sundari tahu Susi sekeji itu, dia pasti tak akan pernah mengizinkan suaminya memilih perempuan itu sebagai pendamping hidupnya. "Nggak usah ikut campur deh. Aku nggak nanya kamu!" balas Vonny kasar seperti biasanya tiap kali bicara dengan Sundari. Biasanya Wicaksono berusaha menenangkan anak kesayangannya itu, memintanya untuk menghormati mama tirinya dan menyayanginya seperti mamanya sendiri. Namun, kali ini si
[Mana transferannya, bodoh! Kamu sudah pulang dari rumah sakit bukan? Aku kembali ke sini dan kamarmu sudah kosong. Jangan menghindar dan terus beralasan. Aku butuh duit. Kutunggu sampai jam tiga sore, kalau sampai nggak ada dana masuk ke rekeningku, jangan larang aku untuk membongkar semuanya. Ingat itu!] Vonny kembali membaca pesan ancaman itu setelah melempar handphonenya ke atas ranjang. [Beri sedikit pelajaran pada orang ini supaya dia nggak terus mengancam sesuka hati. Buat dia bungkam sampai aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Mengerti?!] Vonny mengirimkan pesan pada seorang laki-laki yang selama ini selalu membantunya dalam banyak hal. Brama namanya. Laki-laki mantan narapidana yang menjadi tangan kanan almarhum maminya dulu. Laki-laki dengan tato naga di punggungnya itu memang tak takut dinginnya tembok penjara. Dia sudah tiga kali masuk ke sana dan tahu bagaimana rasanya hidup di dalam jeruji besi. [Oke, Bos. Siap laksanakan!]Balasan singkat Brama membuat Vonny menghel
"Papa akan memberi bagian untukmu setelah kamu menikah, Von. Jadi, untuk sementara kamu bisa bekerja di kantor papa atau kantor kakakmu. Papa nggak akan memberikan cabang perusahaan padamu karena kamu belum dewasa dan masih kekanak-kanakan, Vonny. Jadi, menikahlah dulu. Dengan menikah kamu akan belajar mengatur keuangan, belajar mengurus keluarga, memahami perbedaan suami istri dan mencari solusi yang terbaik dalam berumah tangga. Papa akan melihat bagaimana caramu mengontrol emosi dan menghargai pendapat orang lain. Setelah lulus, papa baru akan percaya jika kamu bisa mengurus perusahaan dengan baik. Kalau sekarang, kamu masih jauh. Sikapmu saja masih manja begini, bagaimana bisa mengurus banyak karyawan? Menjadi pemimpin perusahaan itu nggak mudah, harus bisa menekan ego dan ambisi diri sendiri demi kepentingan orang banyak." Lagi-lagi pesan papanya itu membuat Vonny menghela napas kasar. Dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Vonny berusaha mencari cara untuk mendapatka
"Von ...." panggil Ken lagi. Melihat Vonny yang masih kebingungan, Ken memilih memperkenalkan diri pada lelaki di sampingnya. Kedua laki-laki itu pun saling berjabat tangan lalu menyebut nama masing-masing. "Silakan duduk, Pak," ucap Ken ramah. Ken memilih masuk ke ruang tengah meninggalkan kedua orang itu di ruang tamu. Kedua mata Vonny bergerak-gerak saat Ken melangkah santai ke dalam rumah. Laki-laki bernama Seto itu pun duduk di ruang tamu sembari menatap Vonny yang masih gelisah di kursi rodanya."Kenapa? Kamu nggak pernah menyangka bapak bakal ke sini kan?" lirih laki-laki itu membuat Vonny membulatkan kedua matanya. Dia teramat geram dan benci tiap kali mendengar laki-laki itu membahasakan bapak untuk dirinya. Vonny muak dan jijik mendengarnya. Bapak macam apa yang dia maksud, jika selama hidupnya hanya ingin menghancurkan kebahagiaan perempuan yang konon begitu dicintainya. Maminya yang terlalu cinta itu hanya dijadikan ATM berjalan, sementara kini dia pun merasakan hal yan
"Apa-apaan ini, Ken? Kamu pikir bisa lunasi hutang keluarga Hanum dengan uang palsu? Jangan kira saya nggak bisa membedakan uang asli sama uang palsu!" bentak Galih sembari berdiri dengan berkacak pinggang di depan Ken. Ken menatap Juragan Gino dan anak lelakinya bergantian. Dia masih berusaha tenang, meskipun sorot matanya mulai tajam. "Kalau kalian ragu, kita bisa cek keaslian uang ini sekarang juga. Saya siap. Atau kalau perlu panggil polisi jika memang kalian mengira saya sebagai pengedar uang palsu," balas Ken mantap. Tetangga semakin ramai bergosip. Mereka yang sebelumnya nongkrong di rumah Bu Nur, makin penasaran lalu mulai mendekat sampai teras rumah Rudy. Ada empat orang yang menguping obrolan mereka di sana. "Sebenarnya Ken kerja apa, sih? Kok tiba-tiba banyak uang?" bisik seorang ibu paruh baya."Mobil mewah itu juga punya siapa? Apa benar kalau dia cuma nyamar miskin dan kuli bangunan, padahal sebenarnya pengusaha muda yang sukses?" sahut yang lain. "Jangan-jangan Ken
Hanum masih terpaku di tempatnya, menatap tas hitam dari Ken yang terasa agak berat di tangan. Perlahan, Hanum membuka resleting tas hitam itu. Isinya membuat napasnya tercekat. Detik ini dia melihat tumpukan uang seratus ribuan yang terbungkus rapi. Ken berdiri di sebelahnya, wajahnya tenang meski tubuhnya jelas menunjukkan kelelahan. Ia baru saja pulang membawa tas itu, tanpa banyak bicara, langsung menyerahkannya pada Hanum. "Mas, uang sebanyak ini milikmu?" Suara Hanum lirih, penuh kebingungan. Dia masih shock karena baru pertama kali melihat uang sebanyak itu. "Iya, Sayang. InsyaAllah uang itu cukup untuk melunasi hutang keluarga," jawab Ken singkat, suaranya datar, tanpa ekspresi berlebihan. "Uang sebanyak ini, Mas?" Hanum masih tak percaya dan kaget suaminya memiliki uang sebanyak itu. Hanum melangkah mundur lalu duduk di sofa ruang tamu seperti sebelumnya. Dari ruang tengah, Mawar dan Rena masih ikut shock melihat kedatangan Ken. Keterkejutan mereka belum usai karena
"Mas Ken pulang kenapa nggak kasih kabar dulu." Suara lirih Hanum hampir tak terdengar, tubuhnya menegang melihat laki-laki itu turun dari mobil mewah lalu melangkah tergesa menghampirinya. Tetangga mulai berbisik. Kasak-kusuk terdengar cukup jelas di telinga Hanum saat dia menyambut uluran tangan suaminya. "Itu suaminya Hanum? Kok bisa pakai mobil mewah begitu? Katanya cuma kuli bangunan." "Katanya begitu, tapi kurasa dia bukan sekadar kuli. Mana ada kuli bangunan bawa mobil sebagus itu. Harganya pasti ratusan juta." Yang lain ikut menyahut. "Mungkin sebenarnya dia bos, bukan kulinya.""Kalau bos dan orang kaya, mana mungkin sembarangan cari istri. Pasti dipikir juga bibit, bebet dan bobotnya. Apalagi keluarga besarnya bisa jadi sudah menyiapkan calon yang sepadan.""Hanum juga bibit, bebet dan bobotnya bagus. Dia anak yang baik, tak neko-neko, penyayang dan berbakti. Wajar kalau Mas Ken jatuh cinta sama Hanum. Lagipula dia juga cantik." "Kalau orang kaya yang dipikir bukan seka
"Maaf, Juragan. Saya sudah menikah dan nggak mungkin bercerai begitu saja. Kalau memang Juragan minta dua puluh juta, nggak apa-apa. Tunggu suami saya pulang, biar dia yang melunasinya saja," balas Hanum memberanikan diri. Rudy menoleh, menatap Hanum yang kini menitikkan air mata. "Num ... maafkan bapak." Rudy berujar dengan suara parau menahan sesak yang menghimpit dadanya. "Nggak apa-apa, Pak. Hanum tahu bapak sudah berjuang sekuat tenaga. Bapak tenang saja, InsyaAllah Mas Ken bisa membereskan masalah ini," balas Hanum begitu meyakinkan. Namun, balasan itu justru membuat Galih terkekeh meremehkan. Dia tak yakin jika suami Hanum bisa melunasi hutang itu, bahkan dia juga tak percaya jika Ken kembali ke rumah itu. "Lunasi sekarang atau terima tawaran saya, Pak. Saya nggak punya banyak waktu untuk menunggu sesuatu yang tak pasti," ujar Juragan Gino semakin menyudutkan Rudy dan Hanum. "Tolong tunggu sampai besok, Juragan. Suami saya akan pulang besok sore," balas Hanum lagi. "Ngga
Hanya ada Hanum dan bapaknya di meja makan, sementara Mawar, Rena dan Azziz duduk di sofa ruang tengah. Entah apa yang dijanjikan Azziz sampai akhirnya membuat emosi Rena mereda. Keduanya akur kembali seolah tak terjadi apa-apa. "Kalau ada masalah, diselesaikan baik-baik, Ren. Jangan asal marah-marah saja." Mawar memberi nasehat, sementara Rena seolah tak peduli. Bibirnya manyun beberapa centi saking kesalnya. Dia memang selalu menolak nasehat siapapun, termasuk ibunya sendiri. Maunya selalu didukung apapun yang dia inginkan sekalipun itu salah. "Benar kata ibu, Sayang. Kita bukan mas pacaran lagi yang bisa putus nyambung seenak hati. Pernikahan ini hal yang sakral, nggak boleh dibuat mainan." Azziz menimpali, seolah punya kesempatan untuk mendidik istrinya yang manja itu. "Iya, iya, Mas. Lagian kamu sih-- Belum selesai bicara, terdengar ucapan salam dari luar. Hanum tercekat, menatap bapaknya yang baru saja selesai makan malam. Rudy pun menatap anak perempuannya itu lalu mengang
Sejak pulang dari pasar pagi tadi, Hanum benar-benar tak tenang. Bakda ashar sampai menjelang maghrib ini selalu gelisah. Hanum ingin mengabari suaminya tentang kejadian tadi, tapi takut menganggu kesibukannya di Jogja. Dia tahu, urusan Ken pasti belum kelar sebab dia sudah bilang akan pulang besok sore. "Gimana ini? Bapak juga belum pulang. Mungkin juga kebingungan cari pinjaman segitu banyak untuk menutup hutang pada Juragan Gino." Lagi-lagi Hanum menggumam. Baru saja membuka pintu kamar, terdengar keributan di teras. Hanum menajamkan pendengarannya lalu kembali menutup pintu setelah tahu siapa yang datang. "Kenapa Mbak Rena dan Mas Aziz pulang secepat ini? Padahal kemarin bilang mereka akan honeymoon di Bali selama lima hari," gumam Hanum lagi lalu kembali duduk di tepi ranjang. Mawar yang baru saja keluar kamar cukup shock melihat kedatangan anak dan menantunya itu. Tak ingin menduga-duga, dia pun menanyakan perihal kepulangan mereka. "Kalian sudah pulang? Cepet banget katany
[Mas, laki-laki itu tiba-tiba ingin datang melamar Mbak Hanum. Dia bahkan baku hantam dengan Ridho saat kami mengantar Mbak Hanum ke pasar. Sepertinya ada satu kunci yang digenggam keluarga laki-laki itu tentang keluarga Mbak Hanum, tapi kami tak tahu itu apa. Barangkali menyangkut utang piutang, masalahnya nanti malam mereka akan menemui mertua Mas Ken di rumah untuk membahas hal ini. Sekarang saya dan Ridho ada di klinik. Laki-laki itu melayangkan sebuah pukulan pada Ridho saat dia lengah. Mbak Hanum panik, makanya membawa Ridho ke klinik tak jauh dari pasar]Pesan panjang dari Bagas beserta beberapa foto dan video saat huru-hara di pasar itu pun terkirim di WhatsApp nya. Ken memperhatikan wajah laki-laki itu dan dia merasa cukup asing. Artinya belum pernah bertemu dengan sosok itu sebelumnya. "Hutang piutang. Apa ini yang dimaksud Hanum kemarin? Bapaknya memiliki hutang sekian puluh juta, makanya selama ini dia bekerja keras untuk membayar cicilannya?" lirih Ken sembari mengamati
"Kenapa kamu nikah mendadak, Ken? Selama ini kamu nggak pernah cerita soal perempuan pada mama dan papa. Tiba-tiba kamu kasih kabar akan menikah dan kami dilarang datang. Sebenarnya kejadiannya gimana sampai kamu senekat itu?" Wicaksono menatap lekat Ken yang duduk di depannya itu.Keluarga Ken sedang menikmati makan siang bersama, termasuk Raka dan Meira. Mereka sengaja mencari waktu agar bisa duduk bersama membahas pernikahan Ken ya g dadakan itu. "Papa tahu kamu sudah menjelaskannya waktu itu, tapi berhari-hari papa masih nggak habis pikir kenapa kamu senekat itu, Ken. Apalagi pada gadis yang baru kamu lihat pertama kali," sambung Wicaksono lagi. "Papamu benar, Ken. Bukan maksud mama menyalahkanmu atau menyudutkan istrimu, hanya saja papa dan mama masih belum mengerti kenapa tiba-tiba kamu ingin menjadi pengantin penggantinya. Suatu hal yang benar-benar di luar nalar. Kalau kalian sudah kenal lama, mungkin mama nggak akan sekaget ini, tapi kamu sendiri bilang kalau kalian baru be
"Ya Allah, Mas. Kita ke klinik sekarang ya? Saya takut Mas Ridho kenapa-kenapa," ujar Hanum begitu panik saat melihat wajah bodyguard suaminya sedikit pucat setelah menerima bogem mentah itu. "Nggak apa-apa, Mbak Hanum. Sudah biasa begini. Tenang saja," balas Ridho berusaha tersenyum meski pipinya benar-benar nyut-nyutan tak karuan. Nyeri dan terasa sakit saat digerakkan. "Nggak apa-apa gimana, Mas? Ini cukup parah," tunjuk Hanum pada sudut bibir Ridho yang pecah. "Tenang saja, Mbak. Ridho sudah kebal," timpal Bagas dengan senyum tipis, berusaha menenangkan Hanum, tapi tetap saja dia merasa sangat bersalah sampai membuat laki-laki di sampingnya itu babak belur. "Siapa mereka, Num?" Pertanyaan Juragan Gino membuat Hanum menoleh seketika. "Mereka teman baik suami saya, Juragan. Maaf kalau sudah membuat keributan di sini." Hanum sedikit membungkuk lalu kembali menatap belanjaannya yang berantakan. "Kemana suamimu? Kenapa dia menyuruh orang lain untuk mengawasimu?" tanya Juragan Gin