"Aku ingin berubah, Mas. Aku ingin menjadi ibu yang baik buat Dee. Apa salah seorang ibu ingin mencurahkan sepenuh hati dan waktunya untuk anak kandungnya sendiri?" Dahlia mulai terisak. Raka tak paham apakah itu tangis penyesalan dan kecewanya pada jawaban Raka atau sekadar air mata buaya seperti sebelum-sebelumnya. Yang pasti, Raka tak mau terkecoh lagi. "Nggak ada yang salah, tapi nggak salah juga aku curiga ada udang di balik batu bukan? Kamu terlalu pintar bersandiwara, Dahlia. Berkali-kali kamu berdusta dan aku selalu percaya. Namun, kali ini aku ngga sudi kamu bohongi lagi!" sentak Raka dengan tatapan tajamnya. "Kenapa, Mas? Kenapa kamu selalu curiga jika aku nggak bisa menjadi ibu yang baik untuk Dee? Apa karena sudah ada dia yang menjaga Dee? Ingat, Mas! Dia hanya baby sitter, bukan ibu yang mengandung dan melahirkan Denada. Jadi, jangan samakan dia denganku karena jauh berbeda. Aku berhak atas semua yang ada pada Dee, sementara dia nggak!" sentak Dahlia begitu kesal. Dia t
"Apa kata dokter, Lia? Kamu beneran hamil?" Suara seorang perempuan membuat Dahlia menoleh. Sundari dan Raka yang masih membicarakan keadaan Erina pun ikut membalikkan badan. Keduanya saling tatap lalu sama-sama menoleh pada Dahlia yang tercekat. "Hamil? Oh, kamu hamil, Lia?" Sundari ikut bertanya dengan senyum miringnya. "Keren ya. Dulu saat bersama Raka, kamu berusaha keras agar nggak hamil, tapi Allah berkehendak lain. Kamu pun tak tinggal diam, berusaha sekeras mungkin melenyapkan kehamilanmu. Ternyata setelah berpisah dan memilih lelaki lain, kamu ikhlas berbadan dua. Sehebat itu lelaki yang kamu puja itu, Lia. Baguslah." Sundari manggut-manggut. Berbeda dengan Raka yang melengos lalu menghela napas panjang. Ada rasa sesak yang tiba-tiba hadir di hatinya. Dia tak menyangka jika Dahlia bisa berubah secepat itu. Apa hebatnya lelaki tua yang bersamanya dibandingkan dia? Raka mulai menduga-duga. Namun, dia justru bersyukur karena lepas dari perempuan seperti Dahlia yang hanya meng
"Sudah, Ma. Mama percaya sama aku. Nggak mungkin aku menerima seseorang yang sudah terang-terangan memilih meninggalkan suami dan anak kandungnya demi lelaki lain kan? Aku nggak sebo doh itu, Ma. Jikalaupun rasa cinta itu masih ada, aku pastikan membuangnya perlahan. Rasanya tak pantas seorang pengkhianat kupungut kembali bukan? Mama benar, ada banyak perempuan yang ingin menjadi pendampingku, tak perlu mengharapkan seseorang yang memang tak layak untuk diharapkan. Bukan begitu?" Raka menatap mamanya lekat. Dia paham bagaimana rasa sakit yang dirasakan Sundari selama ini. Bahkan rasa sakit itu dia yakini melebihi rasa sakitnya sendiri. Sundari sangat menyayangi kedua anaknya tanpa terkecuali, selalu mencurahkan cinta dan kasih sayangnya pada dua jagoannya. Sundari ingin yang terbaik untuk buah hatinya, termasuk soal jodoh. Dia tak pernah memaksakan soal jodoh pada Raka dan Keanu. Yang penting ada cinta tulus di antara mereka, Sundari akan mendukungnya. Namun, setelah tahu bagaimana
Erina termenung setelah mendengar cerita Sundari jika Meira yang menolongnya saat kecelakaan itu bahkan dia pula yang mendonorkan darahnya. Kata-kata yang sebelumnya sudah disiapkan matang oleh Erina lenyap seketika. Dia tak mampu bicara apapun setelahnya. Memilih diam dan merenungi nasibnya sendiri. Pertengkarannya dengan Adrian pun kembali membayang. Erina merasa tak ada seorang pun yang berpihak padanya. Siapa pengirim pesan dan foto Meira waktu itu pun dia tak tahu. Saat ini, Erina memilih diam. Dia nggak mau pusing memikirkan masalah itu dan memilih memendamnya sampai tubuhnya bisa diajak kompromi dan sehat kembali. "Maafkan mamamu, Mei. Dia pasti sangat shock dengan masalah ini dan belum bisa menerimamu sepenuh hati. Percayalah, papa akan berusaha meyakinkannya jika kamu tak layak dibencinya sedemikian rupa." Adrian mengusap pelan punggung Meira. Mereka mengobrol banyak hal, terutama tentang perceraian Meira dan Baim yang sudah ketuk palu. Tinggal menunggu surat cerai saja dar
"Mas Keanu kan?" Meira menunjuk Keanu yang melangkah perlahan ke ruang makan. Adrian dan Wicaksono saling tatap. Mereka tak tahu kenapa Meira dan Keanu bisa saling kenal. Raka pun cukup kaget melihat Meira dan adik lelakinya tampak cukup akrab. "Kok bisa ketemu di sini ya?" Keanu tersenyum sembari garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. Dia menarik salah satu kursi lalu mendudukinya setelah menyalami semua yang ada di ruang makan itu. "Iya, Mas. Saya kerja sebagai baby sitter Denada hampir empat bulan ini." Meira mengangguk pelan sembari mengulas senyuman. "Pantas saja jarang ke panti, ternyata sudah hijrah ke kota ini. Tahu begitu aku sering pulang ya." Tawa lelaki itu pun terdengar. Meira ikut tersenyum tipis mendengar gurauan Keanu, sentara Sundari mulai melirik Raka yang sedari tadi membisu. "Ohya, Pa. Ken dan teman-teman beberapa kali ke panti asuhan untuk mengirimkan stok makanan dan pakaian. Kadang kami mengadakan kegiatan sosial juga di sana seperti bazar, pundi amal dan ma
"Erina kenapa, An?" Wicaksono ikut cemas saat melihat ekspresi Adrian yang berubah. Binar di wajahnya mendadak masam setelah mendengar kabar dari rumah sakit. Dia berusaha tenang, tapi semua orang pun tahu jika ketenangannya hanya sebuah sandiwara untuk menutupi kecemasan yang mendera. "Erina histeris, Wi. Nggak tahu kenapa, padahal tadi saat kutinggal dia baik-baik saja." Adrian buru-buru pamit karena tak ingin istrinya semakin histeris. Wicaksono pun ikut ke rumah sakit bersama Adrian, sementara yang lain masih di ruang makan. "Dee masih tidur, Mei?" Sundari bertanya saat melihat Meira menutup pintu kamar cucu kesayangannya. Perempuan itu melangkah perlahan melewati tangga setelah membalas pertanyaan Sundari. "Mungkin sebentar lagi bangun, Bu. Dia agak kecapekan dari pagi lari-larian di kamar." Sundari manggut-manggut lalu melirik Keanu yang tersenyum tipis saat Meira kembali duduk di samping mamanya. "Kenapa senyum-senyum begitu, Ken?" Sundari mengangkat kedua alisnya ke arah
"Mei, nanti malam ada waktu nggak?" tanyanya singkat dengan senyum tipis. Meira terdiam beberapa saat lalu menatap balik Keanu yang masih duduk di samping kakaknya. "Kalau ada waktu mau ajak makan malam sih. Kangen suasana Jogja, sudah lama nggak pulang soalnya." Senyum lebar terlukis di bibir laki-laki itu. Raka tercekat mendengar ajakan Keanu pada Meira. Dia buru-buru menatap Meira yang masih berpikir. "Sama Aldo aja. Jadi nggak berdua kan?" Keanu buru-buru meralat. Dia tahu status Meira yang belum lepas masa iddahnya. Memang tak baik jika berdekatan dengan lelaki lain karena bisa menimbulkan fitnah. Oleh karena itulah dia berinisiatif mengajak Aldo agar tak terlihat seperti sedang kencan. "Aldo jarang diajak jalan-jalan kan? Mana mungkin. Mas Kara pasti sibuk dengan pekerjaannya. Dia kuper soal Jogja." Lagi-lagi Keanu terkekeh melihat ekspresi kakaknya yang berubah seketika. "Oke kalau gitu, Mas. Aldo pasti seneng banget lihat keindahan Jogja apalagi malam minggu pasti ramai."
"Selamat sore. Maaf mengganggu ya, mau main sama Denada," ucap seseorang dari pintu utama. Senyumnya merekah dengan wajahnya berbinar. Tak seperti tempo hari saat Meira dan Raka bertemu dengannya di rumah sakit. "Dahlia?" lirih Raka saat masih ngobrol dengan Meira tentang perkembangan Dee. Kedua orang itu menoleh bersamaan ke sumber suara. "Mbak Lia, silakan," ucap Meira dengan senyum tipisnya. Dia mempersilakan Dahlia duduk di tempatnya, sementara dirinya beranjak dari sana untuk pindah ke kursi lain. Namun, lengannya dicekal Raka. Meira menoleh cepat dengan dada berdebar hebat. Kedua mata mereka bertemu lalu Raka buru-buru minta maaf dan melepaskan cekalannya. "Di sini saja, biar Dahlia mencari tempat lain," lirih Raka tanpa menoleh pada mantan istrinya itu. Dahlia yang sebelumnya sempat tersenyum lebar, kini mulai berwajah masam. Meira ingin pindah, tapi lagi-lagi Raka menarik pelan lengan gamisnya agar tetap di tempat semula. Mau tak mau Meira mengikuti perintah atasannya itu.
"Berhari-hari nggak pulang, apa harus seperti ini sikapmu sama istri sendiri?!" sentak Rena lagi sembari membuka pintu utama dengan kasar lalu membantingnya. Ken yang akan beranjak dari tepi ranjang pun mengurungkan niatnya. Hanum menarik lengan suaminya agar duduk kembali. Mereka sepakat untuk tak ikut mencampuri urusan rumah tangga Rena dan Azziz. Membiarkan mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. Kecuali jika ada kekerasan, barulah mereka akan turun tangan. "Istri? Kamu masih begitu luwes menyebut diri sendiri sebagai istri, Ren? Setelah apa yang kamu lakukan selama ini, hah?!" sentak Azziz dengan mata memerah. "Apa seperti itu sikap seorang istri yang wajib dinafkahi, diberikan kasih sayang, cinta dan diperjuangkan hidupnya? Kamu nggak buta dan nggak tuli kan? Namamu sudah buruk di mata banyak orang setelah video itu viral, Rena. Sadar!" bentak Azziz lagi sembari memukul meja ruang tengah. Beberapa barang di atas meja itu berhamburan ke lantai. Di dalam kamar, Hanum mengucap
"Sayang, aku punya sesuatu," ujar Ken saat masuk ke kamarnya. Hanum sudah ada di kamar sejak satu jam sebelumnya. Dia tengah menikmati senja di kamar sembari membaca novel online favoritnya. "Punya apa, Mas?" tanya Hanum saat menoleh ke arah pintu. Ken tersenyum lalu menyerahkan benda kecil ke tangan Hanum. "Apa ini, Mas?" tanya Hanum lagi sembari membolak-balik benda kecil itu. Ken duduk di tepi ranjang sembari menatap lekat istrinya yang terlihat penasaran dengan benda di tangannya. "Perekam suara ya, Mas?" tebaknya kemudian. Ken tersenyum lalu mengangguk. "Benar, Sayang. Itu alat perekam suara," balas laki-laki itu yakin. Hanum manggut-manggut lalu menatap suaminya. "Apa ada rekaman suaranya di dalam?" Lagi-lagi Ken mengangguk. "Suara siapa, Mas?" tanya Hanum lagi. Ken mengambil kembali alat perekam mini itu lalu menyambungkannya dengan USB di laptop. Hanum mendengarkan isi percakapan yang terekam di sana. "Suara Mbak Rena?" lirihnya seolah bertanya pada diri sendiri. Ken
Dua hari setelah penyelidikan diam-diam Hanum dan Ken di butik Clarissa, Ken duduk di warung kopi kecil dengan Bara. Pria berkacamata itu tampak serius sambil mengeluarkan benda kecil seukuran kancing dari tasnya."Ini alat perekam suara. Ukurannya kecil banget, bisa kamu selipin di tas, mobil atau kantong celana mereka. Baterainya tahan tiga hari, dan otomatis nyimpan suara kalau ada pembicaraan di radius 3 meter," ujar Bara menjelaskan. Ken mengangguk."Pas banget. Kita cuma butuh satu rekaman jelas buat Hanum tahu pasti niat buruk mereka berdua. Hanum masih nggak percaya kalau kakak tirinya bisa sejahat itu, sampai sekongkol dengan perempuan yang ingin menghancurkan rumah tangga kami." Ken menghela napas. "Soal foto-foto di hotel gimana, Bro? Kamu nggak langsung seret Rissa ke penjara?" tanya Bara sembari menatap Ken serius. "Sebenarnya aku masih kasih dia kesempatan untuk berubah, Bar. Aku masih lihat kebaikan mamanya selama ini dan hubungan kekerabatan kami. Tapi kalau dia maki
Malam itu, Hanum duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel. Ken duduk di sebelahnya sembari menyeruput teh hangat buatan istrinya. Potongan bolu terhidang di piring kecil sebagai pendamping. "Mbak Rena bilang mau ke butik bareng Clarissa, Mas. Tapi butik mana?" Hanum bergumam sambil membuka media sosial milik saudara tirinya itu. "Mbak Rena itu orangnya narsis. Biasanya dia update story tiap lima menit. Meski perempuan di sampingnya sengaja diblur, tapi Hanum yakin itu Rissa." Hanum kembali berujar lirih. Ken ikut melongok."Apa ada yang aneh, Sayang?" tanya Ken sembari menikmati sepotong bolu. Hanum menggulir layar ponselnya."Lihat deh, Mas. Tiga puluh menit lalu, Mbak Rena upload video di mobil bareng Clarissa. Meski wajahnya diblur, Hanum yakin itu style Rissa. Captionnya itu makin membuat Hanum bertanya-tanya," ujar Hanum lagi. "Memangnya dia bikin caption apa, Sayang?" Lagi-lagi Ken terlihat cukup tenang dan tak sepanik Hanum."Dia bilang persiapan untuk kejutan spesi
"Sayang, kamu siap?" Ken berseru dari ruang tamu sambil merapikan kerah kemejanya. Rambutnya disisir rapi ke samping, dan aroma parfumnya menyusup masuk ke kamar.Hanum keluar dari kamar sambil tersenyum, membawa tas tangan kecil warna krem yang matching dengan gamis biru lembut yang dikenakannya."Siap! Kamu ganteng banget hari ini, Mas," godanya sambil menyentuh dagu Ken pelan. Ken nyengir. "Harus dong. Istri aku cantik, masa suaminya nggak pantes disandingin. Memangnya cuma hari ini aja gantengnya? Hari biasanya buruk rupa ya?" balas Ken sembari menjawil balik dagu istrinya. Hanum tertawa kecil dan mereka pun keluar rumah menuju mobil Ken yang terparkir di halaman. Rencananya mereka ingin jalan-jalan sekalian belanja di mall. Angin siang ini menampar wajah mereka, tapi suasana hati keduanya hangat. Keduanya masuk ke mobil dan memasang seat belt masing-masing. Perjalanan ke mall tak membutuhkan waktu lama. Sekitar setengah jam mereka sudah sampai mall yang dituju. Di mall, mereka
"Ya Allah, Rena! Ternyata semua gosip yang beredar itu benar!" pekik seseorang diantara kerumunan pengunjung. Ren amendelik saat tahu siapa yang berteriak dan kini jatuh pingsan di depan matanya itu. "Ibu! Ngapain ibu ke sini?!" teriaknya sembari berhamburan ke arah ibunya yang limbung. Azziz yang kini berdiri di sampingnya menatap tajam. Rahangnya mengeras. Dia benar-benar emosi melihat sepak terjang istrinya. Seolah tak ada kesempatan lagi, Azziz sudah muak dan tak ingin berkompromi lagi. Dia menyerah, apalagi saat tekad kuatnya untuk melunasi hutang demi membahagiakan istri justru dibalas dengan pengkhianatan demi pengkhianatan seperti ini. Harga dirinya sebagai suami dan kepala rumah tangga seakan mati. Azziz benar-benar melambaikan tangan ke kamera. Dia menyerah di pernikahannya yang menginjak di bulan ke enam. "Mau dibawa kemana, Mas?!" tukas Rena saat melihat Azziz membopong ibu mertuanya. "Minggir kamu! Urus saja bahagiamu sendiri! Puas-puasin sebelum kamu menyesal di kem
"Papa! Gila, ini selingkuhan papa?!" sentak perempuan bernama Tamara itu sembari menunjuk wajah Rena yang kini mulai memerah. Beberapa pengunjung mall mulai merekam keributan itu dengan handphone masing-masing. Rena benar-benar benci hal ini. Nyaris tiga bulan berhubungan dengan Pramono, tak pernah terbesit sedikit pun di benaknya akan mengalami hal memalukan seperti ini. "Papa benar-benar kelewatan. Lihat usianya, Pa! Seumuran aku!" oceh Tamara lagi. Dia menggeleng-geleng tak percaya. "Tamara ... dengerin papa dulu," ujar Pramono sembari menenangkan putri bungsunya. Pramono memiliki dua orang putri bernama Salsa dan Tamara. Saat ini istrinya terbaring di rumah karena stroke yang dideritanya selama setahun belakangan. "Dengerin apalagi, Pa? Papa mau beralasan apa? Jelas-jelas papa begitu mesra dengan perempuan jalang itu!" sentak Tamara lagi. "Tutup mulutmu!" tukas Rena menepis telunjuk Tamara yang tepat di depan wajahnya. "Heh! Tutup mulutku apa?! Jelas-jelas Lo cuma manfaati
Rena melirik jam tangannya yang berkilau di bawah cahaya lampu cafe. Dia duduk manis di pojokan, memainkan sedotan dalam segelas mocktail warna pink sambil sesekali membetulkan rambutnya."Maaf lama, Ren. Tadi agak macet." Suara berat dan dewasa terdengar dari belakang. Pramono, pria paruh baya dengan jas abu-abu yang necis, menyapa dengan senyum genit. Seperti biasa, mereka pun cipika-cipiki tiap kali bertemu. "Kamu telat dua puluh menit, Om. Aku sampai jamuran nunggu di sini." Rena merajuk, bibirnya manyun manja."Maaf dong, jalanan macet. Tapi lihat deh ... masa Om telat masih disambut sama wajah secantik ini?" Pram mencubit dagu Rena lembut. Rena hanya tertawa kecil.Mereka menikmati hidangan sambil sesekali beradu pandang. Beberapa pasang mata mulai melirik ke arah mereka. Usia mereka terlalu jauh dan kemesraan itu terasa janggal. Meski tak ada yang menegur dan seolah tak peduli, tapi tetap saja pandangan aneh dan tak biasa terlihat. Namun, Rena cuek saja. Dia tak peduli dengan
"Sayang, bubur kacang hijaunya dihabisin ya? Biar kamu nggak mual-mual lagi." Ken menyiapkan bubur di mangkok untuk istrinya. "Iya, Mas. Temani makan ya?" balas Hanum dengan senyum tipis. Hanum berusaha tetap tenang, meski beberapa menit lalu hatinya bergemuruh kesal, emosi dan muak. Beragam pesan yang dikirimkan oleh Clarissa benar-benar membuat moodnya nggak karuan. Namun, di depan Ken dia berusaha untuk tetap tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. "Sini, duduk!" pinta Ken sembari menarik kursi di sampingnya. Hanum mendekat lalu duduk di samping suaminya. "Habiskan selagi masih hangat." Lagi-lagi Hanum mengangguk. "Kamu juga ikut makan, Mas. Ayo." Hanum membuka sebungkus bubur lalu menyiapkannya untuk Ken. "Tadinya mau barengan aja sekalian nyuapin kamu, Sayang." "Barengan juga boleh. Sini Hanum yang nyuapin." Sepasang suami istri itu saling melempar senyum. Hanum menyuapi Ken dengan semangkok buburnya, sementara Ken menyuapi Hanum dengan bubur miliknya. Setelah bubur habis,