Share

BAB 4

"Apa perpisahan ayah dan bunda karena Tante Vonny?" Sedikit ragu Aldo mengatakannya. Namun, pertanyaan polos anak lelakinya itu justru membuat Meira shock seketika. 

"Tante Vonny?" ulangnya lirih. Aldo mengangguk pelan. 

"Iya, Bun. Ayah pernah memperkenalkan tante itu pada Aldo saat ngobrol di handphone nenek. Ayah bilang itu teman kantornya kok, Bun. Bukan siapa-siapa. Aldo harap bunda dan ayah tak marahan lagi. Jadi, Aldo tetap bisa sekolah di sini." Wajah polos Aldo tak kuasa membuat Meira menitikkan air mata. Dia bisa memendam rasa sakitnya sndiri, tapi melihat Aldo seperti saat ini membuat batin Meira semakin tersiksa. 

'Apakah Mas Baim benar-benar memiliki wanita idaman lain sampai menjatuhkan talaknya begitu saja padaku? Apakah Tante Vonny yang dia perkenalkan pada Aldo itu adalah wanita idamannya? Jika memang iya, kepergianku rasanya bukanlah keputusan yang salah.' Berbagai pertanyaan dan pernyataan lalu lalang di benak Meira. 

Meira menghela napas panjang. Dia berusaha meyakinkan hatinya untuk melangkah, karena tetap tinggal di rumah itu jelas tak mungkin. Meira sadar status talaknya. Dia tak ingin merendahkan harga dirinya di depan Baim dan keluarga besarnya. 

Apapun yang terjadi setelah ini, Meira tetap ingin pergi dan tak akan menengok ke belakang lagi. Dia ingin meniti masa depan, bukan terus terbelenggu pada masa lalu yang menyakitkan. Soal Aldo, Meira akan berusaha menjelaskannya perlahan. 

"Kita mau kemana, Bun?" Aldo kembali bertanya saat aku tak mengajaknya ke rumah ayahnya.

"Kita kan mau pindah, Sayang. Oh iya lupa. Kamu mau pamit sama nenek dan Tante dulu ya?" Meira tersenyum tipis. Aldo pun mengangguk meski sedikit ragu. 

Meski sering disakiti fisik dan hatinya oleh Tante dan neneknya sendiri, tetap saja Aldo begitu menghormatinya. Anak sekecil itu memang jarang yang pendendam. Dia tetap menyayangi mereka dengan tulus. 

Meira harus kembali menata hati saat membalikkan badan dan melangkah kembali ke rumah berlantai dua itu. Ibu dan Lina pasti kembali menghinanya seperti tadi. 

Baru melewati pagar, teriakan Rumi, kakak kandung Baim membuat langkah Meira dan anak lelakinya terhenti seketika. Aldo merapatkan tubuhnya seperti biasa tiap kali mendengar teriakan saudara perempuan ayahnya itu. Rumi dan Lina tak jauh beda. Sama-sama sering membuat ulah dan memfitnah. 

Namun, di depan Baim mereka seolah menjadi ipar yang begitu perhatian pada Meira. Sandiwara palsu yang sering kali dibongkar Meira di depan suaminya sendiri. Namun, berkali-kali memberi bukti, berkali-kali pula tak percaya bahkan meminta Meira untuk tak menjelek-jelekkan saudaranya.  

Beruntung selama ini ada Ahmad, bapak mertua yang selalu membela Meira dan Aldo. Namun, setelah Ahmad tiada lima bulan lalu suasana semakin berubah. Rumah yang sebelumnya lebih adem karena senyum dan ketulusan Ahmad pada Mei dan cucunya, berubah menjadi rumah yang panas seolah berdiri di atas bara. 

"Ngapain kalian datang lagi? Bukannya Baim bilang kalian suruh segera angkat kaki dari sini??" Rumi menunjuk wajah Meira dengan jarinya. 

"Sorry. Kami ke sini karena Aldo mau pamitan, bukan minta uang saku!" sentak Meira kemudian. 

"Halah, alasan! Bilang saja nggak punya duit buat jalan, makanya ke sini lagi. Ini ada sisaan belanja tujuh puluh ribu. Bisa buat ongkos atau makan siang kalian berdua!" Aldo semakin mengeratkan pelukan lalu berbisik pelan. 

"Kita pergi saja, Bun. Aldo nggak suka lihat bunda disakiti." Seketika kedua mata Meira berkaca. Dia tak menyangka jika anak lelakinya akan bicara seperti itu. Meira memeluk jagoan kecilnya dengan hangat. Tak peduli berulang kali Rumi memintanya untuk mengambil uang yang disodorkannya. Meira tahu jika Rumi sengaja meremehkan dengan uang itu. Rumi pasti mengira jika Meira sangat membutuhkan uang dan mau tak mau mengambil uang yang diberikannya. 

"Ambil saja. Nggak usah malu-malu," ucap Rumi lagi saat Meira kembali berdiri lalu mengusap pelan puncak kepala Aldo dengan lembut. 

"Maaf, Mbak. Kami nggak butuh uangmu. Ambil saja buat beli es krim." Meira mengulas senyum tipis sembari melirik anak lelakinya yang ikut tersenyum. 

"Ribut lagi. Ribut lagi. Lagian kamu, Mei. Apa kurang jelas ucapan Baim tadi pagi? Kenapa masih di situ?" Soraya yang sudah dandan rapi ikut menimpali. Mungkin mau belanja atau sekadar jalan-jalan. Entah. 

Selama ini Meira tak terlalu memusingkan hal-hal seperti itu. Terserah mau belanja, menginap di hotel ataupun menghabiskan jatah bulanan. Meira hanya ingin mereka tak selalu mengusik hidupnya. Namun, keinginannya ternyata sia-sia. Nyatanya, mereka seolah tak rela melihatnya bahagia dan dimanjakan oleh Baim, suaminya sendiri. 

Beragam cara sudah mereka lakukan untuk mengadu domba Meira dengan Baim. Hanya saja selama ini Meira bisa mengatasinya. Lagi-lagi karena masih ada Ahmad yang menjadi penengah di antara mereka. 

Kini, setelah laki-laki hebat itu pergi, ibu dan saudara perempuan Baim seolah sorak-sorai dan bersekongkol untuk menjatuhkan Meira. Bahkan sengaja membuat Mei dibenci oleh suaminya sendiri. 

"Cucu ibu minta uang saku tuh," lirik Rumi ke arah Aldo yang masih memeluk pinggang bundanya. 

"Aldo nggak pernah minta saku kok, Nek. Cuma mau pamit saja. Aldo dan bunda mau pergi," ucap jagoan kecil itu lirih. Tepatnya sedikit takut melihat ekspresi budhenya yang menyeramkan baginya. 

"Kamu yang ngajari anakmu buat minta-minta, Mei?" Ibu menoleh. 

"Maaf, Bu. Aku nggak seperti ibu yang selalu mengajari anak-anaknya untuk minta duit pada suamiku. Aku selalu mengajari Aldo untuk menabung jika menginginkan sesuatu. Sekali lagi maaf kalau prinsip hidup kita tak sama. Permisi!" Meira tersenyum tipis sebelum meninggalkan dua perempuan itu. Mereka yang masih mematung di teras rumah dan tak bisa membalas sepatah katapun ucapan Meira. 

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status