"Apa perpisahan ayah dan bunda karena Tante Vonny?" Sedikit ragu Aldo mengatakannya. Namun, pertanyaan polos anak lelakinya itu justru membuat Meira shock seketika.
"Tante Vonny?" ulangnya lirih. Aldo mengangguk pelan. "Iya, Bun. Ayah pernah memperkenalkan tante itu pada Aldo saat ngobrol di handphone nenek. Ayah bilang itu teman kantornya kok, Bun. Bukan siapa-siapa. Aldo harap bunda dan ayah tak marahan lagi. Jadi, Aldo tetap bisa sekolah di sini." Wajah polos Aldo tak kuasa membuat Meira menitikkan air mata. Dia bisa memendam rasa sakitnya sndiri, tapi melihat Aldo seperti saat ini membuat batin Meira semakin tersiksa. 'Apakah Mas Baim benar-benar memiliki wanita idaman lain sampai menjatuhkan talaknya begitu saja padaku? Apakah Tante Vonny yang dia perkenalkan pada Aldo itu adalah wanita idamannya? Jika memang iya, kepergianku rasanya bukanlah keputusan yang salah.' Berbagai pertanyaan dan pernyataan lalu lalang di benak Meira. Meira menghela napas panjang. Dia berusaha meyakinkan hatinya untuk melangkah, karena tetap tinggal di rumah itu jelas tak mungkin. Meira sadar status talaknya. Dia tak ingin merendahkan harga dirinya di depan Baim dan keluarga besarnya. Apapun yang terjadi setelah ini, Meira tetap ingin pergi dan tak akan menengok ke belakang lagi. Dia ingin meniti masa depan, bukan terus terbelenggu pada masa lalu yang menyakitkan. Soal Aldo, Meira akan berusaha menjelaskannya perlahan. "Kita mau kemana, Bun?" Aldo kembali bertanya saat aku tak mengajaknya ke rumah ayahnya. "Kita kan mau pindah, Sayang. Oh iya lupa. Kamu mau pamit sama nenek dan Tante dulu ya?" Meira tersenyum tipis. Aldo pun mengangguk meski sedikit ragu. Meski sering disakiti fisik dan hatinya oleh Tante dan neneknya sendiri, tetap saja Aldo begitu menghormatinya. Anak sekecil itu memang jarang yang pendendam. Dia tetap menyayangi mereka dengan tulus. Meira harus kembali menata hati saat membalikkan badan dan melangkah kembali ke rumah berlantai dua itu. Ibu dan Lina pasti kembali menghinanya seperti tadi. Baru melewati pagar, teriakan Rumi, kakak kandung Baim membuat langkah Meira dan anak lelakinya terhenti seketika. Aldo merapatkan tubuhnya seperti biasa tiap kali mendengar teriakan saudara perempuan ayahnya itu. Rumi dan Lina tak jauh beda. Sama-sama sering membuat ulah dan memfitnah. Namun, di depan Baim mereka seolah menjadi ipar yang begitu perhatian pada Meira. Sandiwara palsu yang sering kali dibongkar Meira di depan suaminya sendiri. Namun, berkali-kali memberi bukti, berkali-kali pula tak percaya bahkan meminta Meira untuk tak menjelek-jelekkan saudaranya. Beruntung selama ini ada Ahmad, bapak mertua yang selalu membela Meira dan Aldo. Namun, setelah Ahmad tiada lima bulan lalu suasana semakin berubah. Rumah yang sebelumnya lebih adem karena senyum dan ketulusan Ahmad pada Mei dan cucunya, berubah menjadi rumah yang panas seolah berdiri di atas bara. "Ngapain kalian datang lagi? Bukannya Baim bilang kalian suruh segera angkat kaki dari sini??" Rumi menunjuk wajah Meira dengan jarinya. "Sorry. Kami ke sini karena Aldo mau pamitan, bukan minta uang saku!" sentak Meira kemudian. "Halah, alasan! Bilang saja nggak punya duit buat jalan, makanya ke sini lagi. Ini ada sisaan belanja tujuh puluh ribu. Bisa buat ongkos atau makan siang kalian berdua!" Aldo semakin mengeratkan pelukan lalu berbisik pelan. "Kita pergi saja, Bun. Aldo nggak suka lihat bunda disakiti." Seketika kedua mata Meira berkaca. Dia tak menyangka jika anak lelakinya akan bicara seperti itu. Meira memeluk jagoan kecilnya dengan hangat. Tak peduli berulang kali Rumi memintanya untuk mengambil uang yang disodorkannya. Meira tahu jika Rumi sengaja meremehkan dengan uang itu. Rumi pasti mengira jika Meira sangat membutuhkan uang dan mau tak mau mengambil uang yang diberikannya. "Ambil saja. Nggak usah malu-malu," ucap Rumi lagi saat Meira kembali berdiri lalu mengusap pelan puncak kepala Aldo dengan lembut. "Maaf, Mbak. Kami nggak butuh uangmu. Ambil saja buat beli es krim." Meira mengulas senyum tipis sembari melirik anak lelakinya yang ikut tersenyum. "Ribut lagi. Ribut lagi. Lagian kamu, Mei. Apa kurang jelas ucapan Baim tadi pagi? Kenapa masih di situ?" Soraya yang sudah dandan rapi ikut menimpali. Mungkin mau belanja atau sekadar jalan-jalan. Entah. Selama ini Meira tak terlalu memusingkan hal-hal seperti itu. Terserah mau belanja, menginap di hotel ataupun menghabiskan jatah bulanan. Meira hanya ingin mereka tak selalu mengusik hidupnya. Namun, keinginannya ternyata sia-sia. Nyatanya, mereka seolah tak rela melihatnya bahagia dan dimanjakan oleh Baim, suaminya sendiri. Beragam cara sudah mereka lakukan untuk mengadu domba Meira dengan Baim. Hanya saja selama ini Meira bisa mengatasinya. Lagi-lagi karena masih ada Ahmad yang menjadi penengah di antara mereka. Kini, setelah laki-laki hebat itu pergi, ibu dan saudara perempuan Baim seolah sorak-sorai dan bersekongkol untuk menjatuhkan Meira. Bahkan sengaja membuat Mei dibenci oleh suaminya sendiri. "Cucu ibu minta uang saku tuh," lirik Rumi ke arah Aldo yang masih memeluk pinggang bundanya. "Aldo nggak pernah minta saku kok, Nek. Cuma mau pamit saja. Aldo dan bunda mau pergi," ucap jagoan kecil itu lirih. Tepatnya sedikit takut melihat ekspresi budhenya yang menyeramkan baginya. "Kamu yang ngajari anakmu buat minta-minta, Mei?" Ibu menoleh. "Maaf, Bu. Aku nggak seperti ibu yang selalu mengajari anak-anaknya untuk minta duit pada suamiku. Aku selalu mengajari Aldo untuk menabung jika menginginkan sesuatu. Sekali lagi maaf kalau prinsip hidup kita tak sama. Permisi!" Meira tersenyum tipis sebelum meninggalkan dua perempuan itu. Mereka yang masih mematung di teras rumah dan tak bisa membalas sepatah katapun ucapan Meira. ***Meira mengajak Aldo segera pergi dari rumah itu. Tak ada gunanya tinggal di sana. Yang ada semakin menyesakkan dada karena terus disakiti batinnya. Bocah berusia sembilan tahun itu cukup mengerti bagaimana perasaan bundanya. Tak banyak tanya dan mengeluh, dia mengikuti langkah sang bunda keluar dari area perumahan itu. "Bunda jangan sedih. Aldo akan selalu menemani bunda," lirihnya dengan mata berkaca saat menunggu taksi datang. Tak kuasa menahan haru, Meira memeluk anak lelakinya lagi dan lagi. Dia merasa begitu beruntung memiliki Aldo yang pengertian terhadap masalah yang kini menimpanya. Tak menuntut untuk lekas dijelaskan ini dan itu. Aldo memilih diam dan mengikuti apapun keputusan bundanya. "Makasih, Sayang. Kamu memang anak terbaik dan terhebat bunda. Apa kamu takut tinggal bersama bunda saja?" tanya Meira sembari membingkai wajah Aldo. Mereka saling tatap, menekuri wajah masing-masing yang jelas terlihat sendu. Aldo tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak, Bun. Aldo
"Meira sudah pergi, Im. Sesuai permintaanmu, dia pergi tanpa membawa barang apapun." Soraya tersenyum tipis sembari duduk di sofa ruang tengah. Baim yang saat ini baru menyelesaikan makan siangnya hanya mengiyakan. Ada rasa pilu yang menyusup dalam dada. Namun, rasa kecewa yang dia rasakan telah melampaui batas. Baim tak ingin menyesali keputusannya menjatuhkan talak itu pada Meira. Gadis sederhana yang dia nikahi sepuluh tahun silam. "Meira itu sombong. Sebelum pergi, kakakmu sempat memberinya uang saku, tapi ditolak mentah-mentah. Dia bilang nggak butuh uang dari kita. Ibu yakin dia bakal minta saku dari laki-laki itu. Pantas saja saat kamu jatuhkan talak, dia biasa saja. Mungkin memang itu yang dia tunggu, Im." Soraya terus mengompori anak lelaki satu-satunya itu. Selama ini, lebih tepatnya setelah suaminya tiada, Soraya memang lebih bersemangat mengadu domba anak dan menantunya agar tak akur. Beragam cara dia lakukan agar keduanya berpisah. Tak hanya dia, kedua anak perempuanny
"Beli apalagi dong, Mas? Aku nggak tahu makanan dan barang kesukaan ibu kaya apa," ucap Vonny setelah keluar dari toko kue. "Kamu bilang dong makanan dan barang favorit ibu itu apa. Biar aku bisa cari yang kira-kira pas buat ibu. Takutnya ibu nggak suka pilihanku, aku kan jadi nggak enak, Mas." Vonny terus saja berceloteh, sementara Baim hanya membalasnya sesekali. "Ambil saja yang sesuai hatimu, ibu akan tetap menerimanya dengan baik, Von. Jangan terlalu banyak dan jangan mahal-mahal," balas Baim kemudian. "Ngasih orang tua itu harus yang terbaik, Mas." "Iya, tapi-- "Sudah. Sudah. Aku mau beliin ibu gamis dulu di toko itu ya? Kalau kamu nggak mau ikut, boleh tunggu di mobil saja. Nggak lama kok, aku segera balik." Vonny menyerahkan dua kotak kue ke tangan Baim sebelum pamit ke toko busana yang ada di seberang jalan. Hari ini adalah hari pertama Baim mengajak Vonny ke rumah. Gadis itu terlalu heboh, ingin begini dan begitu. Padahal Baim hanya menuruti permintaan ibunya untuk mem
Baim bergeming di tepi ranjang. Dia malas keluar karena ibunya masih terus menyudutkan Meira di depan Vonny. Baim tahu Meira tak sepolos yang dia kira, tapi dia merasa tak sepantasnya ibu selalu menyudutkannya. Baim masih saja tak rela jika ibu kembali mengungkit asal usulnya yang memang terbuang di panti asuhan. [Selamat tinggal, Mas. Berbahagialah dengan dunia barumu. Aku dan Aldo juga akan bahagia dengan lembaran baru kami. Satu hal yang harus kamu tahu, aku tak pernah mengkhianati pernikahan kita. Sepertinya justru kamulah yang mulai bermain mata] Baim cukup shock dengan pesan dan foto yang muncul di layar handphonenya. Meira. Kekhawatirannya benar-benar terjadi. Meira tahu kebersamaannya dengan Vonny di cafe tadi. "Aku tak pernah mengkhianati pernikahan kita." Baim tersenyum miring saat mengulang kalimat itu. Kata-kata yang baginya terlalu bo doh dan tak pantas dipercaya. Dua kali Baim memergoki Meira diantar pulang oleh Arya dan dua kali pula dia memaafkan kesalahannya. Bera
Baim mulai gelisah. Berulang kali mencoba menghubungi Meira, tapi berulang kali pula nomornya tak aktif. Baim memang belum sepenuhnya bisa mengikhlaskan Meira. Rasa cinta itu masih ada di dalam hatinya. Begitu pula rasa khawatir yang kini mendadak begitu terasa. Baim ingat jika tiga hari lalu Meira sempat bilang uang bulanannya habis karena diminta ibu untuk melunasi cicilan gamisnya. Hanya tersisa lima ratus ribu saja sampai akhir bulan. Itu artinya Meira tak memiliki uang cukup untuk pegangan. "Pergi kemana kamu, Mei? Apa kamu benar-benar pergi jauh seperti yang kukatakan dalam pesan itu? Apa kamu sesakit itu sampai mematikan handphonemu?" Baim bermonolog. Rasa takut mulai menelusup dalam hatinya. Dia takut jika Meira kecewa dan frustasi hingga melakukan hal-hal yang tak diinginkan. Ada secuil penyesalan dalam hatinya karena sudah meminta Meira pergi sejauh mungkin agar tak bisa ditemukannya lagi. "Seharusnya aku tak seegois itu. Bagaimana mungkin aku membiarkan Meira pergi tanp
Baim mengerjap. Dibaca kembali pesan dari bunda untuk kedua kalinya. Jika bunda menanyakan Meira, itu artinya dia tak ada di panti. Jika tak balik ke panti, lantas kemana Meira pergi? Baim kembali bingung dan mulai menduga-duga. Baim tahu pasti jika Meira tak memiliki siapa-siapa selain bunda dan keluarganya. Pikiran buruk pun mulai menyesaki benak. Mungkinkah Meira pergi bersama Arya? Apakah Arya berdusta soal keberangkatannya ke Belanda? Atau mereka memang sengaja merencanakan ini semua? Baim melemparkan vas bunga di meja rias ke dinding hingga hancur berkeping-keping. Pikirannya benar-benar kacau sekarang. Rasa cemburu dan emosi itu kembali menyala setelah mendapatkan pesan dari bunda. Baim mulai menerka-nerka siapa yang datang ke panti asuhan itu. "Nggak mungkin Arya. Iya, nggak mungkin! Aku harus yakin jika dia memang sudah ke Belanda tiga hari lalu. Tiketnya pun aku tahu. Lagipula dia bukan paruh baya. Usianya saja sama denganku baru menginjak kepala tiga. Kalau memang Arya y
Baim keluar kamar setelah mengganti pakaiannya dengan kaos hitam berkerah dan celana jeans di bawah lutut. Wajahnya tampak lebih segar setelah membersihkan badan. Vonny tersenyum tipis saat menatap lelaki itu sekilas. Soraya pun sempat melirik ke arahnya. Wanita itu sangat berharap jika Vonny benar-benar menjadi menantunya. Calon menantu yang selama ini diidam-idamkannya. "Sorry, Von. Agak kelelahan tadi, makanya istirahat di kamar. Gimana ibu? Pasti teramat cerewet kan?" Baim tersenyum tipis sembari melirik ibunya. "Kamu ini, sama ibu sendiri selalu dijelek-jelekkan." Soraya tersenyum kecut, sementara Vonny melebarkan senyumnya."Nggak kok, Mas. Ibu sangat ramah dan aku bersyukur bisa mengenal beliau. Sosoknya mengingatkanku pada mami yang telah tiada." Vonny menghela napas panjang lalu kembali menatap wanita paruh baya di depannya. Soraya dan Baim pun saling pandang. Keduanya tak tahu jika Vonny sudah tak memiliki ibu. "Oh, mami kamu sudah tiada?" Baim bertanya singkat. Vonny pun
Mei, hati-hati di jalan. Sampai Jogja kasih kabar ya? Biar nanti dijemput Dina. Dia baik kok, keluarganya juga sangat ramah. Aku sering dipaksa menginap di rumahnya tiap kali ke Jogja. Dia adik tingkatku saat kuliah dulu. Kami sering bertemu di perpustakaan saat itu karena sama-sama suka membaca buku. Aku sudah kasih nomor baru kamu ke dia. Bahagia di kota gudeg ya, Mei. Bukan depan aku menyusul ke sana] Pesan dari Una kembali membuat kedua mata Meira berkaca. Detik ini, Meira tak tahu bus yang ditumpanginya melaju sampai mana. Namun, dia cukup lega bisa meninggalkan ibukota yang sarat dengan luka. Berharap di kota baru nanti dia akan menemukan kebahagiaan yang selama ini dimimpikannya. Suasana bus remang-remang. Supir dan kondektur sepertinya masih mengobrol lirih di kursi depan, sementara Meira dan Aldo duduk di kursi ke tiga. Meira menatap anak lelakinya yang menggeliat pelan lalu kembali meringkuk di lengannya. Tak terasa mata bening itu pun kembali berkaca. Meira tak pernah me
Meira melirik jam mungil di tangannya, hadiah spesial dari sang suami tempo hari. Jarum jamenunjuk angka satu leboh sedikit. Meira baru saja menidurkan Dee di kamarnya lalu segera menuruni tangga karena sudah janji akan menjemput Aldo sore ini."Hari ini sama besok, Aldo mau dijemput bunda. Boleh, Bun?" pinta Aldo setelah sarapan pagi tadi. Tanpa menolak, Meira pun mengiyakan. Jarang sekali Aldo minta dijemput, mungkin dia sedang merindukan bundanya atau memang karena menjelang hari lahirnya jadi sedikit manja. Biasanya Meira juga sering jemput Aldo di sekolah sembari jalan-jalan dengan Dee, hanya saja akhir-akhir ini memang cukup sibuk. Ada beberapa hal yang harus dia kerjakan setelah sah menjadi istri Raka. Terlebih pasca kecelakaan beberapa hari lalu. "Mbak, tolong nanti sesekali cek Dee ya? Dia sudah tidur di kamar. Saya mau jemput Aldo dulu," ujar Meira sembari membenarkan letak kruknya. Pasca kecelakaan beberapa hari lalu, Meira memang belum sembuh total. Dia masih minta ban
"Kenapa tegang begitu, Pa? Ada masalah?" tanya Sundari cemas saat suaminya melangkah tergesa ke luar rumah. "Papa mau keluar sebentar, Ma. Ada yang harus diselesaikan. Mama nggak perlu cemas. Ini soal kecelakaan Raka dan Meira tempo hari," balas Wicaksono sembari membenarkan kemejanya. "Apa ada bukti lain, Pa?" Sundari ikut penasaran. Wicaksono memang cukup terbuka dalam hal apapun pada istrinya, termasuk soal penyelidikan kecelakaan itu. Makanya, Sundari ikut penasaran dengan hasil penyelidikan suaminya akhir-akhir ini. "Ada, Ma. Makanya, papa mau ke lokasi dulu. Doakan saja semua lekas terbongkar dan kita temukan dalang utamanya." Sundari mengangguk lalu mengusap puncak kepala Dee yang kini dalam gendongannya. "Hati-hati di jalan, Pa. Semoga dimudahkan semuanya." Wicaksono mengangguk lalu mengulurkan tangan kanannya, sementara Sundari mencium punggung tangan itu seperti biasa. Dee pun mengikuti apa yang dilakukan Omanya. Sundari mengantar suaminya sampai teras lalu meminta Pak
Hujan deras mengguyur kota Jogja siang itu, namun Wicaksono belum beranjak dari depan jendela kamarnya. Sesekali menatap taman kecil di luar jendela dengan beragam bunga yang mulai basah oleh gerimis. Tak selang lama, terdengar dering handphone di atas meja rias istrinya. Nama Surya muncul di layar. Sejak tadi, Wicaksono memang sedang menunggu panggilan dari lelaki yang sudah bertahun-tahun menjadi asisten pribadinya itu. Wicaksono tak sabar ingin mengetahui kabar penyelidikan kecelakaan anak dan menantunya tempo hari. "Gimana hasilnya, Sur?" tanya Wicaksono tanpa basa-basi setelah panggilan handphone itu dia terima. Suara bariton dari seberang terdengar jelas di telinga lelaki beruban itu. Dia mulai fokus dengan cerita Surya. "Foto dan beberapa video yang berhasil saya dapatkan dari beberapa titik CCTV sudah saya kirim ke email bapak. Bapak bisa cek sekarang," ujar Surya kemudian. "Apa ada yang janggal?" tanya Wicaksono lagi sembari membuka laptopnya. Perlahan mencar
"Kalian yakin kalau semua ini murni kecelakaan?" tanya Wicaksono untuk kedua kalinya saat anak dan menantunya telah keluar dari rumah sakit."Aku dengar dari orang-orang yang menolong kami di lokasi kejadian, pengemudi mobil itu memang sedang tergesa-gesa, Pa. Dia bilang istrinya masuk rumah sakit, makanya melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Saat kejadian, dia bilang berusaha memperlambat laju mobilnya, tapi sudah terlanjur bertabrakan dengan mobil kami." Raka kembali menjelaskan sesuai yang didengar dari orang-orang yang menolongnya saat itu. "Tapi entah mengapa papa masih belum yakin jika semua ini memang kebetulan semata, Ka. Apa nggak ada hal-hal yang mencurigakan lainnya?" ulang Wicaksono berusaha mencari sisi lain dari tragedi yang menimpa anak dan menantunya itu. Raka terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Melihat kondisi mobil yang kalian pakai sampai ringsek begitu, papa benar-benar tak bisa mengabaikan kejadian ini begitu saja. Beruntung kalian bisa selamat, meski
"Sayang .…" Suara Raka bergetar. Perlahan, Raka kembali mencium pipi istrinya lalu duduk di samping pembaringan."Mas, kenapa kamu di sini? Kamu juga harus istirahat," ujar Meira setelah membuka mata perlahan."Gimana mau istirahat, Sayang. Aku nggak bisa tenang kalau belum melihat keadaanmu, tapi kamu tak perlu risau. Aku baik-baik saja. Lihatlah, hanya ada luka kecil di kening dan lengan kanan saja." Raka memperlihatkan lukanya yang sudah diobati dan diperban."Alhamdulillah. Syukurlah kalau begitu, Mas. Aku bisa lebih tenang sekarang," lirih Meira. "Sayang, sekali lagi maafkan aku karena nggak bisa melindungimu.""Jangan bilang begitu, Mas. Musibah nggak ada yang tahu. Yang penting kita sama-sama selamat dan itu sudah cukup," balas Meira sembari membalas genggaman tangan suaminya. Tak selang lama, seorang perawat datang menghampiri keduanya. "Pak, sebaiknya bapak istirahat dulu. Kondisi bapak juga belum pulih. Soal Bu Meira, InsyaAllah kami akan berusaha menjaga dan merawatnya d
"Mei! Kamu baik-baik aja?" Raka meraih tangan Meira, meskipun tubuhnya terasa sakit akibat benturan. Keningnya berdarah terkena pecahan kaca. Lengan bajunya pun tampak kemerahan karena darah dan luka, sementara Meira terlihat lebih parah. "Sayang, maafkan aku. Kamu baik-baik saja kan?" lirih Raka dengan sisa tenaga yang ada. Kali ini dia benar-benar merasa bersalah sudah membuat istri tercintanya terluka seperti itu. Darah segar menetes di kening dan kaki Meira. Meira memang jauh lebih parah sebab bagian kiri mobil terbentur trotoar lalu menghantam pohon. Sepertinya dia mengalami patah tulang di bagian kaki. Entahlah. Meira hanya mampu mengeluarkan suara pelan. "Mas … aku …." Saat Meira perlahan membuka matanya, rasa sakit menjalar di tubuhnya. Pandangannya kabur, tetapi samar-samar ia mendengar kembali suara pria yang sangat dicintainya.Kepalanya terasa berat, tapi genggaman tangan Raka membuatnya tersadar jika lelaki itu masih berusaha melindunginya meski dalam kepayahan. Di te
Ken duduk di sofa ruang tamu, bersandar santai sambil memainkan ponselnya. Pandangannya sesekali melirik ke arah tangga, menunggu Raka dan Meira turun ke ruang makan. Ketika mendengar suara langkah kaki mereka, senyuman iseng langsung tersungging di wajahnya. “Wah, wah! Pengantin baru akhirnya turun juga!” Ken berseru, nadanya penuh godaan. Raka hanya tersenyum tipis dan menggeleng pelan, sementara Meira langsung menunduk malu dengan wajah yang bersemu merah. Ia mencubit lengan Raka pelan, seolah memintanya untuk menghentikan Ken. "Sudah tiga hari Ken, bukan baru lagi," balas Raka berharap adik kandungnya itu tak terus menggoda. "Baru tiga hari, belum tiga tahun. Itu masih sangat baru, Mas. Kinyis-kinyis." Ken terkekeh, apalagi saat melihat Meira mencelos dengan wajah semu merahnya. "Bercanda, Mei. Lihat deh, kalian berdua kelihatan sumringah banget pagi ini. Jangan-jangan…" Ken menaikkan alisnya, menatap kakak dan iparnya itu dengan ekspresi penuh arti. “Sudah cukup, Ken
Adzan subuh berkumandang. Raka sudah keluar dari kamar mandi. Entah mengapa dia merasa teramat gerah sampai akhirnya mandi untuk kedua kalinya. Meira pun tersenyum melihat suaminya muncul dengan rambut yang basah. "Buruan mandi, sholat subuh sendiri ya? Aku mau ke masjid sama papa." Raka tersenyum lalu buru-buru memakai baju lengan panjang dan sarung kesayangan. Tak lupa membawa sajadah di pundaknya. Setelah mengucap salam, Raka keluar kamar sementara Meira kembali menutup wajahnya dengan telapak tangan. Debar di dadanya masih begitu terasa. Dia teramat gugup sekarang, tapi di sudut hati lain terasa berbunga-bunga. Tak munafik jika detik ini dia teramat bahagia. Tak membuang waktu, Meira beranjak dari ranjang lalu mandi wajib. Setelahnya baru menjalankan ibadah dua rakaat. Tepat saat mengucap salam, Raka masuk ke kamar. Meira kembali menatap wajah tampan itu sembari membuka mukenanya. "Sudah selesai kan? Tunggu sebentar di sini."Melihat anggukan istrinya, Raka pun tersenyum lalu
Alarm handphone Raka berdering. Suasana masih sangat hening, hanya terdengar detak jarum jam yang terus berputar. Kali ini, Raka memang bangun lebih pagi dibanding biasanya. Sengaja karena ingin menikmati keindahan paginya yang berbeda. Matanya tertuju pada sosok Meira yang masih terlelap di sampingnya. Ia tersenyum tipis, merasa tenang sekaligus tak percaya. Meira kini telah sah menjadi istrinya, dan malam yang baru saja berlalu terasa seperti mimpi yang menyatukan mereka dengan lebih mendalam.Raka bukanlah tipe pria yang pandai mengungkapkan perasaannya secara terbuka. Ia pria dingin yang lebih banyak diam. Namun, di balik sikapnya yang tenang dan tertutup, ia memiliki rasa cinta yang begitu dalam pada wanita yang kini ada di sampingnya. Meira tahu hal itu, meski Raka jarang mengucapkannya langsung."Istriku benar-benar cantik. Wajahnya teduh dan polos tanpa polesan make up ," lirih Raka sembari terus menatap wajah Meira. Saat melihat istrinya menggeliat, Raka salah tingkah. Dia