"Kamu nggak ada hak mengurusi isi rekeningku, Lin. Karena apa? Nggak semua isinya dari kantong kakakmu. Paham?!" sentak Meira sengit. Lina kembali mencibir.
"Nggak tahu malu. Sudah ditalak dan diminta tak membawa uang sepeserpun masih saja-- "Bicara saja terus, sepuasmu. Sampai mulutmu berbusa. Aku nggak peduli. Maaf, aku bukan tipe perempuan yang doyan ngemis dan mengiba seperti kamu demi mendapatkan barang yang kusuka. Kita beda level, Lina. Jadi, jangan samakan aku dengan kamu! Sorry!" Meira tersenyum miring melihat ekspresi Lina yang begitu shock. Perempuan itu pasti tak mengira jika Meira yang lembut dan kalem itu bisa mengucapkan kalimat-kalimat menohok untuknya. Wajahnya mendadak merah padam antara malu, marah dan kesal. Campur aduk, tapi mendadak kehabisan kata untuk membalas hinaan kakak iparnya. Meira keluar rumah. Tak peduli suara Lina yang mulai memaki-maki dirinya dan menyebutnya perempuan tak tahu diuntung. Meira tak peduli. Dia melangkahkan kaki menuju sekolah Aldo yang tak jauh dari rumah suaminya. Hanya lima menitan dari rumah, Meira sudah sampai di sekolah yang baru dibangun delapan tahun belakangan itu. Sebelum bel pulang sekolah, Meira melangkah ke ruang kepala sekolah untuk membicarakan kepindahan Aldo. Sebenarnya dia tak ingin menceritakan masalah keluarganya. Hanya saja, dia harus jujur pada pihak sekolah alasannya memindahkan Aldo dari sana. Beruntung Aldo baru dua minggu menginjak bangku kelas tiga. Jadi, Meira merasa masih bisa mengejar ketertinggalan saat pindah sekolah nanti. "Maaf sebelumnya kalau kami boleh tahu, apa alasan ibu Meira memindahkan Aldo dari sini? Apakah sekolah kami kurang nyaman atau kurang bagus menurut ibu? Jika memang iya, ibu bisa menjelaskan pada kami di mana titik kelemahannya agar kami bisa berbenah." Pak Sultan, kepala sekolah Aldo begitu santun menanyakan alasan keputusan Meira yang sudah bulat itu. "Bukan masalah kurang nyaman atau kurang bagus, Pak. Saya mohon maaf sekali kalau bapak berpikir sampai ke arah sana. Alasan saya memindahkan sekolah Aldo sebenarnya karena masalah keluarga. Jadi, saya akan mengajak Aldo pergi dari kota ini, Pak. Makanya sebelum pindah saya ingin mengurus semuanya dulu supaya nanti lebih tenang." Meira tersenyum tipis sembari mengangguk pelan. Dia berharap Sultan tak menanyakan detail masalah keluarganya karena Meira bingung menjelaskannya bagaimana. "Jadi, ibu Mei dan Pak Baim mau pindah ke Jogja makanya Aldo juga harus pindah sekolah. Begitu, Bu?" tanya Sultan lagi sembari mengisi berkas-berkas yang diminta Meira. "Saya sama Aldo saja, Pak. Ayahnya tetap tinggal di sini." Kali ini wajah Meira sedikit sendu. Dia mencoba tersenyum, tapi begitu ketara jika dia tak baik-baik saja. "Oh ... saya paham. Maaf kalau terkesan menyudutkan. Saya isi data-datanya dulu ya, Bu." Sultan pun mengerti apa maksud masalah keluarga yang sempat diucapkan wali muridnya tadi. Tak ingin bertanya lebih yang tentu akan membuat wali muridnya tak enak hati, Sultan lebih memilih mengikuti kemauannya. "Sekolah di sini atau di manapun tak jauh beda, Bu. Intinya mendidik anak-anak agar lebih pintar. Tak sekadar fokus memberikan nilai-nilai akademiknya, tapi juga membimbing dan mengajari anak-anak untuk bertingkah laku lebih baik. Agar mereka bisa mengontrol emosi, bersosialisasi dan mengenal Allah. Semoga Aldo bisa lebih baik di sekolah barunya nanti ya, Bu. Untuk ibu dan bapak, semoga diberi jalan terbaik. Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk semuanya." Sultan kembali memberikan sedikit pesan dan pengertiannya pada Meira selalu wali anak didiknya. "Terima kasih banyak, Pak. Saya juga sangat berterimakasih karena bapak dan guru-guru di sini mau membimbing anak saya dengan baik dan sabar. Semoga dibalas dengan kebaikan yang berlipat oleh Allah. Aamiin." Keduanya sama-sama mengaminkan doa masing-masing. Setelah urusan dengan kepala sekolah dan pemilik yayasan beres, Meira pun melangkah tergesa ke kelas Aldo. Suasana mulai sepi karena beberapa siswa sudah keluar kelas. Tersisa empat siswa yang belum dijemput orang tuanya dan wali kelasnya saja. Tanpa membuang waktu, Meira pun berpamitan dan menceritakan rencana kepindahan Aldo ke Jogja. Dia juga memperlihatkan berkas-berkas yang sudah ditandatangani kepala sekolah dan disahkan pemilik yayasan untuknya. Meski dengan berat hati karena terlalu mendadak, wali kelas dan beberapa guru pun melepaskan Aldo untuk melanjutkan pendidikannya di tempat lain. "Bun, memangnya kita mau pindah? Kok mendadak begini?" tanya Aldo dengan polosnya. Meira memang mengurus semuanya lebih dulu sebelum menceritakannya pada Aldo. Selain karena memang mendadak ditalak dan diusir, Meira juga masih mencari cara untuk menjelaskan pada Aldo apa alasan kepindahannya. "Alasan pindah ini karena ayah ya, Bun?" tebak Aldo lirih seolah tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara bunda dan ayahnya. "Ayah dan bunda harus berpisah, Sayang. Kita akan hidup di Jogja dan ayah bisa sesekali menjenguk kita di sana. Kamu nggak apa-apa kan?" Meira mencoba meredam rasa sesak di dadanya. Air bening yang nyaris menyembul keluar dari kelopak matanya itu pun berusaha ditekan sedemikian rupa. Meira nggak mau Aldo melihat tangis pilunya. Dia ingin terlihat baik-baik saja di mata anak semata wayangnya itu. "Bunda dan ayah mau berpisah?" Suara Aldo sedikit terbata. Meira hanya menghela napas. Dia benar-benar kesulitan memberikan jawaban. Terlalu berat dan menyakitkan. "Apa perpisahan ayah dan bunda karena Tante Vonny?" Sedikit ragu Aldo mengatakannya. Namun, pertanyaan polos anak lelakinya itu justru membuat Meira shock seketika. ***"Apa perpisahan ayah dan bunda karena Tante Vonny?" Sedikit ragu Aldo mengatakannya. Namun, pertanyaan polos anak lelakinya itu justru membuat Meira shock seketika. "Tante Vonny?" ulangnya lirih. Aldo mengangguk pelan. "Iya, Bun. Ayah pernah memperkenalkan tante itu pada Aldo saat ngobrol di handphone nenek. Ayah bilang itu teman kantornya kok, Bun. Bukan siapa-siapa. Aldo harap bunda dan ayah tak marahan lagi. Jadi, Aldo tetap bisa sekolah di sini." Wajah polos Aldo tak kuasa membuat Meira menitikkan air mata. Dia bisa memendam rasa sakitnya sndiri, tapi melihat Aldo seperti saat ini membuat batin Meira semakin tersiksa. 'Apakah Mas Baim benar-benar memiliki wanita idaman lain sampai menjatuhkan talaknya begitu saja padaku? Apakah Tante Vonny yang dia perkenalkan pada Aldo itu adalah wanita idamannya? Jika memang iya, kepergianku rasanya bukanlah keputusan yang salah.' Berbagai pertanyaan dan pernyataan lalu lalang di benak Meira. Meira menghela napas panjang. Dia berusaha meyaki
Meira mengajak Aldo segera pergi dari rumah itu. Tak ada gunanya tinggal di sana. Yang ada semakin menyesakkan dada karena terus disakiti batinnya. Bocah berusia sembilan tahun itu cukup mengerti bagaimana perasaan bundanya. Tak banyak tanya dan mengeluh, dia mengikuti langkah sang bunda keluar dari area perumahan itu. "Bunda jangan sedih. Aldo akan selalu menemani bunda," lirihnya dengan mata berkaca saat menunggu taksi datang. Tak kuasa menahan haru, Meira memeluk anak lelakinya lagi dan lagi. Dia merasa begitu beruntung memiliki Aldo yang pengertian terhadap masalah yang kini menimpanya. Tak menuntut untuk lekas dijelaskan ini dan itu. Aldo memilih diam dan mengikuti apapun keputusan bundanya. "Makasih, Sayang. Kamu memang anak terbaik dan terhebat bunda. Apa kamu takut tinggal bersama bunda saja?" tanya Meira sembari membingkai wajah Aldo. Mereka saling tatap, menekuri wajah masing-masing yang jelas terlihat sendu. Aldo tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak, Bun. Aldo
"Meira sudah pergi, Im. Sesuai permintaanmu, dia pergi tanpa membawa barang apapun." Soraya tersenyum tipis sembari duduk di sofa ruang tengah. Baim yang saat ini baru menyelesaikan makan siangnya hanya mengiyakan. Ada rasa pilu yang menyusup dalam dada. Namun, rasa kecewa yang dia rasakan telah melampaui batas. Baim tak ingin menyesali keputusannya menjatuhkan talak itu pada Meira. Gadis sederhana yang dia nikahi sepuluh tahun silam. "Meira itu sombong. Sebelum pergi, kakakmu sempat memberinya uang saku, tapi ditolak mentah-mentah. Dia bilang nggak butuh uang dari kita. Ibu yakin dia bakal minta saku dari laki-laki itu. Pantas saja saat kamu jatuhkan talak, dia biasa saja. Mungkin memang itu yang dia tunggu, Im." Soraya terus mengompori anak lelaki satu-satunya itu. Selama ini, lebih tepatnya setelah suaminya tiada, Soraya memang lebih bersemangat mengadu domba anak dan menantunya agar tak akur. Beragam cara dia lakukan agar keduanya berpisah. Tak hanya dia, kedua anak perempuanny
"Beli apalagi dong, Mas? Aku nggak tahu makanan dan barang kesukaan ibu kaya apa," ucap Vonny setelah keluar dari toko kue. "Kamu bilang dong makanan dan barang favorit ibu itu apa. Biar aku bisa cari yang kira-kira pas buat ibu. Takutnya ibu nggak suka pilihanku, aku kan jadi nggak enak, Mas." Vonny terus saja berceloteh, sementara Baim hanya membalasnya sesekali. "Ambil saja yang sesuai hatimu, ibu akan tetap menerimanya dengan baik, Von. Jangan terlalu banyak dan jangan mahal-mahal," balas Baim kemudian. "Ngasih orang tua itu harus yang terbaik, Mas." "Iya, tapi-- "Sudah. Sudah. Aku mau beliin ibu gamis dulu di toko itu ya? Kalau kamu nggak mau ikut, boleh tunggu di mobil saja. Nggak lama kok, aku segera balik." Vonny menyerahkan dua kotak kue ke tangan Baim sebelum pamit ke toko busana yang ada di seberang jalan. Hari ini adalah hari pertama Baim mengajak Vonny ke rumah. Gadis itu terlalu heboh, ingin begini dan begitu. Padahal Baim hanya menuruti permintaan ibunya untuk mem
Baim bergeming di tepi ranjang. Dia malas keluar karena ibunya masih terus menyudutkan Meira di depan Vonny. Baim tahu Meira tak sepolos yang dia kira, tapi dia merasa tak sepantasnya ibu selalu menyudutkannya. Baim masih saja tak rela jika ibu kembali mengungkit asal usulnya yang memang terbuang di panti asuhan. [Selamat tinggal, Mas. Berbahagialah dengan dunia barumu. Aku dan Aldo juga akan bahagia dengan lembaran baru kami. Satu hal yang harus kamu tahu, aku tak pernah mengkhianati pernikahan kita. Sepertinya justru kamulah yang mulai bermain mata] Baim cukup shock dengan pesan dan foto yang muncul di layar handphonenya. Meira. Kekhawatirannya benar-benar terjadi. Meira tahu kebersamaannya dengan Vonny di cafe tadi. "Aku tak pernah mengkhianati pernikahan kita." Baim tersenyum miring saat mengulang kalimat itu. Kata-kata yang baginya terlalu bo doh dan tak pantas dipercaya. Dua kali Baim memergoki Meira diantar pulang oleh Arya dan dua kali pula dia memaafkan kesalahannya. Bera
Baim mulai gelisah. Berulang kali mencoba menghubungi Meira, tapi berulang kali pula nomornya tak aktif. Baim memang belum sepenuhnya bisa mengikhlaskan Meira. Rasa cinta itu masih ada di dalam hatinya. Begitu pula rasa khawatir yang kini mendadak begitu terasa. Baim ingat jika tiga hari lalu Meira sempat bilang uang bulanannya habis karena diminta ibu untuk melunasi cicilan gamisnya. Hanya tersisa lima ratus ribu saja sampai akhir bulan. Itu artinya Meira tak memiliki uang cukup untuk pegangan. "Pergi kemana kamu, Mei? Apa kamu benar-benar pergi jauh seperti yang kukatakan dalam pesan itu? Apa kamu sesakit itu sampai mematikan handphonemu?" Baim bermonolog. Rasa takut mulai menelusup dalam hatinya. Dia takut jika Meira kecewa dan frustasi hingga melakukan hal-hal yang tak diinginkan. Ada secuil penyesalan dalam hatinya karena sudah meminta Meira pergi sejauh mungkin agar tak bisa ditemukannya lagi. "Seharusnya aku tak seegois itu. Bagaimana mungkin aku membiarkan Meira pergi tanp
Baim mengerjap. Dibaca kembali pesan dari bunda untuk kedua kalinya. Jika bunda menanyakan Meira, itu artinya dia tak ada di panti. Jika tak balik ke panti, lantas kemana Meira pergi? Baim kembali bingung dan mulai menduga-duga. Baim tahu pasti jika Meira tak memiliki siapa-siapa selain bunda dan keluarganya. Pikiran buruk pun mulai menyesaki benak. Mungkinkah Meira pergi bersama Arya? Apakah Arya berdusta soal keberangkatannya ke Belanda? Atau mereka memang sengaja merencanakan ini semua? Baim melemparkan vas bunga di meja rias ke dinding hingga hancur berkeping-keping. Pikirannya benar-benar kacau sekarang. Rasa cemburu dan emosi itu kembali menyala setelah mendapatkan pesan dari bunda. Baim mulai menerka-nerka siapa yang datang ke panti asuhan itu. "Nggak mungkin Arya. Iya, nggak mungkin! Aku harus yakin jika dia memang sudah ke Belanda tiga hari lalu. Tiketnya pun aku tahu. Lagipula dia bukan paruh baya. Usianya saja sama denganku baru menginjak kepala tiga. Kalau memang Arya y
Baim keluar kamar setelah mengganti pakaiannya dengan kaos hitam berkerah dan celana jeans di bawah lutut. Wajahnya tampak lebih segar setelah membersihkan badan. Vonny tersenyum tipis saat menatap lelaki itu sekilas. Soraya pun sempat melirik ke arahnya. Wanita itu sangat berharap jika Vonny benar-benar menjadi menantunya. Calon menantu yang selama ini diidam-idamkannya. "Sorry, Von. Agak kelelahan tadi, makanya istirahat di kamar. Gimana ibu? Pasti teramat cerewet kan?" Baim tersenyum tipis sembari melirik ibunya. "Kamu ini, sama ibu sendiri selalu dijelek-jelekkan." Soraya tersenyum kecut, sementara Vonny melebarkan senyumnya."Nggak kok, Mas. Ibu sangat ramah dan aku bersyukur bisa mengenal beliau. Sosoknya mengingatkanku pada mami yang telah tiada." Vonny menghela napas panjang lalu kembali menatap wanita paruh baya di depannya. Soraya dan Baim pun saling pandang. Keduanya tak tahu jika Vonny sudah tak memiliki ibu. "Oh, mami kamu sudah tiada?" Baim bertanya singkat. Vonny pun
Meira melirik jam mungil di tangannya, hadiah spesial dari sang suami tempo hari. Jarum jamenunjuk angka satu leboh sedikit. Meira baru saja menidurkan Dee di kamarnya lalu segera menuruni tangga karena sudah janji akan menjemput Aldo sore ini."Hari ini sama besok, Aldo mau dijemput bunda. Boleh, Bun?" pinta Aldo setelah sarapan pagi tadi. Tanpa menolak, Meira pun mengiyakan. Jarang sekali Aldo minta dijemput, mungkin dia sedang merindukan bundanya atau memang karena menjelang hari lahirnya jadi sedikit manja. Biasanya Meira juga sering jemput Aldo di sekolah sembari jalan-jalan dengan Dee, hanya saja akhir-akhir ini memang cukup sibuk. Ada beberapa hal yang harus dia kerjakan setelah sah menjadi istri Raka. Terlebih pasca kecelakaan beberapa hari lalu. "Mbak, tolong nanti sesekali cek Dee ya? Dia sudah tidur di kamar. Saya mau jemput Aldo dulu," ujar Meira sembari membenarkan letak kruknya. Pasca kecelakaan beberapa hari lalu, Meira memang belum sembuh total. Dia masih minta ban
"Kenapa tegang begitu, Pa? Ada masalah?" tanya Sundari cemas saat suaminya melangkah tergesa ke luar rumah. "Papa mau keluar sebentar, Ma. Ada yang harus diselesaikan. Mama nggak perlu cemas. Ini soal kecelakaan Raka dan Meira tempo hari," balas Wicaksono sembari membenarkan kemejanya. "Apa ada bukti lain, Pa?" Sundari ikut penasaran. Wicaksono memang cukup terbuka dalam hal apapun pada istrinya, termasuk soal penyelidikan kecelakaan itu. Makanya, Sundari ikut penasaran dengan hasil penyelidikan suaminya akhir-akhir ini. "Ada, Ma. Makanya, papa mau ke lokasi dulu. Doakan saja semua lekas terbongkar dan kita temukan dalang utamanya." Sundari mengangguk lalu mengusap puncak kepala Dee yang kini dalam gendongannya. "Hati-hati di jalan, Pa. Semoga dimudahkan semuanya." Wicaksono mengangguk lalu mengulurkan tangan kanannya, sementara Sundari mencium punggung tangan itu seperti biasa. Dee pun mengikuti apa yang dilakukan Omanya. Sundari mengantar suaminya sampai teras lalu meminta Pak
Hujan deras mengguyur kota Jogja siang itu, namun Wicaksono belum beranjak dari depan jendela kamarnya. Sesekali menatap taman kecil di luar jendela dengan beragam bunga yang mulai basah oleh gerimis. Tak selang lama, terdengar dering handphone di atas meja rias istrinya. Nama Surya muncul di layar. Sejak tadi, Wicaksono memang sedang menunggu panggilan dari lelaki yang sudah bertahun-tahun menjadi asisten pribadinya itu. Wicaksono tak sabar ingin mengetahui kabar penyelidikan kecelakaan anak dan menantunya tempo hari. "Gimana hasilnya, Sur?" tanya Wicaksono tanpa basa-basi setelah panggilan handphone itu dia terima. Suara bariton dari seberang terdengar jelas di telinga lelaki beruban itu. Dia mulai fokus dengan cerita Surya. "Foto dan beberapa video yang berhasil saya dapatkan dari beberapa titik CCTV sudah saya kirim ke email bapak. Bapak bisa cek sekarang," ujar Surya kemudian. "Apa ada yang janggal?" tanya Wicaksono lagi sembari membuka laptopnya. Perlahan mencar
"Kalian yakin kalau semua ini murni kecelakaan?" tanya Wicaksono untuk kedua kalinya saat anak dan menantunya telah keluar dari rumah sakit."Aku dengar dari orang-orang yang menolong kami di lokasi kejadian, pengemudi mobil itu memang sedang tergesa-gesa, Pa. Dia bilang istrinya masuk rumah sakit, makanya melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Saat kejadian, dia bilang berusaha memperlambat laju mobilnya, tapi sudah terlanjur bertabrakan dengan mobil kami." Raka kembali menjelaskan sesuai yang didengar dari orang-orang yang menolongnya saat itu. "Tapi entah mengapa papa masih belum yakin jika semua ini memang kebetulan semata, Ka. Apa nggak ada hal-hal yang mencurigakan lainnya?" ulang Wicaksono berusaha mencari sisi lain dari tragedi yang menimpa anak dan menantunya itu. Raka terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Melihat kondisi mobil yang kalian pakai sampai ringsek begitu, papa benar-benar tak bisa mengabaikan kejadian ini begitu saja. Beruntung kalian bisa selamat, meski
"Sayang .…" Suara Raka bergetar. Perlahan, Raka kembali mencium pipi istrinya lalu duduk di samping pembaringan."Mas, kenapa kamu di sini? Kamu juga harus istirahat," ujar Meira setelah membuka mata perlahan."Gimana mau istirahat, Sayang. Aku nggak bisa tenang kalau belum melihat keadaanmu, tapi kamu tak perlu risau. Aku baik-baik saja. Lihatlah, hanya ada luka kecil di kening dan lengan kanan saja." Raka memperlihatkan lukanya yang sudah diobati dan diperban."Alhamdulillah. Syukurlah kalau begitu, Mas. Aku bisa lebih tenang sekarang," lirih Meira. "Sayang, sekali lagi maafkan aku karena nggak bisa melindungimu.""Jangan bilang begitu, Mas. Musibah nggak ada yang tahu. Yang penting kita sama-sama selamat dan itu sudah cukup," balas Meira sembari membalas genggaman tangan suaminya. Tak selang lama, seorang perawat datang menghampiri keduanya. "Pak, sebaiknya bapak istirahat dulu. Kondisi bapak juga belum pulih. Soal Bu Meira, InsyaAllah kami akan berusaha menjaga dan merawatnya d
"Mei! Kamu baik-baik aja?" Raka meraih tangan Meira, meskipun tubuhnya terasa sakit akibat benturan. Keningnya berdarah terkena pecahan kaca. Lengan bajunya pun tampak kemerahan karena darah dan luka, sementara Meira terlihat lebih parah. "Sayang, maafkan aku. Kamu baik-baik saja kan?" lirih Raka dengan sisa tenaga yang ada. Kali ini dia benar-benar merasa bersalah sudah membuat istri tercintanya terluka seperti itu. Darah segar menetes di kening dan kaki Meira. Meira memang jauh lebih parah sebab bagian kiri mobil terbentur trotoar lalu menghantam pohon. Sepertinya dia mengalami patah tulang di bagian kaki. Entahlah. Meira hanya mampu mengeluarkan suara pelan. "Mas … aku …." Saat Meira perlahan membuka matanya, rasa sakit menjalar di tubuhnya. Pandangannya kabur, tetapi samar-samar ia mendengar kembali suara pria yang sangat dicintainya.Kepalanya terasa berat, tapi genggaman tangan Raka membuatnya tersadar jika lelaki itu masih berusaha melindunginya meski dalam kepayahan. Di te
Ken duduk di sofa ruang tamu, bersandar santai sambil memainkan ponselnya. Pandangannya sesekali melirik ke arah tangga, menunggu Raka dan Meira turun ke ruang makan. Ketika mendengar suara langkah kaki mereka, senyuman iseng langsung tersungging di wajahnya. “Wah, wah! Pengantin baru akhirnya turun juga!” Ken berseru, nadanya penuh godaan. Raka hanya tersenyum tipis dan menggeleng pelan, sementara Meira langsung menunduk malu dengan wajah yang bersemu merah. Ia mencubit lengan Raka pelan, seolah memintanya untuk menghentikan Ken. "Sudah tiga hari Ken, bukan baru lagi," balas Raka berharap adik kandungnya itu tak terus menggoda. "Baru tiga hari, belum tiga tahun. Itu masih sangat baru, Mas. Kinyis-kinyis." Ken terkekeh, apalagi saat melihat Meira mencelos dengan wajah semu merahnya. "Bercanda, Mei. Lihat deh, kalian berdua kelihatan sumringah banget pagi ini. Jangan-jangan…" Ken menaikkan alisnya, menatap kakak dan iparnya itu dengan ekspresi penuh arti. “Sudah cukup, Ken
Adzan subuh berkumandang. Raka sudah keluar dari kamar mandi. Entah mengapa dia merasa teramat gerah sampai akhirnya mandi untuk kedua kalinya. Meira pun tersenyum melihat suaminya muncul dengan rambut yang basah. "Buruan mandi, sholat subuh sendiri ya? Aku mau ke masjid sama papa." Raka tersenyum lalu buru-buru memakai baju lengan panjang dan sarung kesayangan. Tak lupa membawa sajadah di pundaknya. Setelah mengucap salam, Raka keluar kamar sementara Meira kembali menutup wajahnya dengan telapak tangan. Debar di dadanya masih begitu terasa. Dia teramat gugup sekarang, tapi di sudut hati lain terasa berbunga-bunga. Tak munafik jika detik ini dia teramat bahagia. Tak membuang waktu, Meira beranjak dari ranjang lalu mandi wajib. Setelahnya baru menjalankan ibadah dua rakaat. Tepat saat mengucap salam, Raka masuk ke kamar. Meira kembali menatap wajah tampan itu sembari membuka mukenanya. "Sudah selesai kan? Tunggu sebentar di sini."Melihat anggukan istrinya, Raka pun tersenyum lalu
Alarm handphone Raka berdering. Suasana masih sangat hening, hanya terdengar detak jarum jam yang terus berputar. Kali ini, Raka memang bangun lebih pagi dibanding biasanya. Sengaja karena ingin menikmati keindahan paginya yang berbeda. Matanya tertuju pada sosok Meira yang masih terlelap di sampingnya. Ia tersenyum tipis, merasa tenang sekaligus tak percaya. Meira kini telah sah menjadi istrinya, dan malam yang baru saja berlalu terasa seperti mimpi yang menyatukan mereka dengan lebih mendalam.Raka bukanlah tipe pria yang pandai mengungkapkan perasaannya secara terbuka. Ia pria dingin yang lebih banyak diam. Namun, di balik sikapnya yang tenang dan tertutup, ia memiliki rasa cinta yang begitu dalam pada wanita yang kini ada di sampingnya. Meira tahu hal itu, meski Raka jarang mengucapkannya langsung."Istriku benar-benar cantik. Wajahnya teduh dan polos tanpa polesan make up ," lirih Raka sembari terus menatap wajah Meira. Saat melihat istrinya menggeliat, Raka salah tingkah. Dia