"Kamu nggak ada hak mengurusi isi rekeningku, Lin. Karena apa? Nggak semua isinya dari kantong kakakmu. Paham?!" sentak Meira sengit. Lina kembali mencibir.
"Nggak tahu malu. Sudah ditalak dan diminta tak membawa uang sepeserpun masih saja-- "Bicara saja terus, sepuasmu. Sampai mulutmu berbusa. Aku nggak peduli. Maaf, aku bukan tipe perempuan yang doyan ngemis dan mengiba seperti kamu demi mendapatkan barang yang kusuka. Kita beda level, Lina. Jadi, jangan samakan aku dengan kamu! Sorry!" Meira tersenyum miring melihat ekspresi Lina yang begitu shock. Perempuan itu pasti tak mengira jika Meira yang lembut dan kalem itu bisa mengucapkan kalimat-kalimat menohok untuknya. Wajahnya mendadak merah padam antara malu, marah dan kesal. Campur aduk, tapi mendadak kehabisan kata untuk membalas hinaan kakak iparnya. Meira keluar rumah. Tak peduli suara Lina yang mulai memaki-maki dirinya dan menyebutnya perempuan tak tahu diuntung. Meira tak peduli. Dia melangkahkan kaki menuju sekolah Aldo yang tak jauh dari rumah suaminya. Hanya lima menitan dari rumah, Meira sudah sampai di sekolah yang baru dibangun delapan tahun belakangan itu. Sebelum bel pulang sekolah, Meira melangkah ke ruang kepala sekolah untuk membicarakan kepindahan Aldo. Sebenarnya dia tak ingin menceritakan masalah keluarganya. Hanya saja, dia harus jujur pada pihak sekolah alasannya memindahkan Aldo dari sana. Beruntung Aldo baru dua minggu menginjak bangku kelas tiga. Jadi, Meira merasa masih bisa mengejar ketertinggalan saat pindah sekolah nanti. "Maaf sebelumnya kalau kami boleh tahu, apa alasan ibu Meira memindahkan Aldo dari sini? Apakah sekolah kami kurang nyaman atau kurang bagus menurut ibu? Jika memang iya, ibu bisa menjelaskan pada kami di mana titik kelemahannya agar kami bisa berbenah." Pak Sultan, kepala sekolah Aldo begitu santun menanyakan alasan keputusan Meira yang sudah bulat itu. "Bukan masalah kurang nyaman atau kurang bagus, Pak. Saya mohon maaf sekali kalau bapak berpikir sampai ke arah sana. Alasan saya memindahkan sekolah Aldo sebenarnya karena masalah keluarga. Jadi, saya akan mengajak Aldo pergi dari kota ini, Pak. Makanya sebelum pindah saya ingin mengurus semuanya dulu supaya nanti lebih tenang." Meira tersenyum tipis sembari mengangguk pelan. Dia berharap Sultan tak menanyakan detail masalah keluarganya karena Meira bingung menjelaskannya bagaimana. "Jadi, ibu Mei dan Pak Baim mau pindah ke Jogja makanya Aldo juga harus pindah sekolah. Begitu, Bu?" tanya Sultan lagi sembari mengisi berkas-berkas yang diminta Meira. "Saya sama Aldo saja, Pak. Ayahnya tetap tinggal di sini." Kali ini wajah Meira sedikit sendu. Dia mencoba tersenyum, tapi begitu ketara jika dia tak baik-baik saja. "Oh ... saya paham. Maaf kalau terkesan menyudutkan. Saya isi data-datanya dulu ya, Bu." Sultan pun mengerti apa maksud masalah keluarga yang sempat diucapkan wali muridnya tadi. Tak ingin bertanya lebih yang tentu akan membuat wali muridnya tak enak hati, Sultan lebih memilih mengikuti kemauannya. "Sekolah di sini atau di manapun tak jauh beda, Bu. Intinya mendidik anak-anak agar lebih pintar. Tak sekadar fokus memberikan nilai-nilai akademiknya, tapi juga membimbing dan mengajari anak-anak untuk bertingkah laku lebih baik. Agar mereka bisa mengontrol emosi, bersosialisasi dan mengenal Allah. Semoga Aldo bisa lebih baik di sekolah barunya nanti ya, Bu. Untuk ibu dan bapak, semoga diberi jalan terbaik. Saya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk semuanya." Sultan kembali memberikan sedikit pesan dan pengertiannya pada Meira selalu wali anak didiknya. "Terima kasih banyak, Pak. Saya juga sangat berterimakasih karena bapak dan guru-guru di sini mau membimbing anak saya dengan baik dan sabar. Semoga dibalas dengan kebaikan yang berlipat oleh Allah. Aamiin." Keduanya sama-sama mengaminkan doa masing-masing. Setelah urusan dengan kepala sekolah dan pemilik yayasan beres, Meira pun melangkah tergesa ke kelas Aldo. Suasana mulai sepi karena beberapa siswa sudah keluar kelas. Tersisa empat siswa yang belum dijemput orang tuanya dan wali kelasnya saja. Tanpa membuang waktu, Meira pun berpamitan dan menceritakan rencana kepindahan Aldo ke Jogja. Dia juga memperlihatkan berkas-berkas yang sudah ditandatangani kepala sekolah dan disahkan pemilik yayasan untuknya. Meski dengan berat hati karena terlalu mendadak, wali kelas dan beberapa guru pun melepaskan Aldo untuk melanjutkan pendidikannya di tempat lain. "Bun, memangnya kita mau pindah? Kok mendadak begini?" tanya Aldo dengan polosnya. Meira memang mengurus semuanya lebih dulu sebelum menceritakannya pada Aldo. Selain karena memang mendadak ditalak dan diusir, Meira juga masih mencari cara untuk menjelaskan pada Aldo apa alasan kepindahannya. "Alasan pindah ini karena ayah ya, Bun?" tebak Aldo lirih seolah tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara bunda dan ayahnya. "Ayah dan bunda harus berpisah, Sayang. Kita akan hidup di Jogja dan ayah bisa sesekali menjenguk kita di sana. Kamu nggak apa-apa kan?" Meira mencoba meredam rasa sesak di dadanya. Air bening yang nyaris menyembul keluar dari kelopak matanya itu pun berusaha ditekan sedemikian rupa. Meira nggak mau Aldo melihat tangis pilunya. Dia ingin terlihat baik-baik saja di mata anak semata wayangnya itu. "Bunda dan ayah mau berpisah?" Suara Aldo sedikit terbata. Meira hanya menghela napas. Dia benar-benar kesulitan memberikan jawaban. Terlalu berat dan menyakitkan. "Apa perpisahan ayah dan bunda karena Tante Vonny?" Sedikit ragu Aldo mengatakannya. Namun, pertanyaan polos anak lelakinya itu justru membuat Meira shock seketika. ***"Apa perpisahan ayah dan bunda karena Tante Vonny?" Sedikit ragu Aldo mengatakannya. Namun, pertanyaan polos anak lelakinya itu justru membuat Meira shock seketika. "Tante Vonny?" ulangnya lirih. Aldo mengangguk pelan. "Iya, Bun. Ayah pernah memperkenalkan tante itu pada Aldo saat ngobrol di handphone nenek. Ayah bilang itu teman kantornya kok, Bun. Bukan siapa-siapa. Aldo harap bunda dan ayah tak marahan lagi. Jadi, Aldo tetap bisa sekolah di sini." Wajah polos Aldo tak kuasa membuat Meira menitikkan air mata. Dia bisa memendam rasa sakitnya sndiri, tapi melihat Aldo seperti saat ini membuat batin Meira semakin tersiksa. 'Apakah Mas Baim benar-benar memiliki wanita idaman lain sampai menjatuhkan talaknya begitu saja padaku? Apakah Tante Vonny yang dia perkenalkan pada Aldo itu adalah wanita idamannya? Jika memang iya, kepergianku rasanya bukanlah keputusan yang salah.' Berbagai pertanyaan dan pernyataan lalu lalang di benak Meira. Meira menghela napas panjang. Dia berusaha meyaki
Meira mengajak Aldo segera pergi dari rumah itu. Tak ada gunanya tinggal di sana. Yang ada semakin menyesakkan dada karena terus disakiti batinnya. Bocah berusia sembilan tahun itu cukup mengerti bagaimana perasaan bundanya. Tak banyak tanya dan mengeluh, dia mengikuti langkah sang bunda keluar dari area perumahan itu. "Bunda jangan sedih. Aldo akan selalu menemani bunda," lirihnya dengan mata berkaca saat menunggu taksi datang. Tak kuasa menahan haru, Meira memeluk anak lelakinya lagi dan lagi. Dia merasa begitu beruntung memiliki Aldo yang pengertian terhadap masalah yang kini menimpanya. Tak menuntut untuk lekas dijelaskan ini dan itu. Aldo memilih diam dan mengikuti apapun keputusan bundanya. "Makasih, Sayang. Kamu memang anak terbaik dan terhebat bunda. Apa kamu takut tinggal bersama bunda saja?" tanya Meira sembari membingkai wajah Aldo. Mereka saling tatap, menekuri wajah masing-masing yang jelas terlihat sendu. Aldo tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak, Bun. Aldo
"Meira sudah pergi, Im. Sesuai permintaanmu, dia pergi tanpa membawa barang apapun." Soraya tersenyum tipis sembari duduk di sofa ruang tengah. Baim yang saat ini baru menyelesaikan makan siangnya hanya mengiyakan. Ada rasa pilu yang menyusup dalam dada. Namun, rasa kecewa yang dia rasakan telah melampaui batas. Baim tak ingin menyesali keputusannya menjatuhkan talak itu pada Meira. Gadis sederhana yang dia nikahi sepuluh tahun silam. "Meira itu sombong. Sebelum pergi, kakakmu sempat memberinya uang saku, tapi ditolak mentah-mentah. Dia bilang nggak butuh uang dari kita. Ibu yakin dia bakal minta saku dari laki-laki itu. Pantas saja saat kamu jatuhkan talak, dia biasa saja. Mungkin memang itu yang dia tunggu, Im." Soraya terus mengompori anak lelaki satu-satunya itu. Selama ini, lebih tepatnya setelah suaminya tiada, Soraya memang lebih bersemangat mengadu domba anak dan menantunya agar tak akur. Beragam cara dia lakukan agar keduanya berpisah. Tak hanya dia, kedua anak perempuanny
"Beli apalagi dong, Mas? Aku nggak tahu makanan dan barang kesukaan ibu kaya apa," ucap Vonny setelah keluar dari toko kue. "Kamu bilang dong makanan dan barang favorit ibu itu apa. Biar aku bisa cari yang kira-kira pas buat ibu. Takutnya ibu nggak suka pilihanku, aku kan jadi nggak enak, Mas." Vonny terus saja berceloteh, sementara Baim hanya membalasnya sesekali. "Ambil saja yang sesuai hatimu, ibu akan tetap menerimanya dengan baik, Von. Jangan terlalu banyak dan jangan mahal-mahal," balas Baim kemudian. "Ngasih orang tua itu harus yang terbaik, Mas." "Iya, tapi-- "Sudah. Sudah. Aku mau beliin ibu gamis dulu di toko itu ya? Kalau kamu nggak mau ikut, boleh tunggu di mobil saja. Nggak lama kok, aku segera balik." Vonny menyerahkan dua kotak kue ke tangan Baim sebelum pamit ke toko busana yang ada di seberang jalan. Hari ini adalah hari pertama Baim mengajak Vonny ke rumah. Gadis itu terlalu heboh, ingin begini dan begitu. Padahal Baim hanya menuruti permintaan ibunya untuk mem
Baim bergeming di tepi ranjang. Dia malas keluar karena ibunya masih terus menyudutkan Meira di depan Vonny. Baim tahu Meira tak sepolos yang dia kira, tapi dia merasa tak sepantasnya ibu selalu menyudutkannya. Baim masih saja tak rela jika ibu kembali mengungkit asal usulnya yang memang terbuang di panti asuhan. [Selamat tinggal, Mas. Berbahagialah dengan dunia barumu. Aku dan Aldo juga akan bahagia dengan lembaran baru kami. Satu hal yang harus kamu tahu, aku tak pernah mengkhianati pernikahan kita. Sepertinya justru kamulah yang mulai bermain mata] Baim cukup shock dengan pesan dan foto yang muncul di layar handphonenya. Meira. Kekhawatirannya benar-benar terjadi. Meira tahu kebersamaannya dengan Vonny di cafe tadi. "Aku tak pernah mengkhianati pernikahan kita." Baim tersenyum miring saat mengulang kalimat itu. Kata-kata yang baginya terlalu bo doh dan tak pantas dipercaya. Dua kali Baim memergoki Meira diantar pulang oleh Arya dan dua kali pula dia memaafkan kesalahannya. Bera
Baim mulai gelisah. Berulang kali mencoba menghubungi Meira, tapi berulang kali pula nomornya tak aktif. Baim memang belum sepenuhnya bisa mengikhlaskan Meira. Rasa cinta itu masih ada di dalam hatinya. Begitu pula rasa khawatir yang kini mendadak begitu terasa. Baim ingat jika tiga hari lalu Meira sempat bilang uang bulanannya habis karena diminta ibu untuk melunasi cicilan gamisnya. Hanya tersisa lima ratus ribu saja sampai akhir bulan. Itu artinya Meira tak memiliki uang cukup untuk pegangan. "Pergi kemana kamu, Mei? Apa kamu benar-benar pergi jauh seperti yang kukatakan dalam pesan itu? Apa kamu sesakit itu sampai mematikan handphonemu?" Baim bermonolog. Rasa takut mulai menelusup dalam hatinya. Dia takut jika Meira kecewa dan frustasi hingga melakukan hal-hal yang tak diinginkan. Ada secuil penyesalan dalam hatinya karena sudah meminta Meira pergi sejauh mungkin agar tak bisa ditemukannya lagi. "Seharusnya aku tak seegois itu. Bagaimana mungkin aku membiarkan Meira pergi tanp
Baim mengerjap. Dibaca kembali pesan dari bunda untuk kedua kalinya. Jika bunda menanyakan Meira, itu artinya dia tak ada di panti. Jika tak balik ke panti, lantas kemana Meira pergi? Baim kembali bingung dan mulai menduga-duga. Baim tahu pasti jika Meira tak memiliki siapa-siapa selain bunda dan keluarganya. Pikiran buruk pun mulai menyesaki benak. Mungkinkah Meira pergi bersama Arya? Apakah Arya berdusta soal keberangkatannya ke Belanda? Atau mereka memang sengaja merencanakan ini semua? Baim melemparkan vas bunga di meja rias ke dinding hingga hancur berkeping-keping. Pikirannya benar-benar kacau sekarang. Rasa cemburu dan emosi itu kembali menyala setelah mendapatkan pesan dari bunda. Baim mulai menerka-nerka siapa yang datang ke panti asuhan itu. "Nggak mungkin Arya. Iya, nggak mungkin! Aku harus yakin jika dia memang sudah ke Belanda tiga hari lalu. Tiketnya pun aku tahu. Lagipula dia bukan paruh baya. Usianya saja sama denganku baru menginjak kepala tiga. Kalau memang Arya y
Baim keluar kamar setelah mengganti pakaiannya dengan kaos hitam berkerah dan celana jeans di bawah lutut. Wajahnya tampak lebih segar setelah membersihkan badan. Vonny tersenyum tipis saat menatap lelaki itu sekilas. Soraya pun sempat melirik ke arahnya. Wanita itu sangat berharap jika Vonny benar-benar menjadi menantunya. Calon menantu yang selama ini diidam-idamkannya. "Sorry, Von. Agak kelelahan tadi, makanya istirahat di kamar. Gimana ibu? Pasti teramat cerewet kan?" Baim tersenyum tipis sembari melirik ibunya. "Kamu ini, sama ibu sendiri selalu dijelek-jelekkan." Soraya tersenyum kecut, sementara Vonny melebarkan senyumnya."Nggak kok, Mas. Ibu sangat ramah dan aku bersyukur bisa mengenal beliau. Sosoknya mengingatkanku pada mami yang telah tiada." Vonny menghela napas panjang lalu kembali menatap wanita paruh baya di depannya. Soraya dan Baim pun saling pandang. Keduanya tak tahu jika Vonny sudah tak memiliki ibu. "Oh, mami kamu sudah tiada?" Baim bertanya singkat. Vonny pun
Ken akhirnya sampai di rumah sakit. Begitu masuk ke ruang perawatan, matanya langsung menangkap sosok Hanum yang berbaring di ranjang dengan perban di lengan dan keningnya. Wajahnya sedikit pucat, tapi matanya tetap teduh seperti biasa. Rudy-- bapak mertuanya tampak lelah dan terlelap di sofa samping pembaringan anaknya. Ken berjalan cepat, lalu duduk di samping istrinya."Sayang ...." Ken menggenggam telapak tangan Hanum. Hanum menatap suaminya lekat lalu tersenyum tipis. Sedari tadi dia tak bisa terlelap karena tahu Ken masih dalam perjalanan pulang."Alhamdulillah akhirnya kamu sudah sampai, Mas." Hanum berujar lirih. "Kenapa belum tidur, Sayang? Ini hampir pagi." Ken mengusap kening istrinya pelan. "Nggak bisa tidur, Mas. Hanum nunggu Mas Ken pulang." Ken menggeleng pelan. Kedua matanya berkaca melihat tubuh istrinya yang banyak luka dan terlihat lemah. "Maafkan aku, Sayang. Aku nggak bisa menjagamu dengan baik." Ken kembali mencium kening istrinya. "Bukan salah Mas Ken. Ini m
Ken merasakan dadanya semakin sesak dan takut Hanum kenapa-kenapa. Apalagi saat dia melihat foto-foto yang dikirimkan nomor tak dikenal itu. Ditambah nomor handphone Hanum dan Bagas tak bisa dihubungi. Tak ingin menebak-nebak, Ken segera menekan nomor mertuanya. Setelah beberapa detik, suara berat Rudy terdengar di seberang."Assalamualaikum, Pak. Apa sekarang Hanum sudah sampai rumah?" tanya Ken dengan suara tegang.Hening.Lalu, suara bapaknya terdengar pelan, tapi menghantam keras di telinga Ken."Wa'alaikumsalam, Ken. Hanum dibawa ke rumah sakit. Maafkan bapak yang tak bisa menjaga Hanum dengan baik selama kamu pergi."Ken tertegun. Seolah-olah dunia tiba-tiba berhenti berputar. Dia pikir Hanum sekadar pingsan karena kecapekan, nggak mengira jika Hanum sampai ke rumah sakit segala."Bukan salah bapak, tapi apa yang sebenarnya terjadi, Pak? Kenapa Hanum sampai dibawa ke rumah sakit segala?" Suara Ken bergetar. Beragam rasa berkecamuk di dalam benaknya. Cemas, takut, bingung dan ge
Ken melirik jam tangannya. Sudah pukul sepuluh malam. Dia menghela napas panjang, menyandarkan punggung ke kursi di kamar hotelnya. Hari ini cukup melelahkan, rapat panjang, inspeksi proyek, dan diskusi tanpa henti dengan para investor. Tapi yang paling membuatnya lelah adalah jarak ini. Sudah dua hari di luar kota dan dia benar-benar merindukan Hanum.Baru dua hari berpisah, tapi rasanya sudah seperti sebulan. Proyek baru ini penting, tapi meninggalkan Hanum sendirian dengan cafe barunya bukan hal yang mudah. Dia selalu khawatir, bukan karena tidak percaya pada istrinya, tapi karena tahu akhir-akhir ini ada banyak teror yang membuat ketenangannya terganggu. Baru mau menelepon istrinya, tiba-tiba ponselnya bergetar. Dia tersenyum kecil melihat nama Hanum di layar. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap tersenyum."Assalamualaikum, Mas," sapa Hanum lembut. Ken tersenyum sembari beranjak ke ranjang dan menyandarkan punggungnya. "Wa'alaikumsalam, Sayang. Sudah selesai di cafe?" tanya Ken
"Nggak usah diambil hati, Mas. Setelah hampir dua bulan kita menikah, tentu kamu juga tahu gimana watak Mbak Rena dan ibu. Biar saja mereka ngoceh sesukanya. Masukin kuping kiri langsung keluarkan dari kuping kanan. Kalau diendapkan yang ada bikin sakit jiwa." Hanum mendengkus kesal. Setelah pembuktian Ken selama ini, nyatanya kakak tirinya itu masih saja meremehkan dan menganggap Ken tak sebanding dengannya. Kadang, ada keinginan untuk menyumpal mulut perempuan itu dengan sambal saking gemasnya. "Justru aku khawatir dengan kamu, Sayang. Takutnya kamu masih kepikiran dengan ocehan-ocehan Rena dan ibu. Kalau aku ... laki-laki tak sebaper itu, Dek. Santai dan kuanggap angin lalu ocehan nggak penting seperti itu. Tenang saja, aku nggak kepikiran sedikit pun." Ken menatap lekat wajah istrinya yang masih saja cemberut. Dia tahu kalau Hanum kesal jika ada orang yang menghinanya. Demikian pula dia yang tak terima jika ada orang yang menghina istrinya. Mungkin ini yang dinamakan saling cin
"Sejak syukuran dan pembukaan cafe, bapak lihat kamu dan Hanum sering gelisah dan nggak setenang biasanya, Ken. Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Rudy, bapakertua Ken yang kini duduk di sofa sebelahnya. Mertua dan menantu itu menikmati secangkir kopi dengan pisang goreng buatan Hanum. Keduanya memang sering menghabiskan waktu santai bersama, hanya saja saat sibuk mempersiapkan pembukaan cafe, Hanum dan Ken jarang pulang cepat. Momen itu pun sering terlewatkan. Namun, setelah cafe dibuka beberapa hari lalu, Ken dan Hanum berusaha pulang lebih cepat. Biasanya bakda maghrib mereka sudah sampai rumah untuk berkumpul atau sekadar ngobrol santai dengan Rudy. "Nggak ada apa-apa, Pak. Mungkin kami kecapekan atau nervous saja karena baru buka usaha. Maklum, semua belum stabil dan masih merangkak. Doakan saja semoga cafe kami bisa lebih maju dan lekas mendapatkan pelanggan baru ya, Pak." Ken berujar santai, sengaja menutupi masalah yang ada karena tak ingin bapak mertuanya ikut berpikir macam-
Suasana di rumah Rudy malam ini cukup ramai. Para tetangga berkumpul di halaman rumahnya karena ada syukuran kecil-kecilan yang digelar Hanum untuk menyambut cafe barunya. Setelah pembukaan dan acara lainnya, acara berikutnya adalah doa yang dipimpin oleh seorang ustadz bernama Harun. Ustadz muda itu mulai ceramah tentang usaha dan cara pengelolaannya menurut Islam. Dia berharap Ken dan Hanum bisa menjalankan usahanya dengan baik sesuai syariat agama agar lebih berkah dan maju. "Kita doakan sama-sama ya bapak, ibu ... semoga cafe Mbak Hanum dan Mas Ken nanti sukses dan penuh berkah. Aamiin."Doa dari Pak Ustadz terdengar begitu keras diikuti gumaman "Aamiin" dari para tamu yang berkumpul di halaman rumah Rudy itu. Suasana syukuran terasa hangat dan penuh kebersamaan. Para tetangga, saudara, dan teman-teman dekat datang untuk memberikan doa dan dukungan.Setelah doa selesai, acara terakhir makan bersama. Semua pesanan Hanum sudah lengkap. Mbak Rini ikut sibuk menyiapkan peralatan mak
Suasana tiba-tiba terasa lebih dingin."Siapa, Mas?" tanya Hanum dengan suaranya datar. Ken menghela napas, mencoba bersikap santai. "Bukan siapa-siapa, Sayang. Cuma orang iseng."Hanum menyipitkan mata. "Orang iseng kirim foto perempuan seksi ke handphone kamu, Mas?" sindir Hanum kemudian. Ken menyugar rambutnya."Aku juga nggak tahu kenapa dia kirim foto-foto itu, Sayang."Hanum terdiam sejenak. Lalu, perlahan, tangannya terulur."Kasih lihat." Ken menegang."Buat apa?" Hanum menyilangkan tangan di dada. "Kenapa, Mas? Apa ada yang kamu sembunyikan?" "Sayang, aku akan urus masalah ini supaya kamu tak salah paham lagi. Percayalah. Dia bukan siapa-siapa cuma teman kuliah yang dulu sempat camping bersama." Ken berusaha menjelaskan, tapi Hanum justru makin curiga karena mereka pernah camping bersama. [Tanggal 1 nanti aku di Jakarta. Aku ingin ketemu kamu. Aku kangen]Hanum mengulang isi pesan itu dengan suara pelan, tapi nadanya tajam. Ken merasakan tengkuknya meremang. Dia tak meny
"Num! Kamu ini sibuk terus sama cafemu sampai nggak peduli sama bapak yang lagi sakit!" sentak Rena sembari melipat tangan ke dada di depan pintu utama."Tiap hari berangkat pagi, pulang malam. Sampai nggak ketemu sama orang rumah. Kamu pasti nggak tahu kan kalau sudah dua hari bapak sakit? Sebenarnya siapa sih yang anak kandung bapak, kok malah aku yang lebih tahu dibandingkan kamu!" sentak Rena lagi. Hanum menghela napas panjang. Ken ingin menyahut, tapi Hanum melarangnya. Dia nggak mau kakak tirinya itu kembali menghina dan menyudutkan suaminya seperti biasa. Dia ingin menghadapi Rena dengan caranya sendiri. "Jaga bicaramu, Mbak. Jangan sok paling perhatian sama bapak. Selama ini kamu juga nggak peduli, kenapa sekarang sok perhatian? Kamu cemburu kan karena aku mau buka cafe baru?" Kali ini Hanum sengaja menyindir Rena sebab setiap hari dia memang cari gara-gara. Hanum jengah tiap pulang disambut dengan kata-kata menyakitkan dan menyalahkan seperti itu. "Kamu pasti nggak tahu a
Segala keperluan cafe sudah siap. Tak ingin membuang waktu, Hanum dan Ken sepakat untuk segera membuka cafenya minggu depan. Mereka pun berencana membuat syukuran kecil-kecilan terlebih dahulu di rumah dengan mengundang para tetangga untuk doa dan makan bersama. Saat ini, Hanum minta karyawan cafenya-- Mbak Rini untuk menyiapkan semua menu masakan. Dia minta tolong dicarikan catering yang masakannya enak di lidah. Ken pun menyerahkan semua urusan percateringan itu pada istri dan calon karyawan cafenya. Nanti dia tinggal transfer saja berapa biaya semuanya. "Pokoknya aku pengin semuanya lengkap, Mbak Rini," kata Hanum sambil memeriksa daftar menu di tangannya.Mbak Rini, tetangga sekaligus calon karyawan cafenya itu mengangguk sambil tersenyum."Tenang saja, Mbak Hanum. Insya Allah semua beres. Saya juga sering pesan di catering itu kalau mau syukuran atau hajatan kecil-kecilan. Daripada repot masak sendiri memang lebih enak pesan saja." Mbak Rini tersenyum tipis. Hanum pun mengiyaka