Share

BAB 2

"Kapan kamu angkat kaki dari rumah ini, Mbak?" 

Pertanyaan Lina menghentikan langkah Meira yang fokus dengan handphonenya. Meira masih bertukar pesan dengan sahabatnya untuk meminjam uang. Setidaknya buat pegangan karena dia sudah ditalak dan diusir dari rumah itu tanpa boleh membawa barang apapun. 

"Kamu nggak tu li kan, Mbak? Atau mendadak tu li setelah dicampakkan kakakku?" Mulut pedas Lina kembali mencela. 

Sikap Lina berubah judes sama Meira sejak gadis itu memergoki Meira agar Ibrahim tak membelikan handphone mahal saat Lina duduk di bangku menengah pertama. Meira pikir belum waktunya anak seusia itu memiliki gadget dengan harga tiga jutaan. 

Namun, siapa sangka Lina justru mencak-mencak dan membenci kakak iparnya hingga kini. Gadis itu merasa jika Meira terlalu mengatur keuangan kakaknya, padahal selama ini Meira sudah berusaha bersikap adil saat mendapatkan jatah bulanan dari Ibrahim. 

"Kamu juga nggak bu ta kan, Lin? Mbak sudah siap-siap angkat kaki dari sini. Tinggal menunggu Aldo pulang sekolah." Akhirnya Meira membalas dengan kata-kata kasar pula. 

Selama ini dia diam tiap kali adik iparnya ngomong macam-macam. Selalu berusaha membalasnya dengan lembut agar gadis itu berubah, tapi rupanya sia-sia. Pergaulan yang terlalu bebas di luar rumah ditambah sikap manja yang didukung kakak dan ibunya membuat Lina semakin jumawa dan egois. 

"Mas Ibrahim bilang kamu nggak boleh bawa barang apapun dari rumah ini." 

"Aku tahu dan aku juga nggak berambisi membawa barang apapun. Hanya kotak ini karena memang milikku." Meira menunjuk kotak kecil berisi surat dan cincin kecil yang diberikan ibu panti padanya sebelum menikah. Dia bilang jika itu adalah barang yang sepertinya sengaja diletakkan orang tua Meira saat menitipkannya di depan pintu panti asuhan kala itu. 

"Oh, cincin buluk itu," cibir Lina begitu meremehkan. 

"Nasibmu ya, Mbak. Sudah tak diharapkan orang tua, eh tak diharapkan suami pula." 

"Hati-hati kamu kalau bicara, Lina. Kamu masih muda, masa depanmu masih panjang. Bagaimana kalau nanti nasibmu jauh lebih buruk dibandingkan aku?" Meira menatap tajam adik iparnya itu. 

Bukannya minta maaf atau introspeksi, Lina justru terkekeh mendengar nasehat iparnya. Gadis itu benar-benar tak sopan dan selalu memandang remeh Meira. 

"Mana mungkin aku tak diharapkan keluargaku, Mbak? Kamu lihat sendiri dong sekarang, apapun yang kumau pasti selalu diusahakan ibu dan Mas Baim. Gimana sih kamu. Jangan samakan aku dengan kamulah, Mbak. Nasib kita jauh berbeda!" ujar Lina dengan jumawa. Dia tersenyum miring seolah benar-benar menganggap remeh nasehat iparnya itu. 

"Terserah kamu sajalah, Lin. Semoga harapanmu benar, tapi jangan menyesal jika suatu saat nanti justru ucapanku yang benar." 

"Kamu ngancam aku, Mbak?" Lina meninggikan volume suaranya. 

"Nggak. Buat apa mengancam segala. Aku hanya mengingatkan agar kamu lebih peka dan tak terlalu meremehkan orang lain karena bisa jadi ucapanmu menjadi boomerang yang akan menyerangmu di lain waktu."

"Mbak!" sentak Lina dengan sengit. 

"Kamu kenapa sih, Lin? Teriak-teriak sampai erdengar dari rumah tetangga!" sentak Soraya yang baru muncul dari pintu. Wanita lebih dari setengah abad itu sebelumnya pamit arisan di rumah tetangga dan kini pulang dengan membawa dua potong baju. 

"Nih! Katanya mau tunik baru. Ibu beliin dua potong," ujarnya sembari menjatuhkan bobot ke sofa. 

"Tunik murahan gini, Bu. Kasih aku duit sajalah biar kubeli sendiri di mall. Ini mah panas bahannya, pasti harga lima puluh ribuan kan?" tebak Lina sembari mengamati tunik berwarna maroon dari ibunya itu. 

"Sudah dibeliin banyak komplen pula. Minta kakakmu sana. Ibu nggak ada duit!" Lina menoleh, menatap lekat Meira yang masih membalas pesan dari Una, sahabatnya. 

Senyumnya merekah saat membaca pesan itu. Una akan segera mentransfer uang dua juta untuk pegangannya. Dia juga akan meminta teman kuliahnya yang kini tinggal di Jogja untuk mencarikan tempat kost murah. Rasanya beban yang sebelumnya begitu berat di pundak Meira sedikit menghilang. Meira menghela napas lega setelah bukti transfer terkirim ke rekeningnya. 

"Mbak, sisa uang belanja dari Mas Baim masih ada kan? Sini buat aku. Kamu kan nggak boleh bawa barang apapun!" Lina menggerak-gerakkan telapak tangannya ke arah Meira. 

"Sisa tiga ratus ribu mau diambil juga? Kalau aku mau, aku bisa nuntut harta gono-gini loh, Lin. Hanya saja aku malas ribut. Jadi, aku iyakan saja kemauan kakakmu. Tinggal menunggu waktu saja balasan dari Allah untuk kalian semua karena sudah dzalim sama aku dan Aldo." 

"Lah, tiga ratus ribu juga duit, Mbak. Mas Baim bilang kamu nggak boleh bawa barang apapun. Lantas ngapain bawa duit dari dia." 

"Duitnya juga masih di AtM." 

"Ambil dong! Di sebelah ada mini market tuh. Mau alasan apalagi?" Lina tetap bersikukuh meminta uang itu. Lagi-lagi Meira malas berdebat panjang lebar. Dia buru-buru ke mini market lalu melemparkan tiga lembar uang itu ke muka Lina. 

"Woii! Yang sopan dong!" sentak Lina yang cukup kaget. 

"Buat apa sopan sama kamu, toh kamu nggak pernah sopan sama kakak iparmu sendiri. Ambil duit itu. Semoga berkah untukmu!" ucap Meira sembari membalikkan badan. Meira ingin segera menjemput Aldo karena sudah jam pulang sekolah, sekalian mengurus pindah sekolahnya. 

"Tunggu, Mbak! Uang dari Mas Baim cuma ini atau kamu sengaja simpan untuk biaya hidupmu beberapa hari ke depan? Coba SS saldo di rekeningmu!" perintah Lina menghentikan langkah Meira tiba-tiba. 

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status