Seorang laki-laki dengan masker hitamnya berdiri di samping pintu. Sorot matanya tajam menatap Aziz yang melangkah ke teras. Saat masker dibuka, laki-laki berjaket kulit itu tersenyum sinis. Aziz merasakan darahnya berdesir dingin."Doni?" gumamnya dengan mata membesar. Aziz benar-benar kaget melihat Doni muncul di depan rumah mertuanya. Tak menyangka jika dia senekat itu, padahal sudah berulang kali Aziz ingatkan untuk tak membawa masalah hutang itu pada keluarganya, terutama Rena. Laki-laki itu menepuk bahunya dengan keras. "Akhirnya ketemu juga, Bro. Aku telepon berulang kali dari kemarin nggak pernah kamu angkat. Kita perlu bicara," ucapnya tegas dengan tatapan mengancam. Aziz menelan ludah."Kamu kenal, Mas?" tanya Rena dengan mata mendelik. Rena geram karena ini pasti masalah hutang seperti yang diceritakan Aziz kemarin. "Iy-- iya, Sayang. Kenalkan ini Doni, teman lamaku," balas Azziz sedikit gugup. Rena tak membalas uluran tangan Doni. Dia masih melipat tangan ke dada seola
[Aku jatuhkan talak padamu, Meira Althafunnisa binti Rahmat Hidayat. Mulai saat ini, kamu bukan istriku dan kita tak memiliki hubungan suami istri lagi. Kamu boleh pergi dari rumah yang kamu tinggali saat ini dan aku membebaskanmu untuk tinggal di manapun kamu suka. Bawalah Aldo, hak asuhnya akan kuserahkan padamu] Meira, perempuan berhijab coklat pudar itu ternganga saat membaca pesan dari Ibrahim suaminya yang terkirim di layar handphonenya. Tangannya gemetar saat membaca ulang pesan itu. Rasa sesak dan sakit mulai terasa menyiksa. Air matanya pun luruh seketika. Meira terjatuh ke lantai karena tubuhnya terasa amat lemas seolah tulang-tulangnya dilolosi satu demi satu. Sakit, bingung, shock dan marah tercampur menjadi satu. Maira tak tahu mengapa suaminya yang baru tiga bulan bekerja di luar kota itu tiba-tiba menjatuhkan talak padanya. Dia yang sudah membersamai Ibrahim dari nol hingga kini memiliki jabatan penting di perusahaannya. Meira tak percaya apakah pesan itu benar-benar
"Kapan kamu angkat kaki dari rumah ini, Mbak?" Pertanyaan Lina menghentikan langkah Meira yang fokus dengan handphonenya. Meira masih bertukar pesan dengan sahabatnya untuk meminjam uang. Setidaknya buat pegangan karena dia sudah ditalak dan diusir dari rumah itu tanpa boleh membawa barang apapun. "Kamu nggak tu li kan, Mbak? Atau mendadak tu li setelah dicampakkan kakakku?" Mulut pedas Lina kembali mencela. Sikap Lina berubah judes sama Meira sejak gadis itu memergoki Meira agar Ibrahim tak membelikan handphone mahal saat Lina duduk di bangku menengah pertama. Meira pikir belum waktunya anak seusia itu memiliki gadget dengan harga tiga jutaan. Namun, siapa sangka Lina justru mencak-mencak dan membenci kakak iparnya hingga kini. Gadis itu merasa jika Meira terlalu mengatur keuangan kakaknya, padahal selama ini Meira sudah berusaha bersikap adil saat mendapatkan jatah bulanan dari Ibrahim. "Kamu juga nggak bu ta kan, Lin? Mbak sudah siap-siap angkat kaki dari sini. Tinggal menungg
"Kamu nggak ada hak mengurusi isi rekeningku, Lin. Karena apa? Nggak semua isinya dari kantong kakakmu. Paham?!" sentak Meira sengit. Lina kembali mencibir. "Nggak tahu malu. Sudah ditalak dan diminta tak membawa uang sepeserpun masih saja-- "Bicara saja terus, sepuasmu. Sampai mulutmu berbusa. Aku nggak peduli. Maaf, aku bukan tipe perempuan yang doyan ngemis dan mengiba seperti kamu demi mendapatkan barang yang kusuka. Kita beda level, Lina. Jadi, jangan samakan aku dengan kamu! Sorry!" Meira tersenyum miring melihat ekspresi Lina yang begitu shock. Perempuan itu pasti tak mengira jika Meira yang lembut dan kalem itu bisa mengucapkan kalimat-kalimat menohok untuknya. Wajahnya mendadak merah padam antara malu, marah dan kesal. Campur aduk, tapi mendadak kehabisan kata untuk membalas hinaan kakak iparnya. Meira keluar rumah. Tak peduli suara Lina yang mulai memaki-maki dirinya dan menyebutnya perempuan tak tahu diuntung. Meira tak peduli. Dia melangkahkan kaki menuju sekolah Aldo
"Apa perpisahan ayah dan bunda karena Tante Vonny?" Sedikit ragu Aldo mengatakannya. Namun, pertanyaan polos anak lelakinya itu justru membuat Meira shock seketika. "Tante Vonny?" ulangnya lirih. Aldo mengangguk pelan. "Iya, Bun. Ayah pernah memperkenalkan tante itu pada Aldo saat ngobrol di handphone nenek. Ayah bilang itu teman kantornya kok, Bun. Bukan siapa-siapa. Aldo harap bunda dan ayah tak marahan lagi. Jadi, Aldo tetap bisa sekolah di sini." Wajah polos Aldo tak kuasa membuat Meira menitikkan air mata. Dia bisa memendam rasa sakitnya sndiri, tapi melihat Aldo seperti saat ini membuat batin Meira semakin tersiksa. 'Apakah Mas Baim benar-benar memiliki wanita idaman lain sampai menjatuhkan talaknya begitu saja padaku? Apakah Tante Vonny yang dia perkenalkan pada Aldo itu adalah wanita idamannya? Jika memang iya, kepergianku rasanya bukanlah keputusan yang salah.' Berbagai pertanyaan dan pernyataan lalu lalang di benak Meira. Meira menghela napas panjang. Dia berusaha meyaki
Meira mengajak Aldo segera pergi dari rumah itu. Tak ada gunanya tinggal di sana. Yang ada semakin menyesakkan dada karena terus disakiti batinnya. Bocah berusia sembilan tahun itu cukup mengerti bagaimana perasaan bundanya. Tak banyak tanya dan mengeluh, dia mengikuti langkah sang bunda keluar dari area perumahan itu. "Bunda jangan sedih. Aldo akan selalu menemani bunda," lirihnya dengan mata berkaca saat menunggu taksi datang. Tak kuasa menahan haru, Meira memeluk anak lelakinya lagi dan lagi. Dia merasa begitu beruntung memiliki Aldo yang pengertian terhadap masalah yang kini menimpanya. Tak menuntut untuk lekas dijelaskan ini dan itu. Aldo memilih diam dan mengikuti apapun keputusan bundanya. "Makasih, Sayang. Kamu memang anak terbaik dan terhebat bunda. Apa kamu takut tinggal bersama bunda saja?" tanya Meira sembari membingkai wajah Aldo. Mereka saling tatap, menekuri wajah masing-masing yang jelas terlihat sendu. Aldo tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. "Nggak, Bun. Aldo
"Meira sudah pergi, Im. Sesuai permintaanmu, dia pergi tanpa membawa barang apapun." Soraya tersenyum tipis sembari duduk di sofa ruang tengah. Baim yang saat ini baru menyelesaikan makan siangnya hanya mengiyakan. Ada rasa pilu yang menyusup dalam dada. Namun, rasa kecewa yang dia rasakan telah melampaui batas. Baim tak ingin menyesali keputusannya menjatuhkan talak itu pada Meira. Gadis sederhana yang dia nikahi sepuluh tahun silam. "Meira itu sombong. Sebelum pergi, kakakmu sempat memberinya uang saku, tapi ditolak mentah-mentah. Dia bilang nggak butuh uang dari kita. Ibu yakin dia bakal minta saku dari laki-laki itu. Pantas saja saat kamu jatuhkan talak, dia biasa saja. Mungkin memang itu yang dia tunggu, Im." Soraya terus mengompori anak lelaki satu-satunya itu. Selama ini, lebih tepatnya setelah suaminya tiada, Soraya memang lebih bersemangat mengadu domba anak dan menantunya agar tak akur. Beragam cara dia lakukan agar keduanya berpisah. Tak hanya dia, kedua anak perempuanny
"Beli apalagi dong, Mas? Aku nggak tahu makanan dan barang kesukaan ibu kaya apa," ucap Vonny setelah keluar dari toko kue. "Kamu bilang dong makanan dan barang favorit ibu itu apa. Biar aku bisa cari yang kira-kira pas buat ibu. Takutnya ibu nggak suka pilihanku, aku kan jadi nggak enak, Mas." Vonny terus saja berceloteh, sementara Baim hanya membalasnya sesekali. "Ambil saja yang sesuai hatimu, ibu akan tetap menerimanya dengan baik, Von. Jangan terlalu banyak dan jangan mahal-mahal," balas Baim kemudian. "Ngasih orang tua itu harus yang terbaik, Mas." "Iya, tapi-- "Sudah. Sudah. Aku mau beliin ibu gamis dulu di toko itu ya? Kalau kamu nggak mau ikut, boleh tunggu di mobil saja. Nggak lama kok, aku segera balik." Vonny menyerahkan dua kotak kue ke tangan Baim sebelum pamit ke toko busana yang ada di seberang jalan. Hari ini adalah hari pertama Baim mengajak Vonny ke rumah. Gadis itu terlalu heboh, ingin begini dan begitu. Padahal Baim hanya menuruti permintaan ibunya untuk mem
Seorang laki-laki dengan masker hitamnya berdiri di samping pintu. Sorot matanya tajam menatap Aziz yang melangkah ke teras. Saat masker dibuka, laki-laki berjaket kulit itu tersenyum sinis. Aziz merasakan darahnya berdesir dingin."Doni?" gumamnya dengan mata membesar. Aziz benar-benar kaget melihat Doni muncul di depan rumah mertuanya. Tak menyangka jika dia senekat itu, padahal sudah berulang kali Aziz ingatkan untuk tak membawa masalah hutang itu pada keluarganya, terutama Rena. Laki-laki itu menepuk bahunya dengan keras. "Akhirnya ketemu juga, Bro. Aku telepon berulang kali dari kemarin nggak pernah kamu angkat. Kita perlu bicara," ucapnya tegas dengan tatapan mengancam. Aziz menelan ludah."Kamu kenal, Mas?" tanya Rena dengan mata mendelik. Rena geram karena ini pasti masalah hutang seperti yang diceritakan Aziz kemarin. "Iy-- iya, Sayang. Kenalkan ini Doni, teman lamaku," balas Azziz sedikit gugup. Rena tak membalas uluran tangan Doni. Dia masih melipat tangan ke dada seola
Aziz melirik layar ponselnya untuk kesekian kalinya hari ini. Percakapan di grup WhatsApp kantor penuh dengan pesan baru, tapi bukan tentang pekerjaan atau obrolan santai seperti biasanya. Hampir semuanya membahas satu hal yaitu hutang. [Bro, bulan depan aja ya. Minggu ini gue lagi banyak kebutuhan]Pesan dari Anwar.[Maaf, Bro. Istri gue baru lahiran. Gue juga lagi butuh duit. Jadi, nggak bisa bantu Lo]Kali ini pesan dari Rizal.[Ziz, duit gue tinggal segini doang. Maaf, kali ini gue juga nggak bisa bantu]Yang terakhir pesan dari Guntur.Aziz mendesah panjang. Sudah hampir setengah kantor tahu kalau dia sedang butuh uang. Dia benar-benar terdesak. Bukan cuma untuk bayar cicilan ke Doni, tapi juga buat menutupi biaya resepsi yang masih kurang 20 juta.Gajinya bulan ini? Habis dalam sekejap. Di meja sebelah, Andi menyenggol lengannya."Ada masalah, Ziz?" tanyanya sambil menyesap kopi. Aziz memaksakan senyum. "Nggak, cuma lagi mumet aja." Andi menaikkan alisnya. "Jujur aja, Bro. Ka
Langit pagi yang cerah menyelimuti suasana ruko furnitur lokal yang sederhana, namun penuh barang-barang unik. Hanum tak bisa menahan senyum lebar di wajahnya saat menggenggam tangan Ken. Mereka baru saja memarkir mobil dan berjalan memasuki ruko yang sudah lama diincar Hanum untuk mencari furnitur impian."Mas, Hanum nggak percaya kita benar-benar sampai di tahap ini. Semua seperti mimpi. Ternyata mimpi yang tinggi itu nggak apa-apa ya?" ucap Hanum dengan senyum dan penuh semangat. Matanya berkeliling, mengagumi tumpukan kursi, meja, dan lampu-lampu gantung yang tertata rapi. Ken menoleh ke arahnya, tersenyum lembut."Nggak apa-apa dong, Sayang. Mimpi itu kan nggak bayar. Nggak ada salahnya setinggi mungkin. Lagipula, saat ini bukan sekadar mimpi, Sayang. Sebentar lagi impianmu akan menjadi nyata." Ken setengah berbisik. Kedua matanya menatap Hanum yang tampak begitu semringah. Hanum berhenti di depan satu set meja kayu kecil dengan desain yang minimalis namun elegan. Ia menyentuh p
Siang ini, Pak RT mengumpulkan beberapa warga di balai kecil dekat rumahnya. Dia tahu diskusi ini tak akan mudah, tapi sebagai pemimpin di kampung ini ia merasa perlu menjernihkan suasana. Warga yang datang terlihat beragam, ada yang memasang wajah skeptis, ada yang penasaran, ada pula yang tampak tak peduli, menganggap kehadirannya sekadar formalitas belaka.Setelah cukup banyak warga yang datang, Pak RT memulai diskusinya. Dia tak ingin membuat suasana semakin gaduh dengan wajah penuh tanya di antara mereka. "Selamat siang, bapak-bapak dan ibu-ibu. Mohon maaf kalau saya mengganggu waktu ataupun kegiatan bapak dan ibu sekalian." Pak RT membuka pertemuan dengan suara tegas namun bersahabat. "Saya ingin kita semua mendengar dengan hati terbuka dan mengesampingkan ego masing-masing." Baru satu kalimat terucap, beberapa warga mulai saling bisik. Mereka menebak-nebak ke arah mana topik pembicaraan Pak RT kali ini"Sepertinya soal rumor itu," bisik seorang warga yang diiyakan lelaki di
Langit malam sudah gelap ketika Ken mengetuk pintu rumah Pak RT. Deru motor yang melintas di jalan kecil kampung nyaris mengaburkan ketukan halusnya. Pak RT, seorang pria paruh baya dengan tubuh tegap, membuka pintu sambil memegang cangkir kopi. Ekspresinya berubah terkejut melihat Ken berdiri di depan pintu."Mas Ken? Ada apa malam-malam begini ke sini?" tanyanya heran."Maaf, Pak RT, saya mengganggu. Tapi saya perlu bicara soal sesuatu yang penting. Boleh saya masuk?" tanya Ken setelah memastikan tak ada yang melihatnya datang berkunjung ke rumah itu. Pak RT mengangguk, meskipun ragu. "Tentu, masuk saja. Mari duduk."Ken melangkah masuk ke ruang tamu kecil itu lalu duduk di kursi kayu yang terasa keras tapi kokoh. Pak RT mengambil tempat di seberangnya, masih menatap Ken dengan bingung."Apa ada masalah serius, Mas?" tanya Pak RT lagi. Dia yakin ada kabar serius yang dibawa Ken detik ini. Pak RT mulai menebak-nebak sebab dia juga dengar rumor yang beredar soal Ken dan pekerjaanny
Matahari belum terlalu tinggi, tapi suasana di kampung Hanum sudah dipenuhi bisik-bisik yang membuat udara terasa lebih gerah dari biasanya. Di warung kopi milik Bu Yati, sekelompok ibu-ibu sudah berkumpul, menyeruput kopi sambil mengupas gosip yang lebih panas dari gorengan pisang di meja."Eh, Mbak Tini, sudah dengar belum soal Hanum?" bisik Bu Mirna sambil melirik kanan-kiri, memastikan tak ada yang mendengar selain mereka."Aduh, siapa sih yang belum dengar? Kampung ini kan kecil," jawab Tini sambil menyeka keringat di lehernya. "Aku cuma heran, dari mana Ken itu punya uang buat kasih Hanum mobil sama ruko?""Aku dengar, mobilnya itu kredit! Mana mungkin mereka bayar cash, harga mobil sama ruko itu lebih dari satu miliar. Kalaupun cash, masa iya sih Ken kasih semua itu cuma-cuma? Mereka kan baru nikah bahkan dulu nggak pernah saling kenal. Lagipula, penampilan Ken saja begitu. Nggak pernah pakai baju branded. Beda banget sama Aziz. Masa punya tabungan sebanyak itu. Duit darimana
Hanum masih gemetar dengan kado yang disiapkan Ken untuknya. Dia benar-benar tak percaya jika ahri ini mendapatkan kado sespesial ini. Dia kembali teringat obrolannya dengan Ken beberapa hari lalu. Ternyata semua itu cara Ken untuk menyiapkan kado ulang tahunnya. Saat itu Ken sedang duduk di teras rumah bersama Hanum, istrinya, yang tampak sibuk menggunting tanaman hias di pot kecil. Mata Ken tak lepas mengamati wajah istrinya, yang meski tampak ceria, sering terlihat menyimpan luka batin. Ken tahu betul bahwa Hanum jarang membicarakan perasaannya. Tetapi, ia selalu bisa menangkap raut kecewa setiap kali Rena, kakak sambungnya, melontarkan kata-kata tajam."Sayang." Ken memanggil lembut. Hanum menoleh sambil tersenyum. "Ya, Mas? Ada apa?" tanyanya lembut. Ken menyesap kopinya sejenak, lalu berkata, "Aku sering lihat kamu diam kalau Rena bicara kasar. Apa kamu nggak apa-apa? Aku nggak tega lihat kamu diperlakukan seperti itu terus."Hanum menggeleng pelan. "Hanum nggak apa-apa, Mas.
Hanum duduk di ruang keluarga rumahnya yang sederhana, sambil melipat pakaian yang baru saja dijemur. Ia tahu ini hari ulang tahunnya, tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, ia tak merencanakan perayaan apa pun. Baginya, ulang tahun hanyalah hari biasa. Ia tak pernah memikirkan pesta, kado mewah atau perhatian besar dari orang-orang di sekitarnya.Namun, suasana berubah ketika suara langkah tinggi Rena, kakak sambungnya, menggema dari depan rumah. Rena masuk tanpa permisi, diikuti oleh ibunya, Mawar. Sepertinya mereka baru pulang dari mall. Ada beberapa paper bag di tangan."Hanum, kamu ini ulang tahun kok santai banget, sih? Apa nggak malu? Orang lain pasti bakal bikin acara," kata Rena sambil melirik ke ruang keluarga yang tampak biasa saja. Hanum hanya tersenyum tipis. "Aku nggak biasa merayakan ulang tahun. Dari dulu juga nggak pernah dirayakan. Apa kamu lupa?" balasnya santai. Rena mendengkus. "Ih, aneh banget. Aku sih nggak bisa bayangin kalau ulang tahun nggak dirayakan. Kalau
Rena melangkah keluar dari mobil hitamnya yang mengilap. Koper mewahnya ditarik perlahan oleh suaminya, Aziz. Dia berusaha tampak tenang, meski dalam hati ada banyak beban yang dia pikirkan. Saat ini, dia hanya tak ingin membuat istrinya kembali merajuk. Terpaksa harus mengikuti kemauan Rena untuk menikmati perannya sebagai suami dari wanita yang begitu gemar menjadi pusat perhatian. Rena melangkah anggun, memakai gaun santai berbahan satin yang membuatnya terlihat seperti model iklan majalah kelas atas.Beberapa tetangga yang sedang duduk-duduk di depan rumah segera melirik ke arahnya. Tidak butuh waktu lama bagi Rena untuk langsung menyapa mereka dengan senyuman lebar."Eh, Bu Santi, Bu Nur, sudah lama di sini? Aduh, maaf nih, baru sempat nongol lagi. Baru aja pulang dari honeymoon kedua," katanya dengan suara riang."Honeymoon kedua, Ren? Wah, keren banget, kayak di sinetron aja!" puji Bu Santi sambil terkekeh."Ya iyalah, Bu. Honeymoon pertama kan biasa, ini yang kedua harus lebi