"Num! Kamu ini sibuk terus sama cafemu sampai nggak peduli sama bapak yang lagi sakit!" sentak Rena sembari melipat tangan ke dada di depan pintu utama."Tiap hari berangkat pagi, pulang malam. Sampai nggak ketemu sama orang rumah. Kamu pasti nggak tahu kan kalau sudah dua hari bapak sakit? Sebenarnya siapa sih yang anak kandung bapak, kok malah aku yang lebih tahu dibandingkan kamu!" sentak Rena lagi. Hanum menghela napas panjang. Ken ingin menyahut, tapi Hanum melarangnya. Dia nggak mau kakak tirinya itu kembali menghina dan menyudutkan suaminya seperti biasa. Dia ingin menghadapi Rena dengan caranya sendiri. "Jaga bicaramu, Mbak. Jangan sok paling perhatian sama bapak. Selama ini kamu juga nggak peduli, kenapa sekarang sok perhatian? Kamu cemburu kan karena aku mau buka cafe baru?" Kali ini Hanum sengaja menyindir Rena sebab setiap hari dia memang cari gara-gara. Hanum jengah tiap pulang disambut dengan kata-kata menyakitkan dan menyalahkan seperti itu. "Kamu pasti nggak tahu a
Suasana tiba-tiba terasa lebih dingin."Siapa, Mas?" tanya Hanum dengan suaranya datar. Ken menghela napas, mencoba bersikap santai. "Bukan siapa-siapa, Sayang. Cuma orang iseng."Hanum menyipitkan mata. "Orang iseng kirim foto perempuan seksi ke handphone kamu, Mas?" sindir Hanum kemudian. Ken menyugar rambutnya."Aku juga nggak tahu kenapa dia kirim foto-foto itu, Sayang."Hanum terdiam sejenak. Lalu, perlahan, tangannya terulur."Kasih lihat." Ken menegang."Buat apa?" Hanum menyilangkan tangan di dada. "Kenapa, Mas? Apa ada yang kamu sembunyikan?" "Sayang, aku akan urus masalah ini supaya kamu tak salah paham lagi. Percayalah. Dia bukan siapa-siapa cuma teman kuliah yang dulu sempat camping bersama." Ken berusaha menjelaskan, tapi Hanum justru makin curiga karena mereka pernah camping bersama. [Tanggal 1 nanti aku di Jakarta. Aku ingin ketemu kamu. Aku kangen]Hanum mengulang isi pesan itu dengan suara pelan, tapi nadanya tajam. Ken merasakan tengkuknya meremang. Dia tak meny
Suasana di rumah Rudy malam ini cukup ramai. Para tetangga berkumpul di halaman rumahnya karena ada syukuran kecil-kecilan yang digelar Hanum untuk menyambut cafe barunya. Setelah pembukaan dan acara lainnya, acara berikutnya adalah doa yang dipimpin oleh seorang ustadz bernama Harun. Ustadz muda itu mulai ceramah tentang usaha dan cara pengelolaannya menurut Islam. Dia berharap Ken dan Hanum bisa menjalankan usahanya dengan baik sesuai syariat agama agar lebih berkah dan maju. "Kita doakan sama-sama ya bapak, ibu ... semoga cafe Mbak Hanum dan Mas Ken nanti sukses dan penuh berkah. Aamiin."Doa dari Pak Ustadz terdengar begitu keras diikuti gumaman "Aamiin" dari para tamu yang berkumpul di halaman rumah Rudy itu. Suasana syukuran terasa hangat dan penuh kebersamaan. Para tetangga, saudara, dan teman-teman dekat datang untuk memberikan doa dan dukungan.Setelah doa selesai, acara terakhir makan bersama. Semua pesanan Hanum sudah lengkap. Mbak Rini ikut sibuk menyiapkan peralatan mak
"Sejak syukuran dan pembukaan cafe, bapak lihat kamu dan Hanum sering gelisah dan nggak setenang biasanya, Ken. Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Rudy, bapakertua Ken yang kini duduk di sofa sebelahnya. Mertua dan menantu itu menikmati secangkir kopi dengan pisang goreng buatan Hanum. Keduanya memang sering menghabiskan waktu santai bersama, hanya saja saat sibuk mempersiapkan pembukaan cafe, Hanum dan Ken jarang pulang cepat. Momen itu pun sering terlewatkan. Namun, setelah cafe dibuka beberapa hari lalu, Ken dan Hanum berusaha pulang lebih cepat. Biasanya bakda maghrib mereka sudah sampai rumah untuk berkumpul atau sekadar ngobrol santai dengan Rudy. "Nggak ada apa-apa, Pak. Mungkin kami kecapekan atau nervous saja karena baru buka usaha. Maklum, semua belum stabil dan masih merangkak. Doakan saja semoga cafe kami bisa lebih maju dan lekas mendapatkan pelanggan baru ya, Pak." Ken berujar santai, sengaja menutupi masalah yang ada karena tak ingin bapak mertuanya ikut berpikir macam-
"Nggak usah diambil hati, Mas. Setelah hampir dua bulan kita menikah, tentu kamu juga tahu gimana watak Mbak Rena dan ibu. Biar saja mereka ngoceh sesukanya. Masukin kuping kiri langsung keluarkan dari kuping kanan. Kalau diendapkan yang ada bikin sakit jiwa." Hanum mendengkus kesal. Setelah pembuktian Ken selama ini, nyatanya kakak tirinya itu masih saja meremehkan dan menganggap Ken tak sebanding dengannya. Kadang, ada keinginan untuk menyumpal mulut perempuan itu dengan sambal saking gemasnya. "Justru aku khawatir dengan kamu, Sayang. Takutnya kamu masih kepikiran dengan ocehan-ocehan Rena dan ibu. Kalau aku ... laki-laki tak sebaper itu, Dek. Santai dan kuanggap angin lalu ocehan nggak penting seperti itu. Tenang saja, aku nggak kepikiran sedikit pun." Ken menatap lekat wajah istrinya yang masih saja cemberut. Dia tahu kalau Hanum kesal jika ada orang yang menghinanya. Demikian pula dia yang tak terima jika ada orang yang menghina istrinya. Mungkin ini yang dinamakan saling cin
Ken melirik jam tangannya. Sudah pukul sepuluh malam. Dia menghela napas panjang, menyandarkan punggung ke kursi di kamar hotelnya. Hari ini cukup melelahkan, rapat panjang, inspeksi proyek, dan diskusi tanpa henti dengan para investor. Tapi yang paling membuatnya lelah adalah jarak ini. Sudah dua hari di luar kota dan dia benar-benar merindukan Hanum.Baru dua hari berpisah, tapi rasanya sudah seperti sebulan. Proyek baru ini penting, tapi meninggalkan Hanum sendirian dengan cafe barunya bukan hal yang mudah. Dia selalu khawatir, bukan karena tidak percaya pada istrinya, tapi karena tahu akhir-akhir ini ada banyak teror yang membuat ketenangannya terganggu. Baru mau menelepon istrinya, tiba-tiba ponselnya bergetar. Dia tersenyum kecil melihat nama Hanum di layar. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap tersenyum."Assalamualaikum, Mas," sapa Hanum lembut. Ken tersenyum sembari beranjak ke ranjang dan menyandarkan punggungnya. "Wa'alaikumsalam, Sayang. Sudah selesai di cafe?" tanya Ken
[Aku jatuhkan talak padamu, Meira Althafunnisa binti Rahmat Hidayat. Mulai saat ini, kamu bukan istriku dan kita tak memiliki hubungan suami istri lagi. Kamu boleh pergi dari rumah yang kamu tinggali saat ini dan aku membebaskanmu untuk tinggal di manapun kamu suka. Bawalah Aldo, hak asuhnya akan kuserahkan padamu] Meira, perempuan berhijab coklat pudar itu ternganga saat membaca pesan dari Ibrahim suaminya yang terkirim di layar handphonenya. Tangannya gemetar saat membaca ulang pesan itu. Rasa sesak dan sakit mulai terasa menyiksa. Air matanya pun luruh seketika. Meira terjatuh ke lantai karena tubuhnya terasa amat lemas seolah tulang-tulangnya dilolosi satu demi satu. Sakit, bingung, shock dan marah tercampur menjadi satu. Maira tak tahu mengapa suaminya yang baru tiga bulan bekerja di luar kota itu tiba-tiba menjatuhkan talak padanya. Dia yang sudah membersamai Ibrahim dari nol hingga kini memiliki jabatan penting di perusahaannya. Meira tak percaya apakah pesan itu benar-benar
"Kapan kamu angkat kaki dari rumah ini, Mbak?" Pertanyaan Lina menghentikan langkah Meira yang fokus dengan handphonenya. Meira masih bertukar pesan dengan sahabatnya untuk meminjam uang. Setidaknya buat pegangan karena dia sudah ditalak dan diusir dari rumah itu tanpa boleh membawa barang apapun. "Kamu nggak tu li kan, Mbak? Atau mendadak tu li setelah dicampakkan kakakku?" Mulut pedas Lina kembali mencela. Sikap Lina berubah judes sama Meira sejak gadis itu memergoki Meira agar Ibrahim tak membelikan handphone mahal saat Lina duduk di bangku menengah pertama. Meira pikir belum waktunya anak seusia itu memiliki gadget dengan harga tiga jutaan. Namun, siapa sangka Lina justru mencak-mencak dan membenci kakak iparnya hingga kini. Gadis itu merasa jika Meira terlalu mengatur keuangan kakaknya, padahal selama ini Meira sudah berusaha bersikap adil saat mendapatkan jatah bulanan dari Ibrahim. "Kamu juga nggak bu ta kan, Lin? Mbak sudah siap-siap angkat kaki dari sini. Tinggal menungg
Ken melirik jam tangannya. Sudah pukul sepuluh malam. Dia menghela napas panjang, menyandarkan punggung ke kursi di kamar hotelnya. Hari ini cukup melelahkan, rapat panjang, inspeksi proyek, dan diskusi tanpa henti dengan para investor. Tapi yang paling membuatnya lelah adalah jarak ini. Sudah dua hari di luar kota dan dia benar-benar merindukan Hanum.Baru dua hari berpisah, tapi rasanya sudah seperti sebulan. Proyek baru ini penting, tapi meninggalkan Hanum sendirian dengan cafe barunya bukan hal yang mudah. Dia selalu khawatir, bukan karena tidak percaya pada istrinya, tapi karena tahu akhir-akhir ini ada banyak teror yang membuat ketenangannya terganggu. Baru mau menelepon istrinya, tiba-tiba ponselnya bergetar. Dia tersenyum kecil melihat nama Hanum di layar. Wajahnya terlihat lelah, tapi tetap tersenyum."Assalamualaikum, Mas," sapa Hanum lembut. Ken tersenyum sembari beranjak ke ranjang dan menyandarkan punggungnya. "Wa'alaikumsalam, Sayang. Sudah selesai di cafe?" tanya Ken
"Nggak usah diambil hati, Mas. Setelah hampir dua bulan kita menikah, tentu kamu juga tahu gimana watak Mbak Rena dan ibu. Biar saja mereka ngoceh sesukanya. Masukin kuping kiri langsung keluarkan dari kuping kanan. Kalau diendapkan yang ada bikin sakit jiwa." Hanum mendengkus kesal. Setelah pembuktian Ken selama ini, nyatanya kakak tirinya itu masih saja meremehkan dan menganggap Ken tak sebanding dengannya. Kadang, ada keinginan untuk menyumpal mulut perempuan itu dengan sambal saking gemasnya. "Justru aku khawatir dengan kamu, Sayang. Takutnya kamu masih kepikiran dengan ocehan-ocehan Rena dan ibu. Kalau aku ... laki-laki tak sebaper itu, Dek. Santai dan kuanggap angin lalu ocehan nggak penting seperti itu. Tenang saja, aku nggak kepikiran sedikit pun." Ken menatap lekat wajah istrinya yang masih saja cemberut. Dia tahu kalau Hanum kesal jika ada orang yang menghinanya. Demikian pula dia yang tak terima jika ada orang yang menghina istrinya. Mungkin ini yang dinamakan saling cin
"Sejak syukuran dan pembukaan cafe, bapak lihat kamu dan Hanum sering gelisah dan nggak setenang biasanya, Ken. Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Rudy, bapakertua Ken yang kini duduk di sofa sebelahnya. Mertua dan menantu itu menikmati secangkir kopi dengan pisang goreng buatan Hanum. Keduanya memang sering menghabiskan waktu santai bersama, hanya saja saat sibuk mempersiapkan pembukaan cafe, Hanum dan Ken jarang pulang cepat. Momen itu pun sering terlewatkan. Namun, setelah cafe dibuka beberapa hari lalu, Ken dan Hanum berusaha pulang lebih cepat. Biasanya bakda maghrib mereka sudah sampai rumah untuk berkumpul atau sekadar ngobrol santai dengan Rudy. "Nggak ada apa-apa, Pak. Mungkin kami kecapekan atau nervous saja karena baru buka usaha. Maklum, semua belum stabil dan masih merangkak. Doakan saja semoga cafe kami bisa lebih maju dan lekas mendapatkan pelanggan baru ya, Pak." Ken berujar santai, sengaja menutupi masalah yang ada karena tak ingin bapak mertuanya ikut berpikir macam-
Suasana di rumah Rudy malam ini cukup ramai. Para tetangga berkumpul di halaman rumahnya karena ada syukuran kecil-kecilan yang digelar Hanum untuk menyambut cafe barunya. Setelah pembukaan dan acara lainnya, acara berikutnya adalah doa yang dipimpin oleh seorang ustadz bernama Harun. Ustadz muda itu mulai ceramah tentang usaha dan cara pengelolaannya menurut Islam. Dia berharap Ken dan Hanum bisa menjalankan usahanya dengan baik sesuai syariat agama agar lebih berkah dan maju. "Kita doakan sama-sama ya bapak, ibu ... semoga cafe Mbak Hanum dan Mas Ken nanti sukses dan penuh berkah. Aamiin."Doa dari Pak Ustadz terdengar begitu keras diikuti gumaman "Aamiin" dari para tamu yang berkumpul di halaman rumah Rudy itu. Suasana syukuran terasa hangat dan penuh kebersamaan. Para tetangga, saudara, dan teman-teman dekat datang untuk memberikan doa dan dukungan.Setelah doa selesai, acara terakhir makan bersama. Semua pesanan Hanum sudah lengkap. Mbak Rini ikut sibuk menyiapkan peralatan mak
Suasana tiba-tiba terasa lebih dingin."Siapa, Mas?" tanya Hanum dengan suaranya datar. Ken menghela napas, mencoba bersikap santai. "Bukan siapa-siapa, Sayang. Cuma orang iseng."Hanum menyipitkan mata. "Orang iseng kirim foto perempuan seksi ke handphone kamu, Mas?" sindir Hanum kemudian. Ken menyugar rambutnya."Aku juga nggak tahu kenapa dia kirim foto-foto itu, Sayang."Hanum terdiam sejenak. Lalu, perlahan, tangannya terulur."Kasih lihat." Ken menegang."Buat apa?" Hanum menyilangkan tangan di dada. "Kenapa, Mas? Apa ada yang kamu sembunyikan?" "Sayang, aku akan urus masalah ini supaya kamu tak salah paham lagi. Percayalah. Dia bukan siapa-siapa cuma teman kuliah yang dulu sempat camping bersama." Ken berusaha menjelaskan, tapi Hanum justru makin curiga karena mereka pernah camping bersama. [Tanggal 1 nanti aku di Jakarta. Aku ingin ketemu kamu. Aku kangen]Hanum mengulang isi pesan itu dengan suara pelan, tapi nadanya tajam. Ken merasakan tengkuknya meremang. Dia tak meny
"Num! Kamu ini sibuk terus sama cafemu sampai nggak peduli sama bapak yang lagi sakit!" sentak Rena sembari melipat tangan ke dada di depan pintu utama."Tiap hari berangkat pagi, pulang malam. Sampai nggak ketemu sama orang rumah. Kamu pasti nggak tahu kan kalau sudah dua hari bapak sakit? Sebenarnya siapa sih yang anak kandung bapak, kok malah aku yang lebih tahu dibandingkan kamu!" sentak Rena lagi. Hanum menghela napas panjang. Ken ingin menyahut, tapi Hanum melarangnya. Dia nggak mau kakak tirinya itu kembali menghina dan menyudutkan suaminya seperti biasa. Dia ingin menghadapi Rena dengan caranya sendiri. "Jaga bicaramu, Mbak. Jangan sok paling perhatian sama bapak. Selama ini kamu juga nggak peduli, kenapa sekarang sok perhatian? Kamu cemburu kan karena aku mau buka cafe baru?" Kali ini Hanum sengaja menyindir Rena sebab setiap hari dia memang cari gara-gara. Hanum jengah tiap pulang disambut dengan kata-kata menyakitkan dan menyalahkan seperti itu. "Kamu pasti nggak tahu a
Segala keperluan cafe sudah siap. Tak ingin membuang waktu, Hanum dan Ken sepakat untuk segera membuka cafenya minggu depan. Mereka pun berencana membuat syukuran kecil-kecilan terlebih dahulu di rumah dengan mengundang para tetangga untuk doa dan makan bersama. Saat ini, Hanum minta karyawan cafenya-- Mbak Rini untuk menyiapkan semua menu masakan. Dia minta tolong dicarikan catering yang masakannya enak di lidah. Ken pun menyerahkan semua urusan percateringan itu pada istri dan calon karyawan cafenya. Nanti dia tinggal transfer saja berapa biaya semuanya. "Pokoknya aku pengin semuanya lengkap, Mbak Rini," kata Hanum sambil memeriksa daftar menu di tangannya.Mbak Rini, tetangga sekaligus calon karyawan cafenya itu mengangguk sambil tersenyum."Tenang saja, Mbak Hanum. Insya Allah semua beres. Saya juga sering pesan di catering itu kalau mau syukuran atau hajatan kecil-kecilan. Daripada repot masak sendiri memang lebih enak pesan saja." Mbak Rini tersenyum tipis. Hanum pun mengiyaka
"Sepuluh juta doang! Gaji sebulan juga cukup buat bayar!"Rena mencak-mencak di ruang tamu rumah orang tuanya. Wajahnya merah padam, napasnya memburu. Tangan kanannya menggenggam erat ponsel, sementara tangan kirinya mencengkram ujung kaosnya yang sudah kusut."Kamu tahu, Bu? Orang-orang kampung ini bikin gosip seolah-olah Mas Aziz punya utang sampai miliaran! Emangnya dia rentenir? Sepuluh juta doang, itu mah kecil!" Mawar kembali bersungut kesal lalu menjatuhkan bobotnya ke sofa.Mawar yang duduk di sofa sebelahnya hanya mendengkus kesal. "Mereka nggak sepenuhnya salah, Ren. Kamu sendiri yang awalnya mencak-mencak karena masalah ini. Makanya, mereka jadi bikin gosip seolah utang suamimu ratusan juta. Lagipula, kalau memang cuma hutang kecil, kenapa Azziz nggak lunasin dari dulu? Kenapa malah ribut sama orang?" tukas Mawar sembari melipat tangan ke dada. Dia ikut kesal perihal hutang menantunya itu sebab saat arisan, hajatan atau kumpul-kumpul warga, namanya juga ikut terseret dan
Pagi ini, Hanum dan Ken kembali berangkat lebih awal ke cafe mereka. Sudah hampir seminggu mereka disibukkan dengan berbagai hal. Mereka menata interior, merapikan meja dan kursi, serta memastikan tempat itu terlihat nyaman dan estetik.Hanum berdiri di tengah ruangan mengamati hiasan dinding dan lampu-lampu gantung yang baru mereka pasang kemarin malam. "Mas, menurutmu kalau kita tambahin tanaman hias di sudut-sudut ruangan, bakal makin cantik nggak?" tanyanya sambil menoleh ke Ken yang sedang mengecek furniture lain. "Bagus juga, Sayang. Aku lihat di marketplace ada tanaman gantung artificial, jadi nggak perlu repot nyiram tiap hari." Ken menoleh dengan senyum. Hanum pun balik tersenyum. "Sip, Mas. Nanti Hanum pesan online saja kalau gitu." Sejak sibuk menyiapkan keperluan cafe itu, mereka nyaris tidak punya waktu untuk hal lain. Setiap pagi mereka datang sebelum matahari terbit, dan baru pulang saat langit sudah gelap. Hanum bahkan mulai belajar memasak dari seorang chef kenala