"Mika!"
Tidak kugubris panggilan dari Ega. Kakiku terus melangkah menuju kamar. Walau perut masih dilanda lapar. Namun, selera makan seketika hancur setelah mendengar omongan Ega barusan.
Memang benar pernikahan kami tidak dilandasi cinta. Hanya karena keterpaksaan baik dariku maupun Ega. Walau begitu aku tidak mau alasan itu ia gunakan untuk berlaku semena-mena.
Ketika tengah membuka pintu lemari.
Ponsel di nakas bergetar. Penasaran akan siapa yang mengirim pesan, lekas kusambar benda tipis warna putih tersebut. Rupanya Ibu yang mengirim pesan.Mika, datang ke rumah Ibu, ya!
Hari ini Ibu ada banyak pesanan. Tolong bantu Ibu ya, Nak.
Ibu tunggu!
Sudut bibirku naik ke atas. Kebetulan sekali aku yang sedang ingin menyegarkan pikiran memang berniat mengunjungi Ibu. Sudah lebih dari dua pekan aku tidak bertandang ke sana.
Sekarang Ibu sudah tidak bekerja menjadi buruh pencuci piring. Ayah mertua memberinya modal yang cukup lumayan untuk membuka usaha. Hobi masak Ibu ia salurkan dengan membuat usaha katering.
Aku sendiri juga sedang butuh hiburan. Karena berdiam diri terus di rumah itu sangat membosankan. Apalagi tidak kawan untuk diajak berbincang. Rencananya tadi selain mengunjungi Ibu, aku sekalian mengajak Dika pergi untuk mencari hiburan.
Semenjak diangkat menjadi menantu, Bapak Edi Baskara menyuruhku resign dari pekerjaan. Hal itu ia lakukan agar hubunganku dengan Ega kian terjalin dekat. Sayangnya hingga detik ini kami masih saja seperti dua orang asing yang tinggal dalam satu atap. Bahkan walaupun kami tidur dalam satu ranjang.
Ega tidak pernah mengajakku bicara jika bukan hal yang penting. Apalagi membawa ke luar sekedar untuk dikenalkan pada temannya. Kami terbiasa melakukan masalah pribadi sendiri-sendiri.
Urusan nafkah, Ega memang bertanggung jawab. Tiap bulan ia selalu mentransfer uang ke dalam rekeningku. Tidak pernah telat sekalipun.
Begitu juga dengan nafkah batin. Lelaki itu selalu memenuhi kewajiban itu. Di saat sedang tidak lelah, dia bisa menyentuhku lebih dari tiga kali dalam seminggu.
Hanya saja seperti yang kalian tahu. Sentuhan Ega padaku itu sangat hambar. Tidak ada cinta. Hanya napsu saja yang ia gunakan.
Ega bahkan terang-terangan tidak menginginkan anak dari rahimku. Dirinya kerap kali menggunakan kontrasepsi jika berhubungan guna mencegah aku hamil.
"Aku hanya ingin punya anak dari wanita yang kucintai," ucapnya santai saat ia menyuruhku untuk pasang KB.
"Kalo begitu kenapa harus menyentuhku jika tidak ingin aku hamil?" tanyaku ikut mencoba tenang. Walau di dalam sana hatiku gerimis.
"Itu bentuk tanggung jawabku sebagai seorang suami," balas Ega masih setia dalam kecongkakan. "Apalagi nafkah lahirmu sudah kupenuhi lebih dari cukup. Tugasmu adalah menjadi istri dan menantu yang baik di hadapan Mama-Papaku," titahnya tidak terbantahkan.
Mengingat percakapan itu hatiku menjerit lara. Bagi Ega aku tidak lebih dari boneka yang bisa ia mainkan sesukanya. Kadang hatiku sering dipenuhi tanya. Sampai kapan aku mampu mempertahankan ini semua?
Ponsel kembali kutaruh di nakas. Gegas kubuka kembali lemari. Sebuah blouse ungu pastel kupadukan dengan celana bahan model palazzo berwarna hitam. Rambutnya yang tadi digulung asal kini kugerai. Menyisir perlahan guna merapikan. Untuk menyegarkan wajah kusapukan bedak. Tidak lupa gincu tipis untuk menghidupkan bibir.
Ketika aku turun, Ega masih setia duduk di meja makan. Kedua tangan ia tumpu di atas meja untuk menutup badan. Sepertinya dia tengah kalut. Antara meneruskan niat untuk tetap maju menikahi Tania, atau mundur karena takut dengan ancamanku.
Sedikit ragu aku mendekati lelaki berkulit tembaga seksi itu untuk meminta izin pergi. Wejangan Ibu untuk selalu berbakti terus terngiang di telinga. Jangan pernah meninggalkan rumah jika suami tidak menghendaki. Jadi semalas apapun aku menghadapi Ega, aku harus pamit padanya.
"Eum ... aku mau pergi ke rumah Ibu," pamitku lirih.
Ega membuka kedua tangan. Menolehku sekilas. "Memangnya aku peduli." Balasan Ega lirih. Namun, cukup menusuk hati. Tahu begini tadi aku menyelonong pergi saja tanpa harus bermanis-manis meminta izin.
Sedikit menghentakkan kaki karena kesal, kutinggalkan lelaki tampan berjiwa kulkas itu. Motor matic hitam kesayangan kukeluarkan dari garasi. Ah ... rasanya ingin cepat menjumpai Ibu dan Dika.
Dengan kecepatan, sedang antara enam puluh menit perjam aku sampai di rumah Ibu lima belas menit kemudian. Pintu rumah tidak dikunci, walau begitu aku tetap mengucap salam. Ada jawaban dari dalam dan aku hapal suara itu. Itu suara Dika.
Langkahku ringan memasuki kamar pemuda tanggung berumur lima belas tahun itu. Seketika langkahku tercekat melihat ada sosok Ghani di kamar Dika. Pemuda itu tampak tengah serius mengutak-atik kipas angin berdiri yang terletak di sudut kamar Dika.
"Mbak Mika!" Dika yang menyadari kedatanganku berseru memanggil. Remaja kelas sepuluh SMA itu mendekat, lantas mengajakku bertos.
"Kenapa dengan kipasnya?" tanyaku pelan.
"Gak tahu. Tiba-tiba gak jalan. Nih lagi minta bantuan Mas Ghani," jawab Dika santai.
"Oh." Aku menyahut singkat.
Tidak sengaja mataku bertemu pandang dengan Ghani. Ada sekitar tiga menit kami saling bersitatap tanpa saling menyapa. Menit berikutnya kami sama-sama membuang muka.
Aku paham jika Ghani masih marah padaku. Aku dan dia tumbuh besar besar. Rumah kami saling bertetangga. Kami sama-sama terlahir dari keluarga sederhana.
Jika aku menjadi anak yatim dari lima tahun lalu. Ghani menjadi anak piatu dari sepuluh tahun terakhir. Ibunya meninggal saat melahirkan adik kembar perempuannya. Sementara sang Ayah yang seorang pelaut tidak pernah pulang semenjak ibunya tiada. Ghani dan keduanya tinggal bersama neneknya.
Lima tahun lalu Ghani menjadikanku kekasih hatinya. Kami berjanji akan menghalalkan hubungan jika usaha bengkel elektroniknya berkembang. Sayangnya impian itu hanya sebatas mimpi. Kecelakaan Dika membuatku memutuskannya secara sepihak.
Kutinggalkan kamar Andika segera. Langkahku menderap menuju dapur. Tatapan dingin dari Ghani tadi menghiasi mata.
Aku tahu Ghani terluka. Tapi tahukah dia, jika di sini aku pun sama tersiksanya. Pernikahan antara aku dan Ega memang menyisakan duka bagi banyak orang. Terutama Ghani dan Tania. Ahhh ... Andika tidak celaka mungkin aku masih merenda mimpi dengan Ghani.
"Mika." Ibu yang menyadari kedatanganku lekas menyapa. Tangannya yang kotor lekas ia cuci untuk memelukku hangat. "Apa kabarnya, Nak? Sehat? Bagaimana keadaan suamimu?" tanya Ibu usai melepas dekapan.
"Aku baik. Suamiku juga baik," jawabku pelan.
Senyum tipis kuukir untuk semua karyawan Ibu. Empat orang gadis sepantaran aku mengangguk sopan. Kemudian aku tahu apa yang mesti dikerjakan.
Selama tiga bulan menjadi menantu Bapak Edi Baskara, aku mengikuti kelas memasak. Lumayan, sekarang kepiawaianku hampir setara dengan Ibu.
Tiga jam aku ikut berkutat membantu Ibu membuat makanan pesanan katering. Kaki dan badan ini lumayan pegal-pegal juga. Untuk merilekskan tubuh, aku akan bawa Ibu dan Dika untuk bersenang-senang.
Kami akan pergi ke spa untuk dipijat. Jika Dika menolak kareba biar dia bermain di Timezone. Setelah itu aku dan Ibu lanjut berbelanja. Mengisi perut dengan makanan enak. Kemudian mencari hiburan dengan menonton film di bioskop.
Semua agenda itu berjalan dengan lancar. Ketika kami ke luar mall, hari sudah gelap. Karena sudah cukup malam, kuputuskan untuk langsung pulang ke rumah dengan menggunakan taksi. Motor yang dibawa sengaja ditinggal saja di rumah Ibu.
Mobil Ega sudah terparkir rapi di garasi. Lampu rumah pun sudah menyala semua. Pastinya Ega sudah tiba di rumah.
"Dari mana saja seharian pulang?" tegur Ega ketika aku melintas di depannya. Lelaki itu bertanya, terapi tatapannya tertuju pada layar televisi.
"Dari rumah ibu," jawabku santai.
"Tunggu aku belum selesai bicara!" Ega mencegah saat kakiku mulai menanjak anak tangga.
"Apa?" tanyaku seraya membalikkan badan. Kini mata kami saling beradu.
"Besok temani aku kondangan," pintanya terkesan susah mengutarakan.
"Tumben." Aku menyahut dengan sedikit melengkungkan bibir. "Biasanya enggan ngajak-ngajak," sindirku pelan.
"Besok acaranya sepupu jadi mama dan papa pasti akan datang. Dan aku gak mau hubungan kita dicurigai mereka," kilah Ega dingin.
"Kita lihat saja besok. Semoga aku gak sibuk," tuturku cuek. Kemudian kembali melangkahkan kaki.
"Mika!" Ega memanggil. Kembali aku membalikkan badan. "Jangan berlagak kamu!" Mata Ega mengintimidasi.
"Aku gak berlagak. Kan biasanya kamu yang gak mau ditemani aku," sahutku enteng.
"Kali ini lain. Sudah kubilang akan ada mama dan papa," tegas Ega mulai meninggi.
"Tidak perlu keras seperti itu! Aku gak tuli dan aku-"
"Oke, mau kamu apa sekarang?" Ega menyela cepat.
Dalam hati aku bersorak. Kena kamu. "Oke, aku mau nemenin kamu kondangan asal gak hanya hari ini saja. Tapi di setiap acara, kamu harus bawa aku dan mengenalkan pada teman-temanmu kalo aku ini istrimu. Eum ... juga jika aku butuh kamu untuk jadi pendamping, sibuk gak sibuk kamu harus mau. Deal?"
Ega mendengkus sebal. "Kenapa jadi banyakan kamu permintaannya?"
"Gak mau ya sudah."
"Iya, aku mau," tukas Ega cepat. Aku tersenyum. Ketika aku mengacungkan jari kelingking. Ogah-ogahan dia mengaitkan jari kecilnya. "Besok di hadapan keluarga kamu harus bersikap mesra kepadaku."
"Susah. Kan kamu ngajarin sikap kaku ke aku," balasku mengejek.
"Haruskah aku mengajarimu sekarang? Ayo kita ke kamar!"
"Tidak perlu jika otakmu masih dipenuhi wajah Tania," larangku tenang. Seanggun mungkin aku berlalu meninggalkan Ega yang menatapku sengit.
Kesepakatan telah dibuat dan Ega telah menyetujuinya. Aku berharap dia tidak akan ingkar. Karena jika Ega menjalankan kesepakatan, maka hubungan kami akan selangkah lebih maju.Pernikahan kami kemarin digelar cukup sederhana untuk seorang Bapak Edi Baskara. Walau pria berkharisma itu menginginkan pesta yang meriah. Ega menolak dengan berbagai alasan.Tidak banyak orang yang tahu jika Ega telah menikah. Apalagi dia memang jarang sekali mengajakku pergi. Hanya sesekali saja itu pun jika melibatkan acara keluarga.Setelah kata deal terucap, aku pergi meninggalkan Ega menuju kamar. Merilekskan tubuh dengan berendam. Menenggelamkan diri pada lautan busa wangi. Rasanya sungguh menyenangkan.Setelah cukup merasa segar, aku kembali ke kamar. Berganti pakaian, lalu turun ke dapur untuk membuat makan malam.Ketika sampai dapur sudah ada Ega yang tengah sibuk mengiris bumbu. Penampilannya terlihat segar dengan rambut basah dan kaos rumahan yang santai. Pastinya dia mandi di kamar mandi bawah.Se
Melihat kedatangan Tania, aku dan Ega sama-sama tercekat. Ega bahkan tiba-tiba menurunkan aku dari gendongan. Langkahnya tergesa menghampiri gadis berambut panjang sepinggang itu. Dengan rambut yang sudah terlihat sangat basah, penampilan Tania tampak begitu memprihatinkan."Ta-Tania?" sapa Ega cukup terdengar lirih. Namun, binar matanya menunjukkan kebahagiaan. "Ke mana saja kamu selama ini?" Ega bertanya penuh kepedulian. "Ga ... aku butuh tempat berteduh sekarang," ujar Tania tidak mengindahkan pertanyaan Ega. "Aku diusir dari kontrakan." Tania melapor dengan memasang wajah memelas."Kamu belum jawab pertanyaanku. Sebulan ini kamu ke mana saja?" desak Ega terus menunjukkan kepedulian."Aku-""Kita bicara di dalam. Ayuk!" Ega menyela dan langsung mengajak Tania masuk.EHEM!Aku berdaham cukup keras. Membuat kedua sejoli itu menoleh. Wajah pucat Tania bertambah pias menyadari keberadaanku. Sementara Ega terlihat tidak peduli."Apa maksudnya dengan berbicara di dalam?" tanyaku menunj
"Tania ... kamu gak papa?" Kudengar Ega bertanya dengan penuh kepedulian. Kuping yang lumayan panas menarik kakiku untuk mendekat. Di depan pintu kamar mandi aku berpapasan dengan mereka. Ega merangkul Tania yang lesu hingga ke sofa ruang tengah. Peluh tampak membasahi paras cantik Tania.Tangan Ega meraih tisu yang tersedia di meja. Seolah mengabaikanku penuh perhatian dia mulai mengelap butiran keringat pada wajah Tania. Sementara sang wanita terkulai lemas dengan kepala bersandar pada sandaran sofa."Kamu kenapa, Tania?" Way ada rasa panas menjalar di hati melihat kepedulian Ega pada gadis itu. Namun, demi kesopanan aku perlu berbasa-basi."Entahlah." Tania menjawab lemah disertai gelengan yang pelan pula. "Akhir-akhir ini setiap pagi aku selalu muntah-muntah," tutur gadis itu terdengar cukup lirih."Kenapa bisa begitu? Apa kamu sudah pernah periksa ke dokter?" berondong Ega tampak begitu cemas."Gak ada waktu dan gak uang, Ega," balas Tania meringis miris."Jangan seperti itu, Ta
"Kamu tahu kenapa aku akhir-akhir ini menghindarimu?" tanya Tania di sela sedu-sedannya. Ega refleks menggeleng, sedangkan aku masih diam mematung. "Aku sengaja menghindarimu karena yakin kamu pasti tidak akan percaya, Ega. Tapi sungguh ... ini benihmu, Ga." Tania kembali menangis pilu. Benar-benar menyayat hati bagi mereka yang mendengar."Iya. Aku percaya." Ega langsung merengkuh Tania ke dalam dekapan.Air mata yang sedari tadi sekuat mungkin kubendung, kini membludak membasahi pipi. Dadaku terasa sesak saat mendengar Ega berulang kali mengucap kata maaf dan cinta pada Tania."Apapun yang terjadi aku siap bertanggung jawab," janji Ega terdengar mantap."Tapi, Ga, kedua orang tua asuhmu pasti menentang. Apalagi kini kamu sudah ada Mika." Tania terdengar memperingatkan. Namun, di sisi lain sorot matanya menggambarkan kebahagiaan."Kita akan menghadapinya bersama, Tania." Lagi Ega memeluk wanita ramping itu tanpa memedulikan keberadaanku.Aku sendiri mendadak kelu. Entah kenapa aku ti
Telapak tangan dingin Ega terasa kuat mencengkeram. Membuatku harus mendongak padanya. Lelaki itu berkedip. Seakan hendak menyampaikan sesuatu lewat sorot matanya.Feeling-ku pasti dia meminta bantuan mengenai Mika. Ahhh ... biar saja! Dia yang berbuat kenapa aku harus repot juga? Bukankah tadi siang, dirinya begitu sombong hendak berbicara jujur kepada orang tuanya. Sekarang saja, nyalinya ciut begitu.Tanpa mempedulikan Ega, kulepas genggaman tangannya. Kepala yang pening mengharuskan aku tergesa sampai dalam mobil. Kepala berat ini langsung kusandarkan pada sandaran jok.Tidak lama kemudian kedua orang tua Ega ikut masuk mobil. Mereka duduk di belakang. Sementara itu, dari kaca mobil terlihat Ega tengah menelepon seseorang. Wajahnya tampak serius. Mungkin saja dia sedang mengabari Tania kalau kedua orang tuanya akan bertandang."Kenapa Ega lama sekali sih?" tegur Bu Gina terdengar kesal. "Pa, coba panggil anak itu! Suruh dia masuk! Kasihan Mika kelamaan nunggunya. Dia lagi sakit in
Acara makan pizza telah usai. Kami semua bergantian cuci tangan di wastafel. Bu Gina dan Bapak Edi pamit tidur lagi ketika mendengar jarum besar berdetang sekali."Mama sangat menginginkan cucu. Dan kamu tidak akan mampu mewujudkannya, karena aku selalu pake pengaman," tutur Ega begitu kedua orang tuanya berlalu. Wajah dinginnya kini mencairkan senyum kemenangan. "Aku akan cari waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua," lanjutnya tenang, "dan kamu!" Ega menatapku tajam, "bersiaplah menerima kenyataan bahwa Tania akan menggeser posisimu menjadi menantu kesayangan mama dan papa," imbuhnya percaya diri.Ega terkekeh lirih. Sungguh ia tengah mengejek. Namun, aku tidak mau terpancing."Coba saja kalo berani," tantangku ikut tersenyum miring, "yang ada kamu akan ditendang oleh kedua orang tua angkatmu tanpa membawa sepeserpun harta.""Jangan terlalu percaya diri, Mika!" Ega mengingatkan dengan mencondongkan tubuh. Dia merapat padaku. Wajah kami sudah begitu dekat. Bahkan hembusan napasnya
Ega merebut ponsel yang masih berbunyi. Lelaki itu melempar benda tipis berwarna silver itu ke ranjang. Kini kedua tangannya memegang pundakku."Kenapa? Kenapa kamu tega ngurung Tania di kamar?" cecar Ega dengan geram. Kini pegangannya berubah jadi cengkeraman."Awww! Sakit, Ga." Aku mendesis merasakan sakit yang menggerus pundak."Tania itu sedang hamil. Tidak kah kamu kasihan pada dia?" Mata Elang Ega menukik tajam."Justru karena aku kasihan makanya aku kurung dia," sergah seraya menepis cengkeraman Ega. Namun, sia-sia. Tenaga tidak cukup kuat melawannya. "Kamu mau Tania ketahuan mama papamu saat berkeliaran?""Tapi dia pengap berada di kamar terus. Tania butuh udara segar. Dia juga butuh ke toilet, Mika!""Itu urusan kamu!" Kembali aku menyergah, "jika kamu ingin Tania hidup bebas silahkan bawa pergi dia dari sini!"Napas Ega terdengar memburu. "Kamu ini ...."Mataku tertutup saat melihat tangan Ega terangkat. Aku harus kuat. Selain dingin, Ega juga sedikit kasar. Namun, hingga be
"Ega! Jaga bicaramu!"Seketika aku dan Ega menoleh ke sumber suara. Tampak Bu Gina menatap putra angkatnya dengan wajah geram. Wanita itu bergerak maju mendekat."Kamu ngomong apa barusan?"Mata wanita berkulit cokelat bersih itu terus saja menghujam Ega. Membuat putra angkatnya terlihat gemetar. Kini tangan Ega bahkan menggenggam jemariku, lantas meremasnya kuat. Ini menandakan jika dia tengah meminta bantuan padaku.Dalam hati aku tertawa. Kemarin saja kamu begitu jumawa, Ega. Sekarang begitu mama mendengar, kamu malah ketakutan."Dengar Ega! Sudah berapa kali mama bilang? Jangan pernah lagi memikirkan Tania lagi!" larang Bu Gina tampak emosi, "papamu bahkan melihat dengan mata kepalanya sendiri, jika gadis itu sering bergonta-ganti pasangan," lanjutnya berapi-api.Ibu Gina memang kadang tidak bisa mengkontrol diri. Padahal sudah sering kuingatkan untuk tidak terlalu menuruti emosi, supaya tekanan darahnya stabil. Namun, dirinya susah diingatkan. Tak jarang jika dia sering mengeluh
Ega tersenyum manis. Dia menangkap tanganku yang membelai parasnya. "Iya, aku telah bebas karenamu, Mika. Terima kasih," ucapnya syahdu. Kini tanganku ia kecup ringan."Bagaimana kamu bisa keluar dari tahanan?" tanyaku ingin tahu."Itu semua berkat bantuanmu, Sayang."Lagi-lagi aku dibuat terkesima saat mendengar Ega memanggilku dengan sebutan sayang. Ini untuk pertama kalinya dalam pernikahan kami. Biasanya Ega selalu memanggil namaku saja, itu pun dengan sangat datar, kadang dingin jika sedang kesal, atau kasar bila tengah marah."Karena aku kamu bisa keluar?" Aku mengulang ucapan Ega dengan bingung. Ketika dia mengganguk disertai senyuman, aku kian mengernyit."Sudahlah! Kamu baru sadar, Mika." Ibu berbicara. "Nanti saja kalo kamu sudah pulih betul, kami akan cerita semua," tutur Ibu sambil mengusap rambutku. Wanita itu tersenyum lembut.Tidak lama datang dokter dan juga perawat. Dokter laki-laki sepantar Bapak Edi ramah menanyakan kabar. Pria dengan dahi lebar itu menggunakan stet
"Berhenti, Mika!"Suara Galih terdengar mengintimidasi. Aku tidak peduli. Lekas kugapai ponsel ini. Namun, baru satu langkah, sebuah tangan besar menyentuh pundak. Bahkan meremasnya kuat.Ini pasti telapak tangan Galih. Benar. Ketika aku balik badan, pria itu menyeringai dingin. Berbeda dengan Budi yang berdiri di belakangnya dengan menundukkan wajah. Pemuda itu terlihat amat ketakutan."Kamu habis ngapain?" Galih bertanya dengan tatapan tajam."E ... aku--""Kamu menguping pembicaraan kami?" Galih menyambar cepat."Gak--""Kasih hapemu padaku!" pinta Galih masih bernada dingin."Mau buat apa?" tanyaku takut. Ponsel di tangan lekas kusembunyikan di belakang punggung. "Berikan padaku.""Enggak!" Aku menggeleng tegas."Aku bilang BERIKAN!" gertak Galih muntab. Tangannya mencoba merebut gadget kepunyaan."Gak AKAN!" Aku sengaja menaikan volume suara. Agar Ibu Gina dan Winda mendekat."Budi, rebut hape Mika!" Galih berpaling pada Budi. Pemuda itu tampak tertegun mendengar perintah terseb
(POV Mika)"Akan kuselidiki dan pantau Budi juga," tekadku yakin.Galih dan Budi kemudian turun dari mobil. Langkah mereka berpencar. Galih menuju mobil sendiri, sedangkan Budi kembali melangkah ke ruangannya Bian.Aku pun mengikuti pemuda itu. Sekalian menunjukkan hasil pemeriksaan ini pada Bapak Edi. Pasti beliau terkejut senang.Tiba-tiba perutku dilanda lapar. Akhirnya kaki ini kubelokan ke kantin. Nanti saja menunjukkan hasil tesnya. Sekarang isi perut dulu. Karena memang masih belum bisa menguyah nasi, kuputuskan untuk membeli dua bungkus roti dengan rasa abon sapi dan segelas cokelat hangat.Satu roti ukuran sedang ini ternyata tidak mampu aku habiskan. Tak masalah karena perutku sudah tidak terasa perih lagi. Saatnya kembali ke ruangan Bian.Budi sudah duduk manis di bangku tunggu. Namun, Tania dan Bapak Edi tidak terlihat batang hidungnya. Pemuda itu tampak tengah menunduk dengan pandangan kosong.Wajahnya juga terlihat sayu. Seakan ada masalah besar yang sedang menghimpitnya
Perubahan status Ega dari saksi menjadi tersangka sungguh membuat keluarganya terpukul hebat. Tidak hanya Mika sang istri yang merasa sedih. Ibu Gina jauh lebih terguncang jiwanya.Air mata tidak hentinya mengalir dari netra Ibu Gina. Wanita itu sesenggukan pilu membayangkan putra kesayangannya meringkuk dingin dan lama di jeruji besi. Lelah hati dan pikiran membuatnya memutuskan untuk tidak ikut menemani suaminya menjenguk Bian.Mika sendiri memilih turut serta menemani Bapak Edi dan Tania. Selain memang ingin melihat kondisi Bian, dia juga ingin memeriksakan diri. Badannya mudah capek dan yang pasti mual selalu menyerangnya di waktu pagi.Akhirnya, Ibu Gina pulang dengan dijemput oleh Mang Asep. Sementara Bapak Edi, Mika, dan Tania pergi ke rumah sakit diantar oleh Budi. Kamar Bian adalah tujuan utama mereka begitu sampai.Kondisi Bian masih serupa kemarin. Setelah menjalani operasi, pemuda itu belum juga sadarkan diri. Alat-alat, selang, dan kabel masih membelit tubuhnya. Kenyataa
Pagi hari aku mendapati suara keributan di bawah. Refleks mata ini terbuka. Ternyata aku masih mengenakan mukena. Ketika kutengok waktu pada jam digital di atas nakas, ternyata hari sudah menjelang siang. Untungnya sholat subuh tidak kutinggalkan walau tadi mata teramat kantuk.Masih bermalas-malasan aku menuju kamar mandi. Hari ini aku harus bersiap pulang. Party its over dari dua hari yang lalu. Seharusnya aku sudah ada di Jakarta jika musibah tidak menimpa Bian dan Ega. Andai waktu itu Ega tidak usah membujuk Bapak Edi untuk mengizinkan Bian ikut serta ke pesta malam tahun baru ini, mungkin Bian masih akan baik-baik saja. Dan tentunya Ega juga tidak akan ditahan.Aku menggeleng pelan. Sebagai seorang muslim kita tidak boleh berandai-andai. Karena sama saja tidak mempercayai takdir. Aku yakin semua musibah yang terjadi adalah adalah suatu teguran dari-Nya. Agar kami senantiasa mengingat-Nya.Usai mandi kutata semua pakaian ke koper, baik baju sendiri maupun Ega. Mengingat lelaki it
(POV Mika)"Apaaa?!" Ega, aku, dan Winda tersentak kaget bersamaan. Sementara Gavin langsung bersembunyi di belakang tubuh Winda sang mama. Anak itu pastinya ketakutan melihat kedatangan polisi ke rumah."Cepat tangkap!" titah Letnan polisi itu pada kedua anak buahnya."Siap, Ndan!""Tunggu dulu! Maksudnya apaan ini?!" Ega berusaha menghindar. Namun, kedua polisi bertubuh lebih besar darinya mampu membekuknya dengan gampang. "Lepaskan! Salah saya apa, Pak?" kesal Ega setengah berteriak."Dari semua saksi hanya Anda yang berada di tempat pekara pada waktu itu," jawab Letnan polisi tersebut tenang."Saya ada di TKP karena mendengar ada suara benda terjatuh. Secara naluri kita pasti ingin melihatnya," balas Ega mencoba membela diri. Suamiku terus meronta dan mengerang."Silahkan Anda jelaskan semuanya di kantor! Cepat bawa dia ke mobil." Polisi berbalok emas satu itu menyuruh pada anak buahnya."Siap, Ndan!""Ini gak bener! Aku gak bersalah!" Ega terus menolak dan berontak. Namun, ia tet
Semua orang tengah terpekur dalam kesedihan. Hari ini Bian sedang menjalani operasi. Semua berharap pemuda itu bisa tertolong. Tania terus-menerus menangis. Sementara Bapak Edi memilih bermunajat di mushola rumah sakit. Meminta bantuan kepada sang Khalik. Berharap agar putra kandungnya selamat dan kembali menjadi manusia yang sehat.Di sisi lain Mika dan Ibu Gina merasakan perut mereka keroncongan. Karena memang sewaktu berangkat keduanya belum sarapan. Namun, melihat Ega yang terus tertunduk sedih, Mika menahan rasa lapar.Ibu Gina sendiri tidak kuat menahan lapar. Dia ingin mengisi perut. Wanita paruh baya itu menyenggol lengan sang menantu. "Apa?" tanya Mika lirih. Kurang tidur dan tidak enak badan membuatnya malas bicara."Sarapan yuk!" ajak Ibu Gina sambil berbisik."Ayuk!" Gayung bersambut. Mika yang juga merasakan pedih di perut langsung mengiyakan ajakan sang mertua. "Ga, kita mau sarapan, ikut yuk!" Kini Mika mengajak serta suaminya dengan lembut.Ega mendongak memindai wa
"Keadaannya drop." Mika membalas pertanyaan Tania dengan jujur. Tangis Tania kembali bergulir lagi mendapat jawaban dari Mika."Ga, kamu kelihatan pucat dan letih. Apa kamu udah sarapan?" tanya Mika peduli.Sebagai seorang istri dia tentu harus perhatian pada keadaan suaminya. Mika juga agak menyesal karena tadi lupa membawa bekal sarapan untuk Ega karena tergesa-gesa. Walau ia sendiri juga belum makan pagi."Aku gak berselera makan, Mik," sahut Ega lemah. Pria itu kembali menghempaskan tubuhnya di bangku tunggu. "Kamu ajak saja Tania sarapan. Kasihan ... wanita hamil harus banyak makan. Jangan sampai janinnya kekurangan gizi," tutur Ega sembari menasihati Tania."Pikiranku kacau mikirin Bian begini, mana bisa aku menelan makanan, Ga." Tania menolak masih dengan berlinang air mata. Wanita itu juga kembali duduk. Lalu menenggelamkan wajahnya pada dada Ega. "Aku takut Bian kenapa-napa," kalutnya sela isak."Sttt! Berbicaralah yang baik. Karena omongan itu adalah doa," nasihat Ega lembut
"Siapa wanita itu, Pa?" Suara dingin dari Ibu Gina membuat Bapak Edi tercekat.Bapak Edi bergeming. Tidak dihiraukan pertanyaan sang istri. Dirinya cukup lama menatap foto usang itu. Perlahan ia menatap Tania. "Dari mana kamu dapatkan foto ini?" cecar Bapak Edi ingin tahu."Foto itu sudah ada pada Bian sejak kami tinggal di panti asuhan," jawab Tania dengan suara sumbang. Pertanda dia habis menangis lama. "Dia bilang jika itu satu-satunya kenangan dari ibunya yang masih ia simpan."Rahang Bapak Edi mengatup. Otot-otot lehernya terlihat. Jelas dia sedang menahan letupan emosi kesedihan."Bian," gumamnya getir.Kini kaki pria itu bergerak cepat menuju ruang ICU. Segera Ibu Gina dan Mika mengikuti. Kedua wanita itu juga ingin melihat kondisi Bian. Ega sendiri memilih duduk kembali bersama Tania di luar.Mata Bapak Edi tertuju pada sebuah brankar tempat berbaring pemuda yang beberapa hari ini selalu ingin dekat dengannya. Mata Bian terpejam. Namun, air mata yang sudah mengering terlihat m