"Tania ... kamu gak papa?" Kudengar Ega bertanya dengan penuh kepedulian.
Kuping yang lumayan panas menarik kakiku untuk mendekat. Di depan pintu kamar mandi aku berpapasan dengan mereka. Ega merangkul Tania yang lesu hingga ke sofa ruang tengah. Peluh tampak membasahi paras cantik Tania.
Tangan Ega meraih tisu yang tersedia di meja. Seolah mengabaikanku penuh perhatian dia mulai mengelap butiran keringat pada wajah Tania. Sementara sang wanita terkulai lemas dengan kepala bersandar pada sandaran sofa.
"Kamu kenapa, Tania?" Way ada rasa panas menjalar di hati melihat kepedulian Ega pada gadis itu. Namun, demi kesopanan aku perlu berbasa-basi.
"Entahlah." Tania menjawab lemah disertai gelengan yang pelan pula. "Akhir-akhir ini setiap pagi aku selalu muntah-muntah," tutur gadis itu terdengar cukup lirih.
"Kenapa bisa begitu? Apa kamu sudah pernah periksa ke dokter?" berondong Ega tampak begitu cemas.
"Gak ada waktu dan gak uang, Ega," balas Tania meringis miris.
"Jangan seperti itu, Tania! Uang bisa dicari kapanpun, tapi kesehatan itu nomor satu," tukas Ega masih sok perhatian.
"Nyatanya kalo gak kerja, aku gak dapat duit. Dan kalo gak ada duit ya kaya gini ... luntang-lantung gak jelas." Tania berkilah. Dari ucapannya, gadis ini minta dikasihani.
"Kami bisa tinggal di sini selama kamu belum punya pekerjaan baru lagi." Terdengar Ega memutus dengan tegas.
EHEM
Aku sengaja berdeham guna menyadarkan keduanya. Benar saja Ega dan Tania refleks menoleh. Bedanya jika Ega tampak cuek lihat keberadaanku, lain dengan Tania. Gadis itu tampak menunduk dalam.
"Jika kamu peduli pada Tania, carikan tempat tinggal! Bukannya menyuruh dia menetap di sini," saranku sambil terus berusaha tenang.
"Mika, kamu punya hati gak sih?" Mata elang Ega menghujam saat menanyakan hal itu. Membuat nyaliku sedikit mengkerut.
"Maksud kamu apa?" Walau dongkol juga bilang tidak punya hati. Namun, aku terus berusaha tenang.
"Tania sedang sakit dan kamu malah tega mengusirnya. Di mana mata hatimu, Mika? Ingat! Kalian ini sama-sama wanita. Tidak bisakah kamu berempati sedikit terhadap kesusahan Tania, Mika?" cerocos Ega panjang.
Aku sendiri tercekat mendengar penuturannya. Dari ucapannya aku ini layaknya wanita berhati batu yang tidak punya peri kemanusiaan. Sementara itu, tidak sengaja mataku menangkap seulas senyum tipis yang tersungging di bibir Tania. Gadis itu tampak senang melihat aku diomeli Ega. Sialan!
"Dengar, Ga! Jika aku tidak punya hati, sudah kuusir Tania dari rumah semalam," balasku tenang, "kamu tahu sendiri kan semalam aku bahkan menjamunya. Aku tidak keberatan kamu mau menolong Tania, tapi aku tidak setuju jika dia tinggal di sini. Baik sebentar maupun lama," putusku tegas. Usai berucap demikian, aku membalikkan badan. Lalu mulai menuju ke dapur untuk membuat minuman.
"Ini rumahku. Aku bebas memasukkan orang semauku."
Di langkah ketiga aku berhenti. Ucapan Ega benar-benar membuat dadaku terasa sesak. Terpaksa aku kembali membalikkan badan, untuk menghadap Ega kembali.
"Ini memang rumahmu, tapi di sini posisiku-"
"Posisimu adalah istrimu, jadi kamu harus tunduk padaku," sambar Ega cepat. Lelaki itu tidak membiarkan aku menyelesaikan omongan. "Sekarang buatkan sarapan untuk Tania!" Kini ia mulai memerintah.
"Kulkas kosong, kamu tahu sendiri bukan?"
"Mika, bisa gak sehari kamu menurut padaku?" Tatapan Ega terlihat begitu menakutkan. "Dan ingat! Aku tidak pernah takut jika kamu mengadu pada kedua orang tua angkatku. Silahkan! Muak aku mendengar dikit-dikit kamu mengancam."
Aku terkesima. Tidak kusangka Ega bisa senekat ini demi melindungi Tania.
"Oke ... jika itu yang kamu pinta." Aku mengangguk-angguk paham, "sudah yakin dengan keputusanmu jika Mama papamu sampai tahu?" tanyaku memancing.
"Cukup! Sudah perdebatan ini!" Tania yang sedari tadi diam kini bangkit berdiri. "Ega, terima kasih untuk pertolonganmu. Tapi, Mika benar. Aku tidak layak tinggal di sini. Mungkin Mika takut jika nanti aku akan menjadi beban kalian."
Ucapan bernada tuduhan dari Tania membuat aku tercekat. Pintar sekali dia merangkai kata. Kembali di sini aku terlihat seperti wanita tidak berhati.
Tania melangkah lesu meninggalkan kami. Di langkah kedua, gadis berbibir tipis merah alami itu menghentikan langkah. Tangannya memijit pelipis. Dengan mata yang terpejam, bibirnya mendesis. Seolah tengah menahan rasa sakit yang teramat.
Melihat keadaan Tania yang terlihat mengenaskan itu, Ega bergerak cepat mendekat. "Tania ... kamu gak papa?" tanyanya dengan wajah khawatir.
"Aku ... aku baik-baik saja," balas Tania lemah.
Gadis itu menepis pegangan Ega pada lengannya. Ketika ia melangkah, tubuhnya tiba-tiba terhuyung. Beruntung Ega sigap menangkap. Menit berikutnya, mata Tania terpejam.
"Tania bangun, Tania!" teriak Ega seraya menepuk-nepuk pipi mulus Tania. "Taniaaa!" Namun, sang gadis tidak juga membuka mata.
"Bawa dia ke kamar! Biar aku ambilkan minyak angin," suruhku kemudian. Iba juga melihat Tania terkulai lemas.
Ega mengangguk setuju. Gegas ia membopong tubuh ramping itu. Sementara aku melesat kilat ke kamar untuk mengambil minyak angin.
Ketika sampai di kamar Tania usai mengambil minyak angin, Ega terdengar tengah menelepon dokter. Dokter keluarga yang biasa menangani Ibu Gina sang mama.
Aku sendiri langsung mengoleskan minyak angin tersebut pada pelipis dan sekujur tubuh Tania. Menempelkan minyak angin tersebut ke hidung pemudi itu. Agar dihirup oleh Tania, Namun, gadis itu tidak lekas sadar juga.
Beberapa menit kemudian, terdengar deru mesin di halaman. Ega langsung melesat ke luar. Lelaki itu menyambut dokter yang dipanggilnya.
Kebetulan sekali Tania sudah sadar ketika dokter muda itu tiba. Aku dan Ega menunggu di luar saat Tania diperiksa. Sekitar sepuluh menit berikutnya, dokter bernama Galih itu ke luar kamar.
"Bagaimana keadaannya, Mas?" tanya Ega terlihat penasaran.
Dia memanggil dokter Galih dengan sebuah mas karena keduanya masih punya kekerabatan. Dokter Galih adalah anak dari kakaknya Ibu Gina. Jadi hubungan mereka adalah sepupu angkat.
"Mantan cewekmu hamil tuh," jawab Dokter Galih santai. Tangannya menulis resep di secarik kertas. "Tebus obat dan vitamin ini di apotik," suruhnya seraya mengangsurkan resep tersebut ke Ega. "Oh ya ... jaga dia! Kasihan ... dia ibu dan bayinya kekurangan gizi dan anemia," imbuh Dokter Galih terlihat menaruh simpatik pada Tania.
Usai menepuk pundak Ega perlahan, pria beranak satu itu melangkah pergi. Ega mengantar kakak sepupunya itu sampai pintu depan.
Aku sendiri langsung menemui Tania. Gadis itu sudah duduk dengan memeluk lutut. Isakannya terdengar lirih. Namun, memilukan. Saat aku mendekat dan duduk di tepi ranjangnya. Ega menyeruak masuk.
"Tania ... siapa? Siapa yang telah menghamilimu?" cecar Ega sembari mengguncang kedua pundak Tania.
"Kamu pikir aku gadis murahan, yang sembarang mau ditiduri orang?!" Tidak kusangka Tania membentak Ega. Air mata gadis itu kian berderai.
"Jadi ... maksud kamu ... itu bayiku?" Terbata Ega menduga. Sementara aku hanya bisa ternganga.
"Kamu lupa pada malam sebelum pernikahanmu dengan Mika?" tanya Tania mencoba mengingatkan. "Malam itu kamu amat kalut. Datang ke kontrakanku dengan mulut bau alkohol diantar Bian. Kamu ... kamu ...." Tania tidak meneruskan ucapannya. Gadis itu justru tergugu.
"Tania ...."
"Walaupun cuma sekali kita melakukannya dan kamu sendiri juga dalam keadaan mabuk, tetapi ini adalah benihmu!" semprot Tania membuat aku dan Ega ternganga.
"Kamu tahu kenapa aku akhir-akhir ini menghindarimu?" tanya Tania di sela sedu-sedannya. Ega refleks menggeleng, sedangkan aku masih diam mematung. "Aku sengaja menghindarimu karena yakin kamu pasti tidak akan percaya, Ega. Tapi sungguh ... ini benihmu, Ga." Tania kembali menangis pilu. Benar-benar menyayat hati bagi mereka yang mendengar."Iya. Aku percaya." Ega langsung merengkuh Tania ke dalam dekapan.Air mata yang sedari tadi sekuat mungkin kubendung, kini membludak membasahi pipi. Dadaku terasa sesak saat mendengar Ega berulang kali mengucap kata maaf dan cinta pada Tania."Apapun yang terjadi aku siap bertanggung jawab," janji Ega terdengar mantap."Tapi, Ga, kedua orang tua asuhmu pasti menentang. Apalagi kini kamu sudah ada Mika." Tania terdengar memperingatkan. Namun, di sisi lain sorot matanya menggambarkan kebahagiaan."Kita akan menghadapinya bersama, Tania." Lagi Ega memeluk wanita ramping itu tanpa memedulikan keberadaanku.Aku sendiri mendadak kelu. Entah kenapa aku ti
Telapak tangan dingin Ega terasa kuat mencengkeram. Membuatku harus mendongak padanya. Lelaki itu berkedip. Seakan hendak menyampaikan sesuatu lewat sorot matanya.Feeling-ku pasti dia meminta bantuan mengenai Mika. Ahhh ... biar saja! Dia yang berbuat kenapa aku harus repot juga? Bukankah tadi siang, dirinya begitu sombong hendak berbicara jujur kepada orang tuanya. Sekarang saja, nyalinya ciut begitu.Tanpa mempedulikan Ega, kulepas genggaman tangannya. Kepala yang pening mengharuskan aku tergesa sampai dalam mobil. Kepala berat ini langsung kusandarkan pada sandaran jok.Tidak lama kemudian kedua orang tua Ega ikut masuk mobil. Mereka duduk di belakang. Sementara itu, dari kaca mobil terlihat Ega tengah menelepon seseorang. Wajahnya tampak serius. Mungkin saja dia sedang mengabari Tania kalau kedua orang tuanya akan bertandang."Kenapa Ega lama sekali sih?" tegur Bu Gina terdengar kesal. "Pa, coba panggil anak itu! Suruh dia masuk! Kasihan Mika kelamaan nunggunya. Dia lagi sakit in
Acara makan pizza telah usai. Kami semua bergantian cuci tangan di wastafel. Bu Gina dan Bapak Edi pamit tidur lagi ketika mendengar jarum besar berdetang sekali."Mama sangat menginginkan cucu. Dan kamu tidak akan mampu mewujudkannya, karena aku selalu pake pengaman," tutur Ega begitu kedua orang tuanya berlalu. Wajah dinginnya kini mencairkan senyum kemenangan. "Aku akan cari waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua," lanjutnya tenang, "dan kamu!" Ega menatapku tajam, "bersiaplah menerima kenyataan bahwa Tania akan menggeser posisimu menjadi menantu kesayangan mama dan papa," imbuhnya percaya diri.Ega terkekeh lirih. Sungguh ia tengah mengejek. Namun, aku tidak mau terpancing."Coba saja kalo berani," tantangku ikut tersenyum miring, "yang ada kamu akan ditendang oleh kedua orang tua angkatmu tanpa membawa sepeserpun harta.""Jangan terlalu percaya diri, Mika!" Ega mengingatkan dengan mencondongkan tubuh. Dia merapat padaku. Wajah kami sudah begitu dekat. Bahkan hembusan napasnya
Ega merebut ponsel yang masih berbunyi. Lelaki itu melempar benda tipis berwarna silver itu ke ranjang. Kini kedua tangannya memegang pundakku."Kenapa? Kenapa kamu tega ngurung Tania di kamar?" cecar Ega dengan geram. Kini pegangannya berubah jadi cengkeraman."Awww! Sakit, Ga." Aku mendesis merasakan sakit yang menggerus pundak."Tania itu sedang hamil. Tidak kah kamu kasihan pada dia?" Mata Elang Ega menukik tajam."Justru karena aku kasihan makanya aku kurung dia," sergah seraya menepis cengkeraman Ega. Namun, sia-sia. Tenaga tidak cukup kuat melawannya. "Kamu mau Tania ketahuan mama papamu saat berkeliaran?""Tapi dia pengap berada di kamar terus. Tania butuh udara segar. Dia juga butuh ke toilet, Mika!""Itu urusan kamu!" Kembali aku menyergah, "jika kamu ingin Tania hidup bebas silahkan bawa pergi dia dari sini!"Napas Ega terdengar memburu. "Kamu ini ...."Mataku tertutup saat melihat tangan Ega terangkat. Aku harus kuat. Selain dingin, Ega juga sedikit kasar. Namun, hingga be
"Ega! Jaga bicaramu!"Seketika aku dan Ega menoleh ke sumber suara. Tampak Bu Gina menatap putra angkatnya dengan wajah geram. Wanita itu bergerak maju mendekat."Kamu ngomong apa barusan?"Mata wanita berkulit cokelat bersih itu terus saja menghujam Ega. Membuat putra angkatnya terlihat gemetar. Kini tangan Ega bahkan menggenggam jemariku, lantas meremasnya kuat. Ini menandakan jika dia tengah meminta bantuan padaku.Dalam hati aku tertawa. Kemarin saja kamu begitu jumawa, Ega. Sekarang begitu mama mendengar, kamu malah ketakutan."Dengar Ega! Sudah berapa kali mama bilang? Jangan pernah lagi memikirkan Tania lagi!" larang Bu Gina tampak emosi, "papamu bahkan melihat dengan mata kepalanya sendiri, jika gadis itu sering bergonta-ganti pasangan," lanjutnya berapi-api.Ibu Gina memang kadang tidak bisa mengkontrol diri. Padahal sudah sering kuingatkan untuk tidak terlalu menuruti emosi, supaya tekanan darahnya stabil. Namun, dirinya susah diingatkan. Tak jarang jika dia sering mengeluh
"Kalian?!" Ibu Gina mematung melihat ada Tania di dekatku. Wajah cantiknya terlihat memerah. Wanita itu langsung menatap sengit ke arah Tania. "Sejak kapan dia berada di rumah ini, Mika?" tanya Bu Gina tanpa mau menyebut nama Tania."Eum ... sudah dua tiga malam, Ma," jawabku pelan.Bu Gina menghela napas panjang. Dirinya bergantian menatap aku, lalu beralih pada Tania. "Ega yang membawanya ke sini?" Wanita yang hari ini memakai kaos lebar berlengan panjang itu masih menatap Tania serius. Membuat gadis berjanggut lancip itu menunduk."Bukan, Ma. Dia datang atas kemauannya sendiri." Bu Gina kian terlihat kesal, "malam-malam lagi," imbuhku sedikit mengadu."Saya datang ke mari tidak ada niat lain selain meminta pertanggung jawaban Ega." Tania mulai berani membuka mulut."Kamu itu ngomong apa, hah? Saya gak paham," sambut Bu Gina sinis."Ini kok lama banget sih, Ma." Dari luar Ega masuk. Seketika lelaki itu membatu kaget melihat Tania berdiri tegak di depan ibu angkatnya."Saya mengandun
"Bagaimana? Bagaimana hasil tesnya, Mika?" tanya Bu Gina begitu aku menemuinya di kursi tunggu. Wajahnya berserta sang suami sama-sama menyiratkan keinginan tahuan."Hasilnya sesuai dengan perhitungan, Ma," jawabku lesu."Maksudnya gimana, Mika?" Bapak mertua yang sedari diam ikut bertanya.Ketika aku akan menjawab, serombongan petugas medis lewat dengan menarik brankar. Terdapat seorang yang sepertinya tengah kritis ditarik ke ruang ICU. Di belakangnya di susul oleh beberapa orang yang mungkin saja keluarga dari pasien."Kita bahas di rumah saja, Ma." Kuajukan usul demikian karena di sini rasanya kurang etis membicarakan masalah pribadi."Ya, kamu benar." Bapak Edi menyahut, "sebaiknya kita pulang sekarang!" ajaknya seraya menggandeng tangan sang istri.Ibu Gina dan Bapak Edi berjalan tenang mendahului aku menuju parkiran. Aku sendiri menengok ke belakang. Ega terlihat begitu perhatian menuntun Tania melangkah. Aku menghembuskan napas. Lumayan terasa sesak melihat seseorang yang kit
Melihat kelakuan busuk Tania tentu saja hati ini meradang. Enak saja rumahku dijadikan sarang mesum. Ini tidak bisa dibiarkan. Ega harus tahu.Sayangnya lelaki itu teramat polos. Apapun yang dikatakan Tania, dia akan menelannya mentah-mentah. Sedangkan permintaan Tania, ibarat titah yang harus dikerjakan.Oke. Aku tetap harus main cantik.Untuk meredam emosi, aku menarik napas dalam-dalam. Lalu membuangnya perlahan. Tidak lupa beristighfar. Agar bisikan setan untuk melabrak Tania bisa aku kendalikan.Tanganku gegas merogoh ponsel dalam tas panjang berwarna hitam ini. Di depan sana Tania dan pemuda yang tidak kuketahui wajahnya, masih asyik bercengkerama. Saatnya mengabadikan kebersamaan mereka.CEKREK!CEKREK!CEKREK!Mendengar bunyi flash dari ponselku, sontak Tania dan sang pemuda langsung menoleh. Wajah Tania terlihat menegang. Pastinya dia ketakutan karena telah terpegok olehku. Namun, entah kenapa sang cowok tampak santai saja. Bibirnya bahkan melengkungkan senyum untukku.Dalam
Ega tersenyum manis. Dia menangkap tanganku yang membelai parasnya. "Iya, aku telah bebas karenamu, Mika. Terima kasih," ucapnya syahdu. Kini tanganku ia kecup ringan."Bagaimana kamu bisa keluar dari tahanan?" tanyaku ingin tahu."Itu semua berkat bantuanmu, Sayang."Lagi-lagi aku dibuat terkesima saat mendengar Ega memanggilku dengan sebutan sayang. Ini untuk pertama kalinya dalam pernikahan kami. Biasanya Ega selalu memanggil namaku saja, itu pun dengan sangat datar, kadang dingin jika sedang kesal, atau kasar bila tengah marah."Karena aku kamu bisa keluar?" Aku mengulang ucapan Ega dengan bingung. Ketika dia mengganguk disertai senyuman, aku kian mengernyit."Sudahlah! Kamu baru sadar, Mika." Ibu berbicara. "Nanti saja kalo kamu sudah pulih betul, kami akan cerita semua," tutur Ibu sambil mengusap rambutku. Wanita itu tersenyum lembut.Tidak lama datang dokter dan juga perawat. Dokter laki-laki sepantar Bapak Edi ramah menanyakan kabar. Pria dengan dahi lebar itu menggunakan stet
"Berhenti, Mika!"Suara Galih terdengar mengintimidasi. Aku tidak peduli. Lekas kugapai ponsel ini. Namun, baru satu langkah, sebuah tangan besar menyentuh pundak. Bahkan meremasnya kuat.Ini pasti telapak tangan Galih. Benar. Ketika aku balik badan, pria itu menyeringai dingin. Berbeda dengan Budi yang berdiri di belakangnya dengan menundukkan wajah. Pemuda itu terlihat amat ketakutan."Kamu habis ngapain?" Galih bertanya dengan tatapan tajam."E ... aku--""Kamu menguping pembicaraan kami?" Galih menyambar cepat."Gak--""Kasih hapemu padaku!" pinta Galih masih bernada dingin."Mau buat apa?" tanyaku takut. Ponsel di tangan lekas kusembunyikan di belakang punggung. "Berikan padaku.""Enggak!" Aku menggeleng tegas."Aku bilang BERIKAN!" gertak Galih muntab. Tangannya mencoba merebut gadget kepunyaan."Gak AKAN!" Aku sengaja menaikan volume suara. Agar Ibu Gina dan Winda mendekat."Budi, rebut hape Mika!" Galih berpaling pada Budi. Pemuda itu tampak tertegun mendengar perintah terseb
(POV Mika)"Akan kuselidiki dan pantau Budi juga," tekadku yakin.Galih dan Budi kemudian turun dari mobil. Langkah mereka berpencar. Galih menuju mobil sendiri, sedangkan Budi kembali melangkah ke ruangannya Bian.Aku pun mengikuti pemuda itu. Sekalian menunjukkan hasil pemeriksaan ini pada Bapak Edi. Pasti beliau terkejut senang.Tiba-tiba perutku dilanda lapar. Akhirnya kaki ini kubelokan ke kantin. Nanti saja menunjukkan hasil tesnya. Sekarang isi perut dulu. Karena memang masih belum bisa menguyah nasi, kuputuskan untuk membeli dua bungkus roti dengan rasa abon sapi dan segelas cokelat hangat.Satu roti ukuran sedang ini ternyata tidak mampu aku habiskan. Tak masalah karena perutku sudah tidak terasa perih lagi. Saatnya kembali ke ruangan Bian.Budi sudah duduk manis di bangku tunggu. Namun, Tania dan Bapak Edi tidak terlihat batang hidungnya. Pemuda itu tampak tengah menunduk dengan pandangan kosong.Wajahnya juga terlihat sayu. Seakan ada masalah besar yang sedang menghimpitnya
Perubahan status Ega dari saksi menjadi tersangka sungguh membuat keluarganya terpukul hebat. Tidak hanya Mika sang istri yang merasa sedih. Ibu Gina jauh lebih terguncang jiwanya.Air mata tidak hentinya mengalir dari netra Ibu Gina. Wanita itu sesenggukan pilu membayangkan putra kesayangannya meringkuk dingin dan lama di jeruji besi. Lelah hati dan pikiran membuatnya memutuskan untuk tidak ikut menemani suaminya menjenguk Bian.Mika sendiri memilih turut serta menemani Bapak Edi dan Tania. Selain memang ingin melihat kondisi Bian, dia juga ingin memeriksakan diri. Badannya mudah capek dan yang pasti mual selalu menyerangnya di waktu pagi.Akhirnya, Ibu Gina pulang dengan dijemput oleh Mang Asep. Sementara Bapak Edi, Mika, dan Tania pergi ke rumah sakit diantar oleh Budi. Kamar Bian adalah tujuan utama mereka begitu sampai.Kondisi Bian masih serupa kemarin. Setelah menjalani operasi, pemuda itu belum juga sadarkan diri. Alat-alat, selang, dan kabel masih membelit tubuhnya. Kenyataa
Pagi hari aku mendapati suara keributan di bawah. Refleks mata ini terbuka. Ternyata aku masih mengenakan mukena. Ketika kutengok waktu pada jam digital di atas nakas, ternyata hari sudah menjelang siang. Untungnya sholat subuh tidak kutinggalkan walau tadi mata teramat kantuk.Masih bermalas-malasan aku menuju kamar mandi. Hari ini aku harus bersiap pulang. Party its over dari dua hari yang lalu. Seharusnya aku sudah ada di Jakarta jika musibah tidak menimpa Bian dan Ega. Andai waktu itu Ega tidak usah membujuk Bapak Edi untuk mengizinkan Bian ikut serta ke pesta malam tahun baru ini, mungkin Bian masih akan baik-baik saja. Dan tentunya Ega juga tidak akan ditahan.Aku menggeleng pelan. Sebagai seorang muslim kita tidak boleh berandai-andai. Karena sama saja tidak mempercayai takdir. Aku yakin semua musibah yang terjadi adalah adalah suatu teguran dari-Nya. Agar kami senantiasa mengingat-Nya.Usai mandi kutata semua pakaian ke koper, baik baju sendiri maupun Ega. Mengingat lelaki it
(POV Mika)"Apaaa?!" Ega, aku, dan Winda tersentak kaget bersamaan. Sementara Gavin langsung bersembunyi di belakang tubuh Winda sang mama. Anak itu pastinya ketakutan melihat kedatangan polisi ke rumah."Cepat tangkap!" titah Letnan polisi itu pada kedua anak buahnya."Siap, Ndan!""Tunggu dulu! Maksudnya apaan ini?!" Ega berusaha menghindar. Namun, kedua polisi bertubuh lebih besar darinya mampu membekuknya dengan gampang. "Lepaskan! Salah saya apa, Pak?" kesal Ega setengah berteriak."Dari semua saksi hanya Anda yang berada di tempat pekara pada waktu itu," jawab Letnan polisi tersebut tenang."Saya ada di TKP karena mendengar ada suara benda terjatuh. Secara naluri kita pasti ingin melihatnya," balas Ega mencoba membela diri. Suamiku terus meronta dan mengerang."Silahkan Anda jelaskan semuanya di kantor! Cepat bawa dia ke mobil." Polisi berbalok emas satu itu menyuruh pada anak buahnya."Siap, Ndan!""Ini gak bener! Aku gak bersalah!" Ega terus menolak dan berontak. Namun, ia tet
Semua orang tengah terpekur dalam kesedihan. Hari ini Bian sedang menjalani operasi. Semua berharap pemuda itu bisa tertolong. Tania terus-menerus menangis. Sementara Bapak Edi memilih bermunajat di mushola rumah sakit. Meminta bantuan kepada sang Khalik. Berharap agar putra kandungnya selamat dan kembali menjadi manusia yang sehat.Di sisi lain Mika dan Ibu Gina merasakan perut mereka keroncongan. Karena memang sewaktu berangkat keduanya belum sarapan. Namun, melihat Ega yang terus tertunduk sedih, Mika menahan rasa lapar.Ibu Gina sendiri tidak kuat menahan lapar. Dia ingin mengisi perut. Wanita paruh baya itu menyenggol lengan sang menantu. "Apa?" tanya Mika lirih. Kurang tidur dan tidak enak badan membuatnya malas bicara."Sarapan yuk!" ajak Ibu Gina sambil berbisik."Ayuk!" Gayung bersambut. Mika yang juga merasakan pedih di perut langsung mengiyakan ajakan sang mertua. "Ga, kita mau sarapan, ikut yuk!" Kini Mika mengajak serta suaminya dengan lembut.Ega mendongak memindai wa
"Keadaannya drop." Mika membalas pertanyaan Tania dengan jujur. Tangis Tania kembali bergulir lagi mendapat jawaban dari Mika."Ga, kamu kelihatan pucat dan letih. Apa kamu udah sarapan?" tanya Mika peduli.Sebagai seorang istri dia tentu harus perhatian pada keadaan suaminya. Mika juga agak menyesal karena tadi lupa membawa bekal sarapan untuk Ega karena tergesa-gesa. Walau ia sendiri juga belum makan pagi."Aku gak berselera makan, Mik," sahut Ega lemah. Pria itu kembali menghempaskan tubuhnya di bangku tunggu. "Kamu ajak saja Tania sarapan. Kasihan ... wanita hamil harus banyak makan. Jangan sampai janinnya kekurangan gizi," tutur Ega sembari menasihati Tania."Pikiranku kacau mikirin Bian begini, mana bisa aku menelan makanan, Ga." Tania menolak masih dengan berlinang air mata. Wanita itu juga kembali duduk. Lalu menenggelamkan wajahnya pada dada Ega. "Aku takut Bian kenapa-napa," kalutnya sela isak."Sttt! Berbicaralah yang baik. Karena omongan itu adalah doa," nasihat Ega lembut
"Siapa wanita itu, Pa?" Suara dingin dari Ibu Gina membuat Bapak Edi tercekat.Bapak Edi bergeming. Tidak dihiraukan pertanyaan sang istri. Dirinya cukup lama menatap foto usang itu. Perlahan ia menatap Tania. "Dari mana kamu dapatkan foto ini?" cecar Bapak Edi ingin tahu."Foto itu sudah ada pada Bian sejak kami tinggal di panti asuhan," jawab Tania dengan suara sumbang. Pertanda dia habis menangis lama. "Dia bilang jika itu satu-satunya kenangan dari ibunya yang masih ia simpan."Rahang Bapak Edi mengatup. Otot-otot lehernya terlihat. Jelas dia sedang menahan letupan emosi kesedihan."Bian," gumamnya getir.Kini kaki pria itu bergerak cepat menuju ruang ICU. Segera Ibu Gina dan Mika mengikuti. Kedua wanita itu juga ingin melihat kondisi Bian. Ega sendiri memilih duduk kembali bersama Tania di luar.Mata Bapak Edi tertuju pada sebuah brankar tempat berbaring pemuda yang beberapa hari ini selalu ingin dekat dengannya. Mata Bian terpejam. Namun, air mata yang sudah mengering terlihat m