"Kamu tahu kenapa aku akhir-akhir ini menghindarimu?" tanya Tania di sela sedu-sedannya. Ega refleks menggeleng, sedangkan aku masih diam mematung. "Aku sengaja menghindarimu karena yakin kamu pasti tidak akan percaya, Ega. Tapi sungguh ... ini benihmu, Ga." Tania kembali menangis pilu. Benar-benar menyayat hati bagi mereka yang mendengar.
"Iya. Aku percaya." Ega langsung merengkuh Tania ke dalam dekapan.
Air mata yang sedari tadi sekuat mungkin kubendung, kini membludak membasahi pipi. Dadaku terasa sesak saat mendengar Ega berulang kali mengucap kata maaf dan cinta pada Tania.
"Apapun yang terjadi aku siap bertanggung jawab," janji Ega terdengar mantap.
"Tapi, Ga, kedua orang tua asuhmu pasti menentang. Apalagi kini kamu sudah ada Mika." Tania terdengar memperingatkan. Namun, di sisi lain sorot matanya menggambarkan kebahagiaan.
"Kita akan menghadapinya bersama, Tania." Lagi Ega memeluk wanita ramping itu tanpa memedulikan keberadaanku.
Aku sendiri mendadak kelu. Entah kenapa aku tidak mampu berbicara. Keteguhan cinta Ega pada Tania membuat hatiku nelangsa.
Tanpa bicara aku berlari meninggalkan kedua sejoli itu. Pintu kamar kubanting, lantas melempar tubuh ke atas ranjang. Ya ... Allah, kenapa harus sesakit ini rasanya dikhianati.
Walau pun waktu itu belum ada ikatan resmi antara aku dengan Ega. Namun, lelaki itu berjanji di hadapan kedua orang tuanya dan juga Ibuku juga dia akan menjauhi sang mantan kekasih. Ikrar itulah yang memantapkan hatiku menerima pinangan dari keluarga Bapak Edi Baskara.
Satu bulan menikah dengan Ega, hidupku benar-benar hampa. Kami tinggal bersama, tetapi tidak pernah bertegur sapa. Bahkan waktu itu kamar kami terpisah.
Ibu Gina marah mendapati rumah tangga kami yang sangat gersang. Wanita itu memaksa Ega untuk sepenuhnya menerimaku. Di bulan kedua pernikahan baru kurasakan sentuhan dari Ega. Walau tanpa cinta ataupun kehangatan. Semua yang ia lakukan tidak lebih dari semata-mata hanya untuk mematuhi perintah kedua orang tua angkatnya.
Aku sendiri mencoba bertahan menghadapi sikap dingin Ega. Berusaha menjadi istri yang baik sesuai pesan Ibu. Tidak mudah menyerah dengan meminta berpisah.
Karena kata Ibu, setan akan tertawa puas jika mampu memisahkan sepasang suami istri. Dan memang itulah tugasnya mereka. Jadi walaupun kerap kali diabaikan, bahkan sering juga direndahkan demi Ibu dan juga keluarga Bapak Edi, aku bertahan.
Namun, setelah mengetahui fakta kehamilan Tania, sepertinya pertahananku luntur. Aku tidak kuat jika berjuang sendirian.
Hati ini semakin tersayat pilu mengingat betapa Ega mengabaikanku. Sudah lebih dari satu jam aku menangis seorang diri di kamar, dia sama sekali tidak menyusul. Benar-benar terbuat dari es hatinya untukku.
Dering ponsel di atas nakas membuat aku menghentikan tangis. Apalagi ada nama Ibu mertua yang tertera di layar. Tanpa membuang waktu lekas kuelap pipi basah ini dengan telapak tangan.
"Assalamualaikum ... halo, Sayang. Apa kabar?" sapa Ibu mertua terdengar hangat dari seberang.
"Al-alhamdulil-lah ... ba-baik, Ma," balasku masih terbata. Karena tidak mudah menutupi isakan tangis.
"Suaramu kenapa sengau begitu? Habis nangis? Ega nyakitin hati kamu lagi?" tebak Ibu mertua terdengar begitu perhatian.
"Eum ... anu, Ma. Aku ... aku ... aku sedikit flu. Makanya agak bindeng," kilahku mulai berdusta. Walau kutahu ini berdosa. Namun, aku belum mau wanita rapuh itu untuk tahu yang sebenarnya.
"Cuma sedikit flu kan? Bukan sakit flu yang parah?"
"Bukan, Ma."
"Kalo begitu nanti malam bisa datang kan di malam pernikahan sepupu Ega?"
"Itu ... maaf, Ma, aku-"
Tidak kusangka dari belakang Ega merebut ponsel yang tengah menempel di telinga. Ketika aku coba menggapai, dia menghalangi.
"Halo, Ma. Ini Ega." Ega menempelkan ponsel di telinga dengan tangan kiri. Sementara tangan kanan, ia gunakan untuk mencegah lenganku.
[ ... ]
Ega terdiam mendengar ibunya di seberang sana berbicara. sementara aku tidak bisa ikut mendengar apa yang omongkan ibu mertua. Karena ponsel itu memang tidak bisa nyala kan loud speakernya.
"Mika baik-baik saja kok, Ma. Dia memang sedikit flu, tapi nanti malam bisa datang, kok."
[ ... ]
"Oke, Ma. Sampai jumpa nanti malam."
Ega memutus sambungan telepon. Lalu melempar begitu saja ponselku ke keranjang.
"Jangan sampai matamu terlihat sembab di pesta pernikahan sepupuku nanti malam!" larang Ega serius menatapku.
Kuhirup napas sepanjang mungkin. "Apa keputusanmu sekarang?" tanyaku begitu mampu mendamaikan hati.
"Aku akan menikahi, Tania," jawab Ega tegas.
"Oke ... dan aku akan mundur," balasku pun tidak kalah tegasnya.
"Terserah ... jika berniat tega menyakiti hati Ibuku," tukas Ega terlihat begitu percaya diri. Aku sendiri tercekat mendengar dia berbicara demikian. "Wanita yang sudah menyelamatkan nyawa adikmu," imbuhnya mengingatkan.
Tangisku meledak. Kenapa aku yang terhimpit sekarang? Di satu sisi aku sudah muak hidup bersama Ega. Sementara di sisi lain, aku justru berhutang budi pada keluarga Edi Baskara.
"Kenapa? Kenapa kamu begitu jahat kepadaku Ega?" ratapku sembari memukuli dada bidang Ega. "Aku terima jika kamu belum mencintai aku. Tapi ... tapi ... aku tidak terima jika aku dimadu," getirku dengan air mata yang terus mengalir.
"Maafkan aku, Mika," ucap Ega lirih.
"Ceraikan aku, Ega!"
"Gak akan!" sergah Ega yakin. "Karena jika kita bercerai mama pasti akan mati. Kamu tidak menginginkan hal itu bukan?"
Lagi-lagi aku terdiam. Kenapa semua terbalik seperti ini? Kenapa kini Ega yang pegang kendali.
*
Waktu bergulir cepat. Sedari ashar Ega menyuruhku untuk berbenah. Dia bahkan mengajakku ke salon. Hal yang tidak pernah ia lakukan selama ini.
"Kamu harus tampil cantik malam ini! paksa Ega ketika aku menolak perintahnya. "Aku belum punya keberanian untuk mengungkapkan masalah Tania kepada mama papa. Belum saatnya," jujur lirih, "jadi aku mohon ... tampilkan senyum bahagiamu di hadapan semua orang!"
Malas berdebat, kupenuhi permintaan Ega. Kami pergi ke salon bersama. Sama-sama merawat penampilan. Untuk sesaat Ega terlihat melupakan Tania.
Dia bahkan berlaku sangat mesra saa berada di pesta pernikahan sepupunya. Di depan kedua orang tua angkatnya, Ega berakting sangat luwes. Sepanjang acara tangannya terus mengamit pinggangku.
"Kenapa kamu tampak murung, Sayang?" tegur Ibu Gina ketika aku duduk menepi untuk menyendiri. Wanita itu mendekat bersama sang suami. Ega sendiri sedang mengambil makanan.
"Iya, dari tadi kamu diam saja. Kenapa?" timpal Bapak mertua terlihat ikut peduli.
Aku hanya mampu tersenyum kecut dan mengeleng. Rasanya malas jika harus berbohong untuk menutupi rahasia tercela Ega.
"Biasanya kamu suka bercerita. Kebalik sekarang Ega yang jadi banyak omong, padahal dia itu pelit bicara," tutur Ibu Gina menatapku penuh kasih. "Apa kamu sakit, Mika?" Wanita itu menempelkan telapak tangannya pada keningku. "Ya ... ampun panas." Ibu mertua terkejut.
Aku lantas meraba dahi sendiri. Memang lumayan panas. Mungkin ini akibat menangis berjam-jam dan efek lupa makan. Selain demam aku juga sedikit mual.
"Ega, istrinya sakit kenapa dibiarkan?!" tegur Bapak Edi begitu melihat Ega mendekat dengan membawa piring berisi kudapan.
"Eum ... kamu sakit, Mik?" tanya Ega padaku sedikit terkaget.
"Ya ... ampun, kamu bahkan tidak sadar istrimu sedang sakit?" Mata Bu Gina melotot tajam pada putra angkatnya.
"Maaf, Ma, tapi Mika memang tidak pernah mau bicara."
"Harus dia bilang sakit baru kamu paham begitu?" tukas Bu Gina kian kesal. Ega terdiam. Dia memang paling tidak bisa membantah kedua orang tuanya. "Ya sudah ... sebaiknya kita pulang sekarang. Mama dan papa mau nginep biar bisa urus Mika," putus Bu Gina kemudian.
"A-a-apa? Mama dan papa mau menginap?" Mata Ega terbelalak kaget. Dia pasti ketakutan karena tengah menyembunyikan Tania di rumah.
"Kenapa? Gak boleh? Mama kangen banget sama Mika. Sudah lama tidak bercengkerama."
"Tapi, Ma, aku-"
"Orang tua mau nginap kok kelihatannya keberatan. Ada apa, Ega?" Bapak mertua serius bertanya.
"Eum ... enggak, Pa!" Ega menggeleng lemah. "Silahkan jika Mama dan papa mau nginap," ujarnya parau.
Tangan Ega menggandeng tanganku. Kurasakan dingin pada telapak besar itu. Pasti kamu sangat ketar-ketir sekali, Ega. Dalam hati aku tertawa senang. Semoga saja semua lekas terbongkar tanpa perlu aku mengadu.
Next.
Telapak tangan dingin Ega terasa kuat mencengkeram. Membuatku harus mendongak padanya. Lelaki itu berkedip. Seakan hendak menyampaikan sesuatu lewat sorot matanya.Feeling-ku pasti dia meminta bantuan mengenai Mika. Ahhh ... biar saja! Dia yang berbuat kenapa aku harus repot juga? Bukankah tadi siang, dirinya begitu sombong hendak berbicara jujur kepada orang tuanya. Sekarang saja, nyalinya ciut begitu.Tanpa mempedulikan Ega, kulepas genggaman tangannya. Kepala yang pening mengharuskan aku tergesa sampai dalam mobil. Kepala berat ini langsung kusandarkan pada sandaran jok.Tidak lama kemudian kedua orang tua Ega ikut masuk mobil. Mereka duduk di belakang. Sementara itu, dari kaca mobil terlihat Ega tengah menelepon seseorang. Wajahnya tampak serius. Mungkin saja dia sedang mengabari Tania kalau kedua orang tuanya akan bertandang."Kenapa Ega lama sekali sih?" tegur Bu Gina terdengar kesal. "Pa, coba panggil anak itu! Suruh dia masuk! Kasihan Mika kelamaan nunggunya. Dia lagi sakit in
Acara makan pizza telah usai. Kami semua bergantian cuci tangan di wastafel. Bu Gina dan Bapak Edi pamit tidur lagi ketika mendengar jarum besar berdetang sekali."Mama sangat menginginkan cucu. Dan kamu tidak akan mampu mewujudkannya, karena aku selalu pake pengaman," tutur Ega begitu kedua orang tuanya berlalu. Wajah dinginnya kini mencairkan senyum kemenangan. "Aku akan cari waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua," lanjutnya tenang, "dan kamu!" Ega menatapku tajam, "bersiaplah menerima kenyataan bahwa Tania akan menggeser posisimu menjadi menantu kesayangan mama dan papa," imbuhnya percaya diri.Ega terkekeh lirih. Sungguh ia tengah mengejek. Namun, aku tidak mau terpancing."Coba saja kalo berani," tantangku ikut tersenyum miring, "yang ada kamu akan ditendang oleh kedua orang tua angkatmu tanpa membawa sepeserpun harta.""Jangan terlalu percaya diri, Mika!" Ega mengingatkan dengan mencondongkan tubuh. Dia merapat padaku. Wajah kami sudah begitu dekat. Bahkan hembusan napasnya
Ega merebut ponsel yang masih berbunyi. Lelaki itu melempar benda tipis berwarna silver itu ke ranjang. Kini kedua tangannya memegang pundakku."Kenapa? Kenapa kamu tega ngurung Tania di kamar?" cecar Ega dengan geram. Kini pegangannya berubah jadi cengkeraman."Awww! Sakit, Ga." Aku mendesis merasakan sakit yang menggerus pundak."Tania itu sedang hamil. Tidak kah kamu kasihan pada dia?" Mata Elang Ega menukik tajam."Justru karena aku kasihan makanya aku kurung dia," sergah seraya menepis cengkeraman Ega. Namun, sia-sia. Tenaga tidak cukup kuat melawannya. "Kamu mau Tania ketahuan mama papamu saat berkeliaran?""Tapi dia pengap berada di kamar terus. Tania butuh udara segar. Dia juga butuh ke toilet, Mika!""Itu urusan kamu!" Kembali aku menyergah, "jika kamu ingin Tania hidup bebas silahkan bawa pergi dia dari sini!"Napas Ega terdengar memburu. "Kamu ini ...."Mataku tertutup saat melihat tangan Ega terangkat. Aku harus kuat. Selain dingin, Ega juga sedikit kasar. Namun, hingga be
"Ega! Jaga bicaramu!"Seketika aku dan Ega menoleh ke sumber suara. Tampak Bu Gina menatap putra angkatnya dengan wajah geram. Wanita itu bergerak maju mendekat."Kamu ngomong apa barusan?"Mata wanita berkulit cokelat bersih itu terus saja menghujam Ega. Membuat putra angkatnya terlihat gemetar. Kini tangan Ega bahkan menggenggam jemariku, lantas meremasnya kuat. Ini menandakan jika dia tengah meminta bantuan padaku.Dalam hati aku tertawa. Kemarin saja kamu begitu jumawa, Ega. Sekarang begitu mama mendengar, kamu malah ketakutan."Dengar Ega! Sudah berapa kali mama bilang? Jangan pernah lagi memikirkan Tania lagi!" larang Bu Gina tampak emosi, "papamu bahkan melihat dengan mata kepalanya sendiri, jika gadis itu sering bergonta-ganti pasangan," lanjutnya berapi-api.Ibu Gina memang kadang tidak bisa mengkontrol diri. Padahal sudah sering kuingatkan untuk tidak terlalu menuruti emosi, supaya tekanan darahnya stabil. Namun, dirinya susah diingatkan. Tak jarang jika dia sering mengeluh
"Kalian?!" Ibu Gina mematung melihat ada Tania di dekatku. Wajah cantiknya terlihat memerah. Wanita itu langsung menatap sengit ke arah Tania. "Sejak kapan dia berada di rumah ini, Mika?" tanya Bu Gina tanpa mau menyebut nama Tania."Eum ... sudah dua tiga malam, Ma," jawabku pelan.Bu Gina menghela napas panjang. Dirinya bergantian menatap aku, lalu beralih pada Tania. "Ega yang membawanya ke sini?" Wanita yang hari ini memakai kaos lebar berlengan panjang itu masih menatap Tania serius. Membuat gadis berjanggut lancip itu menunduk."Bukan, Ma. Dia datang atas kemauannya sendiri." Bu Gina kian terlihat kesal, "malam-malam lagi," imbuhku sedikit mengadu."Saya datang ke mari tidak ada niat lain selain meminta pertanggung jawaban Ega." Tania mulai berani membuka mulut."Kamu itu ngomong apa, hah? Saya gak paham," sambut Bu Gina sinis."Ini kok lama banget sih, Ma." Dari luar Ega masuk. Seketika lelaki itu membatu kaget melihat Tania berdiri tegak di depan ibu angkatnya."Saya mengandun
"Bagaimana? Bagaimana hasil tesnya, Mika?" tanya Bu Gina begitu aku menemuinya di kursi tunggu. Wajahnya berserta sang suami sama-sama menyiratkan keinginan tahuan."Hasilnya sesuai dengan perhitungan, Ma," jawabku lesu."Maksudnya gimana, Mika?" Bapak mertua yang sedari diam ikut bertanya.Ketika aku akan menjawab, serombongan petugas medis lewat dengan menarik brankar. Terdapat seorang yang sepertinya tengah kritis ditarik ke ruang ICU. Di belakangnya di susul oleh beberapa orang yang mungkin saja keluarga dari pasien."Kita bahas di rumah saja, Ma." Kuajukan usul demikian karena di sini rasanya kurang etis membicarakan masalah pribadi."Ya, kamu benar." Bapak Edi menyahut, "sebaiknya kita pulang sekarang!" ajaknya seraya menggandeng tangan sang istri.Ibu Gina dan Bapak Edi berjalan tenang mendahului aku menuju parkiran. Aku sendiri menengok ke belakang. Ega terlihat begitu perhatian menuntun Tania melangkah. Aku menghembuskan napas. Lumayan terasa sesak melihat seseorang yang kit
Melihat kelakuan busuk Tania tentu saja hati ini meradang. Enak saja rumahku dijadikan sarang mesum. Ini tidak bisa dibiarkan. Ega harus tahu.Sayangnya lelaki itu teramat polos. Apapun yang dikatakan Tania, dia akan menelannya mentah-mentah. Sedangkan permintaan Tania, ibarat titah yang harus dikerjakan.Oke. Aku tetap harus main cantik.Untuk meredam emosi, aku menarik napas dalam-dalam. Lalu membuangnya perlahan. Tidak lupa beristighfar. Agar bisikan setan untuk melabrak Tania bisa aku kendalikan.Tanganku gegas merogoh ponsel dalam tas panjang berwarna hitam ini. Di depan sana Tania dan pemuda yang tidak kuketahui wajahnya, masih asyik bercengkerama. Saatnya mengabadikan kebersamaan mereka.CEKREK!CEKREK!CEKREK!Mendengar bunyi flash dari ponselku, sontak Tania dan sang pemuda langsung menoleh. Wajah Tania terlihat menegang. Pastinya dia ketakutan karena telah terpegok olehku. Namun, entah kenapa sang cowok tampak santai saja. Bibirnya bahkan melengkungkan senyum untukku.Dalam
Bian masih belum menyadari kehadiranku. Pemuda itu berdiri membelakangi. Ada sesuatu yang tengah ia pandangi. Kantukku hilang seketika karenanya. Merasa begitu penasaran, aku maju mendekat.EHEMMM!Dari belakang kulihat tubuh Bian menegang."Ngapain kamu di sini?" Aku menegur begitu pemuda itu membalikkan badan.Bian terdiam. Bola matanya terlihat berputar. Mungkin sedang mencari jawaban yang tepat."Hai ... Mik! Habis dari mana? Kok baru pulang? Ngelayap terus ya kerjaaannya." Bian mencoba mengalihkan perhatian. Dia mendekat. "Bibir kamu belepotan. Habis makan-makan di luar, ya?" Bian kembali berbasa-basi. Ketika tangannya berusaha menyentuh bibirku, aku mengelak."Gak usah pegang-pegang bisa gak sih!" protesku kesal, "kamu belum jawab pertanyaanku? Ngapain kamu masuk kamar ini?" Aku mencecar dengan berkacak pinggang.Bian terdiam. Tangannya merogoh kantung celana jeans belel robek-robeknya. "Aku disuruh ambilin ini oleh Ega. Ketinggalan katanya," jawab Bian sambil memperlihatkan seb
Ega tersenyum manis. Dia menangkap tanganku yang membelai parasnya. "Iya, aku telah bebas karenamu, Mika. Terima kasih," ucapnya syahdu. Kini tanganku ia kecup ringan."Bagaimana kamu bisa keluar dari tahanan?" tanyaku ingin tahu."Itu semua berkat bantuanmu, Sayang."Lagi-lagi aku dibuat terkesima saat mendengar Ega memanggilku dengan sebutan sayang. Ini untuk pertama kalinya dalam pernikahan kami. Biasanya Ega selalu memanggil namaku saja, itu pun dengan sangat datar, kadang dingin jika sedang kesal, atau kasar bila tengah marah."Karena aku kamu bisa keluar?" Aku mengulang ucapan Ega dengan bingung. Ketika dia mengganguk disertai senyuman, aku kian mengernyit."Sudahlah! Kamu baru sadar, Mika." Ibu berbicara. "Nanti saja kalo kamu sudah pulih betul, kami akan cerita semua," tutur Ibu sambil mengusap rambutku. Wanita itu tersenyum lembut.Tidak lama datang dokter dan juga perawat. Dokter laki-laki sepantar Bapak Edi ramah menanyakan kabar. Pria dengan dahi lebar itu menggunakan stet
"Berhenti, Mika!"Suara Galih terdengar mengintimidasi. Aku tidak peduli. Lekas kugapai ponsel ini. Namun, baru satu langkah, sebuah tangan besar menyentuh pundak. Bahkan meremasnya kuat.Ini pasti telapak tangan Galih. Benar. Ketika aku balik badan, pria itu menyeringai dingin. Berbeda dengan Budi yang berdiri di belakangnya dengan menundukkan wajah. Pemuda itu terlihat amat ketakutan."Kamu habis ngapain?" Galih bertanya dengan tatapan tajam."E ... aku--""Kamu menguping pembicaraan kami?" Galih menyambar cepat."Gak--""Kasih hapemu padaku!" pinta Galih masih bernada dingin."Mau buat apa?" tanyaku takut. Ponsel di tangan lekas kusembunyikan di belakang punggung. "Berikan padaku.""Enggak!" Aku menggeleng tegas."Aku bilang BERIKAN!" gertak Galih muntab. Tangannya mencoba merebut gadget kepunyaan."Gak AKAN!" Aku sengaja menaikan volume suara. Agar Ibu Gina dan Winda mendekat."Budi, rebut hape Mika!" Galih berpaling pada Budi. Pemuda itu tampak tertegun mendengar perintah terseb
(POV Mika)"Akan kuselidiki dan pantau Budi juga," tekadku yakin.Galih dan Budi kemudian turun dari mobil. Langkah mereka berpencar. Galih menuju mobil sendiri, sedangkan Budi kembali melangkah ke ruangannya Bian.Aku pun mengikuti pemuda itu. Sekalian menunjukkan hasil pemeriksaan ini pada Bapak Edi. Pasti beliau terkejut senang.Tiba-tiba perutku dilanda lapar. Akhirnya kaki ini kubelokan ke kantin. Nanti saja menunjukkan hasil tesnya. Sekarang isi perut dulu. Karena memang masih belum bisa menguyah nasi, kuputuskan untuk membeli dua bungkus roti dengan rasa abon sapi dan segelas cokelat hangat.Satu roti ukuran sedang ini ternyata tidak mampu aku habiskan. Tak masalah karena perutku sudah tidak terasa perih lagi. Saatnya kembali ke ruangan Bian.Budi sudah duduk manis di bangku tunggu. Namun, Tania dan Bapak Edi tidak terlihat batang hidungnya. Pemuda itu tampak tengah menunduk dengan pandangan kosong.Wajahnya juga terlihat sayu. Seakan ada masalah besar yang sedang menghimpitnya
Perubahan status Ega dari saksi menjadi tersangka sungguh membuat keluarganya terpukul hebat. Tidak hanya Mika sang istri yang merasa sedih. Ibu Gina jauh lebih terguncang jiwanya.Air mata tidak hentinya mengalir dari netra Ibu Gina. Wanita itu sesenggukan pilu membayangkan putra kesayangannya meringkuk dingin dan lama di jeruji besi. Lelah hati dan pikiran membuatnya memutuskan untuk tidak ikut menemani suaminya menjenguk Bian.Mika sendiri memilih turut serta menemani Bapak Edi dan Tania. Selain memang ingin melihat kondisi Bian, dia juga ingin memeriksakan diri. Badannya mudah capek dan yang pasti mual selalu menyerangnya di waktu pagi.Akhirnya, Ibu Gina pulang dengan dijemput oleh Mang Asep. Sementara Bapak Edi, Mika, dan Tania pergi ke rumah sakit diantar oleh Budi. Kamar Bian adalah tujuan utama mereka begitu sampai.Kondisi Bian masih serupa kemarin. Setelah menjalani operasi, pemuda itu belum juga sadarkan diri. Alat-alat, selang, dan kabel masih membelit tubuhnya. Kenyataa
Pagi hari aku mendapati suara keributan di bawah. Refleks mata ini terbuka. Ternyata aku masih mengenakan mukena. Ketika kutengok waktu pada jam digital di atas nakas, ternyata hari sudah menjelang siang. Untungnya sholat subuh tidak kutinggalkan walau tadi mata teramat kantuk.Masih bermalas-malasan aku menuju kamar mandi. Hari ini aku harus bersiap pulang. Party its over dari dua hari yang lalu. Seharusnya aku sudah ada di Jakarta jika musibah tidak menimpa Bian dan Ega. Andai waktu itu Ega tidak usah membujuk Bapak Edi untuk mengizinkan Bian ikut serta ke pesta malam tahun baru ini, mungkin Bian masih akan baik-baik saja. Dan tentunya Ega juga tidak akan ditahan.Aku menggeleng pelan. Sebagai seorang muslim kita tidak boleh berandai-andai. Karena sama saja tidak mempercayai takdir. Aku yakin semua musibah yang terjadi adalah adalah suatu teguran dari-Nya. Agar kami senantiasa mengingat-Nya.Usai mandi kutata semua pakaian ke koper, baik baju sendiri maupun Ega. Mengingat lelaki it
(POV Mika)"Apaaa?!" Ega, aku, dan Winda tersentak kaget bersamaan. Sementara Gavin langsung bersembunyi di belakang tubuh Winda sang mama. Anak itu pastinya ketakutan melihat kedatangan polisi ke rumah."Cepat tangkap!" titah Letnan polisi itu pada kedua anak buahnya."Siap, Ndan!""Tunggu dulu! Maksudnya apaan ini?!" Ega berusaha menghindar. Namun, kedua polisi bertubuh lebih besar darinya mampu membekuknya dengan gampang. "Lepaskan! Salah saya apa, Pak?" kesal Ega setengah berteriak."Dari semua saksi hanya Anda yang berada di tempat pekara pada waktu itu," jawab Letnan polisi tersebut tenang."Saya ada di TKP karena mendengar ada suara benda terjatuh. Secara naluri kita pasti ingin melihatnya," balas Ega mencoba membela diri. Suamiku terus meronta dan mengerang."Silahkan Anda jelaskan semuanya di kantor! Cepat bawa dia ke mobil." Polisi berbalok emas satu itu menyuruh pada anak buahnya."Siap, Ndan!""Ini gak bener! Aku gak bersalah!" Ega terus menolak dan berontak. Namun, ia tet
Semua orang tengah terpekur dalam kesedihan. Hari ini Bian sedang menjalani operasi. Semua berharap pemuda itu bisa tertolong. Tania terus-menerus menangis. Sementara Bapak Edi memilih bermunajat di mushola rumah sakit. Meminta bantuan kepada sang Khalik. Berharap agar putra kandungnya selamat dan kembali menjadi manusia yang sehat.Di sisi lain Mika dan Ibu Gina merasakan perut mereka keroncongan. Karena memang sewaktu berangkat keduanya belum sarapan. Namun, melihat Ega yang terus tertunduk sedih, Mika menahan rasa lapar.Ibu Gina sendiri tidak kuat menahan lapar. Dia ingin mengisi perut. Wanita paruh baya itu menyenggol lengan sang menantu. "Apa?" tanya Mika lirih. Kurang tidur dan tidak enak badan membuatnya malas bicara."Sarapan yuk!" ajak Ibu Gina sambil berbisik."Ayuk!" Gayung bersambut. Mika yang juga merasakan pedih di perut langsung mengiyakan ajakan sang mertua. "Ga, kita mau sarapan, ikut yuk!" Kini Mika mengajak serta suaminya dengan lembut.Ega mendongak memindai wa
"Keadaannya drop." Mika membalas pertanyaan Tania dengan jujur. Tangis Tania kembali bergulir lagi mendapat jawaban dari Mika."Ga, kamu kelihatan pucat dan letih. Apa kamu udah sarapan?" tanya Mika peduli.Sebagai seorang istri dia tentu harus perhatian pada keadaan suaminya. Mika juga agak menyesal karena tadi lupa membawa bekal sarapan untuk Ega karena tergesa-gesa. Walau ia sendiri juga belum makan pagi."Aku gak berselera makan, Mik," sahut Ega lemah. Pria itu kembali menghempaskan tubuhnya di bangku tunggu. "Kamu ajak saja Tania sarapan. Kasihan ... wanita hamil harus banyak makan. Jangan sampai janinnya kekurangan gizi," tutur Ega sembari menasihati Tania."Pikiranku kacau mikirin Bian begini, mana bisa aku menelan makanan, Ga." Tania menolak masih dengan berlinang air mata. Wanita itu juga kembali duduk. Lalu menenggelamkan wajahnya pada dada Ega. "Aku takut Bian kenapa-napa," kalutnya sela isak."Sttt! Berbicaralah yang baik. Karena omongan itu adalah doa," nasihat Ega lembut
"Siapa wanita itu, Pa?" Suara dingin dari Ibu Gina membuat Bapak Edi tercekat.Bapak Edi bergeming. Tidak dihiraukan pertanyaan sang istri. Dirinya cukup lama menatap foto usang itu. Perlahan ia menatap Tania. "Dari mana kamu dapatkan foto ini?" cecar Bapak Edi ingin tahu."Foto itu sudah ada pada Bian sejak kami tinggal di panti asuhan," jawab Tania dengan suara sumbang. Pertanda dia habis menangis lama. "Dia bilang jika itu satu-satunya kenangan dari ibunya yang masih ia simpan."Rahang Bapak Edi mengatup. Otot-otot lehernya terlihat. Jelas dia sedang menahan letupan emosi kesedihan."Bian," gumamnya getir.Kini kaki pria itu bergerak cepat menuju ruang ICU. Segera Ibu Gina dan Mika mengikuti. Kedua wanita itu juga ingin melihat kondisi Bian. Ega sendiri memilih duduk kembali bersama Tania di luar.Mata Bapak Edi tertuju pada sebuah brankar tempat berbaring pemuda yang beberapa hari ini selalu ingin dekat dengannya. Mata Bian terpejam. Namun, air mata yang sudah mengering terlihat m