Kesepakatan telah dibuat dan Ega telah menyetujuinya. Aku berharap dia tidak akan ingkar. Karena jika Ega menjalankan kesepakatan, maka hubungan kami akan selangkah lebih maju.
Pernikahan kami kemarin digelar cukup sederhana untuk seorang Bapak Edi Baskara. Walau pria berkharisma itu menginginkan pesta yang meriah. Ega menolak dengan berbagai alasan.
Tidak banyak orang yang tahu jika Ega telah menikah. Apalagi dia memang jarang sekali mengajakku pergi. Hanya sesekali saja itu pun jika melibatkan acara keluarga.
Setelah kata deal terucap, aku pergi meninggalkan Ega menuju kamar. Merilekskan tubuh dengan berendam. Menenggelamkan diri pada lautan busa wangi. Rasanya sungguh menyenangkan.
Setelah cukup merasa segar, aku kembali ke kamar. Berganti pakaian, lalu turun ke dapur untuk membuat makan malam.
Ketika sampai dapur sudah ada Ega yang tengah sibuk mengiris bumbu. Penampilannya terlihat segar dengan rambut basah dan kaos rumahan yang santai. Pastinya dia mandi di kamar mandi bawah.
Sebenarnya tidak terkejut saat menjumpai Ega berkutat di dapur. Sudah biasa melihat dia membuat makanannya sendiri. Lelaki itu bahkan sering mendiamkan makanan yang sudah susah payah kubuat demi gengsinya padaku.
"Istri macam apa yang membiarkan meja makan kosong begitu saja," sindir Ega begitu menyadari kehadiranku. Tangannya mulai sibuk memasukkan semua bumbu dan bahan telur dadar spesial ke wajan. Selain nasi goreng, telor dadar, dan mie rebus tidak ada yang bisa ia buat. Walau begitu dia tetap gengsi minta dibuatkan makanan.
Aku tersenyum mendengarnya seraya mendekat. "Ahhh ... biasanya juga makan malam di luar. Capek-capek aku buat gak disentuh juga. Mubasir tahu tiap pagi buang makanan," balasku sambil memperhatikan kesibukan Ega.
Ega sendiri langsung berpaling padaku. "Gak usah ngelunjak kamu!" tegas Ega dengan tatapan tajamnya, "aku gak suka kamu banyak bicara. Sadar diri kamu berasal dari mana," lanjutnya dingin dan begitu menikam jantung.
Tawaku meledak mendengar penuturan Ega. Membuat pria itu menatapku nanar. Bahkan tangannya terlihat mencengkeram kuat sodet kayu yang sedang ia gunakan.
"Kamu tertawa?" tanya Ega dengan mata menyipit.
"Ya ... kamu lucu sekali, Ega." Tawaku masih saja berderai. Membuat napas Ega kian memburu.
"Lucu?" Dahi Ega kian berlipat mendengar jawabanku.
"Dengar Ega! Asal usul kita itu sama. Sama-sama berasal dari keluarga kurang mampu." Aku mengingatkan usai mereda tawa. "Hanya saja asal usulku jauh lebih jelas dibanding asal usulmu," pungkasku membuat Ega tercekat.
"Mikaaa!" Pria itu menggertak. Ega paling marah jika disinggung tentang asal usulnya.
"Gak usah teriak-teriak! Lihat masakanmu gosong," tunjukku pada wajan di atas kompor.
"Shit!" umpat Ega seraya mematikan api kompor. Napasnya terdengar berderu.
Ega paling marah jika disinggung tentang asal usulnya. Di usianya yang sudah seperempat abad, hingga kini dia belum tahu siapa kedua orang tuanya. Bapak Edi dan Bu Guna sudah mencari tahu keberadaan orang tua kandungnya. Namun, hasilnya nihil.
"Aku buatkan makan malam," ujarku mendapati Ega kesal dengan masakannya.
"Gak usah! Kelamaan." Ega mencegah cepat, "lagian isi kulkas juga kosong kok, mau masak apa?" imbuhnya dengan lirikan tajam.
Aku menghembus napas panjang. Salah lagi. "Itu baru kosong. Kemarin-kemarin juga selalu penuh kok." Aku mencoba berkilah.
"Alasan."
"Salah sendiri kalo diajak belanja bulanan gak pernah mau."
"Jadi di sini aku yang salah?" Lagi-lagi Ega menatapku sinis.
"Oke, aku pesan makanan."
"Gak usah! Udah keburu hilang lapernya!" Ega kembali mencegah.
Aku menghembus napas resah. Ega benar-benar kekanak-kanakan. "Ya udah kita cari makanan di luar, yuk! Bakso kek, soto kek, apa kek."
Ega tidak menjawab. Lelaki itu hanya menatapku keki, lantas berlalu.
"Kalo tidak mau menemaniku nyari makanan di luar, aku gak mau nemenin kamu kondangan besok!"
Langkah Ega terhenti mendengar ancamanku. "Arghhh!" Dia mengerang kesal. Namun, ketika melangkah keluar rumah, Ega mengikuti.
Kuayunkan langkah menyusuri jalanan komplek. Mencari tukang mie ayam yang biasanya lewat depan rumah. Lima menit berjalan ketemu juga tukang mie yang dicari.
"Mie ayam dua ya, Pak," pesanku pada bapak penjual.
"Bungkus atau makan sini, Neng?" tanya Si bapak ramah.
"Makan sini, Pak," balasku mendaratkan pantat pada kursi plastik yang tersedia.
"Siap," balas Pak penjual semangat. Pria paruh baya itu lekas meracik mie.
"Kenapa harus dimakan di sini sih?" tegur Ega dengan wajah tidak sukanya.
"Aku pengen makan mie sambil lihat bintang," jawabku seraya menunjuk langit malam yang lumayan gelap. Bahkan rembulan pun bersinar pucat karena tertutup awan hitam.
"Mana ada bintang? Yang ada turun hujan iya," ujar Ega dengan senyum mengejeknya.
"Kalo kamu gak mau, kamu bisa pulang kok," suruhku santai.
Ega mengerling tajam. Namun, ia ikut duduk di sebelahku. Menit berikutnya pesanan kami tiba. Dua porsi mie ayam dan es teh manis.
Ega yang memang terlihat sangat lapar langsung membubuhi mie ayam tersebut dengan saos dan sambal. Tanpa ba-bi-bu dia lantas menyantap dengan lahap.
"Kayak setahun gak makan aja, sampe lupa baca bismillah," sindirku seraya mengaduk mie dalam mangkok.
"Berisik!" Ega menyergah. Pria itu benar-benar tidak peduli. Kembali dengan mantap ia melahap mie tersebut.
"UHUK!" Ega terbatuk. Dilihat dari wajahnya yang merah dan penuh peluh, sepertinya ia tersedak karena kepedasan.
Sebenarnya aku ingin tertawa. Namun, kuurungkan. Rasanya tidak pantas menertawakan suami sendiri.
Melihat Ega yang masih terbatuk-batuk, tanganku lekas meraih cangkir besar berisi air teh di meja. Ketika akan meminumkan tangan Ega menepis. Lelaki itu memilih meminum sendiri.
"Hati-hati. Ntar kesedak lagi," ucapku mengingatkan begitu melihat Ega menenggak minuman dengan terburu-buru.
Ega tidak peduli. Lelaki itu menandaskan minumannya sekali tenggak. Membuat bibirnya belepotan.
Kuambil secarik tisu yang tersedia di meja. Mengelap perlahan bibir Ega. Membersihkan sisa-sisa saos yang manis menempel. Serta mengeringkan bibirnya.
Kali ini Ega tidak melarang. Lelaki itu membiarkan begitu saja tanganku menyusuri bibirnya. Kini bahkan mata kami bertemu pandang.
Tes.
Kurasakan setetes air langit menyentuh wajahku. Ega sendiri tampak mendongak ke atas. Langit sudah benar-benar gelap.
"Ayo pulang! Mau hujan nih," ajak Ega gegas bangkit berdiri.
Lelaki itu mendekati tukang mie ayam. Menanyakan total pesanan. Begitu dijawab, Ega mengangsurkan sejumlah uang. Kudengar dia mengikhlaskan kembaliannya untuk Bapak penjual.
Kemudian tanpa menoleh lagi, Ega mengeloyor pergi. Bahkan saat tetesan air hujan itu mulai menjadi gerimis besar, dia berlari. Aku sampai terjatuh karena mengikuti langkah lebarnya.
"Aduhhh!" Sialnya kakiku terantuk batu. Membuat nyeri di sekujur tungkai. Lutut terasa pedih sekali. Ketika kukuak celana piayama ini, ternyata ada luka yang berdarah di sekitar lutut. Pantas rasanya perih minta ampun.
Ega sendiri tampak menghentikan langkah panjangnya. Sepertinya dia mendengar aku mengaduh. Lelaki itu balik badan. Terkesan malas-malasan dia mendekat.
"Kenapa?" tanya dia datar. Sementara gerimis kian menderas.
"Kesandung batu," jawabku sembari meniupi lutut.
Air langit yang menerpa membuat luka terasa kian perih. Kututup kembali lutut dengan menarik celana piama.
"Oh ... kirain kenapa," sahutnya cuek.
"Bantuin napa!" sambarku ketika Ega hendak pergi begitu saja tanpa mau menolong.
Lelaki kulkas itu mendekat. Mengulurkan tangan tanpa bersuara. Lekas kuterima karena badan yang sudah mulai kuyup.
Lutut yang sakit membuat jalanku terpincang. Dan Ega sama sekali tidak peduli. Dia tetap berjalan mendahului tanpa berniat mengimbangi. Benar-benar menyebalkan!
"Hujan makin lebat, Mika. Kenapa jalannya lelet sekali?!" tegurnya begitu menyadari aku tertinggal jauh.
"Kakiku sakit, Ega," balasku meringis. Luka ini kian perih terguyur air hujan.
Terdengar Ega berdecak sebal. Dia kembali mundur untuk mendekat. "Perlu aku gendong biar cepat sampe rumah?"
Aku terdiam. Gengsi mengiyakan. Walau dalam hati mau sekali.
Ega menatapku serius. Tidak diduga ia merendahkan badan. Ia membungkukkan diri dan menepuk punggungnya. Memberi isyarat agar aku lekas naik ke gendongannya.
Tanpa menunggu lagi, aku langsung melompat ke gendongan Ega.
"Humphhh!" Ega menegakkan badan dengan tubuhku yang menempel pada punggungnya. "Kecil-kecil berat juga ternyata. Kayak buntelan beras." Kudengar ia menggumam.
Ledekan Ega membuat aku mencubit keras perutnya. Membuat ia mengaduh keras. Namun, itu tidak menyurutkan omongannya untuk mengataiku berat.
Sepanjang perjalanan terus kuhujani dia dengan cubitan. Entah siapa yang memulai, kami saling tertawa. Sangat lepas.
Namun, kebahagiaan ini harus terputus, saat di depan pintu rumah kami mendapati sesosok gadis berdiri dengan badan menggigil. Tania menunggu kedatangan kami dengan wajah pucat dan baju yang basah kuyup. Tangan kanannyaya mencengkeram erat pegangan koper kecil.
Mau apa dia malam-malam ke sini?
Melihat kedatangan Tania, aku dan Ega sama-sama tercekat. Ega bahkan tiba-tiba menurunkan aku dari gendongan. Langkahnya tergesa menghampiri gadis berambut panjang sepinggang itu. Dengan rambut yang sudah terlihat sangat basah, penampilan Tania tampak begitu memprihatinkan."Ta-Tania?" sapa Ega cukup terdengar lirih. Namun, binar matanya menunjukkan kebahagiaan. "Ke mana saja kamu selama ini?" Ega bertanya penuh kepedulian. "Ga ... aku butuh tempat berteduh sekarang," ujar Tania tidak mengindahkan pertanyaan Ega. "Aku diusir dari kontrakan." Tania melapor dengan memasang wajah memelas."Kamu belum jawab pertanyaanku. Sebulan ini kamu ke mana saja?" desak Ega terus menunjukkan kepedulian."Aku-""Kita bicara di dalam. Ayuk!" Ega menyela dan langsung mengajak Tania masuk.EHEM!Aku berdaham cukup keras. Membuat kedua sejoli itu menoleh. Wajah pucat Tania bertambah pias menyadari keberadaanku. Sementara Ega terlihat tidak peduli."Apa maksudnya dengan berbicara di dalam?" tanyaku menunj
"Tania ... kamu gak papa?" Kudengar Ega bertanya dengan penuh kepedulian. Kuping yang lumayan panas menarik kakiku untuk mendekat. Di depan pintu kamar mandi aku berpapasan dengan mereka. Ega merangkul Tania yang lesu hingga ke sofa ruang tengah. Peluh tampak membasahi paras cantik Tania.Tangan Ega meraih tisu yang tersedia di meja. Seolah mengabaikanku penuh perhatian dia mulai mengelap butiran keringat pada wajah Tania. Sementara sang wanita terkulai lemas dengan kepala bersandar pada sandaran sofa."Kamu kenapa, Tania?" Way ada rasa panas menjalar di hati melihat kepedulian Ega pada gadis itu. Namun, demi kesopanan aku perlu berbasa-basi."Entahlah." Tania menjawab lemah disertai gelengan yang pelan pula. "Akhir-akhir ini setiap pagi aku selalu muntah-muntah," tutur gadis itu terdengar cukup lirih."Kenapa bisa begitu? Apa kamu sudah pernah periksa ke dokter?" berondong Ega tampak begitu cemas."Gak ada waktu dan gak uang, Ega," balas Tania meringis miris."Jangan seperti itu, Ta
"Kamu tahu kenapa aku akhir-akhir ini menghindarimu?" tanya Tania di sela sedu-sedannya. Ega refleks menggeleng, sedangkan aku masih diam mematung. "Aku sengaja menghindarimu karena yakin kamu pasti tidak akan percaya, Ega. Tapi sungguh ... ini benihmu, Ga." Tania kembali menangis pilu. Benar-benar menyayat hati bagi mereka yang mendengar."Iya. Aku percaya." Ega langsung merengkuh Tania ke dalam dekapan.Air mata yang sedari tadi sekuat mungkin kubendung, kini membludak membasahi pipi. Dadaku terasa sesak saat mendengar Ega berulang kali mengucap kata maaf dan cinta pada Tania."Apapun yang terjadi aku siap bertanggung jawab," janji Ega terdengar mantap."Tapi, Ga, kedua orang tua asuhmu pasti menentang. Apalagi kini kamu sudah ada Mika." Tania terdengar memperingatkan. Namun, di sisi lain sorot matanya menggambarkan kebahagiaan."Kita akan menghadapinya bersama, Tania." Lagi Ega memeluk wanita ramping itu tanpa memedulikan keberadaanku.Aku sendiri mendadak kelu. Entah kenapa aku ti
Telapak tangan dingin Ega terasa kuat mencengkeram. Membuatku harus mendongak padanya. Lelaki itu berkedip. Seakan hendak menyampaikan sesuatu lewat sorot matanya.Feeling-ku pasti dia meminta bantuan mengenai Mika. Ahhh ... biar saja! Dia yang berbuat kenapa aku harus repot juga? Bukankah tadi siang, dirinya begitu sombong hendak berbicara jujur kepada orang tuanya. Sekarang saja, nyalinya ciut begitu.Tanpa mempedulikan Ega, kulepas genggaman tangannya. Kepala yang pening mengharuskan aku tergesa sampai dalam mobil. Kepala berat ini langsung kusandarkan pada sandaran jok.Tidak lama kemudian kedua orang tua Ega ikut masuk mobil. Mereka duduk di belakang. Sementara itu, dari kaca mobil terlihat Ega tengah menelepon seseorang. Wajahnya tampak serius. Mungkin saja dia sedang mengabari Tania kalau kedua orang tuanya akan bertandang."Kenapa Ega lama sekali sih?" tegur Bu Gina terdengar kesal. "Pa, coba panggil anak itu! Suruh dia masuk! Kasihan Mika kelamaan nunggunya. Dia lagi sakit in
Acara makan pizza telah usai. Kami semua bergantian cuci tangan di wastafel. Bu Gina dan Bapak Edi pamit tidur lagi ketika mendengar jarum besar berdetang sekali."Mama sangat menginginkan cucu. Dan kamu tidak akan mampu mewujudkannya, karena aku selalu pake pengaman," tutur Ega begitu kedua orang tuanya berlalu. Wajah dinginnya kini mencairkan senyum kemenangan. "Aku akan cari waktu yang tepat untuk mengungkapkan semua," lanjutnya tenang, "dan kamu!" Ega menatapku tajam, "bersiaplah menerima kenyataan bahwa Tania akan menggeser posisimu menjadi menantu kesayangan mama dan papa," imbuhnya percaya diri.Ega terkekeh lirih. Sungguh ia tengah mengejek. Namun, aku tidak mau terpancing."Coba saja kalo berani," tantangku ikut tersenyum miring, "yang ada kamu akan ditendang oleh kedua orang tua angkatmu tanpa membawa sepeserpun harta.""Jangan terlalu percaya diri, Mika!" Ega mengingatkan dengan mencondongkan tubuh. Dia merapat padaku. Wajah kami sudah begitu dekat. Bahkan hembusan napasnya
Ega merebut ponsel yang masih berbunyi. Lelaki itu melempar benda tipis berwarna silver itu ke ranjang. Kini kedua tangannya memegang pundakku."Kenapa? Kenapa kamu tega ngurung Tania di kamar?" cecar Ega dengan geram. Kini pegangannya berubah jadi cengkeraman."Awww! Sakit, Ga." Aku mendesis merasakan sakit yang menggerus pundak."Tania itu sedang hamil. Tidak kah kamu kasihan pada dia?" Mata Elang Ega menukik tajam."Justru karena aku kasihan makanya aku kurung dia," sergah seraya menepis cengkeraman Ega. Namun, sia-sia. Tenaga tidak cukup kuat melawannya. "Kamu mau Tania ketahuan mama papamu saat berkeliaran?""Tapi dia pengap berada di kamar terus. Tania butuh udara segar. Dia juga butuh ke toilet, Mika!""Itu urusan kamu!" Kembali aku menyergah, "jika kamu ingin Tania hidup bebas silahkan bawa pergi dia dari sini!"Napas Ega terdengar memburu. "Kamu ini ...."Mataku tertutup saat melihat tangan Ega terangkat. Aku harus kuat. Selain dingin, Ega juga sedikit kasar. Namun, hingga be
"Ega! Jaga bicaramu!"Seketika aku dan Ega menoleh ke sumber suara. Tampak Bu Gina menatap putra angkatnya dengan wajah geram. Wanita itu bergerak maju mendekat."Kamu ngomong apa barusan?"Mata wanita berkulit cokelat bersih itu terus saja menghujam Ega. Membuat putra angkatnya terlihat gemetar. Kini tangan Ega bahkan menggenggam jemariku, lantas meremasnya kuat. Ini menandakan jika dia tengah meminta bantuan padaku.Dalam hati aku tertawa. Kemarin saja kamu begitu jumawa, Ega. Sekarang begitu mama mendengar, kamu malah ketakutan."Dengar Ega! Sudah berapa kali mama bilang? Jangan pernah lagi memikirkan Tania lagi!" larang Bu Gina tampak emosi, "papamu bahkan melihat dengan mata kepalanya sendiri, jika gadis itu sering bergonta-ganti pasangan," lanjutnya berapi-api.Ibu Gina memang kadang tidak bisa mengkontrol diri. Padahal sudah sering kuingatkan untuk tidak terlalu menuruti emosi, supaya tekanan darahnya stabil. Namun, dirinya susah diingatkan. Tak jarang jika dia sering mengeluh
"Kalian?!" Ibu Gina mematung melihat ada Tania di dekatku. Wajah cantiknya terlihat memerah. Wanita itu langsung menatap sengit ke arah Tania. "Sejak kapan dia berada di rumah ini, Mika?" tanya Bu Gina tanpa mau menyebut nama Tania."Eum ... sudah dua tiga malam, Ma," jawabku pelan.Bu Gina menghela napas panjang. Dirinya bergantian menatap aku, lalu beralih pada Tania. "Ega yang membawanya ke sini?" Wanita yang hari ini memakai kaos lebar berlengan panjang itu masih menatap Tania serius. Membuat gadis berjanggut lancip itu menunduk."Bukan, Ma. Dia datang atas kemauannya sendiri." Bu Gina kian terlihat kesal, "malam-malam lagi," imbuhku sedikit mengadu."Saya datang ke mari tidak ada niat lain selain meminta pertanggung jawaban Ega." Tania mulai berani membuka mulut."Kamu itu ngomong apa, hah? Saya gak paham," sambut Bu Gina sinis."Ini kok lama banget sih, Ma." Dari luar Ega masuk. Seketika lelaki itu membatu kaget melihat Tania berdiri tegak di depan ibu angkatnya."Saya mengandun
Ega tersenyum manis. Dia menangkap tanganku yang membelai parasnya. "Iya, aku telah bebas karenamu, Mika. Terima kasih," ucapnya syahdu. Kini tanganku ia kecup ringan."Bagaimana kamu bisa keluar dari tahanan?" tanyaku ingin tahu."Itu semua berkat bantuanmu, Sayang."Lagi-lagi aku dibuat terkesima saat mendengar Ega memanggilku dengan sebutan sayang. Ini untuk pertama kalinya dalam pernikahan kami. Biasanya Ega selalu memanggil namaku saja, itu pun dengan sangat datar, kadang dingin jika sedang kesal, atau kasar bila tengah marah."Karena aku kamu bisa keluar?" Aku mengulang ucapan Ega dengan bingung. Ketika dia mengganguk disertai senyuman, aku kian mengernyit."Sudahlah! Kamu baru sadar, Mika." Ibu berbicara. "Nanti saja kalo kamu sudah pulih betul, kami akan cerita semua," tutur Ibu sambil mengusap rambutku. Wanita itu tersenyum lembut.Tidak lama datang dokter dan juga perawat. Dokter laki-laki sepantar Bapak Edi ramah menanyakan kabar. Pria dengan dahi lebar itu menggunakan stet
"Berhenti, Mika!"Suara Galih terdengar mengintimidasi. Aku tidak peduli. Lekas kugapai ponsel ini. Namun, baru satu langkah, sebuah tangan besar menyentuh pundak. Bahkan meremasnya kuat.Ini pasti telapak tangan Galih. Benar. Ketika aku balik badan, pria itu menyeringai dingin. Berbeda dengan Budi yang berdiri di belakangnya dengan menundukkan wajah. Pemuda itu terlihat amat ketakutan."Kamu habis ngapain?" Galih bertanya dengan tatapan tajam."E ... aku--""Kamu menguping pembicaraan kami?" Galih menyambar cepat."Gak--""Kasih hapemu padaku!" pinta Galih masih bernada dingin."Mau buat apa?" tanyaku takut. Ponsel di tangan lekas kusembunyikan di belakang punggung. "Berikan padaku.""Enggak!" Aku menggeleng tegas."Aku bilang BERIKAN!" gertak Galih muntab. Tangannya mencoba merebut gadget kepunyaan."Gak AKAN!" Aku sengaja menaikan volume suara. Agar Ibu Gina dan Winda mendekat."Budi, rebut hape Mika!" Galih berpaling pada Budi. Pemuda itu tampak tertegun mendengar perintah terseb
(POV Mika)"Akan kuselidiki dan pantau Budi juga," tekadku yakin.Galih dan Budi kemudian turun dari mobil. Langkah mereka berpencar. Galih menuju mobil sendiri, sedangkan Budi kembali melangkah ke ruangannya Bian.Aku pun mengikuti pemuda itu. Sekalian menunjukkan hasil pemeriksaan ini pada Bapak Edi. Pasti beliau terkejut senang.Tiba-tiba perutku dilanda lapar. Akhirnya kaki ini kubelokan ke kantin. Nanti saja menunjukkan hasil tesnya. Sekarang isi perut dulu. Karena memang masih belum bisa menguyah nasi, kuputuskan untuk membeli dua bungkus roti dengan rasa abon sapi dan segelas cokelat hangat.Satu roti ukuran sedang ini ternyata tidak mampu aku habiskan. Tak masalah karena perutku sudah tidak terasa perih lagi. Saatnya kembali ke ruangan Bian.Budi sudah duduk manis di bangku tunggu. Namun, Tania dan Bapak Edi tidak terlihat batang hidungnya. Pemuda itu tampak tengah menunduk dengan pandangan kosong.Wajahnya juga terlihat sayu. Seakan ada masalah besar yang sedang menghimpitnya
Perubahan status Ega dari saksi menjadi tersangka sungguh membuat keluarganya terpukul hebat. Tidak hanya Mika sang istri yang merasa sedih. Ibu Gina jauh lebih terguncang jiwanya.Air mata tidak hentinya mengalir dari netra Ibu Gina. Wanita itu sesenggukan pilu membayangkan putra kesayangannya meringkuk dingin dan lama di jeruji besi. Lelah hati dan pikiran membuatnya memutuskan untuk tidak ikut menemani suaminya menjenguk Bian.Mika sendiri memilih turut serta menemani Bapak Edi dan Tania. Selain memang ingin melihat kondisi Bian, dia juga ingin memeriksakan diri. Badannya mudah capek dan yang pasti mual selalu menyerangnya di waktu pagi.Akhirnya, Ibu Gina pulang dengan dijemput oleh Mang Asep. Sementara Bapak Edi, Mika, dan Tania pergi ke rumah sakit diantar oleh Budi. Kamar Bian adalah tujuan utama mereka begitu sampai.Kondisi Bian masih serupa kemarin. Setelah menjalani operasi, pemuda itu belum juga sadarkan diri. Alat-alat, selang, dan kabel masih membelit tubuhnya. Kenyataa
Pagi hari aku mendapati suara keributan di bawah. Refleks mata ini terbuka. Ternyata aku masih mengenakan mukena. Ketika kutengok waktu pada jam digital di atas nakas, ternyata hari sudah menjelang siang. Untungnya sholat subuh tidak kutinggalkan walau tadi mata teramat kantuk.Masih bermalas-malasan aku menuju kamar mandi. Hari ini aku harus bersiap pulang. Party its over dari dua hari yang lalu. Seharusnya aku sudah ada di Jakarta jika musibah tidak menimpa Bian dan Ega. Andai waktu itu Ega tidak usah membujuk Bapak Edi untuk mengizinkan Bian ikut serta ke pesta malam tahun baru ini, mungkin Bian masih akan baik-baik saja. Dan tentunya Ega juga tidak akan ditahan.Aku menggeleng pelan. Sebagai seorang muslim kita tidak boleh berandai-andai. Karena sama saja tidak mempercayai takdir. Aku yakin semua musibah yang terjadi adalah adalah suatu teguran dari-Nya. Agar kami senantiasa mengingat-Nya.Usai mandi kutata semua pakaian ke koper, baik baju sendiri maupun Ega. Mengingat lelaki it
(POV Mika)"Apaaa?!" Ega, aku, dan Winda tersentak kaget bersamaan. Sementara Gavin langsung bersembunyi di belakang tubuh Winda sang mama. Anak itu pastinya ketakutan melihat kedatangan polisi ke rumah."Cepat tangkap!" titah Letnan polisi itu pada kedua anak buahnya."Siap, Ndan!""Tunggu dulu! Maksudnya apaan ini?!" Ega berusaha menghindar. Namun, kedua polisi bertubuh lebih besar darinya mampu membekuknya dengan gampang. "Lepaskan! Salah saya apa, Pak?" kesal Ega setengah berteriak."Dari semua saksi hanya Anda yang berada di tempat pekara pada waktu itu," jawab Letnan polisi tersebut tenang."Saya ada di TKP karena mendengar ada suara benda terjatuh. Secara naluri kita pasti ingin melihatnya," balas Ega mencoba membela diri. Suamiku terus meronta dan mengerang."Silahkan Anda jelaskan semuanya di kantor! Cepat bawa dia ke mobil." Polisi berbalok emas satu itu menyuruh pada anak buahnya."Siap, Ndan!""Ini gak bener! Aku gak bersalah!" Ega terus menolak dan berontak. Namun, ia tet
Semua orang tengah terpekur dalam kesedihan. Hari ini Bian sedang menjalani operasi. Semua berharap pemuda itu bisa tertolong. Tania terus-menerus menangis. Sementara Bapak Edi memilih bermunajat di mushola rumah sakit. Meminta bantuan kepada sang Khalik. Berharap agar putra kandungnya selamat dan kembali menjadi manusia yang sehat.Di sisi lain Mika dan Ibu Gina merasakan perut mereka keroncongan. Karena memang sewaktu berangkat keduanya belum sarapan. Namun, melihat Ega yang terus tertunduk sedih, Mika menahan rasa lapar.Ibu Gina sendiri tidak kuat menahan lapar. Dia ingin mengisi perut. Wanita paruh baya itu menyenggol lengan sang menantu. "Apa?" tanya Mika lirih. Kurang tidur dan tidak enak badan membuatnya malas bicara."Sarapan yuk!" ajak Ibu Gina sambil berbisik."Ayuk!" Gayung bersambut. Mika yang juga merasakan pedih di perut langsung mengiyakan ajakan sang mertua. "Ga, kita mau sarapan, ikut yuk!" Kini Mika mengajak serta suaminya dengan lembut.Ega mendongak memindai wa
"Keadaannya drop." Mika membalas pertanyaan Tania dengan jujur. Tangis Tania kembali bergulir lagi mendapat jawaban dari Mika."Ga, kamu kelihatan pucat dan letih. Apa kamu udah sarapan?" tanya Mika peduli.Sebagai seorang istri dia tentu harus perhatian pada keadaan suaminya. Mika juga agak menyesal karena tadi lupa membawa bekal sarapan untuk Ega karena tergesa-gesa. Walau ia sendiri juga belum makan pagi."Aku gak berselera makan, Mik," sahut Ega lemah. Pria itu kembali menghempaskan tubuhnya di bangku tunggu. "Kamu ajak saja Tania sarapan. Kasihan ... wanita hamil harus banyak makan. Jangan sampai janinnya kekurangan gizi," tutur Ega sembari menasihati Tania."Pikiranku kacau mikirin Bian begini, mana bisa aku menelan makanan, Ga." Tania menolak masih dengan berlinang air mata. Wanita itu juga kembali duduk. Lalu menenggelamkan wajahnya pada dada Ega. "Aku takut Bian kenapa-napa," kalutnya sela isak."Sttt! Berbicaralah yang baik. Karena omongan itu adalah doa," nasihat Ega lembut
"Siapa wanita itu, Pa?" Suara dingin dari Ibu Gina membuat Bapak Edi tercekat.Bapak Edi bergeming. Tidak dihiraukan pertanyaan sang istri. Dirinya cukup lama menatap foto usang itu. Perlahan ia menatap Tania. "Dari mana kamu dapatkan foto ini?" cecar Bapak Edi ingin tahu."Foto itu sudah ada pada Bian sejak kami tinggal di panti asuhan," jawab Tania dengan suara sumbang. Pertanda dia habis menangis lama. "Dia bilang jika itu satu-satunya kenangan dari ibunya yang masih ia simpan."Rahang Bapak Edi mengatup. Otot-otot lehernya terlihat. Jelas dia sedang menahan letupan emosi kesedihan."Bian," gumamnya getir.Kini kaki pria itu bergerak cepat menuju ruang ICU. Segera Ibu Gina dan Mika mengikuti. Kedua wanita itu juga ingin melihat kondisi Bian. Ega sendiri memilih duduk kembali bersama Tania di luar.Mata Bapak Edi tertuju pada sebuah brankar tempat berbaring pemuda yang beberapa hari ini selalu ingin dekat dengannya. Mata Bian terpejam. Namun, air mata yang sudah mengering terlihat m