Part.2 #Keributan_Dibalik_Keributan
Dari balik gorden bermotif bunga mawar warna kunyit aku mengintip dari dalam kamar. Aku mendengkus kesal. Suamiku ini, lancang sekali dia mengambil keputusan tanpa tanya pendapatku. Dadaku ikut turun naik seiring emosi yang tertahan di dada.
"Jahaaat … kamu jahat Mas," rutukku dalam hati.
"Berkasnya sudah disiapkan gas?"
"Belum Mas. Apa saja ya, berkasnya?"
"Nanti aku sms aja ya, Gas."
"Iya. Iya, mas."
"Kalau gitu aku permisi dulu Gas, masih ada urusan." Mas Guntur berpamitan. Akhirnya tamu tak diundang itu pulang.
"Iya, Mas Guntur, terimakasih." Mas Bagas menjawab dengan ramah. Padahal jika berbicara padaku mulutnya selalu kasar. Dasar suami tak punya otak.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Keduanya bersalaman di dekat pintu. Mas Bagas langsung menghampiriku di kamar, dia memanggil beberapa kali. Namun, tak kusahuti panggilannya. Aku malas menghargai orang yang tidak pernah menghargaiku. Seenaknya saja dia berkonsultasi pada temannya, akan mengirimku pergi ke luar negeri.
"Esiihhhh, dipanggil suami bukanya nyaut malah diem aja. Mana rasa hormatmu kepada suami?" bentak Mas Bagas.
"Hormat? apa Mas pernah mengormatiku selama ini? Bahkan menganggap aku saja tak pernah, seolah aku ini tak pernah ada, Mas!"
"Gak usah mulai lagi deh, kamu nurut aja kenapa susah banget sih?"
Astaga. Lagi-lagi Mas Bagas mengungkit pertengkaran kami sebelumnya. Bekas tamparan di pipiku saja masih perih. Dia sudah akan mengulangi perbuatan dan perkataan kasarnya padaku.
"Apa yang tidak pernah kuturuti untukmu, Mas? Semua kehendakmu selalu kuturuti tetapi bagaimana dengan, Mas? Pernahkah kau menuruti keinginanku, mas? Bertanya apa yang kuinginkan pun tidak pernah!"
"Kamu egois mas … egoiisss ..!"
Akhirnya semua beban di hati mampu kukeluarkan. Sekian lama bersama aku hanya jadi pajangan, pemuas nafsu Mas Bagas. Dibalik itu tak sedikitpun dia memberikan perhatian padaku.
Mas Bagas membelalakkan mata. Telapak tangan kanannya kembali terangkat ke atas. Aku takut. Segera menundukkan kepala, memundurkan badan darinya.
"Assalamualaikum."
"Wa-waalaikumussalam," terbata Mas Bagas menjawab salam. Ia segera menurunkan tangannya.
Nyaris saja tangan panas itu menyambar pipiku lagi, beruntung ada yang datang mengucap salam, sehingga tangan itu hanya mengambang di udara.
Meri pulang rupanya.
"Apalagi sih, nih, ribut-ribut? Pulang ke rumah yang ada hanya keributan, kayak Tom and Jerry. Cakar-cakaran terus," gerutu Meri.
"Kamu ga usah ikut campur Mer, bocah ingusan tau apa!" bentak suamiku.
"Ganti bajumu terus makan, Mer," kataku.
"Meri sudah makan bakso Mba, tadi ditraktir temen."
"Ya, udah istirahat sana."
"Gimana mau istirahat kalau rumah ada gempa gini," tukas Meri lagi. Sambil melirik kakak kandungnya yang masih penuh amarah.
"Cukup Meri, kalau kamu gak betah di rumah maen lagi aja sana. Gak usah pulang sekalian," bentak suamiku.
"Oh, jadi Mas Bagas mengusirku? Emangnya ini rumahmu, Mas? Ini rumah ayahku kalau kau lupa!" bantah Meri dengan penuh emosi.
Ya, rumah yang kami tempati ini memang rumah orangtua Meri dan Nina, bukan rumah mas Bagas. Karena suamiku hanya saudara seibu dengan kedua adiknya. Orang tua mereka yakni mertuaku, mereka merantau ke kota sehingga suamiku jadi kepala keluarga di rumah ini.
Nina yang sedari tadi diam di kamar pun keluar karena terganggu.
"Yaa Allah … kenapa rame banget sih?"
Nina dan Meri memiliki sifat yang berbeda. Nina lembut sedangkan Meri agak meledak-ledak seperti suamiku. Dia berani melawan kakaknya sehingga jika mereka berdebat bisa dipastikan durasinya lama.
Oee … oee … oee ....
Lengkap sudah keriuhan rumah ini, bayiku tidak bisa tidur nyenyak. Kuangkat bayiku kucek popoknya ternyata penuh. Segera mengambil satu diaper baru. Mengganti popoknya lalu kuberi ASI.
Kubiarkan adik kakak yang sedang adu mulut itu biar mereka puas menumpahkan sampah di dada mereka. Kunikmati waktuku bersama bayi mungil nan menggemaskan di gendonganku ini. Aku khawatir sewaktu-waktu aku terpaksa jauh darinya. Tak bisa melihat wajah bayiku lagi.
Malam harinya ....
"Esih, coba dengar kataku."
Darahku kembali berdesir, mulai lagi mas Bagas. Ia pasti akan menyuruhku untuk berangkat menjadi TKW ke Arab Saudi.
"Kamu dengar 'kan apa kata Meri tadi sore, dia bilang ini rumah ayahnya. Itu artinya sewaktu-waktu mereka bisa mengusir kita, mau kemana kita kalau diusir dari sini?"
"Kerumah orang tuaku, Mas!" jawabku cepat. Aku masih punya orang tua yang pasti mau menampungku jika terusir dari rumah ini.
"Tidak mungkin sih, orang tuamu tidak menyukaiku."
"Itu karena sikapmu sendiri, Mas."
"Itu karena aku miskin, Sih!" Kenapa suamiku menyalahkan keadaan tanpa dia sendiri mau berubah. Ia hidup dengan santai dalam kemiskinan ini dan menuntutku untuk bekerja. Dasar otak udang!
"Mas aku mohon lihatlah bayi kita ini Mas, apa Mas tega memisahkan kami, Mas?" Isakku air mata kembali berlinangan. Tak sanggup membayangkan jika harus jauh dari bayiku.
"Bukan tega ga tega Sih, tapi ini demi masa depan dia, demi masa depan kita!"
Suara Mas Bagas mulai meninggi. Urat-urat halus di wajahnya tergambar nyata. Betapa dia berkata menggunakan emosi bukan logika atau hati.
"Mas, bisa ke Jakarta lagi, bisa narik bajaj lagi, aku disini bisa buka warung kecil-kecilan akan kupinjam modal dari orang tuaku."
Plaaakkkk.
Suara tamparan terdengar sangat keras. Lagi, pipiku ditamparnya, perih sekali tapi hatiku jauh lebih perih. Ingin rasanya kubalas menamparnya tetapi apalah dayaku. Hanya seorang wanita lemah yang secara kekuatan fisik kalah jauh darinya.
Kubenamkan wajahku di bantal untuk meredam tangisku, meski sangat ingin aku meraung-raung menumpahkan tangis agar dadaku sedikit lega. Rasanya sesak, sangat sesak. Hari belum berganti sudah dua tamparan kuterima.
"Kamu mau aku merendahkan diri di depan keluargamu, haaah? Aku tidak Sudi!"
"Tapi kenapa kamu Sudi meminta dariku mas?"
"Kamu itu istriku Sih, milikmu milikku. Milikku milikmu, kita harus berjuang bersama untuk masa depan kita!"bentak nya.
Suaranya menggelegar bak genderang mau perang.Tangisku makin pecah tapi dia tidak perduli.
Hari-hari kami lalui dengan saling bertengkar, adu mulut seperti ini. Aku lelah, ingin rasanya pergi sejauh-jauhnya dari suamiku ini. Namun, bagaimana dengan anakku?
Aku merenung. Memikirkan lagi semua kata-kata Mas Bagas, "Baik Mas, aku mau pergi ke Saudi. Namun, nanti ya, tunggu Saheer genap setahun."
"Kalau umur segitu susah ditinggal, lebih baik sekarang dia belum paham apa-apa."
"Tapi aku ingin melihatnya bisa jalan dulu, Mas."
"Sudahlah Esih, aku malas debat denganmu."
Braaakkk!
Pintu kamar dibanting dengan keras, untung Saheer tidak terbangun.
Kudengar suara mesin motor dipanasi rupanya dia mau pergi. Syukurlah, setidaknya aku bisa bernapas lega. Sedari tadi napasku sesak.
Kubangkit dari ranjang. Mengambil minuman di meja kamar, kuteguk cairan bening di dalamnya hingga tandas.
Bersambung.
Part.2 #Keributan_Dibalik_Keributan
Dari balik gorden bermotif bunga mawar warna kunyit aku mengintip dari dalam kamar. Aku mendengkus kesal. Suamiku ini, lancang sekali dia mengambil keputusan tanpa tanya pendapatku. Dadaku ikut turun naik seiring emosi yang tertahan di dada.
"Jahaaat … kamu jahat Mas," rutukku dalam hati.
"Berkasnya sudah disiapkan gas?"
"Belum Mas. Apa saja ya, berkasnya?"
"Nanti aku sms aja ya, Gas."
"Iya. Iya, mas."
"Kalau gitu aku permisi dulu Gas, masih ada urusan." Mas Guntur berpamitan. Akhirnya tamu tak diundang itu pulang.
"Iya, Mas Guntur, terimakasih." Mas Bagas menjawab dengan ramah. Padahal jika berbicara padaku mulutnya selalu kasar. Dasar suami tak punya otak.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam."
Keduanya bersalaman di dekat pintu. Mas Bagas langsung menghampiriku di kamar, dia memanggil beberapa kali. Namun, tak kusahuti panggilannya. Aku malas menghargai orang yang tidak pernah menghargaiku. Seenaknya saja dia berkonsultasi pada temannya, akan mengirimku pergi ke luar negeri.
"Esiihhhh, dipanggil suami bukanya nyaut malah diem aja. Mana rasa hormatmu kepada suami?" bentak Mas Bagas.
"Hormat? apa Mas pernah mengormatiku selama ini? Bahkan menganggap aku saja tak pernah, seolah aku ini tak pernah ada, Mas!"
"Gak usah mulai lagi deh, kamu nurut aja kenapa susah banget sih?"
Astaga. Lagi-lagi Mas Bagas mengungkit pertengkaran kami sebelumnya. Bekas tamparan di pipiku saja masih perih. Dia sudah akan mengulangi perbuatan dan perkataan kasarnya padaku.
"Apa yang tidak pernah kuturuti untukmu, Mas? Semua kehendakmu selalu kuturuti tetapi bagaimana dengan, Mas? Pernahkah kau menuruti keinginanku, mas? Bertanya apa yang kuinginkan pun tidak pernah!"
"Kamu egois mas … egoiisss ..!"
Akhirnya semua beban di hati mampu kukeluarkan. Sekian lama bersama aku hanya jadi pajangan, pemuas nafsu Mas Bagas. Dibalik itu tak sedikitpun dia memberikan perhatian padaku.
Mas Bagas membelalakkan mata. Telapak tangan kanannya kembali terangkat ke atas. Aku takut. Segera menundukkan kepala, memundurkan badan darinya.
"Assalamualaikum."
"Wa-waalaikumussalam," terbata Mas Bagas menjawab salam. Ia segera menurunkan tangannya.
Nyaris saja tangan panas itu menyambar pipiku lagi, beruntung ada yang datang mengucap salam, sehingga tangan itu hanya mengambang di udara.
Meri pulang rupanya.
"Apalagi sih, nih, ribut-ribut? Pulang ke rumah yang ada hanya keributan, kayak Tom and Jerry. Cakar-cakaran terus," gerutu Meri.
"Kamu ga usah ikut campur Mer, bocah ingusan tau apa!" bentak suamiku.
"Ganti bajumu terus makan, Mer," kataku.
"Meri sudah makan bakso Mba, tadi ditraktir temen."
"Ya, udah istirahat sana."
"Gimana mau istirahat kalau rumah ada gempa gini," tukas Meri lagi. Sambil melirik kakak kandungnya yang masih penuh amarah.
"Cukup Meri, kalau kamu gak betah di rumah maen lagi aja sana. Gak usah pulang sekalian," bentak suamiku.
"Oh, jadi Mas Bagas mengusirku? Emangnya ini rumahmu, Mas? Ini rumah ayahku kalau kau lupa!" bantah Meri dengan penuh emosi.
Ya, rumah yang kami tempati ini memang rumah orangtua Meri dan Nina, bukan rumah mas Bagas. Karena suamiku hanya saudara seibu dengan kedua adiknya. Orang tua mereka yakni mertuaku, mereka merantau ke kota sehingga suamiku jadi kepala keluarga di rumah ini.
Nina yang sedari tadi diam di kamar pun keluar karena terganggu.
"Yaa Allah … kenapa rame banget sih?"
Nina dan Meri memiliki sifat yang berbeda. Nina lembut sedangkan Meri agak meledak-ledak seperti suamiku. Dia berani melawan kakaknya sehingga jika mereka berdebat bisa dipastikan durasinya lama.
Oee … oee … oee ....
Lengkap sudah keriuhan rumah ini, bayiku tidak bisa tidur nyenyak. Kuangkat bayiku kucek popoknya ternyata penuh. Segera mengambil satu diaper baru. Mengganti popoknya lalu kuberi ASI.
Kubiarkan adik kakak yang sedang adu mulut itu biar mereka puas menumpahkan sampah di dada mereka. Kunikmati waktuku bersama bayi mungil nan menggemaskan di gendonganku ini. Aku khawatir sewaktu-waktu aku terpaksa jauh darinya. Tak bisa melihat wajah bayiku lagi.
Malam harinya ....
"Esih, coba dengar kataku."
Darahku kembali berdesir, mulai lagi mas Bagas. Ia pasti akan menyuruhku untuk berangkat menjadi TKW ke Arab Saudi.
"Kamu dengar 'kan apa kata Meri tadi sore, dia bilang ini rumah ayahnya. Itu artinya sewaktu-waktu mereka bisa mengusir kita, mau kemana kita kalau diusir dari sini?"
"Kerumah orang tuaku, Mas!" jawabku cepat. Aku masih punya orang tua yang pasti mau menampungku jika terusir dari rumah ini.
"Tidak mungkin sih, orang tuamu tidak menyukaiku."
"Itu karena sikapmu sendiri, Mas."
"Itu karena aku miskin, Sih!" Kenapa suamiku menyalahkan keadaan tanpa dia sendiri mau berubah. Ia hidup dengan santai dalam kemiskinan ini dan menuntutku untuk bekerja. Dasar otak udang!
"Mas aku mohon lihatlah bayi kita ini Mas, apa Mas tega memisahkan kami, Mas?" Isakku air mata kembali berlinangan. Tak sanggup membayangkan jika harus jauh dari bayiku.
"Bukan tega ga tega Sih, tapi ini demi masa depan dia, demi masa depan kita!"
Suara Mas Bagas mulai meninggi. Urat-urat halus di wajahnya tergambar nyata. Betapa dia berkata menggunakan emosi bukan logika atau hati.
"Mas, bisa ke Jakarta lagi, bisa narik bajaj lagi, aku disini bisa buka warung kecil-kecilan akan kupinjam modal dari orang tuaku."
Plaaakkkk.
Suara tamparan terdengar sangat keras. Lagi, pipiku ditamparnya, perih sekali tapi hatiku jauh lebih perih. Ingin rasanya kubalas menamparnya tetapi apalah dayaku. Hanya seorang wanita lemah yang secara kekuatan fisik kalah jauh darinya.
Kubenamkan wajahku di bantal untuk meredam tangisku, meski sangat ingin aku meraung-raung menumpahkan tangis agar dadaku sedikit lega. Rasanya sesak, sangat sesak. Hari belum berganti sudah dua tamparan kuterima.
"Kamu mau aku merendahkan diri di depan keluargamu, haaah? Aku tidak Sudi!"
"Tapi kenapa kamu Sudi meminta dariku mas?"
"Kamu itu istriku Sih, milikmu milikku. Milikku milikmu, kita harus berjuang bersama untuk masa depan kita!"bentak nya.
Suaranya menggelegar bak genderang mau perang.Tangisku makin pecah tapi dia tidak perduli.
Hari-hari kami lalui dengan saling bertengkar, adu mulut seperti ini. Aku lelah, ingin rasanya pergi sejauh-jauhnya dari suamiku ini. Namun, bagaimana dengan anakku?
Aku merenung. Memikirkan lagi semua kata-kata Mas Bagas, "Baik Mas, aku mau pergi ke Saudi. Namun, nanti ya, tunggu Saheer genap setahun."
"Kalau umur segitu susah ditinggal, lebih baik sekarang dia belum paham apa-apa."
"Tapi aku ingin melihatnya bisa jalan dulu, Mas."
"Sudahlah Esih, aku malas debat denganmu."
Braaakkk!
Pintu kamar dibanting dengan keras, untung Saheer tidak terbangun.
Kudengar suara mesin motor dipanasi rupanya dia mau pergi. Syukurlah, setidaknya aku bisa bernapas lega. Sedari tadi napasku sesak.
Kubangkit dari ranjang. Mengambil minuman di meja kamar, kuteguk cairan bening di dalamnya hingga tandas.
Bersambung.
Setelah mas Bagas pergi, kucoba untuk pejamkan mata. Jam dinding di atas nakas menunjukkan pukul 21: 30. Kurapalkan doa tidur lalu kutatap wajah putraku yang tengah lelap. Kuusap lembut kepalanya, kucium pipi gembulnya berkali-kali, tapi dia tidak terganggu sedikit pun oleh ulahku. Napasnya teratur menandakan dia sangat lelap.Sayang, apakah kita akan berpisah? Sanggupkah aku jauh darimu? Bagaimana kau menjalani kehidupan yang baru kau mulai ini tanpa ibu sayang?! Airmataku meluncur begitu saja, tadi niatku akan tidur, tapi pikiranku malah berkelana tanpa arah, kucoba kendalikan pikiranku."Heiii pikiranku! Ayo kita istirahat dulu, kembalilah ke tempatmu!"Aaahhhh ... dia sudah liar keman-mana, bahkan sudah bertamasya di suatu masa yang telah berlalu, masa dimana aku hamil .#Flash back ON.Sore itu mas Bagas baru pulang dari
DIPAKSA JADI TKWROMANSA CINTA PANGERAN ARAB DAN TKWpart.4 #Perpisahan_TibaArman semakin mendekat, jarak kami hanya beberapa inci, degup jantungku makin bergolak, dia memegang tanganku. Refleks coba melepaskan tanganku dari tangannya, tapi sia- sia. Genggaman tangannya begitu kuat."Arman, lepasin ...!" protesku sambil berontak"Kamu kenapa, rilex saja tak perlu tegang begini, Esih.""Lepasin! Kamu jangan macam-macam, Arman!""Macam-macam apa? Kamu jangan berpikir aneh-aneh Esihku yang manis, aku cuma mau bicara.""Tapi ga perlu pegang tanganku gini, sakit!" gerutuku dengan muka masam."Iya, iya, maaf. Aku ga bermaksud menyakitimu." Arman melepas tanganku."Yaudah, ngomong aja." Kupasang wajah cemberut."Esih ... aku ingin kamu tinggalkan Bag
Selama dua Minggu, aku menjalani pendidikan di PJTKI.Tak banyak yang kupelajari, hanya sekedar perkenalan diri dan nama perabotan dalam rumah, yang mampu saya hafal dalam bahasa Arab.Kata temanku, "Nanti, kalau sudah minum air sana juga lancar sendiri."Dan hari itu tinggal menunggu esok pagi, untukku(aku) dan beberapa teman setujuan untuk terbang ke Saudi. Mereka yang sudah ex terlihat santai, sedang yang non sepertiku terlihat gugup. ******Pagi itu, 29 September2007. Kami yang di jadwalkan terbang di suruh berkumpul di aula untuk pembekalan akhir. Kami berkumpul, rupanya akan ada pengajian atau ceramah, sebab di situ nampak seorang wanita berpakaian syar'i sepertinya seorang Ustadzah. Dia duduk dengan sebuah mix tergeletak di depannya. Kami berkumpul dengan khidmad."Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ustadzah itu mengucap salam.
Mobil pun menuju pondok dekat kandang unta. Di sana, ada mobil tangki air dan ada seekor keledai terikat sambil asyik mengunyah rumput. Tiba kami di depan pondok. Kami turun sambil menurunkan beberapa barang tapi tidak semua. Di pondok ada seorang pria seperti orang India, rupanya dia yang menjaga pondok sebelah sini, karena pondok satu nya juga dijaga seorang pria, yang tadi sedang memotong rumput dengan mobil khusus pemotong rumput.Pria itu menatapku. Aku jadi takut, karena kulitnya gosong terbakar matahari dan matanya merah."Assalamualaikum," ucap pria itu."Wa … waa ... waalaikumussalam," jawabku terbata."Ekheemmm!" Majikan pria berdehem"Ya Abdulgahir, hia min Indunisiy, alyoum jik. (Hai Abdulgahir, dia dari Indonesia, hari ini baru tiba)," tutur majikanku.Iya"Salam," kata pria yang
Setahun berlalu, tinggal bersama keluarga Baba Saleh dan Mama Salha memberikan warna tersendiri dalam hidupku. Mereka menganggapku seperti keluarga sendiri, dan anak-anak mereka juga sangat dekat denganku. Apalagi aku sudah lancar bahasa Arab, jadi mudah berkomunikasi dengan seluruh keluarga majikan.Awal aku datang ada MTab, Fahad, Abir, Demah, Wujdan, dan satu lagi masih dalam kandungan mama Salha. Kini, dia sudah berusia sembilan bulan, namanya Sultana. Tentu saja, Sultana akan segera punya adik. Ya, Mama Salha hamil lagi. Usia kandungan anak ketujuh itu sudah empat atau lima bulan. Terbayang betapa repotnya aku kerja sendiri mengurus keperluan mereka. Namun, Alhamdulillah karena mereka baik dan gaji lancar serta kebutuhanku semua mereka penuhi, jadi aku tak mengapa walau harus capek kerja.Yang justru membebani pikiranku tak lain dan tak bukan adalah suamiku Mas Bagas! Tiap bulan selalu minta dikirim uang, untuk Sahee
Pagi hari yang dingin bahkan serasa membeku, suhu minus 7°. Usai sholat subuh enaknya mah tidur lagi, tapi tidak baik tidur selepas subuh karena rezeki akan menjauh.Kusiapkan sarapan untuk kami semua dengan menu 'kubs' sejenis roti, dengan teman-teman nya yakni zaitun, mentega, keju, selai strawberry, dan minyak zaitun sebagai cocolan dan toping. Kubuat juga susu, teh dan gahwa. Yakni kopi yang di panggangan tidak sampai hitam, hanya kuning kecoklatan, kemudian digiling kasar dan diseduh dengan tambahan sejumput kapulaga, samasekali tidak memakai gula. Usai membuat sarapan, aku meletakkannya di ruang keluarga. Sambil menunggu mereka bangun, aku mempersiapkan barang-barang yang akan kami bawa ke Nabq dan keperluan untuk di mazra'ah /sawah. Kudengar mereka sudah bangun dan membersihkan diri, sementara duo bocil tahu-tahu memegangi rokku. "Ahla biikkumm, sobahal khair ya h
Suara adzan subuh berkumandang bersahutan dari berbagai mushola dan masjid di lingkungan rumah jaddah. Aku pun membuka mata malas, mataku masih ngantuk, rasanya baru sebentar tidur. Dengan setengah sadar ku bangkit dari gumulan selimut tebalku. Pelan-pelan menuju kamar mandi untuk gosok gigi, lalu berwudhu dengan air hangat yang mengucur dari keran merah dan biru menyatu sempurna. Aku pun sholat di ruang tv, seperti semua perempuan di rumah ini sholat. Sedang para lelaki, mereka sholat di masjid. Usai sholat kulakukan aktivitas pagi seperti di rumah majikanku di Tabarjal. Cuaca di Nabq jauh lebih dingin dari Tabarjal, mungkin karena letaknya dekat dengan gurun pasir dan bebatuan yang menyerupai gunung , dalam bahasa Arabnya yakni Jabal. Aku sudah mengenakan baju tiga lapis di dalam dan satu baju tebal di luar serta syial di leher. Tak ketinggalan kaos kaki tebal melengkapi atribut musim dinginku agar tubuh ini terasa hanagat. Namun, masih saja terasa din
Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa sudah hampir habis kontrak kerjaku di rumah Baba Saleh dan mama Salha. Aku senang karena akan segera pulang dan bertemu putraku yang lama kurindukan.Dia pasti sudah besar usianya 2, 5 th saat aku pulang nanti . Aku tak sabar ingin segera memeluk nya.Tapi disisi lain aku juga berat meninggalkan keluarga ini, mereka sangat baik padaku. Anak-anak juga akrab dengan ku, meski mereka kadang nakal dan membuat ku repot, tapi aku bahagia bersama mereka. Kami sudah menjadi keluarga selama dua tahun ini, sungguh berat rasanya berpisah dengan mereka. Namun, aku tetap harus pulang untuk mengurus perceraianku dengan mas Bagas. Aku yakin Mas Bagas sudah mengurus nya, jadi saat aku pulang, aku hanya tinggal ambil akta cerai di pengadilan agama dan tanda tangan saja. Aku tidak menyangka pernikahanku dengan Mas Bagas berakhir seperti ini.Aku bersyu
Kuhentakan kaki dengan kesal, kulihat Hamid masih menertawakanku. "Apaan begitu? Ktaanya i love you, lihat aku kesasar bukanya ditunjukkan jalan yang benar,malah di ketawain, dasar borokok!" rutukku sambil jalan ke pos alias dapur kilat Akhirnya sampai juga aku di pos, sudah ada Badriah lagi bersama Yani dan Yanti. Niat hati ingin curhat ke Yani dan Yanti tentang kejadian sama Hamid tadi, tapi kuurungkan karena ada Badriah. "Assalamualaikum ... ." sapaku kepada mereka bertiga. "Waalaikumussalam ... ." jawab mereka serempak. "MTab, udah kesini, Yan?" Tanyaku pada Yanti. "Udah, nampannya juga di bawa." jawab Yanti. "Kenapa wajahmu kelihatan kesal gitu, Sih?" Yani bertanya. Emang paling peka teman yang satu ini. "Aku nyasar, mau balik sini malah ke kandang unta!" gerutuku kesal sendiri mengingat Hamid menertawakanku. Sontak mereka bertiga tertawa "Kok, bisa nyasar, kamu kan udah biasa di sini?" tanya Yani lagi. "Aku ga perhatiin jalan." jawabku "Makanya non, j
Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa sudah hampir habis kontrak kerjaku di rumah Baba Saleh dan mama Salha. Aku senang karena akan segera pulang dan bertemu putraku yang lama kurindukan.Dia pasti sudah besar usianya 2, 5 th saat aku pulang nanti . Aku tak sabar ingin segera memeluk nya.Tapi disisi lain aku juga berat meninggalkan keluarga ini, mereka sangat baik padaku. Anak-anak juga akrab dengan ku, meski mereka kadang nakal dan membuat ku repot, tapi aku bahagia bersama mereka. Kami sudah menjadi keluarga selama dua tahun ini, sungguh berat rasanya berpisah dengan mereka. Namun, aku tetap harus pulang untuk mengurus perceraianku dengan mas Bagas. Aku yakin Mas Bagas sudah mengurus nya, jadi saat aku pulang, aku hanya tinggal ambil akta cerai di pengadilan agama dan tanda tangan saja. Aku tidak menyangka pernikahanku dengan Mas Bagas berakhir seperti ini.Aku bersyu
Suara adzan subuh berkumandang bersahutan dari berbagai mushola dan masjid di lingkungan rumah jaddah. Aku pun membuka mata malas, mataku masih ngantuk, rasanya baru sebentar tidur. Dengan setengah sadar ku bangkit dari gumulan selimut tebalku. Pelan-pelan menuju kamar mandi untuk gosok gigi, lalu berwudhu dengan air hangat yang mengucur dari keran merah dan biru menyatu sempurna. Aku pun sholat di ruang tv, seperti semua perempuan di rumah ini sholat. Sedang para lelaki, mereka sholat di masjid. Usai sholat kulakukan aktivitas pagi seperti di rumah majikanku di Tabarjal. Cuaca di Nabq jauh lebih dingin dari Tabarjal, mungkin karena letaknya dekat dengan gurun pasir dan bebatuan yang menyerupai gunung , dalam bahasa Arabnya yakni Jabal. Aku sudah mengenakan baju tiga lapis di dalam dan satu baju tebal di luar serta syial di leher. Tak ketinggalan kaos kaki tebal melengkapi atribut musim dinginku agar tubuh ini terasa hanagat. Namun, masih saja terasa din
Pagi hari yang dingin bahkan serasa membeku, suhu minus 7°. Usai sholat subuh enaknya mah tidur lagi, tapi tidak baik tidur selepas subuh karena rezeki akan menjauh.Kusiapkan sarapan untuk kami semua dengan menu 'kubs' sejenis roti, dengan teman-teman nya yakni zaitun, mentega, keju, selai strawberry, dan minyak zaitun sebagai cocolan dan toping. Kubuat juga susu, teh dan gahwa. Yakni kopi yang di panggangan tidak sampai hitam, hanya kuning kecoklatan, kemudian digiling kasar dan diseduh dengan tambahan sejumput kapulaga, samasekali tidak memakai gula. Usai membuat sarapan, aku meletakkannya di ruang keluarga. Sambil menunggu mereka bangun, aku mempersiapkan barang-barang yang akan kami bawa ke Nabq dan keperluan untuk di mazra'ah /sawah. Kudengar mereka sudah bangun dan membersihkan diri, sementara duo bocil tahu-tahu memegangi rokku. "Ahla biikkumm, sobahal khair ya h
Setahun berlalu, tinggal bersama keluarga Baba Saleh dan Mama Salha memberikan warna tersendiri dalam hidupku. Mereka menganggapku seperti keluarga sendiri, dan anak-anak mereka juga sangat dekat denganku. Apalagi aku sudah lancar bahasa Arab, jadi mudah berkomunikasi dengan seluruh keluarga majikan.Awal aku datang ada MTab, Fahad, Abir, Demah, Wujdan, dan satu lagi masih dalam kandungan mama Salha. Kini, dia sudah berusia sembilan bulan, namanya Sultana. Tentu saja, Sultana akan segera punya adik. Ya, Mama Salha hamil lagi. Usia kandungan anak ketujuh itu sudah empat atau lima bulan. Terbayang betapa repotnya aku kerja sendiri mengurus keperluan mereka. Namun, Alhamdulillah karena mereka baik dan gaji lancar serta kebutuhanku semua mereka penuhi, jadi aku tak mengapa walau harus capek kerja.Yang justru membebani pikiranku tak lain dan tak bukan adalah suamiku Mas Bagas! Tiap bulan selalu minta dikirim uang, untuk Sahee
Mobil pun menuju pondok dekat kandang unta. Di sana, ada mobil tangki air dan ada seekor keledai terikat sambil asyik mengunyah rumput. Tiba kami di depan pondok. Kami turun sambil menurunkan beberapa barang tapi tidak semua. Di pondok ada seorang pria seperti orang India, rupanya dia yang menjaga pondok sebelah sini, karena pondok satu nya juga dijaga seorang pria, yang tadi sedang memotong rumput dengan mobil khusus pemotong rumput.Pria itu menatapku. Aku jadi takut, karena kulitnya gosong terbakar matahari dan matanya merah."Assalamualaikum," ucap pria itu."Wa … waa ... waalaikumussalam," jawabku terbata."Ekheemmm!" Majikan pria berdehem"Ya Abdulgahir, hia min Indunisiy, alyoum jik. (Hai Abdulgahir, dia dari Indonesia, hari ini baru tiba)," tutur majikanku.Iya"Salam," kata pria yang
Selama dua Minggu, aku menjalani pendidikan di PJTKI.Tak banyak yang kupelajari, hanya sekedar perkenalan diri dan nama perabotan dalam rumah, yang mampu saya hafal dalam bahasa Arab.Kata temanku, "Nanti, kalau sudah minum air sana juga lancar sendiri."Dan hari itu tinggal menunggu esok pagi, untukku(aku) dan beberapa teman setujuan untuk terbang ke Saudi. Mereka yang sudah ex terlihat santai, sedang yang non sepertiku terlihat gugup. ******Pagi itu, 29 September2007. Kami yang di jadwalkan terbang di suruh berkumpul di aula untuk pembekalan akhir. Kami berkumpul, rupanya akan ada pengajian atau ceramah, sebab di situ nampak seorang wanita berpakaian syar'i sepertinya seorang Ustadzah. Dia duduk dengan sebuah mix tergeletak di depannya. Kami berkumpul dengan khidmad."Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ustadzah itu mengucap salam.
DIPAKSA JADI TKWROMANSA CINTA PANGERAN ARAB DAN TKWpart.4 #Perpisahan_TibaArman semakin mendekat, jarak kami hanya beberapa inci, degup jantungku makin bergolak, dia memegang tanganku. Refleks coba melepaskan tanganku dari tangannya, tapi sia- sia. Genggaman tangannya begitu kuat."Arman, lepasin ...!" protesku sambil berontak"Kamu kenapa, rilex saja tak perlu tegang begini, Esih.""Lepasin! Kamu jangan macam-macam, Arman!""Macam-macam apa? Kamu jangan berpikir aneh-aneh Esihku yang manis, aku cuma mau bicara.""Tapi ga perlu pegang tanganku gini, sakit!" gerutuku dengan muka masam."Iya, iya, maaf. Aku ga bermaksud menyakitimu." Arman melepas tanganku."Yaudah, ngomong aja." Kupasang wajah cemberut."Esih ... aku ingin kamu tinggalkan Bag
Setelah mas Bagas pergi, kucoba untuk pejamkan mata. Jam dinding di atas nakas menunjukkan pukul 21: 30. Kurapalkan doa tidur lalu kutatap wajah putraku yang tengah lelap. Kuusap lembut kepalanya, kucium pipi gembulnya berkali-kali, tapi dia tidak terganggu sedikit pun oleh ulahku. Napasnya teratur menandakan dia sangat lelap.Sayang, apakah kita akan berpisah? Sanggupkah aku jauh darimu? Bagaimana kau menjalani kehidupan yang baru kau mulai ini tanpa ibu sayang?! Airmataku meluncur begitu saja, tadi niatku akan tidur, tapi pikiranku malah berkelana tanpa arah, kucoba kendalikan pikiranku."Heiii pikiranku! Ayo kita istirahat dulu, kembalilah ke tempatmu!"Aaahhhh ... dia sudah liar keman-mana, bahkan sudah bertamasya di suatu masa yang telah berlalu, masa dimana aku hamil .#Flash back ON.Sore itu mas Bagas baru pulang dari