Dibilang malu, jelas malu banget! Hania sedang tak berkutik di depan Kenan yang sekarang sedang tidur di pangkuannya.Masih sesi pemotretan di kapal pesiar tentu. Hanya beda pose saja.Banyak alasan kenapa Hania mendadak jadi batu begini. Pertama, karena kecupan dadakan di kening itu. Efeknya benar-benar di luar dugaan! Jantung Hania berdegup sangat kencang.Kedua, karena Kenan ternyata tahu Maya sudah menipunya kemarin!“Pak–” Ragu-ragu Hania membuka suara.“Bu Hania, tolong elus rambut Pak Kenan!” Teriakan Raiden menjeda keraguan Hania.Tangan perempuan itu secara perlahan mulai mengelus puncak kepala Kenan, sesuai instruksi Raiden menurut perasaan Hania. Semoga saja fotografer cerewet itu tidak mengomel atau memberikan instruksi lebih dari ini!“Tadi mau ngomong apa?” tanya Kenan tiba-tiba.“Oh? Enggak!” Hania mendadak gagap. “Gak ada apa-apa kok.”“Kalau kamu sudah menemukan cara membalaskan dendam karena penipuan saudara tirimu itu, langsung katakan saja.”“Euh … itu ….”“Minima
“Waaahhh!!! Semua ini beneran punya gueee???”Hania tak bisa menahan rasa takjub melihat rentetan baju, tas, sepatu, sampai perhiasan yang tersusun rapi di salah satu ruangan di dalam kamarnya. Kamarnya dengan Kenan lebih tepatnya.Ada satu ruangan yang kata Kenan adalah tempat semua keperluan Hania. Hania pikir tadinya itu hanyalah tempat yang disediakan Kenan agar dirinya bisa leluasa berdandan tanpa sungkan.Hal yang lebih membuat Hania semakin takjub lagi, ketika ia iseng memakai pakaian di sana, ukurannya begitu pas. Satu hal pasti, semua pakaian di sana cocok untuk dirinya yang berhijab alias tertutup semua!“Pak Kenan beliin ini semua buat gue??? Aaarrrggghhh!!! Baju baru semuaaa!!!”Hania juga tak sungkan mencoba beberapa perhiasan yang ada di sana. Iseng-iseng mencobanya, memadukannya dengan pakaian, tas, dan lainnya. Bak seorang model yang tengah bersiap melakukan pemotretan.Tak lupa, Hania juga mengabadikan dirinya dalam beberapa foto lewat ponsel baru yang ia dapatkan da
“Elo yang egois, Nia!” serbu Ratna. Ia bahkan sampai menggebrak meja hingga kopi di gelas yang ada di meja tumpah beberapa bagian. “Otak lo beneran udah di cuci sama si Alif! Lo masih bucin banget sama dia? Gila! Gue beneran gak habis pikir!”“Apaan sih? Ini gak ada hubungannya. Gue udah lupain dia! Gue benci sama dia! Tapi, gue gak mungkin gak peduli sama anak yang dikandung Maya sekarang. Sebenci-bencinya gue sama orang, gue tahu kalau sampai benci sama anak mereka yang gak berdosa itu salah.”“Itu urusan mereka, Nia! Ngapain lo jadi ikut sibuk mikirin masa depan tuh jabang bayi yang gak tahu bakal beneran lahir ke dunia ini atau enggak?!”“Hush! Hati-hati kalau ngomong! Kok elo gitu sih?”“Aaarrrggghhh!!! Gedeg gue denger omongan sama tindakan lo yang gak sejalan, Nia. Lo tuh munafik! Akui aja deh. Lo masih cinta kan sama si Alif? Ngaku! Lo masih sayang sama dia. Dan lo gak pernah bisa benci ke dia meskipun lo bilang benci.”“Enak aja! Gue benci banget sama si Alif! Dia udah selin
“Jadi, ini keputusan kamu?” serbu Putri sesaat setelah Hania menyajikan segelas kopi di depannya. “Menikahi babumu ini?” sambungnya sambil melirik Hania sinis.Jika tidak ingat tentang pernikahannya dengan Kenan hanyalah kontrak, mungkin Hania akan langsung melayangkan nampan di tangan ke wajah Putri. Tapi, tidak! Hania tak mau nyari ribut apalagi dengan anak seorang Menteri seperti Putri.Sama saja seperti menggali kuburan sendiri!Jangan sampai Hania rugi dua kali. Sudah harus menikah dengan Kenan secara kontrak, ia juga harus tersandung masalah dengan seorang Putri?Enggak deh! Lebih baik Hania bersabar saja sebentar. Ia sudah pernah bertemu dengan perempuan ini sebelum menikahi Putri. Sedikitnya ia tahu karakter perempuan yang ada di hadapannya ini seperti apa.“Ada keperluan apa?” tanya Kenan yang dengan cepat menarik tangan Hania saat melihat perempuan itu berbalik badan. “Bukankah urusan kita sudah selesai?” sambungnya sambil memaksa Hania duduk di sampingnya. Ia juga mengambil
“Aaarrrggghhh!!! Sialan!”Hania terpaku menatap meja di depannya pecah berkeping-keping setelah Kenan membenturkan gelas yang ada di tangannya ke atas meja transparan itu. Ada cairan merah terang menetes dari sela-sela tangan laki-laki itu. Wajah Hania mengernyit ngeri.“Kalau bukan karena hubungan dekat di antara keluarga kami, saya sudah mencekiknya tadi sampai dia mati, Nia! Demi Tuhan! Saya bersumpah! Berani sekali dia menghina kamu di depan saya. Perempuan kurang ajar!”Hania membuang napas singkat sebelum bangkit dari duduknya. Dia berlari ke arah meja kerja Kenan, menarik laci di sana, mengeluarkan sebuah kotak putih dari sana. Ia kembali menghampiri Kenan, menarik pelan tangan Kenan yang berdarah tadi. Perlahan Hania membuka jari jemari Kenan. Membuang beberapa pecahan gelas yang berhasil ia temukan selagi Kenan terdengar mengatur nafasnya yang tak beraturan.“Gak usah berlebihan, Pak. Pak Kenan tahu sendiri kan kalau Putri emang cara ngomongnya kayak gitu? Awal pertama ketem
“Kenapa dia ada di sini?” sengit Kenan sambil melirik Putri yang tengah duduk di salah satu kursi dekat dengan Pak Rahwana, menyantap hidangan di depannya dengan begitu lahap. Perempuan itu sempat melambaikan tangan ketika dirinya dan Hania datang.Kenan memandang sekitar mencari seseorang yang seharusnya berada di sini juga.“Papah yang mengundangnya. Duduk!” Pak Rahwana menyela dengan tidak menoleh sedikitpun pada Kenan apalagi Hania.“Kami sudah makan.” Jawab Kenan singkat. “Ada perlu apa Papah memanggil kami kemari?”“Duduk!” tegas Pak Rahwana.“Kenan!” Seruan itu mengalihkan seluruh perhatian orang yang ada di sana. Tak terkecuali Putri.Bu Sinta tampak tengah bersusah payah menghampiri mereka di sana dengan kursi rodanya. Melihat itu Kenan cepat-cepat menghampiri sambil menarik Hania.“Mah! Mamah gak kenapa-kenapa, kan?” serbu Kenan. Raut wajahnya begitu khawatir.Permintaan Pak Rahwana yang tak bisa Kenan tolak untuk datang ke tempat ini adalah karena ibunya. “Sinta! Ajak ana
“Aku benar-benar menyukai, Hania.”Kalimat itu terus menggaung di kepala Hania sepanjang Kenan menariknya keluar dari kediaman rumah orang tuanya. Begitu mengganggu. Berulang kali ia coba mengenyahkan kalimat itu agar tak selalu berputar di kepalanya bak tayangan film tapi selalu gagal.Sampai tiba-tiba Kenan menghentikan langkahnya tepat di depan mobil. Ia berbalik badan. Tatapan laki-laki itu membuat sekujur tubuh Hania langsung mendingin.“Kamu tidak perlu memikirkan perkataan Paph tadi. Anggap saja itu hanya bualan.” Kenan tak ingin Hania merasa terusik oleh perkataan Pak Rahwana tadi yang sudah membongkar rahasia dibalik pernikahan mereka yang berusaha Kenan tutup-tutupi. Semoga saja ini bukan pertanda buruk akan semua rencananya.“Termasuk kata-kata Mas–,” Hania berusaha membiasakan diri mengubah cara memanggil Kenan meski situasinya dirasa tidak tepat, “kata-kata Mas Kenan tadi maksudnya. Yang … yah … yang tadi. Saya juga akan menganggapnya bualan.”Kenan menarik napas dalam t
“Mau makan siang dimana kita, Nia?” tanya Kenan sesaat setelah ia keluar dari sebuah ruangan, diekori Hania ia semua bawahannya.“Saya tidak bisa makan siang dengan Pak Kenan karena sudah ada janji penting.”“Oh, yah? Saya tidak merasa memiliki janji penting dengan siapapun.”“Ini bukan soal Pak Kenan yang punya janji, tapi saya sendiri.”Kenan langsung menghentikan langkahnya yang spontan diikuti orang-orang di belakangnya terkecuali Hania. Istrinya itu malah melewatinya begitu saja sambil memainkan ponsel.“Kamu mau membiarkan suami kamu makan siang sendirian, sayang?!” Teriakan Kenan yang bukan hanya menghentikan langkah Hania, tapi membuat bawahannya yang ada di belakangnya membelalakkan mata terkejut. Termasuk Bima yang juga ada di sana.Hania membalikkan badan sambil melemparkan tatapan tajam ke arah Kenan. Ingin mengeluarkan isi kepalanya, tapi ia urungkan setelah menangkap tatapan aneh orang-orang yang ada di belakang Kenan. “Maaf, Pak Kenan. Permisi.” Hania akhirnya hanya m
Tahu begini, Hania tak perlu menerima tawaran Kenan.Cara pria itu memegang pisau saat memotong wortel mirip seperti bocah kecil yang baru pertama kali menyentuh alat-alat dapur. Teledor, ceroboh, dan menimbulkan kecemasan bagi siapa saja yang melihatnya. Belum lagi, potongan wortel itu melebihi ukuran yang Hania inginkan. “Mas, wortelnya potong dadu. Bukannya segede jempol orang dewasa. Susah mateng dan gak bisa ditelan sekaligus nantinya.” Keluh Hania. Kali saja Kenan mendengar usulannya ini dan segera memperbaiki kesalahannya karena ia benar-benar merasa gemas sekali ingin mengusir Kenan dari sini.“Yang penting kepotong, kan? Ada kok masakan yang pake wortel utuh tanpa dipotong.” Balas Kenan tampak tak terima. Ia sedikit pun tidak menoleh pada Hania yang sedang menatapnya tajam. Tetap fokus memotong sisa wortel yang ada.“Tapi, ukurannya gak sesuai masakan yang mau aku buat, Mas.”“Buat masakan sesuai ukuran yang Mas buat aja kalau gitu.”Hania memijit pelipis. Kepalanya menda
“Kertas apa itu yang ada di tangan kamu?”Alif menelan salivanya dalam-dalam sambil meremas ujung-ujung kertas yang sangat ingin ia lenyapkan detik ini juga.“Ah! Ini–” Alif memutar otaknya untuk mencari jawaban. Ia tak ingin Maya melihat apa yang dilihatnya saat ini. “Aku butuh untuk mencatat sesuatu. Tadi ada beberapa kertas berserakan di lantai. Kupikir ini kertas yang tak Hania akan pakai. Isinya juga,” Alif mengacungkan sekilas kertas itu, “sudah aku baca dan bukan hal penting. Kamu tidur lagi saja, May.”Terburu-buru Alif keluar dari kamar. Lega karena Maya tak sampai melihat secara langsung isi kertas yang sekarang ada di tangannya.Tak mau melakukan keteledoran yang sama, Alif segera melipat beberapa lembar kertas itu dan menyembunyikannya di saku lagi. Ia terduduk di sofa sambil mengingat-ingat isi kertas yang berhasil ia baca sebagian.“Pernikahan kontrak? Apa mungkin Hania dan Pak Kenan menikah kontrak?” gumam hatinya.Berulang kali ia mencoba tak mempercayai isi kertas itu
“Kamu belum jawab pertanyaan Mas, Maya. Bagaimana bisa kamu tahu kalau Hania tinggal di sini?” tanya Alif sesaat setelah Hania pergi. Ia masih berdiri, enggan beranjak menuju sofa seperti apa yang Maya sedang lakukan sekarang.“Aku ini perempuan cerdas,” katanya sambil menjatuhkan dirinya di sofa perlahan, “jadi bukan hal sulit untuk menemukan dimana Hania tinggal selama ini. Yah … meskipun ini bukan sebuah kebetulan. Bersyukur banget dia dipanggil ke pengadilan. Jadinya, aku tahu harus memata-matai dia dari mana.”“Kamu memata-matai Hania?”“Ya ampun, Mas. Gak usah kaget gitu! Zaman sekarang ini bukan hal sulit kok buat mata-matai orang tanpa harus kita ikut capek ngikutin. Pake aja jasa ojol. Banyak tuh orang-orang pake jasa mereka buat mata-matai pacarnya yang selingkuh juga loh! Jadinya, siapapun gak bakalan ada yang curiga lagi diikutin karena emang kerjaan ojol mondar-mandir.”Entah harus bangga atau tidak akan apa yang dilakukan Maya. Tapi, Alif benar-benar bersyukur dapat mene
“Nia! Kamu mau ke mana?” tanya Maya yang tampak kaget ketika melihat Hania keluar dari sebuah kamar sambil menyeret koper.Hania menatap Maya dan Alif yang sedang duduk di sofa bergantian. “Menginaplah di sini kalau memang itu kemauan kalian.”Saat Hania mengiyakan keinginan Maya, bukan berarti ia tak memikirkan rencana lain. Mau bagaimana pun, akan terasa tak nyaman sekali jika harus menghabiskan malam bersama mantan sekaligus adik iparnya. Apa Maya tidak berpikir ke arah sana?Hah! Pasti tidak. Perempuan itu pasti hanya memikirkan kesenangan pribadinya saja. Tanpa memperdulikan kebaikan atau keburukan macam apa yang akan orang sekitarnya terima dari semua ulahnya.Alif juga tak kalah menyebalkannya. Ingin sekali Hania mengumpati pria yang berubah tak berdaya itu. Tapi, tidak! Hania tak mau membuang waktu hanya untuk melakukan hal tak penting. “Kamu mau biarin tamu kamu di sini? Gak sopan banget yah kamu, Mbak!” serbu Maya yang tampak tak terima. “Kalau emang kamu gak mau kita ngin
Kenan dan Hania berjalan beriringan di depan gedung hitam-putih itu. Mengekori Bu Sinta yang duduk di kursi rodanya, didorong oleh seseorang. Tampak para wartawan di tahan beberapa keamanan yang berusaha mendekati mereka. Beberapa ada yang tetap nekat mengarahkan kamera meski sudah dicegah.Mereka terburu-buru menuju keluar area gedung. Takut jika keamanan tak cukup melindungi mereka dari sorotan media. Kenan, Hania, dan Bu Sinta kini berada di mobil van yang sama. Menjauh dari para wartawan yang mulai mengejar mereka.Bu Sinta tampak menyemai senyum seperti ada sesuatu yang lucu baru saja terjadi. Sikap tenangnya berbanding terbalik dengan keadaan sidang tadi yang berlangsung cukup panas. Hania saja sampai gemetaran hingga detik ini. Baru kali ini ia menjadi salah satu bagian penting dalam sebuah sidang yang berhasil mengguncang penjuru Negeri.“Kemungkinan besar, Papahmu tetap akan di penjara, Ken.” Bu Sinta tampak santai mengutarakan berita itu.Kenan membalaskan dengan anggukan ta
“Kenalkan. Ini Selia. Dia asisten pribadi, Mas. Dia yang bertugas menggantikanmu, Sayang.”“Asisten pribadi kamu?” Hania tanpa sengaja menaikkan nada bicaranya. Ia terlalu terkejut atas kata-kata Kenan barusan!Kenan memberi anggukan dengan seulas senyum lebar. Tampak tak terusik oleh perubahan nada bicara Hania, bahkan raut wajah tak bersahabatnya. Apa Kenan tak menyadari ketidaksukaannya ini?“Halo, Bu Hania. Perkenalkan, aku Selia.” Kata perempuan berambut sebahu itu dengan senyum ramah dari bibir tipisnya.Mata Hania memindari Selia dari ujung kaki hingga kepala. Pakaian serba tertutup dan polesan bedak serba tipis itu cukup membuatnya takjub akan kecantikan alami yang dimiliki Selia. Terlihat natural dan menarik perhatian.“Kamu membawanya?” tanya Kenan.“Ya, Pak. Ini!”Selia tampak menyerahkan beberapa tas belanja pada Kenan yang entah isinya apa. “Terima kasih. Kamu boleh pergi.”Selia berpamitan dan pergi setelah itu. Kedatangannya yang sangat singkat benar-benar seperti sebu
Sayup-sayup Hania mendengar suara Kenan. Ia mengucek matanya sambil menatap sekeliling kamar. Tak ada Kenan di sini. Itu berarti sekarang Kenan sedang berada di luar, tebak Hania.Dan benar saja. Laki-laki itu tengah berbicara melalui telepon sambil memandangi laptop di depannya. Tampak serius sekali entah bicara dengan siapa. Hania tak langsung menghampiri. Enggan mengusik Kenan yang tampak sedang sibuk dengan pekerjaannya. Bukannya Hania tak ingin membantu, hanya saja sejak ia tinggal di tempat ini, komunikasinya dengan Kenan tak lebih dari sekedar menanyakan kabar. Tak ada pembicaraan tentang pekerjaan di Prince Property sedikit pun. Hania benar-benar tidak tahu kesibukan macam apa yang tengah Kenan lakukan sekarang. Tak mau mengusik, Hania memilih berjalan ke area dapur. Sambil menunggu mesin kopi bekerja, ia membuat roti bakar dengan selai cokelat. Di tempat ini memang tak ada siapapun yang mengurus urusan rumah. Semua Hania lakukan sendiri. Dan Hania tak keberatan akan hal itu
Kenan ingin sekali berdiri, berlari, lalu mencekik leher Putri yang sekarang sedang duduk sambil menyandarkan kepalanya di kursi. Tersenyum lebar sekali meski suara-suara bising di luar sana lantang memaki namanya. Tapi sayang, kursi roda ini seperti menguncinya. Satu kakinya masih terluka parah. Jika Kenan nekat, hal lebih buruk bisa saja terjadi padanya.Pria itu tentu tak mau menanggung rugi berlipat.“Jika kamu ingin kerjasama ini berlanjut, lakukan sesuai perintahku!” tegas Kenan memberi peringatan.“Bukan. Bukan. Bukan begitu, Mas.” Putri mengacungkan jarinya ke udara. “Yang benar itu, Mas yang harus mengikuti perintahku atau … Mas mau–”“Mau apa?” Kenan tampak tak gentar. “Kamu mau melaporkan ayahku yang terlibat kasus pencucian uang dengan ayahmu? Begitu maksudmu?”Putri terkekeh dengan tatapan sinis. “Berani sekali kamu mengatakannya disini, Mas? Tidak takut dilaporkan orang-orang yang menyaksikannya disini?”“Tidak masalah. Cepat atau lambat, semua orang akan tahu masalah in
Kenan nyaris saja terguling dari ranjang ketika tiba-tiba Hania mendorongnya. Perempuan itu sendiri menjaga jarak darinya sekarang dengan wajah yang tampak kebingungan.“Ini bukan kali pertama untuk kita, kan?”Kenan harus pastikan jika Hania tak akan menghindar darinya lagi hanya karena perkara begini. Waktu itu Hania pergi dengan alasan ingin membeli makan yang justru ujungnya malah berduaan dengan Alif.Sekarang, Kenan tak bisa membiarkan perempuan itu menjaga jarak darinya sedikitpun. Apalagi sampai kabur dengan alasan apapun! Tak akan Kenan biarkan.“Jadi, kemarilah. Duduk disini dan kita bisa bicara dengan tenang.” Kenan menepuk area ranjang tepat di samping ia duduk sekarang. Satu tangan yang lain terulur pada Hania, berharap perempuan itu mau menerimanya karena Kenan sedang kesulitan menghampiri. Kakinya masih di perban!“Mas, a–aku ….” Hania tampak terengah-engah mengeluarkan suara.“Duduk, Nia!”Hania menatap Kenan dari kejauhan lekat-lekat sambil mengingat kembali alasan u