“Jadi, ini keputusan kamu?” serbu Putri sesaat setelah Hania menyajikan segelas kopi di depannya. “Menikahi babumu ini?” sambungnya sambil melirik Hania sinis.Jika tidak ingat tentang pernikahannya dengan Kenan hanyalah kontrak, mungkin Hania akan langsung melayangkan nampan di tangan ke wajah Putri. Tapi, tidak! Hania tak mau nyari ribut apalagi dengan anak seorang Menteri seperti Putri.Sama saja seperti menggali kuburan sendiri!Jangan sampai Hania rugi dua kali. Sudah harus menikah dengan Kenan secara kontrak, ia juga harus tersandung masalah dengan seorang Putri?Enggak deh! Lebih baik Hania bersabar saja sebentar. Ia sudah pernah bertemu dengan perempuan ini sebelum menikahi Putri. Sedikitnya ia tahu karakter perempuan yang ada di hadapannya ini seperti apa.“Ada keperluan apa?” tanya Kenan yang dengan cepat menarik tangan Hania saat melihat perempuan itu berbalik badan. “Bukankah urusan kita sudah selesai?” sambungnya sambil memaksa Hania duduk di sampingnya. Ia juga mengambil
“Aaarrrggghhh!!! Sialan!”Hania terpaku menatap meja di depannya pecah berkeping-keping setelah Kenan membenturkan gelas yang ada di tangannya ke atas meja transparan itu. Ada cairan merah terang menetes dari sela-sela tangan laki-laki itu. Wajah Hania mengernyit ngeri.“Kalau bukan karena hubungan dekat di antara keluarga kami, saya sudah mencekiknya tadi sampai dia mati, Nia! Demi Tuhan! Saya bersumpah! Berani sekali dia menghina kamu di depan saya. Perempuan kurang ajar!”Hania membuang napas singkat sebelum bangkit dari duduknya. Dia berlari ke arah meja kerja Kenan, menarik laci di sana, mengeluarkan sebuah kotak putih dari sana. Ia kembali menghampiri Kenan, menarik pelan tangan Kenan yang berdarah tadi. Perlahan Hania membuka jari jemari Kenan. Membuang beberapa pecahan gelas yang berhasil ia temukan selagi Kenan terdengar mengatur nafasnya yang tak beraturan.“Gak usah berlebihan, Pak. Pak Kenan tahu sendiri kan kalau Putri emang cara ngomongnya kayak gitu? Awal pertama ketem
“Kenapa dia ada di sini?” sengit Kenan sambil melirik Putri yang tengah duduk di salah satu kursi dekat dengan Pak Rahwana, menyantap hidangan di depannya dengan begitu lahap. Perempuan itu sempat melambaikan tangan ketika dirinya dan Hania datang.Kenan memandang sekitar mencari seseorang yang seharusnya berada di sini juga.“Papah yang mengundangnya. Duduk!” Pak Rahwana menyela dengan tidak menoleh sedikitpun pada Kenan apalagi Hania.“Kami sudah makan.” Jawab Kenan singkat. “Ada perlu apa Papah memanggil kami kemari?”“Duduk!” tegas Pak Rahwana.“Kenan!” Seruan itu mengalihkan seluruh perhatian orang yang ada di sana. Tak terkecuali Putri.Bu Sinta tampak tengah bersusah payah menghampiri mereka di sana dengan kursi rodanya. Melihat itu Kenan cepat-cepat menghampiri sambil menarik Hania.“Mah! Mamah gak kenapa-kenapa, kan?” serbu Kenan. Raut wajahnya begitu khawatir.Permintaan Pak Rahwana yang tak bisa Kenan tolak untuk datang ke tempat ini adalah karena ibunya. “Sinta! Ajak ana
“Aku benar-benar menyukai, Hania.”Kalimat itu terus menggaung di kepala Hania sepanjang Kenan menariknya keluar dari kediaman rumah orang tuanya. Begitu mengganggu. Berulang kali ia coba mengenyahkan kalimat itu agar tak selalu berputar di kepalanya bak tayangan film tapi selalu gagal.Sampai tiba-tiba Kenan menghentikan langkahnya tepat di depan mobil. Ia berbalik badan. Tatapan laki-laki itu membuat sekujur tubuh Hania langsung mendingin.“Kamu tidak perlu memikirkan perkataan Paph tadi. Anggap saja itu hanya bualan.” Kenan tak ingin Hania merasa terusik oleh perkataan Pak Rahwana tadi yang sudah membongkar rahasia dibalik pernikahan mereka yang berusaha Kenan tutup-tutupi. Semoga saja ini bukan pertanda buruk akan semua rencananya.“Termasuk kata-kata Mas–,” Hania berusaha membiasakan diri mengubah cara memanggil Kenan meski situasinya dirasa tidak tepat, “kata-kata Mas Kenan tadi maksudnya. Yang … yah … yang tadi. Saya juga akan menganggapnya bualan.”Kenan menarik napas dalam t
“Mau makan siang dimana kita, Nia?” tanya Kenan sesaat setelah ia keluar dari sebuah ruangan, diekori Hania ia semua bawahannya.“Saya tidak bisa makan siang dengan Pak Kenan karena sudah ada janji penting.”“Oh, yah? Saya tidak merasa memiliki janji penting dengan siapapun.”“Ini bukan soal Pak Kenan yang punya janji, tapi saya sendiri.”Kenan langsung menghentikan langkahnya yang spontan diikuti orang-orang di belakangnya terkecuali Hania. Istrinya itu malah melewatinya begitu saja sambil memainkan ponsel.“Kamu mau membiarkan suami kamu makan siang sendirian, sayang?!” Teriakan Kenan yang bukan hanya menghentikan langkah Hania, tapi membuat bawahannya yang ada di belakangnya membelalakkan mata terkejut. Termasuk Bima yang juga ada di sana.Hania membalikkan badan sambil melemparkan tatapan tajam ke arah Kenan. Ingin mengeluarkan isi kepalanya, tapi ia urungkan setelah menangkap tatapan aneh orang-orang yang ada di belakang Kenan. “Maaf, Pak Kenan. Permisi.” Hania akhirnya hanya m
“Kamu yakin itu suara Ayah?” sengit Kenan sambil memegang kemudi. Mobil melaju dengan kecepatan penuh. “Bukan suara orang asing misalnya?”Hania melirik Kenan dengan kening mengerut. “Hmm … kayaknya suara Ayah deh, Mas,” balasnya tak yakin. “Mas jangan bikin aku neti dong!”“Mas cuma nanya aja, Nia. Bukan mau bikin kamu neti.”Perkataan Kenan cukup membuat Hania mulai meragukan indera pendengarannya sendiri. Tapi, tak mungkin juga kan ayahnya tega menipu dirinya seperti Maya? Tak mungkin!“Ayah cuma pengen ketemu aja katanya. Gak ada yang aneh-aneh juga sih menurut perasaanku. Cuma yah …,” Hania memelankan suara. Ia menunduk sambil memegangi ponselnya. “Suaranya kayak orang habis nangis aja. Baru sekarang aku denger suaranya kayak gitu, makanya aku khawatir, Mas. Takut ayah kenapa-kenapa.”Hania sadar jika selama ini peran Pak Rudi tak lebih dari sekedar status semata sebagai seorang ayah dalam hidupnya. Tetap saja ia sulit sekali membenci ayahnya itu. Karena nasib yang menghampiri k
“Kalian akan tinggal di sini sampai renovasi rumahnya selesai.”Belum sedetik Kenan menyelesaikan ucapannya, Maya dan Bu Rita langsung berbalik badan sambil menyeret kopernya dengan langkah cepat memasuki kamar hotel masing-masing yang letaknya saling berhadapan. Mereka berjingkrak riang. Berteriak kegirangan. Bu Rita bahkan sampai meloncat di atas kasur seperti anak kecil.Melihat itu Hania jadi malu sendiri. Bukan hanya karena tingkah ibu dan saudari “Terima kasih, Nak Kenan. Ayah jadi merasa tidak enak karena jadi merepotkan begini.” Pak Rudi mengatakannya dengan senyuman lebar. Sesekali ia melemparkan pandangan pada istri dan anak tirinya yang sudah berada di dalam kamar hotel.Berbanding terbalik dengan Hania yang malah memasang wajah kusut. Sejak mendengar keputusan Kenan, Hania tak bisa menyembunyikan perasaan tak senangnya. Tak nyaman lebih tepatnya.“Enggak kok, Yah. Ini justru hal yang seharusnya Kenan lakukan sejak awal untuk orang-orang yang Hania sayang,” balas Kenan sam
“Dan asal Mas tahu! Kalau saja sejak dulu aku bisa membalas semua perlakuan mereka itu sendiri, aku tak akan mungkin meminta bantuan kamu sekarang!”Kenan membuang napas sambil mencengkram cepat tangan Hania yang hendak berlalu melaluinya. “Seberapa buruk perlakuan mereka pada kamu sampai kamu ingin membalasnya? Katakan!” desaknya.“Kenapa Mas ingin tahu? Biar bisa menilai sendiri apa perlakuan mereka sama aku itu beneran buruk atau enggak?”“Nia … Mas hanya ing–”Hania menepis tangan Kenan kasar. “Aku butuh waktu sendiri!”Sebuah taksi dihentikan Hania. Segera membawanya menjauh dari Kenan yang hanya mematung tak menghalaunya lagi. Kenan merogoh ponsel di saku. Segera mengarahkan kamera ke taksi yang melesat tersebut. Lalu, Kenan segera menelepon Bima.“Suruh orang mengikuti Hania diam-diam sekarang.Setelah itu Kenan kembali ke dalam mobilnya. Berbalik arah kembali ke hotel tempat keluarga Hania tinggal sementara. Rupanya kedatangannya ke tempat itu untuk bertemu dengan Pak Rudi de
Hania menggebrak pintu apartemen dengan wajah murka. Matanya dengan cepat menyelidik ke setiap sudut ruangan yang tampak kacau balau sebelum terakhir dia meninggalkan tempat ini karena terpaksa. “Maya! Di mana kamu?” teriak Hania lantang.Tujuannya kembali ke apartemen ini bukan untuk kembali tinggal di sini, melainkan untuk mencari Maya yang ia curigai sudah menyebarkan surat perjanjian nikah kontraknya dengan Kenan ke publik.Ya. Publik tiba-tiba gempar oleh selebaran surat perjanjian nikah kontraknya dengan Kenan yang sudah batal itu. Tersebar dengan cepat memenuhi berbagai media sosial. Bahkan sampai masuk berita gosip selebriti, padahal Kenan maupun Hania bukanlah publik figur!Nihil! Tak ada siapapun di tempat ini yang Hania duga sebagai tempat keberadaan Maya. Tersangka utama yang membuat kerusuhan seperti ini. Kalau bukan dia, memang siapa lagi yang berani membuat Hania selalu dalam kesulitan?Seolah apa yang selama ini Hania korbankan, tak cukup memuaskan Maya. Ada saja hal
“Karena aku mencintaimu, Hania! Aku menyukaimu! Aku jatuh cinta padamu! Aku ingin kamu menjadi milikku!”Kenan berteriak lantang sekencang-kencangnya, meledakkan segala hal yang selama ini dipendamnya. Tak perlu ditanya lagi seperti apa berisiknya jantungnya sekarang.Tapi, melihat Hania yang diam saja, muncul perasaan khawatir. Ini bukan reaksi yang ia harapkan!Setidaknya, katakan sesuatu! Menampakkan raut wajah terkejut sekaligus bahagia misalnya.Tapi, ini?Ekspresi Hania begitu datar. Bibir terkatup rapat dengan tatapan setajam singa yang tengah berhadapan dengan rivalnya. Apakah ungkapan Kenan barusan seperti sebuah bom berbahaya sampai Hania harus bereaksi demikian?Kenan berdecak sebal. “Kamu ini benar-ben–”“Kalau perkataan Mas itu benar, untuk apa Mas menerima tawaran Putri?” Hania menarik salah satu sudut bibirnya. “Untuk membuat aku cemburu?” serangnya sengit.Melihat Kenan yang diam saja, Hania tahu jika tebakannya tak meleset. Apalagi hal ini sempat suaminya itu singgun
“Bagaimana pendapatmu?” tanya Kenan sesaat setelah Putri menghilang dari pandangannya. Diliriknya Hania yang tak banyak bicara sejak mereka tiba di tempat ini. Hania membuang nafas sebelum menjawab pertanyaan itu tanpa sedikitpun menoleh pada Kenan.“Pendapat apa?” balas Hania sambil melemparkan pandangan kembali ke arah lapangan golf. Baginya, pemandangan yang didominasi warna hijau itu lebih menyenangkan dipandang daripada bersitatap sedetik saja dengan Kenan.Entahlah. Rasanya Hania enggan sekali melihat Kenan sekarang.“Tentang pernikahan kontrak Mas dengan Putri. Kamu tidak akan berpendapat apapun? Atau bertanya apapun misalnya?”Sungguh! Jika boleh jujur, isi kepala Hania sekarang benar-benar kosong. Ia tak tahu harus berbuat apa selain ingin segera pergi atau menghilang dari hadapan Kenan. “Gak ada,” jawab Hania singkat sambil melepaskan genggaman tangan Kenan yang terasa melonggar. Ada sedikit perasaan kesal setelahnya. Hania tiba-tiba melangkah menuju beberapa anak tangga,
Genggaman tangan Kenan terasa tak nyaman. Ingin sekali Hania menepisnya kasar, namun berkali-kali perasaan itu ia enyahkan. “Kamu hanya istri kontraknya, Nia!” Kalimat itu terus bergulir di kepalanya sekarang. Seperti pengingat akan semua tindakan yang hendak Kenan lakukan setelah ini, bukanlah hal penting untuk ia pedulikan.Termasuk ketika keduanya harus menemui Putri di lapangan golf ini sekarang. Bermaksud untuk membahas kelanjutan dari tawaran Putri yang ingin menjadi istri kedua Kenan. Hania tak berhenti menyadarkan dirinya bahwa posisinya saat ini sama sekali tak penting bagi Kenan, apalagi jika sampai ikut campur urusannya terlalu dalam.“Kamu hanya perlu memberikan Kenan anak dan setelah itu bercerai, Nia. Jangan pedulikan dia memiliki istri satu atau bahkan lebih. Itu bukan urusanmu!” batin Hania berbisik tak henti.Sambil menikmati secangkir teh hangat, sesekali mengalihkan pandangan ke arah hamparan rumput hijau yang membentang sejauh mata memandang, Hania lekat memperha
Tahu begini, Hania tak perlu menerima tawaran Kenan.Cara pria itu memegang pisau saat memotong wortel mirip seperti bocah kecil yang baru pertama kali menyentuh alat-alat dapur. Teledor, ceroboh, dan menimbulkan kecemasan bagi siapa saja yang melihatnya. Belum lagi, potongan wortel itu melebihi ukuran yang Hania inginkan. “Mas, wortelnya potong dadu. Bukannya segede jempol orang dewasa. Susah mateng dan gak bisa ditelan sekaligus nantinya.” Keluh Hania. Kali saja Kenan mendengar usulannya ini dan segera memperbaiki kesalahannya karena ia benar-benar merasa gemas sekali ingin mengusir Kenan dari sini.“Yang penting kepotong, kan? Ada kok masakan yang pake wortel utuh tanpa dipotong.” Balas Kenan tampak tak terima. Ia sedikit pun tidak menoleh pada Hania yang sedang menatapnya tajam. Tetap fokus memotong sisa wortel yang ada.“Tapi, ukurannya gak sesuai masakan yang mau aku buat, Mas.”“Buat masakan sesuai ukuran yang Mas buat aja kalau gitu.”Hania memijit pelipis. Kepalanya menda
“Kertas apa itu yang ada di tangan kamu?”Alif menelan salivanya dalam-dalam sambil meremas ujung-ujung kertas yang sangat ingin ia lenyapkan detik ini juga.“Ah! Ini–” Alif memutar otaknya untuk mencari jawaban. Ia tak ingin Maya melihat apa yang dilihatnya saat ini. “Aku butuh untuk mencatat sesuatu. Tadi ada beberapa kertas berserakan di lantai. Kupikir ini kertas yang tak Hania akan pakai. Isinya juga,” Alif mengacungkan sekilas kertas itu, “sudah aku baca dan bukan hal penting. Kamu tidur lagi saja, May.”Terburu-buru Alif keluar dari kamar. Lega karena Maya tak sampai melihat secara langsung isi kertas yang sekarang ada di tangannya.Tak mau melakukan keteledoran yang sama, Alif segera melipat beberapa lembar kertas itu dan menyembunyikannya di saku lagi. Ia terduduk di sofa sambil mengingat-ingat isi kertas yang berhasil ia baca sebagian.“Pernikahan kontrak? Apa mungkin Hania dan Pak Kenan menikah kontrak?” gumam hatinya.Berulang kali ia mencoba tak mempercayai isi kertas itu
“Kamu belum jawab pertanyaan Mas, Maya. Bagaimana bisa kamu tahu kalau Hania tinggal di sini?” tanya Alif sesaat setelah Hania pergi. Ia masih berdiri, enggan beranjak menuju sofa seperti apa yang Maya sedang lakukan sekarang.“Aku ini perempuan cerdas,” katanya sambil menjatuhkan dirinya di sofa perlahan, “jadi bukan hal sulit untuk menemukan dimana Hania tinggal selama ini. Yah … meskipun ini bukan sebuah kebetulan. Bersyukur banget dia dipanggil ke pengadilan. Jadinya, aku tahu harus memata-matai dia dari mana.”“Kamu memata-matai Hania?”“Ya ampun, Mas. Gak usah kaget gitu! Zaman sekarang ini bukan hal sulit kok buat mata-matai orang tanpa harus kita ikut capek ngikutin. Pake aja jasa ojol. Banyak tuh orang-orang pake jasa mereka buat mata-matai pacarnya yang selingkuh juga loh! Jadinya, siapapun gak bakalan ada yang curiga lagi diikutin karena emang kerjaan ojol mondar-mandir.”Entah harus bangga atau tidak akan apa yang dilakukan Maya. Tapi, Alif benar-benar bersyukur dapat mene
“Nia! Kamu mau ke mana?” tanya Maya yang tampak kaget ketika melihat Hania keluar dari sebuah kamar sambil menyeret koper.Hania menatap Maya dan Alif yang sedang duduk di sofa bergantian. “Menginaplah di sini kalau memang itu kemauan kalian.”Saat Hania mengiyakan keinginan Maya, bukan berarti ia tak memikirkan rencana lain. Mau bagaimana pun, akan terasa tak nyaman sekali jika harus menghabiskan malam bersama mantan sekaligus adik iparnya. Apa Maya tidak berpikir ke arah sana?Hah! Pasti tidak. Perempuan itu pasti hanya memikirkan kesenangan pribadinya saja. Tanpa memperdulikan kebaikan atau keburukan macam apa yang akan orang sekitarnya terima dari semua ulahnya.Alif juga tak kalah menyebalkannya. Ingin sekali Hania mengumpati pria yang berubah tak berdaya itu. Tapi, tidak! Hania tak mau membuang waktu hanya untuk melakukan hal tak penting. “Kamu mau biarin tamu kamu di sini? Gak sopan banget yah kamu, Mbak!” serbu Maya yang tampak tak terima. “Kalau emang kamu gak mau kita ngin
Kenan dan Hania berjalan beriringan di depan gedung hitam-putih itu. Mengekori Bu Sinta yang duduk di kursi rodanya, didorong oleh seseorang. Tampak para wartawan di tahan beberapa keamanan yang berusaha mendekati mereka. Beberapa ada yang tetap nekat mengarahkan kamera meski sudah dicegah.Mereka terburu-buru menuju keluar area gedung. Takut jika keamanan tak cukup melindungi mereka dari sorotan media. Kenan, Hania, dan Bu Sinta kini berada di mobil van yang sama. Menjauh dari para wartawan yang mulai mengejar mereka.Bu Sinta tampak menyemai senyum seperti ada sesuatu yang lucu baru saja terjadi. Sikap tenangnya berbanding terbalik dengan keadaan sidang tadi yang berlangsung cukup panas. Hania saja sampai gemetaran hingga detik ini. Baru kali ini ia menjadi salah satu bagian penting dalam sebuah sidang yang berhasil mengguncang penjuru Negeri.“Kemungkinan besar, Papahmu tetap akan di penjara, Ken.” Bu Sinta tampak santai mengutarakan berita itu.Kenan membalaskan dengan anggukan ta