“Kenapa dia ada di sini?” sengit Kenan sambil melirik Putri yang tengah duduk di salah satu kursi dekat dengan Pak Rahwana, menyantap hidangan di depannya dengan begitu lahap. Perempuan itu sempat melambaikan tangan ketika dirinya dan Hania datang.Kenan memandang sekitar mencari seseorang yang seharusnya berada di sini juga.“Papah yang mengundangnya. Duduk!” Pak Rahwana menyela dengan tidak menoleh sedikitpun pada Kenan apalagi Hania.“Kami sudah makan.” Jawab Kenan singkat. “Ada perlu apa Papah memanggil kami kemari?”“Duduk!” tegas Pak Rahwana.“Kenan!” Seruan itu mengalihkan seluruh perhatian orang yang ada di sana. Tak terkecuali Putri.Bu Sinta tampak tengah bersusah payah menghampiri mereka di sana dengan kursi rodanya. Melihat itu Kenan cepat-cepat menghampiri sambil menarik Hania.“Mah! Mamah gak kenapa-kenapa, kan?” serbu Kenan. Raut wajahnya begitu khawatir.Permintaan Pak Rahwana yang tak bisa Kenan tolak untuk datang ke tempat ini adalah karena ibunya. “Sinta! Ajak ana
“Aku benar-benar menyukai, Hania.”Kalimat itu terus menggaung di kepala Hania sepanjang Kenan menariknya keluar dari kediaman rumah orang tuanya. Begitu mengganggu. Berulang kali ia coba mengenyahkan kalimat itu agar tak selalu berputar di kepalanya bak tayangan film tapi selalu gagal.Sampai tiba-tiba Kenan menghentikan langkahnya tepat di depan mobil. Ia berbalik badan. Tatapan laki-laki itu membuat sekujur tubuh Hania langsung mendingin.“Kamu tidak perlu memikirkan perkataan Paph tadi. Anggap saja itu hanya bualan.” Kenan tak ingin Hania merasa terusik oleh perkataan Pak Rahwana tadi yang sudah membongkar rahasia dibalik pernikahan mereka yang berusaha Kenan tutup-tutupi. Semoga saja ini bukan pertanda buruk akan semua rencananya.“Termasuk kata-kata Mas–,” Hania berusaha membiasakan diri mengubah cara memanggil Kenan meski situasinya dirasa tidak tepat, “kata-kata Mas Kenan tadi maksudnya. Yang … yah … yang tadi. Saya juga akan menganggapnya bualan.”Kenan menarik napas dalam t
“Mau makan siang dimana kita, Nia?” tanya Kenan sesaat setelah ia keluar dari sebuah ruangan, diekori Hania ia semua bawahannya.“Saya tidak bisa makan siang dengan Pak Kenan karena sudah ada janji penting.”“Oh, yah? Saya tidak merasa memiliki janji penting dengan siapapun.”“Ini bukan soal Pak Kenan yang punya janji, tapi saya sendiri.”Kenan langsung menghentikan langkahnya yang spontan diikuti orang-orang di belakangnya terkecuali Hania. Istrinya itu malah melewatinya begitu saja sambil memainkan ponsel.“Kamu mau membiarkan suami kamu makan siang sendirian, sayang?!” Teriakan Kenan yang bukan hanya menghentikan langkah Hania, tapi membuat bawahannya yang ada di belakangnya membelalakkan mata terkejut. Termasuk Bima yang juga ada di sana.Hania membalikkan badan sambil melemparkan tatapan tajam ke arah Kenan. Ingin mengeluarkan isi kepalanya, tapi ia urungkan setelah menangkap tatapan aneh orang-orang yang ada di belakang Kenan. “Maaf, Pak Kenan. Permisi.” Hania akhirnya hanya m
“Kamu yakin itu suara Ayah?” sengit Kenan sambil memegang kemudi. Mobil melaju dengan kecepatan penuh. “Bukan suara orang asing misalnya?”Hania melirik Kenan dengan kening mengerut. “Hmm … kayaknya suara Ayah deh, Mas,” balasnya tak yakin. “Mas jangan bikin aku neti dong!”“Mas cuma nanya aja, Nia. Bukan mau bikin kamu neti.”Perkataan Kenan cukup membuat Hania mulai meragukan indera pendengarannya sendiri. Tapi, tak mungkin juga kan ayahnya tega menipu dirinya seperti Maya? Tak mungkin!“Ayah cuma pengen ketemu aja katanya. Gak ada yang aneh-aneh juga sih menurut perasaanku. Cuma yah …,” Hania memelankan suara. Ia menunduk sambil memegangi ponselnya. “Suaranya kayak orang habis nangis aja. Baru sekarang aku denger suaranya kayak gitu, makanya aku khawatir, Mas. Takut ayah kenapa-kenapa.”Hania sadar jika selama ini peran Pak Rudi tak lebih dari sekedar status semata sebagai seorang ayah dalam hidupnya. Tetap saja ia sulit sekali membenci ayahnya itu. Karena nasib yang menghampiri k
“Kalian akan tinggal di sini sampai renovasi rumahnya selesai.”Belum sedetik Kenan menyelesaikan ucapannya, Maya dan Bu Rita langsung berbalik badan sambil menyeret kopernya dengan langkah cepat memasuki kamar hotel masing-masing yang letaknya saling berhadapan. Mereka berjingkrak riang. Berteriak kegirangan. Bu Rita bahkan sampai meloncat di atas kasur seperti anak kecil.Melihat itu Hania jadi malu sendiri. Bukan hanya karena tingkah ibu dan saudari “Terima kasih, Nak Kenan. Ayah jadi merasa tidak enak karena jadi merepotkan begini.” Pak Rudi mengatakannya dengan senyuman lebar. Sesekali ia melemparkan pandangan pada istri dan anak tirinya yang sudah berada di dalam kamar hotel.Berbanding terbalik dengan Hania yang malah memasang wajah kusut. Sejak mendengar keputusan Kenan, Hania tak bisa menyembunyikan perasaan tak senangnya. Tak nyaman lebih tepatnya.“Enggak kok, Yah. Ini justru hal yang seharusnya Kenan lakukan sejak awal untuk orang-orang yang Hania sayang,” balas Kenan sam
“Dan asal Mas tahu! Kalau saja sejak dulu aku bisa membalas semua perlakuan mereka itu sendiri, aku tak akan mungkin meminta bantuan kamu sekarang!”Kenan membuang napas sambil mencengkram cepat tangan Hania yang hendak berlalu melaluinya. “Seberapa buruk perlakuan mereka pada kamu sampai kamu ingin membalasnya? Katakan!” desaknya.“Kenapa Mas ingin tahu? Biar bisa menilai sendiri apa perlakuan mereka sama aku itu beneran buruk atau enggak?”“Nia … Mas hanya ing–”Hania menepis tangan Kenan kasar. “Aku butuh waktu sendiri!”Sebuah taksi dihentikan Hania. Segera membawanya menjauh dari Kenan yang hanya mematung tak menghalaunya lagi. Kenan merogoh ponsel di saku. Segera mengarahkan kamera ke taksi yang melesat tersebut. Lalu, Kenan segera menelepon Bima.“Suruh orang mengikuti Hania diam-diam sekarang.Setelah itu Kenan kembali ke dalam mobilnya. Berbalik arah kembali ke hotel tempat keluarga Hania tinggal sementara. Rupanya kedatangannya ke tempat itu untuk bertemu dengan Pak Rudi de
Kenan melipat dua tangannya di dada. Kakinya saling bertumpu dengan mata melirik tajam ke arah Agam yang duduk tepat di hadapannya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun! Tapi sorot matanya sama sekali tak bersahabat.“Namanya Agam. Dia temenku, Mas. Yang punya tempat ini. Dia baru pulang dari Singapura, jadi aku gak sempet ngenalin sama Mas pas nikahan kemarin.” Tutur Hania mencoba mengurai suasana yang mendadak menegang. “Temen?” Kening Kenan sampai mengerut. “Setahu Mas, kamu gak pernah ketemu siapapun lagi selain Ratna atau mantan brengsek kamu itu.”Setahu Kenan, Hania hanya sering menghabiskan waktu dengan Alif atau Ratna. Entah itu di kantor atau di luar kantor. Sekedar menghabiskan waktu senggang atau liburan misalnya. Yah … sejauh pengamatannya selama ini. Atau mungkin pengamatan yang dilakukan Bima diam-diam tidak menyeluruh?“Setahu Mas?” Hania melirik penuh curiga ke arah Kenan. Kenan langsung pura-pura melihat ke arah lain.“Maksudnya mantan brengsek itu … si Alif yah, P
“Udah makan?” tanya Kenan sesaat setelah mobil yang ia kemudikan melaju.Hania yang duduk di sampingnya tak merespon cukup lama.“Nia? Kamu masih marah?” tanya Kenan lagi. Pantang menyerah.Sama halnya seperti Kenan, Haniawajah pantang membuka mulutnya. Justru ia malah memalingkan pandangan dari suaminya itu sejak tadi. Kenan akhirnya memutuskan tak ikut bersuara juga. Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, hening meliputi keduanya. Tadinya Kenan harap aksi diamnya Hania akan berakhir saat mereka tiba di rumah, tapi ternyata tidak. Perempuan itu bahkan mengunci rapat kamarnya –yang juga kamar Kenan kalau Hania ingat– tanpa sempat Kenan mendengar sepatah kata pun dari perempuan itu.“Kamu tidak mau bicara dengan Mas karena Mas menolak permintaan kamu tadi? Nia?” desak Kenan. Berulang kali ia mengetuk pintu, berharap Hania mau berbicara dengannya dalam situasi tenang ini.Tapi, tak ada tanda-tanda sedikitpun Hania hendak membuka pintu. Sebuah suara sahutan pun tak terdengar. Tentu saj
Tahu begini, Hania tak perlu menerima tawaran Kenan.Cara pria itu memegang pisau saat memotong wortel mirip seperti bocah kecil yang baru pertama kali menyentuh alat-alat dapur. Teledor, ceroboh, dan menimbulkan kecemasan bagi siapa saja yang melihatnya. Belum lagi, potongan wortel itu melebihi ukuran yang Hania inginkan. “Mas, wortelnya potong dadu. Bukannya segede jempol orang dewasa. Susah mateng dan gak bisa ditelan sekaligus nantinya.” Keluh Hania. Kali saja Kenan mendengar usulannya ini dan segera memperbaiki kesalahannya karena ia benar-benar merasa gemas sekali ingin mengusir Kenan dari sini.“Yang penting kepotong, kan? Ada kok masakan yang pake wortel utuh tanpa dipotong.” Balas Kenan tampak tak terima. Ia sedikit pun tidak menoleh pada Hania yang sedang menatapnya tajam. Tetap fokus memotong sisa wortel yang ada.“Tapi, ukurannya gak sesuai masakan yang mau aku buat, Mas.”“Buat masakan sesuai ukuran yang Mas buat aja kalau gitu.”Hania memijit pelipis. Kepalanya menda
“Kertas apa itu yang ada di tangan kamu?”Alif menelan salivanya dalam-dalam sambil meremas ujung-ujung kertas yang sangat ingin ia lenyapkan detik ini juga.“Ah! Ini–” Alif memutar otaknya untuk mencari jawaban. Ia tak ingin Maya melihat apa yang dilihatnya saat ini. “Aku butuh untuk mencatat sesuatu. Tadi ada beberapa kertas berserakan di lantai. Kupikir ini kertas yang tak Hania akan pakai. Isinya juga,” Alif mengacungkan sekilas kertas itu, “sudah aku baca dan bukan hal penting. Kamu tidur lagi saja, May.”Terburu-buru Alif keluar dari kamar. Lega karena Maya tak sampai melihat secara langsung isi kertas yang sekarang ada di tangannya.Tak mau melakukan keteledoran yang sama, Alif segera melipat beberapa lembar kertas itu dan menyembunyikannya di saku lagi. Ia terduduk di sofa sambil mengingat-ingat isi kertas yang berhasil ia baca sebagian.“Pernikahan kontrak? Apa mungkin Hania dan Pak Kenan menikah kontrak?” gumam hatinya.Berulang kali ia mencoba tak mempercayai isi kertas itu
“Kamu belum jawab pertanyaan Mas, Maya. Bagaimana bisa kamu tahu kalau Hania tinggal di sini?” tanya Alif sesaat setelah Hania pergi. Ia masih berdiri, enggan beranjak menuju sofa seperti apa yang Maya sedang lakukan sekarang.“Aku ini perempuan cerdas,” katanya sambil menjatuhkan dirinya di sofa perlahan, “jadi bukan hal sulit untuk menemukan dimana Hania tinggal selama ini. Yah … meskipun ini bukan sebuah kebetulan. Bersyukur banget dia dipanggil ke pengadilan. Jadinya, aku tahu harus memata-matai dia dari mana.”“Kamu memata-matai Hania?”“Ya ampun, Mas. Gak usah kaget gitu! Zaman sekarang ini bukan hal sulit kok buat mata-matai orang tanpa harus kita ikut capek ngikutin. Pake aja jasa ojol. Banyak tuh orang-orang pake jasa mereka buat mata-matai pacarnya yang selingkuh juga loh! Jadinya, siapapun gak bakalan ada yang curiga lagi diikutin karena emang kerjaan ojol mondar-mandir.”Entah harus bangga atau tidak akan apa yang dilakukan Maya. Tapi, Alif benar-benar bersyukur dapat mene
“Nia! Kamu mau ke mana?” tanya Maya yang tampak kaget ketika melihat Hania keluar dari sebuah kamar sambil menyeret koper.Hania menatap Maya dan Alif yang sedang duduk di sofa bergantian. “Menginaplah di sini kalau memang itu kemauan kalian.”Saat Hania mengiyakan keinginan Maya, bukan berarti ia tak memikirkan rencana lain. Mau bagaimana pun, akan terasa tak nyaman sekali jika harus menghabiskan malam bersama mantan sekaligus adik iparnya. Apa Maya tidak berpikir ke arah sana?Hah! Pasti tidak. Perempuan itu pasti hanya memikirkan kesenangan pribadinya saja. Tanpa memperdulikan kebaikan atau keburukan macam apa yang akan orang sekitarnya terima dari semua ulahnya.Alif juga tak kalah menyebalkannya. Ingin sekali Hania mengumpati pria yang berubah tak berdaya itu. Tapi, tidak! Hania tak mau membuang waktu hanya untuk melakukan hal tak penting. “Kamu mau biarin tamu kamu di sini? Gak sopan banget yah kamu, Mbak!” serbu Maya yang tampak tak terima. “Kalau emang kamu gak mau kita ngin
Kenan dan Hania berjalan beriringan di depan gedung hitam-putih itu. Mengekori Bu Sinta yang duduk di kursi rodanya, didorong oleh seseorang. Tampak para wartawan di tahan beberapa keamanan yang berusaha mendekati mereka. Beberapa ada yang tetap nekat mengarahkan kamera meski sudah dicegah.Mereka terburu-buru menuju keluar area gedung. Takut jika keamanan tak cukup melindungi mereka dari sorotan media. Kenan, Hania, dan Bu Sinta kini berada di mobil van yang sama. Menjauh dari para wartawan yang mulai mengejar mereka.Bu Sinta tampak menyemai senyum seperti ada sesuatu yang lucu baru saja terjadi. Sikap tenangnya berbanding terbalik dengan keadaan sidang tadi yang berlangsung cukup panas. Hania saja sampai gemetaran hingga detik ini. Baru kali ini ia menjadi salah satu bagian penting dalam sebuah sidang yang berhasil mengguncang penjuru Negeri.“Kemungkinan besar, Papahmu tetap akan di penjara, Ken.” Bu Sinta tampak santai mengutarakan berita itu.Kenan membalaskan dengan anggukan ta
“Kenalkan. Ini Selia. Dia asisten pribadi, Mas. Dia yang bertugas menggantikanmu, Sayang.”“Asisten pribadi kamu?” Hania tanpa sengaja menaikkan nada bicaranya. Ia terlalu terkejut atas kata-kata Kenan barusan!Kenan memberi anggukan dengan seulas senyum lebar. Tampak tak terusik oleh perubahan nada bicara Hania, bahkan raut wajah tak bersahabatnya. Apa Kenan tak menyadari ketidaksukaannya ini?“Halo, Bu Hania. Perkenalkan, aku Selia.” Kata perempuan berambut sebahu itu dengan senyum ramah dari bibir tipisnya.Mata Hania memindari Selia dari ujung kaki hingga kepala. Pakaian serba tertutup dan polesan bedak serba tipis itu cukup membuatnya takjub akan kecantikan alami yang dimiliki Selia. Terlihat natural dan menarik perhatian.“Kamu membawanya?” tanya Kenan.“Ya, Pak. Ini!”Selia tampak menyerahkan beberapa tas belanja pada Kenan yang entah isinya apa. “Terima kasih. Kamu boleh pergi.”Selia berpamitan dan pergi setelah itu. Kedatangannya yang sangat singkat benar-benar seperti sebu
Sayup-sayup Hania mendengar suara Kenan. Ia mengucek matanya sambil menatap sekeliling kamar. Tak ada Kenan di sini. Itu berarti sekarang Kenan sedang berada di luar, tebak Hania.Dan benar saja. Laki-laki itu tengah berbicara melalui telepon sambil memandangi laptop di depannya. Tampak serius sekali entah bicara dengan siapa. Hania tak langsung menghampiri. Enggan mengusik Kenan yang tampak sedang sibuk dengan pekerjaannya. Bukannya Hania tak ingin membantu, hanya saja sejak ia tinggal di tempat ini, komunikasinya dengan Kenan tak lebih dari sekedar menanyakan kabar. Tak ada pembicaraan tentang pekerjaan di Prince Property sedikit pun. Hania benar-benar tidak tahu kesibukan macam apa yang tengah Kenan lakukan sekarang. Tak mau mengusik, Hania memilih berjalan ke area dapur. Sambil menunggu mesin kopi bekerja, ia membuat roti bakar dengan selai cokelat. Di tempat ini memang tak ada siapapun yang mengurus urusan rumah. Semua Hania lakukan sendiri. Dan Hania tak keberatan akan hal itu
Kenan ingin sekali berdiri, berlari, lalu mencekik leher Putri yang sekarang sedang duduk sambil menyandarkan kepalanya di kursi. Tersenyum lebar sekali meski suara-suara bising di luar sana lantang memaki namanya. Tapi sayang, kursi roda ini seperti menguncinya. Satu kakinya masih terluka parah. Jika Kenan nekat, hal lebih buruk bisa saja terjadi padanya.Pria itu tentu tak mau menanggung rugi berlipat.“Jika kamu ingin kerjasama ini berlanjut, lakukan sesuai perintahku!” tegas Kenan memberi peringatan.“Bukan. Bukan. Bukan begitu, Mas.” Putri mengacungkan jarinya ke udara. “Yang benar itu, Mas yang harus mengikuti perintahku atau … Mas mau–”“Mau apa?” Kenan tampak tak gentar. “Kamu mau melaporkan ayahku yang terlibat kasus pencucian uang dengan ayahmu? Begitu maksudmu?”Putri terkekeh dengan tatapan sinis. “Berani sekali kamu mengatakannya disini, Mas? Tidak takut dilaporkan orang-orang yang menyaksikannya disini?”“Tidak masalah. Cepat atau lambat, semua orang akan tahu masalah in
Kenan nyaris saja terguling dari ranjang ketika tiba-tiba Hania mendorongnya. Perempuan itu sendiri menjaga jarak darinya sekarang dengan wajah yang tampak kebingungan.“Ini bukan kali pertama untuk kita, kan?”Kenan harus pastikan jika Hania tak akan menghindar darinya lagi hanya karena perkara begini. Waktu itu Hania pergi dengan alasan ingin membeli makan yang justru ujungnya malah berduaan dengan Alif.Sekarang, Kenan tak bisa membiarkan perempuan itu menjaga jarak darinya sedikitpun. Apalagi sampai kabur dengan alasan apapun! Tak akan Kenan biarkan.“Jadi, kemarilah. Duduk disini dan kita bisa bicara dengan tenang.” Kenan menepuk area ranjang tepat di samping ia duduk sekarang. Satu tangan yang lain terulur pada Hania, berharap perempuan itu mau menerimanya karena Kenan sedang kesulitan menghampiri. Kakinya masih di perban!“Mas, a–aku ….” Hania tampak terengah-engah mengeluarkan suara.“Duduk, Nia!”Hania menatap Kenan dari kejauhan lekat-lekat sambil mengingat kembali alasan u