Kiki pun menyetujui ajakan me time bersama Ghaitsaa meski permasalahan rumah tangganya dengan Ryan tengah banyak masalah.
Setidaknya ia masih ada hiburan sedikit di saat pusing dan penat akibat kerja juga masalah rumah tangga.
“Iya, kamu tenang aja. Mau ketemuan di mana?”
“Duh di mana, ya, Mbak. Aku nggak hafal Jakarta.”
“Gini aja, kita ketemuan di Grand Indonesia. Itukan dekat kantor Azekiel jadi kamu tahu rute naik mobilnya kan?”
Ghaitsaa mengangguk cepat. Ia paham dengan mall itu meski belum pernah memasukinya. Mall yang begitu besar. Meski di Semarang juga ada mall tapi tak sebesar di Jakarta.
“Kita ketemu di situ saja, nanti kamu whatsapp aku aja biar gampang.”
“Oke, Mbak.”
Mirza yang mendengarkan hanya diam dan curi-curi pandang ke belakang melalui spion. Namun, aksinya itu selalu tertangkap basah oleh Ghaitsaa.
Setelah menempuh perjalanan dari kawasan Dha
Kiki merasa terkejut kala Mirza mengumpat seperti itu. Terlebih ini pertama kalinya selama kenal Mirza. Dan sepertinya boss-nya begitu emosi setelah menerima telepon barusan. Entah itu telepon dari siapa yang pasti Kiki rasa jika bossnya mendapat berita buruk.“Pak,” tegur Kiki.“Ya.”“Nan—““Cancel pertemuan dengan Maxim grup, reschedule saja.”“Baik, Pak.”Ting.Pintu lift terbuka dan Mirza langsung melangkah dengan begitu cepat. Bahkan ia tak berbicara atau menunggu Kiki.Melihat sikap aneh Mirza membuat Kiki langsung merasa bingung dan heran sendiri.“Memang ada apa, sih?” gumamnya yang ikut merasa bingung.Mendapat tugas untuk bagi-bagi kopi membuat Kiki berjalan ke arah ruang HRD. Kiki ingin meminta bantuan Manda agar tahu siapa saja yang memiliki jabatan penting di Ansell.Tok. Tok. Tok.“Masuk.”K
Saat ini keadaan Kiki begitu bingung. Ia pun akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon kantor dan mengabaikan panggilan telepon dari suaminya.“Selamat si—““Ke ruangan saya sekarang.”Nit.Kiki masih diam terbengong saat mendengar suara ketus dari Mirza. Sepertinya nasib kerja di Ansell akan berakhir hari ini.Sebelum benar-benar bangkit dari tempat duduknya, Kiki memejamkan mata dan mengembuskan napas kasar sejenak.“Ya Allah semoga Pak Mirza bisa mendengarkan penjelasan gue,” kata Kiki.Jujur saja saat ini hatinya merasa begitu takut sekaligus deg-degan. Debaran jantungnya pun langsung memompa dengan cepat dengan sendirinya. Keringat dingin pun sudah mulai membanjiri keningnya yang putih bersih.“Belum ketemu tapi sudah mau pingsan begini ya ampun,” gumamnya.Kiki langsung bangkit dari tempat duduk sambil membuang napas panjang. Kakinya melangkah dengan pelan me
Berbeda dengan Kiki, Mirza justru tengah tersenyum tipis melihat sikap sekertarisnya itu. “Sebaiknya sekarang keluar, dan jangan lupa nanti lembur ajak temen kamu itu.”“Ba-ba-baik, Pak.”Tak ingin bertambah sakit jantung membuat Kiki segera berdiri dan pamit keluar dari ruangan Mirza. Saat sudah berada di luar ruangan, Kiki memegang dadanya dan tersenyum lebar.“Whoa gila ternyata Mirza suka gue,” gumamnya sambil tersenyum lebar.Entah kenapa saat mendengar itu hatinya merasa senang juga begitu berdebar. Kiki langsung menggelengkan kepalanya untuk menghapus pikiran jika dirinya juga jatuh cinta sama Mirza.“No.” Kiki menggelengkan kepalanya dan memastikan kalau hati dan pikirannya salah. “Pasti hanya sekadar kagum aja,” tekannya.Tak ingin terlalu larut dalam khayalan tentang Mirza, Kiki langsung buru-buru berjalan menuju ke meja kerjanya. Ekor matanya mengintip ponsel yang t
Pagi ini Kiki tak seperti biasanya. Apalagi wajah cantiknya begitu tampak murung kala sampai kantor tempat ia bekerja. Dan sejak semalam ia dengan Ryan hanya berkomunikasi sekadarnya saja. Ryan yang biasa selalu menggoda dan hobi meminta jatah pun beberapa hari ini seperti tidak membutuhkan. Bukan karena Kiki lagi pengin. Tapi, gimanapun ia kangen momen suaminya yang merengek meminta itu.“Muka kamu kenapa?”Sebuah suara membuat Kiki mendongak ketika sudah duduk di meja kerjanya. Kiki tersenyum tipis.“Gapapa, Pak.”“Bibirmu bisa bilang gapapa tapi wajahmu tidak.”Kiki langsung mengubah mimic wajahnya dibuat seceria mungkin namun tetap saja tidak berhasil dan semua itu membuat Mirza tetap berdiri di depan meja kerjanya.“Bapak nggak masuk ke ruangan?” tanya Kiki sambil melirik ke arah pintu ruangan kerja Mirza.“Kamu ngusir saya?”Kiki menggeleng cepat. “Enggak k
Hanya orang inilah yang selalu mengerti dengan hati sekaligus perasaannya. Kiki langsung bangkit dari sofa dan berlari memeluk sang papa.“Kangen,” rengeknya.“Lho anak Papa ke sini. Kok nggak bilang, hm?”“Kiki udah bilang sama Mama kok kalau mau ke sini.”“Kebiasaan Mamamu nggak sampein.”“Ya Papa tahu sendiri lha.” Kiki dan Papa Wirawan langsung terkekeh bersama jika membahas soal Mama Desi.“Mama dengar lho,” teriak Mama Desi menimpali.Kiki langsung membekap mulutnya dan Papa Wirawan yang masih memakai baju koko serta sarung pun segera mengajak putrinya berjalan ke arah sofa ruang tamu. Papa Wirawan menatap wajah putrinya yang tampak banyak masalah itu.Tak langsung bertanya justru Papa Wirawan tersenyum melihat putrinya yang kini sudah besar dan menjadi istri. Ada rasa rindu yang menyelimuti hatinya di saat malam hari ketika teringat bayang-baya
Kiki melangkah pelan menuju ke dalam apartemen. Ia melihat suaminya sedang tertawa begitu bahagia ketika berkumpul dengan para teman-temannya itu.“Assalamualaikum,” salam Kiki.“Iya sumpah bampernya gede banget, kalau lo bosan bisa co—“ Wawan langsung diam ketika mendapat kode kedipan mata oleh Ryan.“Hei sayang udah balik?” teriak Ryan sambil tersenyum lebar.Kiki sendiri hanya membalas dengan senyuman tipis. Ia langsung melanjutkan jalan dan melewati Ryan beserta teman-temannya itu. Kiki lebih memilih masuk kamar dan segera membersihkan tubuhnya yang terasa kotor.Saat hendak akan masuk kamar mandi, Kiki mendengar pintu kamarnya terbuka dan menampilkan sosok Ryan yang masih lengkap pakai baju kerja yang tadi pagi dikenakan.“Ki.”“Iya.”“Weekend jangan punya janji sama siapapun.”Baru akan menjawab, Ryan sudah melanjutkan ucapannya itu
Kiki mundur satu langkah ketika suaminya bangkit dari sofa dan tertawa begitu kencang. Matanya tampak begitu merah.“Enggak!”“Aku nggak kuat nikah sama kamu!”Ryan justru terkekeh kembali, dan semakin maju menuju ke arah Kiki. Berbeda dengan Kiki yang masih menatap takut-takut juga semakin mundur.“Kamu sebaiknya mandi, kamu lagi emosi jadi mending redain dulu, Ki.”“Aku emosi juga karena kelakuan kamu, Ryan! Kelakuan kamu!”“Ya, oke. Aku minta maaf.”“Minta maaf?” Kiki menatap tak percaya kalau Ryan akan segampang itu ngomong maaf kepadanya. “Gampang banget kamu ngomong maaf!”“Ya terus aku harus gimana? Sujud di kaki kamu?”Kiki langsung menangis kembali, air matanya luruh membanjiri pipinya yang tampak mulus bersih. Apalagi suaminya tak sadar-sadar sudah menyakiti hatinya.“Pokoknya aku mau cerai titik!&
Lagi berpikir yang bukan-bukan, muncul sosok Mirza dengan senyum lebarnya yang membuat Kiki semakin yakin jika boss dan Bella habis melakukan sesuatu.“Lo, Beng. Ngapain lo ke sini?”“Ck! Mentang-mentang jadi boss sekarang gitu.”“Bukan begitu.” Mirza berjalan mendekat ke arah pria yang bernama Bambang itu. Kiki yang tak kenal dan tak tahu menahu hanya tersenyum tipis saja sebagai formalitas.“Biasa disuruh bokap lo,” sahut Bambang.Mirza mengangguk kecil. Ia juga paham jika asisten pribadi papanya pasti akan diutus ke kantor juga untuk mengawasi dirinya. Terlebih berita kemarin langsung mencuat heboh di lingkungan keluarga besar Ansell.“Jadi beneran nih sama Bella?”“Apa sih, Beng.”“Kemarin gosip aja,” Bella menimpali.“Misal beneran juga gapapa kan? Toh kedua orang tua kalian saling kenal sekaligus berteman juga. Nggak perlu sus
Mau tidak mau saat ini Adeeva maju sendiri untuk melayani customer aneh itu. Adeeva sudah siap mendengarkan semua menu pesanan dari mulutnya. Namun, sudah berdiri sekitar sepuluh menitan tidak ada ucapan apapun dari mulut pria itu yang membuat Adeeva dongkol.“Bapak mau pesan apa?” tanya Adeeva kemudian.Tetap saja Adeeva hanya didiamkan oleh pria itu. Dia lebih sibuk membolak-balik buku menu dan dilakukannya berulang yang membuat kepala Adeeva terburu mengebul mengeluarkan asap putih.“Ekhem! Bapak ingin pesan apa? Dari tadi saya perhatikan kalau Bapak hanya membolak-balik buku menu tanpa mau memesan.”Adeeva terkejut kala pria itu justru menaruh buku menu dan berdiri menghadap ke tubuh Adeeva yang tingginya benar-benar lumayan. Adeeva saja sedada pria itu hingga membuatnya langsung mendongak.“Pelayan cerewet! Kemarin-kemarin saja tidak ada kamu suasana kafe ini aman. Saya pikir kamu dipecat hingga saya merasa lega.
Selesai berdiskusi soal harta warisan milik Marinka. Kini Adeeva sudah memutuskan dengan sangat bulat jika seluruh harta yang dimilikinya akan ia sumbangkan ke sebuah yayasan. Awalnya, pengacara itu terus membujuk Adeeva untuk terus meneruskan dan mengelola, namun mengingat kata-kata Leonel yang menyakitkan membuatnya benar-benar bulat untuk menyerahkan ke tempat yang tepat. Lagipula jika harta itu diberikan pahala akan mengalir ke Marinka bukan? Dan, Adeeva akan hidup tenang di negaranya sendiri.Selesai urusan harta warisan selesai, Adeeva segera mengurus tiket penerbangan ke Indonesia. Ia tidak sudi menghadiri acara pernikahan sang mantan itu. Adeeva ngeri nanti di sana harga dirinya akan diinjak-injak oleh Leonel ataupun Elizabeth.Entah kenapa sejak pertemuan terakhirnya di depan pintu kamar hotel dengan Alex, pria itu mendadak tidak bisa dihubungi. Padahal Adeeva hanya ingin pamit pergi pulang ke Indonesia. Entah kenapa pria-pria di sini semuanya membuat hati Ade
Alex tersenyum miring kala melihat Leonel meneleponnya. Pria itu segera mengambil dan mengangkat ponselnya dengan gayanya yang sangat santai.“Halo,” sahut Alex dengan santai.“Alex, apa maksudmu pergi bersama Adeeva ke toko tas? Apa emang kalian sengaja membuntutiku?”Mendengar itu sontak Alex langsung tertawa terbahak-bahak, dan cerdiknya Alex telah meloudspeaker panggilan telepon dengan Leonel hingga Adeeva bisa mendengarnya dengan jelas.Alex melihat jika Adeeva ingin menyahuti ucapan Leonel. Namun, Alex menggelengkan kepalanya kepada Adeeva untuk memberikan tanda jika tidak usah terpancing ucapan Leonel yang memang selalu mencari perhatian dirinya—khususnya Adeeva.“Kau benar-benar sangat percaya diri sekali Leon! Aku datang ke toko tas karena memang ingin menjemput kekasihku.”“Apa! Kau sengaja berkata seperti ini agar aku cemburu? Hahaha, itu tidak akan bisa kalian lakukan.”
Alex terkekeh sendiri melihat wajah Adeeva yang tampak menggemaskan itu. Alex pun berdeham sebelum menjawab ucapan Adeeva barusan.“Ya, semoga saja nanti kau mau menerimaku agar bisa menjadi tambatan hatimu,” ujar Alex yang membuat Adeeva langsung bungkam seribu bahasa. Bahkan wajahnya terasa sudah panas karena jawaban dari Alex barusan. Adeeva tersipu malu mendengarnya.“Maksudmu apa mengatakan begitu?” tanya Adeeva malu-malu.“Maksudku jika kau menerima cintaku kembali otomatis kau lah yang menjadi tambatan hatiku.”Adeeva tersenyum malu, pipinya benar-benar sudah merah akibat ucapan Alex yang membuatnya benar-benar salah tingkah kali ini.Bahkan mereka berdua sudah keluar dari toko tas dan berjalan bersama menyusuri trotoar untuk mencari restoran. Adeeva merasa gerogi sendiri saat tangannya digenggam erat oleh Alex. Bahkan Adeeva benar-benar tidak kuasa untuk tersenyum. Ia dari tadi mengulum senyumnya sekuat m
Hari ini Ryan harus kembali ke Indonesia meninggalkan Adeeva sendirian. Ada rasa khawatir di relung hatinya. Ryan takut jika Adeeva disakiti lagi oleh begundal Leonel.“Kamu yakin sendirian? Biar nanti Ayah telepon asisten Ayah buat ubah jadwal lagi.”“Adeeva yakin kok, Yah. Jadi tenang saja, ya.” Adeeva terus menyakinkan Ryan jika dirinya baik-baik saja sendirian di sini. Terlebih Adeeva tidak takut jika harus menghadapi Leonel lagi. Lagian kalau Adeeva amati jika Leonel hanya pria rapuh yang terkejut mengetahui berbagai berita mendadak terus menerus. Adeeva bisa memaklumi.Ryan mengembuskan napas dengan kasar. Ia pun akhirnya pamit pergi dari hotel. Adeeva niatnya ingin mengantar sampai bandara, tapi Ryan menyuruhnya untuk istirahat saja agar tidak terlalu capek.Saat sudah pamitan dan pelukan cukup lama dengan Ayahnya. Kini, Adeeva pun keluar hotel menuju ke salah satu toko tas untuk membeli koper kecil. Apalagi saat menuj
Tiba di Barcelona, baik Adeeva dan Ryan sama-sama diam saja meski dalam hati tak karuan melihat Leonel yang datang bersama Elizabeth. Bahkan dalam hati Ryan ingin menonjok pria bule itu yang sudah tega dan jahat mempermainkan perasaan anaknya sampai separah ini. Dulu meski ia playboy tapi tidak sejahat Leonel. Gonta-ganti pasangan sebelum memiliki status itu hal yang sangat wajar, tapi setelah memiliki komitmen dengan Kiki, ia berusaha setia dan menjaga komitmen itu sendiri.Lain hal dengan Adeeva yang tampak masa bodoh dengan kehadiran mantan suaminya. Tujuan Adeeva ke sini hanya untuk menjalankan wasiat mendiang Marinka. Terlebih pemakaman akan dilakukan setelah Adeeva dan Leonel bisa hadir.Mengingat kedua orang itu sudah hadir membuat prosesi pemakaman segera dilakukan. Saat tiba di sana, Adeeva meletakkan foto Marinka, dan disusul dengan Leonel yang menaruh bunga di atas batu nisan.“Mom, kuyakin kau perempuan baik. Pasti Tuhan akan menempatkanmu di s
Mendengar cerita sang anak membuat Ryan sedikit khawatir jika ada teroris yang masuk ke kafenya. Ia pun berniat akan ikut memantau kafe secara langsung, tapi kalau pagi ia harus bekerja.“Ayah dengar begitu jadi khawatir.”“Khawatir kenapa?”“Takut dia teroris.”“Makanya jangan keseringan nonton berita gitu ah, jadi parno sendirikan?” omel Kiki.Pasalnya akhir-akhir ini Ryan lagi suka nonton berita tentang terorisme hingga otaknya merasa ke distrak.Kiki yang melihat sang suami suka parno langsung mengomeli agar tidak memperkeruh suasana. Terlebih Adeeva baru saja sembuh dan mulai melupakan bayang-bayang mantan suaminya. Jika dibebankan berita berat seperti ini ngerinya akan menambah beban pikiran.“Kayaknya bukan, deh. Soalnya itu cowok kayak manusia galau gitu. Ngelamun aja seperti orang habis putus cinta gitu.”“Nah, kalau ini Bunda setuju. Siapa tahu itu cowo
Adeeva pun akhirnya maju, dan menyapa seramah mungkin kepada customernya. Adeeva tersenyum simpul yang membuat orang itu tetap menatap kosong dan mengabaikan keberadaannya.“Pagi, Kak. Kakak mau pesan apa?” tanya Adeeva, ramah.Merasa tidak dijawab membuat Adeeva merasa kesal sendiri karena keberadaannya dianggap hantu? Adeeva pun memejamkan mata dan menahan napasnya meski dalam hati kesal diabaikan seperti ini.“Kita ada menu spesial jika Kakak membeli dua por—““Buatkan semuanya.”“Hah! Apa, Kak?”“Kamu budeg, ya? Buatkan semua menu di sini. Tidak usah banyak tanya lagi. Kamu pasti pelayan baru di sini makanya tanya menu pesananku,” cerocosnya yang membuat Adeeva kesal sampai ke ubun-ubun.“Baik, Kak.”Adeeva langsung berlalu pergi dengan wajah masamnya. Ia melempar buku note kecil ke arah Zia. Adeeva langsung mendengkus sebal karena ini masih jam s
Jujur saja saat ini Adeeva masih tidak menyangka jika Emilia tega melakukan ini semua kepadanya. Entah apa motifnya ia masih belum tahu.Kini Adeeva menghubungi nomor ponsel Emilia untuk memastikan semuanya. Namun, panggilannya belum juga diangkat-angkat.Disaat akan menyerah, mendadak telinga Adeeva mendengar suara gemeresak dari seberang telepon sana.“Hallo.”“Em.”“Oh, kau. Ada apa?”“Kenapa kau tega sekali melakukan ini kepadaku? Apa salahku, Em!” Suara Adeeva tampak menggebu-gebu saat ini. Ia masih kesal dan tidak menyangka jika orang yang selama ini dipercaya dan sudah dianggap saudara justru tega melakukan ini semua kepadanya.“Kau bicara apa, sih?”Adeeva langsung tertawa hambar mendengar Emilia yang masih saja pura-pura tidak mengetahui rasa kekesalannya saat ini. Apa perlu Adeeva harus meledak-ledak secara gamblang agar perempuan di seberan