Kriingggg Telepon ekstensi di atas meja kerja Bang Fahad berbunyi nyaring. Aku yang sedang asyik menonton youtube pun teralihkan. Tampak lelaki yang mengisi meja CEO perusahaan itu menerima panggilan pada telponnya. Tampak berbincang sebelum kemudian ditutup agak kasar. Aku melanjutkan kegiatan menonton youtube, masih seperti hari-hari kemarin, tidak ada pekerjaan apapun yang diberikan padaku hingga detik ini selain mempelajari file-file dalam flashdisk. Materi tanpa praktik, bukankah hanya akan menguap begitu saja? Jadi, kubiarkan saja file-file itu menjadi task bar penghias layar laptop. Tok Tok Tok. "Masuk!" Suara Bang Fahad terdengar begitu tajam dan tegas. Kulirik arloji di tangan yang menunjukkan pukul sembilan pagi. Sudah lewat satu jam dari jam masuk kantor saat pintu ruangan ini diketuk. Aku terperangah, saat Marvin yang merupakan sekertaris Bang Fahad masuk ke dalam ruangan bersama Rakana. Untuk apa dia datang ke kantor ini? Apa ... dia berubah pikiran dan mau bekerja
************KrieeeetAku tersentak, saat pintu kamar tiba-tiba saja dibuka. Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Aku yang baru saja selesai berkemas dan menutup zipper dari koper langsung berbalik badan. Bang Fahad tampak berdiri menjulang di ambang pintu.Aku mendecak sambil menurunkan koper yang semula berada di ujung spring bed kini tersimpan di depan lemari. "Ketuk pintu dulu bisa kali!" ucapku ketus. Aku memang lupa belum mengunci pintunya."Suka-suka saya. Ini rumah saya kok!" jawabnya sangat lah menyebalkan.Aku pun hanya mencebik. Kemudian berlanjut membuka pintu lemari. Mengambil sleeveless shift dress warna pink dengan motif bunga-bunga kecil, serta jaket jeans crop top warna sky blue untuk persiapan outfit pergi besok."Kamu sudah selesai berkemas?" tanya Bang Fahad yang kini sudah berdiri menyandar pada sisi lemari.Aku hanya mengangguk pelan tanpa mengeluarkan suara.
Mataku membulat seketika. Sedangkan Bang Fahad berjalan mundur dengan senyum asimetris yang terukir di wajahnya, sampai sosoknya lenyap setelah keluar dari kamar ini.Rahangku terasa mengeras diikuti kedua tangan mengepal. Aku melangkah cepat-cepat menuju pintu dan menutupnya kasar, bahkan hingga terdengar berdebam. Tidak lupa aku juga menguncinya. Setelah memastikan aman, aku melangkah lebar menuju kasur lalu menjatuhkan tubuhku dalam keadaan tengkurap.Tangan kanan mengepal memukuli dahiku sendiri. Bisa-bisanya Bang Fahad mengambil lingerie tadi dan menatapku dengan tatapan anehnya.Aku jadi heran. Dia sering mengatakan kalau tidak bernafsu padaku karena tubuhku ini terlalu kurus. Tapi sikapnya tadi? Duhhh ... geli aku mengingatnya.Aku mendecak sebal. Bagaimana kalau di Bali nanti dia malah melakukan yang iya-iya? Bagaimana kalau dia melakukannya diam-diam atau memaksaku?Apa aku batalkan saja kepergiannya, ya?
"Pegangan!" perintahnya saat aku memasrahkan diri untuk digendong di punggung tegap itu. Kedua tanganku melingkari lehernya. Sementara kedua tangan kekar Bang Fahad terasa menyangga tubuhku di mana ke dua kaki ini tidak memakai lagi sepatu.Sialan sekali, karena aku tidak hati-hati saat keluar mobil untuk ke minimarket, aku tidak sengaja menginjak paku payung kecil tapi berhasil membuat telapak kaki ini berdarah-darah.Untungnya Bang Fahad membawa persediaan kotak obat, sehingga lukaku bisa ditangani dan kaki kiriku juga sudah dibalut perban.Dia juga memesan kembali taksi lain yang akhirnya mengantarkan kami sampai ke depan area resort. Bahkan aku tidak mempedulikan, berapa pasang mata yang memperhatikan saat aku digendong seperti anak kecil ini saat kami harus mengurus lebih dulu semuanya di meja resepsionis.Hingga mendapat kunci dan akhirnya porter membantu membawakan barang-barang kami sampai ke privat villa yang sudah dis
Aku terdiam berada dalam gendongan di belakang punggung Bang Fahad. Entah apa yang dipikirkan orang lain yang melihat keadaan ini. Karena di sini lebih terlihat seperti kakak yang sedang menggendong adiknya.Meski keadaannya seperti ini, setidaknya aku bisa menikmati udara sekitar yang begitu menyejukkan dibanding harus berdiam di dalam villa. Semilir angin sore menerpa dahan pepohonan rindang yang dilewati sepanjang jalan memberikan ketenangan. Di mana aku bisa menghirup oksigen dengan begitu rakus."Bang, cepetan jalannya kenapa? Pelan banget. Sengaja pengen lama-lama gendong aku, iya?!" Aku menegur Bang Fahad yang terlampau santai berjalan. Sementara aku sudah cepat ingin diturunkan dan tiba di pantainya."Kamu gak sadar, ya? Kamu ini berat, tahu! Saya heran, tubuh kurus begini tapi kok berat banget. Emm, kayaknya kamu kelebihan dosa," cetusnya membuat mataku membola."Iya, iya deh, si paling suci!" jawabku malas. Mulutnya b
Sorot mata itu lagi-lagi mengintimidasi. Dominan dan sangat menuntut, seolah mengunci gerakan mataku. Entah apa maunya laki-laki menyebalkan ini."Apa kamu tidak bisa melihat, bagaimana kamar di villa ini dibuat begitu manis hingga memberikan kesan romantis bagi siapa saja yang menghuninya?" tanyanya dengan tatapan menghujam itu."Apa kamu akan menyia-nyiakan tempat semanis dan seromantis ini hanya dengan terus berdebat, hmmm?" sambungnya dengan jari telunjuk yang mengarah di atas dadaku.Aku ingin melawan. Menggeplaknya kuat-kuat meski dengan tangan kosong. Namun aku tidak bisa, tubuh kekar Bang Fahad benar-benar mengunci pergerakanku."Seandainya bukan sama Abang, aku juga tidak akan menyia-nyiakan tempat seindah ini! Seandainya aku pergi bersama orang yang aku cintai, sudah tentu tempat ini akan sangat berguna dan bukan diisi hanya dengan perdebatan! Tapi aku tidak pernah mencintai Abang! Aku gak suka sama Abang! Aku benci B
Sudah jam delapan malam. Menu makan malam sudah diantar dan saat ini aku sedang menikmatinya. Mau tidak mau, aku makan malam bersama Bang Fahad di ruangan depan. Ditemani layar televisi yang menyala. Namun di tengah makan, aku mulai merasakan tidak nyaman. Sebab sejak tiba siang tadi, aku belum mandi sama sekali. Aku mulai merasakan gatal serta gerah di tubuh, hingga buru-buru menyelesaikan sisa makananku. Meneguk habis air dalam gelas sebelum kemudian mencoba bangkit. Sayangnya, aku benar-benar harus menahan rasa sakit pada kaki ini saat berusaha untuk berdiri dan meninggalkan sofa ruangan televisi. "Mau ke mana kamu?" tanya Bang Fahad yang belum selesai makan. "Mandi!" jawabku tanpa menoleh dan terus menyeret kaki untuk masuk ke dalam kamar. "Yakin bisa?" tanya Bang Fahad di belakang sana. "Harus bisa lah!" tukasku sambil terus melangkah dan akhirnya sampai di dalam kamar. Tidak kudengar lagi
Aku terpaku.Terdiam mencerna pertanyaan yang terlontar dari mulut Bang Fahad barusan.Apa aku tidak salah dengar? Mencoba membuka membuka diri dan pernikahan ini? Apa mungkin?Namun belum sempat aku menjawab pertanyaan anehnya itu, tiba-tiba saja dia malah terbahak.“Ha ha ha. Gak usah kamu anggap serius. Saya cuma bercanda, enggak beneran kok nanya begitu,” ucapnya masih sambil tertawa-tawa. Tanpa rasa bersalah tapi raut wajah dan tawanya justru terdengar meledek.Kurang ajar.“Pasti kamu lagi mikir dan menganggap saya serius ‘kan? Ha ha ha. Saya justru lagi mikir, kesialan apa yang sedang menimpa saya, sampai-sampai harus terjebak pernikahan dengan bocah keras kepala seperti kamu,” sambungnya tak berhenti meledek.Kedua tanganku mengepal. Andai aku tidak sedang demam dan lemas begini, sudah aku lemparkan lampu duduk di atas nakas itu sampai menghantam kepalanya. Biar otak laki-laki itu ti
Tidak tinggal diam, aku berjalan cepat keluar dari ruangan depan rumah Mama. Menyusul Bang Fahad yang melangkah begitu lebar dan sudah sampai di halaman. Aku berlari menuruni teras seraya meneriakkan namanya. Langkahnya tampak melambat, sedangkan aku mempercepat langkah kaki.Sampai aku berhasil memeluknya dari belakang. Kepalaku rebah di punggung lebarnya. "Bang, jangan seperti ini. Kenapa Abang gak percaya sama aku?" tanyaku dengan suara lirih. Jujur saja, sebenarnya aku tidak begitu bertenaga. Tubuhku rasanya lelah sekali, tapi aku tidak mungkin membiarkan Bang Fahad pergi begitu saja.Laki-laki yang tengah kupeluk ini hanya bergeming tanpa reaksi. Tidak ada pula yang keluar dari mulutnya.Air mataku sudah tidak bisa dibendung. Hingga kubiarkan jebol dan membasahi pipi. "Aku hanya mencintai Abang. Sedikitpun aku gak pernah terpikirkan untuk kembali pada Raka apalagi sampai berselingkuh dengan dia. Tolong, percaya padaku, Bang," ucapku coba menjelaskan kembali. Kuharap, dia mau mend
"A—apa maksudnya?" Napasku rasanya tercekat di tenggorokan. Suaraku melemah. Tidak mengerti dan mencoba mencerna apa yang disampaikan penjaga rumah.Mungkinkah Bang Fahad mengusirku? Atau ... dia ingin menyudahi mahligai rumah tangga kami?"Saya tidak tahu, Mba. Tuan hanya berpesan sebelum pergi, untuk menyampaikan pada Mba Chiara, kalau Mba tidak diizinkan masuk ke dalam rumah. Dan menyampaikan kalau Tuan ada di rumah orang tuanya Mba," jawab si penjaga rumah menambah keresahan dalam hatiku.Aku mengusap wajah dengan kedua tangan. Kakiku sebenarnya lemas sekali, tapi dipaksa kuat karena keadaan yang membingungkan dan harus kuhadapi.Kutarik napas panjang, melirik pada koper-koper milikku yang sudah berada di luar pagar. "Pak, titip dulu kopernya. Aku ke rumah orang tuaku dulu pakai ojeg online," pintaku pada si penjaga rumah."Baik, Mba."Aku menjauh dari depan pagar. Memesan ojeg online dengan cepat melalui ponsel. Menunggunya dengan perasaan tak menentu. Hingga berselang sepuluh me
Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi, tapi yang kurasakan tubuhku rasanya begitu lemas. Kesadaranku mulai pulih. Aku membuka mata yang rasanya teramat berat. Langit-langit kamar yang putih membuatku merasa ingin kembali memejam, karena artinya aku sudah di rumah.Meski mataku terpejam, aku bisa merasakan kalau sekarang tubuhku sudah terbaring di atas kasur empuk dengan selimut yang menutupi. Hingga turut kurasakan, tangan yang membelai rambutku lalu kecupan yang mendarat di kening. Namun karena keadaan, aku enggan membuka mata.Aku memilih mengubah posisi, membawa tubuhku berbaring miring lalu memeluk pinggang Bang Fahad. Merasakan kehangatan yang menjalari tubuh, meski hawa tubuhku sendiri rasanya panas. Aku membawa wajah ini tenggelam di dadanya. Menelusup mencari tempat paling nyaman yang selalu kudapatkan darinya.Tangannya kembali mengusap kepalaku, membelai rambutku, sentuhannya begitu lembut dan membuatku merasakan nyaman berkali lip
Dua Minggu berlalu, Bang Fahad benar-benar menepati ucapannya. Dia selalu menungguku hingga selesai kelas dan baru pergi ke kantornya setelah mengantarku dengan aman sampai ke rumah. Aku seperti anak TK yang harus ditunggui tiap jam belajar. Tapi dengan seperti itu, aku benar-benar terbebas dari gangguan Rakana. Sejak Bang Fahad dengan setia menungguiku, Rakana memang tidak pernah lagi menemuiku. Membuat hidup ini terasa lebih tentram kembali.Pagi ini seperti biasanya aku tengah menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Dua cangkir teh hangat beserta sandwich roti panggang sudah tersaji. Aku menunggu di meja makan, menatap cangkir teh di depanku yang masih mengepulkan asapnya.Tanganku mengarah ke belakang, menyentuh leher lalu mengusap pundak dan memijatnya pelan. Rasanya tubuhku meriang dan sedikit lemas, entah kenapa tapi kemarin aku masih baik-baik saja."Kenapa, Chi?" Bang Fahad datang dan langsung bertanya.Aku menggerakkan kepala ke kanan serta kiri. "Tiba-tiba aku meriang, Bang,"
Aku menatapnya heran. Penampilannya siang ini mirip eksekutif muda. Aku heran karena penampilannya kali ini benar-benar jauh berbeda dari sebelumnya, saat bertemu terakhir dengannya di toko florist hari itu.Trek!!!Aku tersentak saat Rakana menjentikkan jarinya di depan wajahku."Chi? Gak usah terkesima gitu lah lihatin aku," ucapnya dengan senyuman yang terukir. "Ayo, aku antar kamu pulang."Aku menggeleng cepat. "Gak usah ge-er kamu! Dan gak perlu repot-repot, aku gak mau dianter kamu!" tegasku lalu bergeser, ingin segera berlalu darinya.Namun tiba-tiba pergelangan tanganku dicekal, hingga langkahku terhenti. Aku coba menariknya agar terlepas, tapi Rakana menahannya kuat."Lepas, Raka!" Bukannya melepaskan, Raka menarik tubuhku hingga berhadapan lagi dengannya. "Jutek banget sih, Chi? Aku udah gak jadi OB lagi. Mobil aku punya, kerjaanku juga sekarang jauh lebih bagus, kamu lihat p
Bang Fahad sudah merebahkan tubuhku mengisi kursi belakang mobil saat ini. Dia masih menciumku dengan seduktif. Kedua tanganku menahan dadanya. Pikiran serta respon tubuhku mulai bertolak belakang. Pikiran ini menolak tapi respon tubuhku justru berkhianat."Bang ...," bisikku saat ia melepaskan bibirnya. Namun itu tidak lama, karena dia menciumku kembali. Kali ini bahkan lebih dalam. Tubuhku panas dingin dibuatnya."Bang, jangan di sini," ucapku saat ciumannya sudah berpindah ke leher."Terus di mana, Sayang?" balasnya dengan suara parau, namun ia tidak menghentikan aktivitasnya itu."Di rumah," jawabku dengan napas tersengal."Saya maunya di sini," timpal Bang Fahad yang sudah merambat turun ke dadaku."Tapi ... ini di jalan, Bang. Malu nanti kepergok orang," sahutku coba menyadarkannya. Walau aku sendiripun sudah terpancing dengan sentuhan liarnya itu."Gak masalah, kita bukan pasangan mesum, kita suami istri kok," jawabnya tak mau kalah."Tapi, Bang——" Ucapanku tertahan, saat Bang
Pukul setengah sebelas malam, aku dan Bang Fahad baru pulang dari rumah Mama dan sedang di dalam mobil. Satu jam sebelumnya kami baru pulang dari mall, itupun dengan Mama yang tidak hentinya menelpon Mba Lin agar segera pulang karena dia sudah rindu pada dua cucunya.Di perjalanan pulang, sekilas aku melihat pada Bang Fahad yang sedang menyetir. Wajahnya terlihat berseri dengan senyum kecil yang tersungging."Abang kenapa? Kok senyum-senyum gitu?" tanyaku penasaran.Bang Fahad menggeleng pelan. "Gak papa, saya inget tadi jalan-jalan sama keponakan kamu. Keira walaupun baru enam tahun, tapi dia udah pintar dan tanggap. Kalau Keshara, moody-an banget anaknya," jawabnya terdengar bahagia dan antusias. "Rasanya seneng aja gitu jalan-jalan sama mereka."Aku memiringkan duduk hingga menghadap padanya dengan kepala masih dibiarkan bersandar. Jujur saja aku lelah sudah berkeliling mall bersama Mba Lin tadi. "Emm ... Abang pengen punya anak juga?"
Hampir satu jam berkutat di dapur, makanan akhirnya tersaji memenuhi meja makan. Mba Lin lepas tangan, dia hanya membuat puding buah sebagai dessert dan membiarkanku memasak beberapa menu sendirian.Mba Lin dan anak-anaknya sudah mengisi meja, begitu pula denganku dan Bang Fahad yang duduk bersisian. Aku pun mulai mengisi piring makan Bang Fahad lalu menyajikannya. Berlanjut mengisi piring makanku sendiri. Sedangkan Mba Lin sudah selesai menyiapkan untuk Keira makan sendiri, sementara Keshara makan di piring yang sama dengannya.Kami semua lantas makan bersama. Keira tampak begitu lahap, sedangkan Keshara sedikit diwarnai drama gerakan tutup mulut. Seperti kebiasaan Bang Fahad, selama makan hanya denting sendok dan garpu yang terdengar. Tidak ada obrolan selama kami makan, bahkan sampai menikmati puding buah sebagai penutupnya."Keira, gimana masakan Tante Chi, kamu kasih nilai berapa?" Bang Fahad bertanya pada Keira setelah kami semua benar-benar sel
"Kamu gak kerja lagi, Chi?" tanya Mba Lin saat aku masih asyik membantu mewarnai gambar milik Keira.Aku menggeleng cepat. "Enggak, Mba. Bang Fahad gak izinin aku kerja di mana-mana.""Jadi kamu di rumah aja?"Aku mengangguk. "Tapi aku udah daftar buat kuliah lagi, ambil S2 ekonomi. Udah ikut tesnya juga, tinggal nunggu pengumuman hasilnya sekitar dua mingguan lagi.""Kamu kuliah lagi? Suami kamu kasih izin?" Mba Lin bertanya dengan nada seolah tidak percaya."Justru Bang Fahad yang nyuruh aku buat lanjut kuliah lagi, Mba."Entah bagaimana reaksi Mba Lin, aku masih fokus pada pensil warna dan gambar keponakanku."Beruntung banget kamu, Chi. Jarang-jarang ada suami yang nyuruh istrinya buat lanjut kuliah, yang ada para suami pasti nyuruh istrinya buat di rumah, ngurus rumah dan kalau udah ada anak, ya ngurusin anak. Kayak mba gini. Setelah menikah dan mba langsung hamil, Mas Kevin nyuruh mba fokus sama keluarga. Padahal pengalaman kerja Mba dulu cuma satu tahunan karena keburu diajak n