Keluar dari kamar, aku sudah mengenakan kain mukena yang membungkus tubuh. Berjalan pelan dan hati-hati sampai akhirnya tiba di mushola kecil dalam rumah dan mendapat Bang Fahad tengah duduk di atas sajadahnya.
Bertepatan dengan kedatanganku, Bang Fahad menoleh membuatku tersenyum kaku."Masya Allah, kamu cantik banget pakai mukena itu," ucapnya membuatku menunduk."Abang gak usah gombal ah. Kita udah sama-sama menerima pernikahan ini, ngapain masih ngegombal sih?" tukasku merasa malu."Lho, siapa yang gombal? Saya jujur dan apa salahnya saya memuji istri sendiri?"Aku hanya tersenyum tipis mendengar jawabannya. Entah kenapa, rasanya berbeda ketika Bang Fahad mengucapkan hal-hal manis seperti itu. Aku tahu dia tidak berbohong, tapi tetap saja hatiku berdegup kencang seolah aku adalah gadis remaja yang baru jatuh cinta."Sudah siap, Chi? Yuk, kita mulai shalat," ajaknya seraya bangkit.ABeberapa menit berlalu. Omelette di dalam wajan tampak sudah matang. Baru saja tanganku terulur pada tungku kompor, Bang Fahad sudah lebih dulu memutar kenop kompornya hingga api pun padam seketika. Satu tangannya bergerak cepat memindahkan omelette ke atas piring saji. Setelahnya, dia seperti terburu-buru memutar tubuhku hingga berbalik. Kedua tangannya yang besar mengangkat pinggangku, hingga aku terduduk di meja kitchen set. Kedua tangannya kembali menahan di belakang pinggangku dengan sangat posesif.Kami saling tatap, sampai tangan kanannya tiba-tiba menyentuh pahaku yang terekspos karena tidak tertutup sepenuhnya oleh rok yang kupakai. Jari jemarinya yang besar menari-nari di sana, sampai tiba-tiba tangannya masuk begitu saja."Abang! Sarapannya udah siap, Abang mau ngapain?!" sergahku merasa geli sekaligus panas dingin karena sentuhan tangannya."Menurut kamu, saya mau apa?" tanyanya dengan tatapan genit. Tangannya tak mau diam, membuatku menahan napas karena rasa aneh yang men
"Abang gak siap-siap ke kantor?" tanyaku yang sedang membersihkan perabotan bekas sarapan di bak wastafel. Sedangkan Bang Fahad masih duduk di meja makan, dan aku baru menyadari kalau dia masih memakai pakaian rumah."Saya di rumah aja. Gak mau jauh dari kamu," jawabnya membuatku tak kuasa menahan tawa. Hingga tawaku menyembur berbarengan dengan pekerjaan yang sudah selesai. Aku mengeringkan kedua tangan lalu kembali mendekatinya di meja makan.Baru saja aku berdiri di samping kursi yang ia tempati, tanganku ditarik cukup kencang, sampai badanku oleng dan terjatuh tepat di pangkuannya."Kenapa kamu kok ketawa kayak gitu? Kamu ngeledek?" tudingnya dengan bibir mengerucut yang sangat menggemaskan."Abang ini bukannya pemimpin di kantor? Bisa-bisanya gak ke kantor cuma karena gak mau jauh dari aku," tukasku diikuti gelengan kepala.Bang Fahad mendaratkan dagunya di bahuku, menatapku dari samping dengan tatapan yang p
Sepeninggal Bang Fahad yang berangkat ke kantor hingga hari beranjak semakin siang, suasana rumah terasa sedikit sepi. Aku duduk di sofa ruang televisi, menatap gelas berisi jus strawberry buatanku sendiri. Ada rasa rindu yang aneh meskipun baru saja tadi pagi kami bersama.Tangan kiriku memegang ponsel, jemariku bergerak mencari kontak Bang Fahad. Setelah ragu sejenak, akhirnya aku mengirim pesan singkat.[Bang, udah istirahat makan siang?]Pesanku terkirim. Tak butuh waktu lama, ponselku bergetar. Sebuah balasan masuk.[Udah, Sayang. Kenapa? Kangen ya?]Aku tertawa kecil membaca pesannya. Seperti tahu isi pikiranku saja. Cepat-cepat aku mengetik balasan.[Enggak kok, cuma nanya aja]Tak sampai semenit, balasan darinya muncul lagi.[Masa? Tapi hati saya bilang kalau istri saya ini lagi mikirin saya. Bener gak?]Wajahku memanas. Sepertinya Bang Fahad ini bena
Bang Fahad tersenyum lebar, lalu mencondongkan tubuhnya mendekat. "Chiara Sayang, kalau kamu bilang enggak cemburu, kenapa wajah kamu merah begitu? Apa jus strawberry yang kamu ini kepanasan di perjalanan sampai kamu yang membawanya juga ikut panas?" tanyanya dengan nada menggoda.Aku memalingkan wajah. Menolak untuk menatapnya. "Enggak merah kok biasa aja. Abang aja suka berlebihan!" jawabku membantah, meski aku sadar suaraku terdengar melemah.Ia tertawa kecil. Tangannya yang kokoh meraih daguku, membawa wajahku terangkat hingga kembali menghadap ke arahnya. "Kalau enggak merah, terus kenapa ini pipi kamu panas sekali?" tanyanya sambil mengusap lembut pipiku dengan ibu jarinya. Sentuhannya membuatku sempat terpaku. Hingga aku berusaha mundur untuk menghindar darinya."Ini jus buat saya?" tanyanya yang hanya kubalas dengan anggukan kepala.Aku menatapnya dengan sinis, tapi dia terlihat santai saat membuka tutup botol kacanya dan mulai menyeruput
Bang Fahad melajukan mobil dengan kecepatan konstan, namun karena jalanan siang hari yang lengang mobil pun kembali tiba di rumah dengan sangat cepat. Kini, bahkan sudah berhenti di teras garasi.Dia susah keluar lebih dulu dari mobil ini. Sedangkan kau masih duduk dengan punggung bersandar di kursi. Sampai pintu mobil di sampingku dibuka dari luar."Ayo, Sayang." Suara Bang Fahad terdengar begitu lembut.Namun aku tidak juga keluar. Mengigit bibir sebab merasa gugup."Chi? Ayo, turun. Kita udah sampai rumah."Aku menoleh dan menatap Bang Fahad. "Mau turun sendiri atau saya gendong?"Aku menggeleng pelan. Kemudian mulai menggerakkan kaki hingga turun dari dalam mobil.Bang Fahad menutup pintu kembali dengan cukup kencang. Tangannya menggenggam tanganku seolah takut aku akan melarikan diri. Dengan tangan berada dalam genggamannya, dia berjalan lebih dulu, selama menuntunku di belakangnya tapi lebih tepatnya menyeret langkahku."Bang?" seruku berusaha menghentikan langkahnya yang begit
Tubuhku ambruk bersama deru napas yang terengah. Kepalaku bertumpu lemas di dada kokoh Bang Fahad yang penuh oleh keringat. Rasanya gila. Bercinta di siang hari bolong di atas sofa ruangan televisi. Pencahayaan begitu terang. Jendela besar di belakang layar televisi yang langsung menghadap pada halaman samping, seolah menjadi saksi penyatuan kami.Aku tak berdaya dalam dekapan tangan kekar Bang Fahad. Dia mencium ubun-ubunku entah berapa banyak. Tangannya silih berganti mengusap rambutku yang sudah tergerai dan pasti berantakan."Thank you, Sayang," ucapnya berbisik lembut. Aku tak menyahut, hanya terus memperbaiki napasku yang rasanya berantakan karena aktivitas ini.TING TONG"Astaga!" Aku menarik diri dengan cepat saat bel rumah berbunyi dengan nyaring."Tenang aja, Chi. Kamu kok kaget gitu sih, santai aja," ucap Bang Fahad yang juga turut bangkit.Buru-buru aku turun dari sofa. "Santai gimana? Ke
"Kamu gak kerja lagi, Chi?" tanya Mba Lin saat aku masih asyik membantu mewarnai gambar milik Keira.Aku menggeleng cepat. "Enggak, Mba. Bang Fahad gak izinin aku kerja di mana-mana.""Jadi kamu di rumah aja?"Aku mengangguk. "Tapi aku udah daftar buat kuliah lagi, ambil S2 ekonomi. Udah ikut tesnya juga, tinggal nunggu pengumuman hasilnya sekitar dua mingguan lagi.""Kamu kuliah lagi? Suami kamu kasih izin?" Mba Lin bertanya dengan nada seolah tidak percaya."Justru Bang Fahad yang nyuruh aku buat lanjut kuliah lagi, Mba."Entah bagaimana reaksi Mba Lin, aku masih fokus pada pensil warna dan gambar keponakanku."Beruntung banget kamu, Chi. Jarang-jarang ada suami yang nyuruh istrinya buat lanjut kuliah, yang ada para suami pasti nyuruh istrinya buat di rumah, ngurus rumah dan kalau udah ada anak, ya ngurusin anak. Kayak mba gini. Setelah menikah dan mba langsung hamil, Mas Kevin nyuruh mba fokus sama keluarga. Padahal pengalaman kerja Mba dulu cuma satu tahunan karena keburu diajak n
Hampir satu jam berkutat di dapur, makanan akhirnya tersaji memenuhi meja makan. Mba Lin lepas tangan, dia hanya membuat puding buah sebagai dessert dan membiarkanku memasak beberapa menu sendirian.Mba Lin dan anak-anaknya sudah mengisi meja, begitu pula denganku dan Bang Fahad yang duduk bersisian. Aku pun mulai mengisi piring makan Bang Fahad lalu menyajikannya. Berlanjut mengisi piring makanku sendiri. Sedangkan Mba Lin sudah selesai menyiapkan untuk Keira makan sendiri, sementara Keshara makan di piring yang sama dengannya.Kami semua lantas makan bersama. Keira tampak begitu lahap, sedangkan Keshara sedikit diwarnai drama gerakan tutup mulut. Seperti kebiasaan Bang Fahad, selama makan hanya denting sendok dan garpu yang terdengar. Tidak ada obrolan selama kami makan, bahkan sampai menikmati puding buah sebagai penutupnya."Keira, gimana masakan Tante Chi, kamu kasih nilai berapa?" Bang Fahad bertanya pada Keira setelah kami semua benar-benar sel
Seharian kami menghabiskan waktu di luar vila. Hingga tiba malam hari dan rupanya aku sempat tertidur. Aku terbangun karena suara gaduh dari dapur.Begitu keluar dari kamar, aku menemukan Bang Fahad berdiri dengan celemek bunga-bunga dan di tangannya ada mixer yang sedang menyala.“Abang ngapain?” tanyaku sambil menahan tawa.Dia menoleh dengan ekspresi penuh percaya diri, walau sedikit tepung menempel di pipinya. “Saya lagi bikin kue buat istri tercinta.”Mataku menyipit. “Bikin kue? Emang bisa?”“Bisa dong. Bisa gagal juga sih, tapi ... niatnya aja udah manis kan?”Aku tertawa sambil berjalan mendekat. “Tepungnya aja nempel di hidung. Udah kayak badut ulang tahun.”Dia nyengir, lalu tiba-tiba mencolekkan sedikit adonan dalam wadah ke ujung hidungku. “Nah, sekarang kita kembar.”“Bang! Ini lengket tau!” Aku coba membersihkannya, tapi dia malah kabur ke ruang tengah setelah menyemburkan lagi tepung ke arahku, membuatku harus mengejarnya sambil tertawa-tawa.“Kalau kamu bisa nangkep sa
Usai sarapan dan sedikit bersantai di teras vila, Bang Fahad menggandeng tanganku menuju dermaga kecil di belakang vila. Terdapat sebuah perahu kayu mungil sudah terikat di sana, mengapung tenang di atas danau yang berkilau di bawah sinar matahari siang.“Mau keliling danau pakai perahunya?” tanyanya sambil menatapku penuh semangat.Aku menatapnya ragu. "Abang yakin bisa mendayung? Jangan-jangan baru mulai udah nyangkut di tengah.”Dia tertawa renyah, lalu meraih pelampung untukku. “Kalau bersama kamu, saya mendadak seperti petugas damkar, apapun pasti bisa saya lakukan."Kami lantas naik ke perahu pelan-pelan. Perahu mulai bergerak perlahan, menyisakan riak kecil yang tenang di permukaan air.Aku duduk di ujung yang berhadapan langsung dengan Bang Fahad, sementara dia mulai mengayuh dengan tenang dan teratur.Angin menerpa wajah kami, lembut dan menenangkan. Pemandangan sekeliling terasa seperti lukisan hidup, pepohonan rindang, suara burung dari kejauhan, dan sinar matahari yang men
Satu bulan usai malam paling romantis itu, kami akhirnya berangkat. Keadaanku tiap harinya kian membaik. Aku sudah mampu berjalan dengan normal lagi, meski sesekali masih ada sakit yang terasa.Hari ini kamu pergi. Bukan ke luar negeri, bukan pula ke kota besar yang ramai dan gemerlap. Hanya ke sebuah vila tersembunyi di daerah perbukitan, tempat di mana suara alam jauh lebih lantang daripada deru kendaraan. Tempat yang dipilih Bang Fahad sendiri, tempat yang katanya sudah lama ingin ia kunjungi bersamaku.Perjalanan kami ditemani udara sejuk dan senyum yang tak pernah lepas dari wajah kami. Aku duduk di kursi penumpang sambil sesekali meliriknya, dan setiap kali itu terjadi, Bang Fahad selalu sempat menangkap pandanganku.“Kamu ngelihatin saya terus, kenapa?” tanyanya sambil nyengir, matanya masih fokus ke jalan.Aku mengangkat bahu dengan wajah sok polos. “Salah, ya? Ngelihatin suami sendiri?”Dia tertawa kecil. “Enggak. Cuma takut kamu gak kuat nahan rasa cinta aja, nanti meledak d
Waktu terasa lambat saat aku harus hidup bergantung di kursi roda. Tidak ada hari yang terlewat tanpa obat dan terapi. Tidak ada waktu yang berlalu tanpa bantuan dari Bang Fahad padaku. Hingga detik ini, terhitung sudah lima bulan aku menjalani semuanya. Dukungan dan kesetiaan Bang Fahad tidak perlu diragukan. Dia ada di setiap saat aku membutuhkannya.Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Pelan tapi pasti, aku sudah mulai bisa berjalan meski hanya baru di dalam rumah. Keadaanku berangsur membaik dan semua ini tidak lepas dari dukungan penuh Bang Fahad selama aku menjalani terapi."Saya senang, akhirnya kamu bisa jalan lagi, meski masih pelan-pelan," ucap Bang Fahad saat kami duduk bersama di sofa ruang televisi pagi hari setelah selesai sarapan."Semua karena bantuan Abang juga. Kalau tanpa Abang, aku gak yakin bisa membaik seperti ini," jawabku apa adanya.Bang Fahad tampak menggeleng. "Enggak, Chi. Semua karena usaha dan kegigihan kamu juga.
Hari demi hari berlalu.Aku belum juga mampu berjalan. Hidupku masih terus bergantung pada kursi roda, tetapi gips yang semula membungkus kakiku sudah dilepaskan. Pergelangan kakiku tidak sempurna bentuknya. Aku masih harus menjalani terapi dan Bang Fahad merawatku dengan sangat telaten selama ini.Seperti pagi ini, dia sudah membawa semangkuk bubur hangat ke kamar dan bersiap menyuapiku. Namun, aku menundanya."Kamu belum laper?" tanya Bang Fahad yang duduk di sisi tempat tidur.Aku menggeleng pelan. "Belum. Tapi ... aku ngerasa gerah banget. Boleh gak minta tolong?"Dia menatapku penuh perhatian. "Boleh, dong. Kamu mau apa?""Aku pengen mandi dulu, mau keramas."Dia mengangguk mantap. "Oke. Ayo, saya bantu."Bang Fahad bergerak cepat menggulung lengan kausnya, mengambil baskom dari lemari kecil, handuk bersih, dan sampo favoritku yang disimpan di rak pojok."Emm, saya gendong aja ya?" tanyanya setelah
Pelukan itu masih bertahan.Lama.Seakan tidak ada kata yang lebih tepat selain diam yang saling menyampaikan isi hati. Aku bisa mendengar detak jantungnya yang tenang, ritmenya menyatu dengan napasku yang perlahan mulai normal kembali. Tak ada luka yang benar-benar hilang, tapi pagi ini aku merasa luka itu mulai sembuh lewat cara yang tak pernah kusangka.Setelah beberapa menit, Bang Fahad melepaskan pelukan. Ia menatapku, dan masih dengan sorot rasa bersalah. "Chi?"Aku mengangkat dagu, menatapnya balik.“Boleh saya mulai dari awal?” tanyanya. “Tidak harus langsung. Tidak perlu buru-buru. Tapi ... boleh saya temani kamu dari awal lagi? Belajar ulang tentang kamu, tentang kita?”Jantungku berdetak lebih cepat. Bukan karena gugup, tapi karena pertanyaan itu seperti angin sejuk yang datang setelah badai panjang di musim penghujan.Aku tersenyum kecil. “Mulai dari awal sekali?”D
Malam ini seakan menjadi saksi bisu dari dua hati yang pernah patah dan kini saling menopang. Tidak sempurna, tidak juga langsung sembuh. Tapi setidaknya, kami sepakat untuk saling menggenggam.Bang Fahad mengantarku kembali ke kamar. Sesampainya di ranjang, dia membantu dengan lembut saat aku berpindah dari kursi roda. Tak banyak kata, hanya gerakan-gerakan penuh kehati-hatian yang membuat dadaku hangat.Saat aku sudah rebah dan selimut menutupi tubuh, Bang Fahad duduk di sisi ranjang, tak langsung pergi. Tangannya masih menggenggam jemariku erat, seolah enggan melepas."Kalau kamu butuh apa-apa, panggil saya ya," ucapnya pelan.Aku hanya mengangguk. Suaraku seolah tertinggal di ruang doa tadi. Dia kemudian berdiri, tapi sebelum melangkah ke luar, aku menahannya dengan satu kalimat sederhana."Bang ... boleh duduk di sini sebentar lagi?"Dia menoleh. Wajahnya menegang sesaat, sebelum melunak dan kembali duduk di kursi samping tempat tidurku."Sebentar aja, ya?" Aku menatapnya ragu.B
Aku merasa ada yang runtuh dari dalam diriku. Tembok tinggi yang aku bangun perlahan mulai retak-retak oleh ucapannya yang penuh harap dan doa yang lirih.Air mataku jatuh begitu saja tanpa bisa dicegah. Mungkin ini bukan karena kasihan. Tapi lebih pada ... aku tak pernah menyangka ada seseorang yang begitu bersungguh-sungguh meminta kesempatan kedua, bahkan ketika dia tahu tak ada jaminan untuk diterima.Tanganku gemetar saat menyentuh pegangan kursi roda. Ingin rasanya aku putar balik, kembali ke kamar dan pura-pura tak pernah mendengar apa pun tadi. Tapi langkahnya yang kini berdiri, menoleh, dan langsung terpaku melihatku di sana membuat semuanya terlambat."Chi?" ucapnya sambil buru-buru mengusap wajah, seolah tak ingin aku melihat bekas air matanya. Dia melipat sajadah dengan cepat, lalu menyalakan lampu ruangan hingga terang benderang. Dia berlari, sampai berjongkok di depan kursi rodaku."Ada apa? Kenapa kamu ke luar kamar? Kamu perlu apa? Air minum kamu habis?" Dia mencecar d
"Selamat datang di rumah."Bang Fahad berucap dengan begitu lembut ketika baru saja sampai di ruang tamu. Setelah satu Minggu dirawat di rumah sakit, pagi ini aku sudah kembali ke rumah."Kamu mau langsung istirahat dulu di kamar atau makan dulu?" tawar Bang Fahad lagi. Namun, aku belum bereaksi. Aku yang duduk di kursi roda, hanya menatap lurus ke depan. Jujur saja aku merasa kesal karena harus bergantung padanya. "Gak usah sok baik, Bang!" ucapku akhirnya dengan pandangan masih lurus ke arah depan. Kejadian perampokan malam itu, masih sering berkelebat dalam pikiranku. Karena kejadian itu, aku kehilangan mobil, ponsel dan dompet dalam tas. Papa yang sudah mencoba mengusutnya di pihak berwajib, tapi belum menemukan titik terang.Bang Fahad tiba-tiba berjongkok di depan kursi rodaku. Sempat pandangan mata kami bertemu, sebelum kemudian aku memalingkan wajah. Namun saat itu pula, aku malah teringat bagaimana dia menjagaku selam