Hampir satu jam berkutat di dapur, makanan akhirnya tersaji memenuhi meja makan. Mba Lin lepas tangan, dia hanya membuat puding buah sebagai dessert dan membiarkanku memasak beberapa menu sendirian.
Mba Lin dan anak-anaknya sudah mengisi meja, begitu pula denganku dan Bang Fahad yang duduk bersisian. Aku pun mulai mengisi piring makan Bang Fahad lalu menyajikannya. Berlanjut mengisi piring makanku sendiri. Sedangkan Mba Lin sudah selesai menyiapkan untuk Keira makan sendiri, sementara Keshara makan di piring yang sama dengannya.Kami semua lantas makan bersama. Keira tampak begitu lahap, sedangkan Keshara sedikit diwarnai drama gerakan tutup mulut. Seperti kebiasaan Bang Fahad, selama makan hanya denting sendok dan garpu yang terdengar. Tidak ada obrolan selama kami makan, bahkan sampai menikmati puding buah sebagai penutupnya."Keira, gimana masakan Tante Chi, kamu kasih nilai berapa?" Bang Fahad bertanya pada Keira setelah kami semua benar-benar selPukul setengah sebelas malam, aku dan Bang Fahad baru pulang dari rumah Mama dan sedang di dalam mobil. Satu jam sebelumnya kami baru pulang dari mall, itupun dengan Mama yang tidak hentinya menelpon Mba Lin agar segera pulang karena dia sudah rindu pada dua cucunya.Di perjalanan pulang, sekilas aku melihat pada Bang Fahad yang sedang menyetir. Wajahnya terlihat berseri dengan senyum kecil yang tersungging."Abang kenapa? Kok senyum-senyum gitu?" tanyaku penasaran.Bang Fahad menggeleng pelan. "Gak papa, saya inget tadi jalan-jalan sama keponakan kamu. Keira walaupun baru enam tahun, tapi dia udah pintar dan tanggap. Kalau Keshara, moody-an banget anaknya," jawabnya terdengar bahagia dan antusias. "Rasanya seneng aja gitu jalan-jalan sama mereka."Aku memiringkan duduk hingga menghadap padanya dengan kepala masih dibiarkan bersandar. Jujur saja aku lelah sudah berkeliling mall bersama Mba Lin tadi. "Emm ... Abang pengen punya anak juga?"
Bang Fahad sudah merebahkan tubuhku mengisi kursi belakang mobil saat ini. Dia masih menciumku dengan seduktif. Kedua tanganku menahan dadanya. Pikiran serta respon tubuhku mulai bertolak belakang. Pikiran ini menolak tapi respon tubuhku justru berkhianat."Bang ...," bisikku saat ia melepaskan bibirnya. Namun itu tidak lama, karena dia menciumku kembali. Kali ini bahkan lebih dalam. Tubuhku panas dingin dibuatnya."Bang, jangan di sini," ucapku saat ciumannya sudah berpindah ke leher."Terus di mana, Sayang?" balasnya dengan suara parau, namun ia tidak menghentikan aktivitasnya itu."Di rumah," jawabku dengan napas tersengal."Saya maunya di sini," timpal Bang Fahad yang sudah merambat turun ke dadaku."Tapi ... ini di jalan, Bang. Malu nanti kepergok orang," sahutku coba menyadarkannya. Walau aku sendiripun sudah terpancing dengan sentuhan liarnya itu."Gak masalah, kita bukan pasangan mesum, kita suami istri kok," jawabnya tak mau kalah."Tapi, Bang——" Ucapanku tertahan, saat Bang
Aku menatapnya heran. Penampilannya siang ini mirip eksekutif muda. Aku heran karena penampilannya kali ini benar-benar jauh berbeda dari sebelumnya, saat bertemu terakhir dengannya di toko florist hari itu.Trek!!!Aku tersentak saat Rakana menjentikkan jarinya di depan wajahku."Chi? Gak usah terkesima gitu lah lihatin aku," ucapnya dengan senyuman yang terukir. "Ayo, aku antar kamu pulang."Aku menggeleng cepat. "Gak usah ge-er kamu! Dan gak perlu repot-repot, aku gak mau dianter kamu!" tegasku lalu bergeser, ingin segera berlalu darinya.Namun tiba-tiba pergelangan tanganku dicekal, hingga langkahku terhenti. Aku coba menariknya agar terlepas, tapi Rakana menahannya kuat."Lepas, Raka!" Bukannya melepaskan, Raka menarik tubuhku hingga berhadapan lagi dengannya. "Jutek banget sih, Chi? Aku udah gak jadi OB lagi. Mobil aku punya, kerjaanku juga sekarang jauh lebih bagus, kamu lihat p
Dua Minggu berlalu, Bang Fahad benar-benar menepati ucapannya. Dia selalu menungguku hingga selesai kelas dan baru pergi ke kantornya setelah mengantarku dengan aman sampai ke rumah. Aku seperti anak TK yang harus ditunggui tiap jam belajar. Tapi dengan seperti itu, aku benar-benar terbebas dari gangguan Rakana. Sejak Bang Fahad dengan setia menungguiku, Rakana memang tidak pernah lagi menemuiku. Membuat hidup ini terasa lebih tentram kembali.Pagi ini seperti biasanya aku tengah menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Dua cangkir teh hangat beserta sandwich roti panggang sudah tersaji. Aku menunggu di meja makan, menatap cangkir teh di depanku yang masih mengepulkan asapnya.Tanganku mengarah ke belakang, menyentuh leher lalu mengusap pundak dan memijatnya pelan. Rasanya tubuhku meriang dan sedikit lemas, entah kenapa tapi kemarin aku masih baik-baik saja."Kenapa, Chi?" Bang Fahad datang dan langsung bertanya.Aku menggerakkan kepala ke kanan serta kiri. "Tiba-tiba aku meriang, Bang,"
Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi, tapi yang kurasakan tubuhku rasanya begitu lemas. Kesadaranku mulai pulih. Aku membuka mata yang rasanya teramat berat. Langit-langit kamar yang putih membuatku merasa ingin kembali memejam, karena artinya aku sudah di rumah.Meski mataku terpejam, aku bisa merasakan kalau sekarang tubuhku sudah terbaring di atas kasur empuk dengan selimut yang menutupi. Hingga turut kurasakan, tangan yang membelai rambutku lalu kecupan yang mendarat di kening. Namun karena keadaan, aku enggan membuka mata.Aku memilih mengubah posisi, membawa tubuhku berbaring miring lalu memeluk pinggang Bang Fahad. Merasakan kehangatan yang menjalari tubuh, meski hawa tubuhku sendiri rasanya panas. Aku membawa wajah ini tenggelam di dadanya. Menelusup mencari tempat paling nyaman yang selalu kudapatkan darinya.Tangannya kembali mengusap kepalaku, membelai rambutku, sentuhannya begitu lembut dan membuatku merasakan nyaman berkali lip
"A—apa maksudnya?" Napasku rasanya tercekat di tenggorokan. Suaraku melemah. Tidak mengerti dan mencoba mencerna apa yang disampaikan penjaga rumah.Mungkinkah Bang Fahad mengusirku? Atau ... dia ingin menyudahi mahligai rumah tangga kami?"Saya tidak tahu, Mba. Tuan hanya berpesan sebelum pergi, untuk menyampaikan pada Mba Chiara, kalau Mba tidak diizinkan masuk ke dalam rumah. Dan menyampaikan kalau Tuan ada di rumah orang tuanya Mba," jawab si penjaga rumah menambah keresahan dalam hatiku.Aku mengusap wajah dengan kedua tangan. Kakiku sebenarnya lemas sekali, tapi dipaksa kuat karena keadaan yang membingungkan dan harus kuhadapi.Kutarik napas panjang, melirik pada koper-koper milikku yang sudah berada di luar pagar. "Pak, titip dulu kopernya. Aku ke rumah orang tuaku dulu pakai ojeg online," pintaku pada si penjaga rumah."Baik, Mba."Aku menjauh dari depan pagar. Memesan ojeg online dengan cepat melalui ponsel. Menunggunya dengan perasaan tak menentu. Hingga berselang sepuluh me
Tidak tinggal diam, aku berjalan cepat keluar dari ruangan depan rumah Mama. Menyusul Bang Fahad yang melangkah begitu lebar dan sudah sampai di halaman. Aku berlari menuruni teras seraya meneriakkan namanya. Langkahnya tampak melambat, sedangkan aku mempercepat langkah kaki.Sampai aku berhasil memeluknya dari belakang. Kepalaku rebah di punggung lebarnya. "Bang, jangan seperti ini. Kenapa Abang gak percaya sama aku?" tanyaku dengan suara lirih. Jujur saja, sebenarnya aku tidak begitu bertenaga. Tubuhku rasanya lelah sekali, tapi aku tidak mungkin membiarkan Bang Fahad pergi begitu saja.Laki-laki yang tengah kupeluk ini hanya bergeming tanpa reaksi. Tidak ada pula yang keluar dari mulutnya.Air mataku sudah tidak bisa dibendung. Hingga kubiarkan jebol dan membasahi pipi. "Aku hanya mencintai Abang. Sedikitpun aku gak pernah terpikirkan untuk kembali pada Raka apalagi sampai berselingkuh dengan dia. Tolong, percaya padaku, Bang," ucapku coba menjelaskan kembali. Kuharap, dia mau mend
Aku membuka mata. Rasanya tubuhku makin tidak karuan saja. Aku mengedarkan pandangan, dan ternyata aku berada dalam kamarku di lantai atas. Mungkin Papa yang sudah membawaku, karena usai Bang Fahad pergi, tubuhku limbung tak terkendali.Aku meraba dahi, mendapati kompres instan yang menempel. Menyentuh leher dan tubuhku memang lebih hangat dari biasanya."Mba sudah sadar?" tanya pembantu rumah yang duduk di sampingku terbaring.Aku mengangguk lemah sebagai jawaban. "Sekarang jam berapa?""Jam delapan malam, Mba.""Mama sama Papa mana?""Bapak sama Ibu pergi dulu katanya.""Ke mana?""Tidak bilang, Mba. Bapak sama Ibu berpesan, kalau Mba sudah sadar, Mba harus makan. Tadi sudah diperiksa dokter yang datang, Mba Chia demam, makanya dipasang kompres instan."Aku pun hanya mengangguk. Kondisi tubuhku rasanya naik turun dan tidak juga membaik. Aku lantas meminta pembantu rumah untuk membuatku bangkit sampai akhirnya duduk bersandar. Ketika duduk, pusing di kepalaku kembali terasa. Rasanya
"Om Ruslan ...?" ucapku berbisik setelah tahu siapa yang memukul wajahku. Punggung tangan bergerak mengusap sudut bibir bawah yang berdarah. Pukulan tadi memang sangat keras, karena itulah sudut bibirku sampai berdarah."Mau apa kamu ke mari? Mau apa lagi?!" Om Ruslan menghardik. Dia berdiri menjulang di depanku. Wajah dengan rahang mengeras itu menunjukkan bahwa ia tengah diliputi kemarahan. "Setelah tiga tahun berlalu, untuk apalagi kamu menampakkan diri pada Chiara, hah? Belum cukup kamu menyakiti dia sebelumnya? Sekarang Chiara sudah bahagia dan melupakan masa lalu yang buruk bersama kamu. Mau apalagi kamu mengganggu putri saya?!"Aku lantas berusaha bangkit, hingga akhirnya mampu berdiri sekaligus berhadapan dengannya. "Om, saya tidak bermaksud mengganggu Chia. Saya ... ke mari karena memang ingin berbicara pada kalian——""Halah! Sudahlah Fahad, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sejak tiga tahun yang lalu, kami sudah memutuskan untuk tidak saling mengenal dengan kamu dan kel
Minuman pesananku baru saja datang, padahal aku berniat untuk berniat. Terpaksa aku menyeruputnya meski sedikit. Karena sudah dibayar, aku pun segera bangkit. Meninggalkan meja dan buru-buru keluar dari resto itu. Masuk ke dalam mobilku lalu duduk di balik setir kemudi. Melepas masker penutup wajah serta topi.Kepala refleks bersandar pada kursi. Obrolan sepasang suami istri tadi terbayang lagi. Aku tidak sanggup lama-lama berada di sana dan terus menguping semuanya. Makin lama hatiku makin nyeri mendengarnya. Bagaimana mereka tampaknya begitu saling menyayangi dan melindungi satu sama lain."Chiara sudah bahagia. Apa aku pulang saja tanpa pernah menemuinya? Karena untuk apalagi aku bertemu? Chiara sudah memiliki kehidupan lain," gumamku dengan tangan mencengkram setir kemudi.Aku sendiri gamang, entah harus bagaimana. Pesan terakhir Mama adalah memintaku untuk meminta maaf pada Chiara dan keluarganya. Tapi aku tidak yakin, Chiara mau bertemu denganku, apalagi keluarganya. Aku sadar k
Aku terduduk lesu dengan kedua kaki menekuk, wajahku tenggelam di antara lengan yang bertumpu. Tak kuasa aku menahan tangis, hingga tergugu sendirian di samping pusara anakku sendiri.Apa yang sudah terjadi tiga tahun ke belakang? Apa yang sudah Chiara dan kandungannya lalui? Bagaimana bisa aku mengabaikan mereka hingga kenyataan saat ini benar-benar menamparku.Darah dagingku sudah tiada tanpa aku ketahui. Apa dia sakit? Atau kecelakaan? Atau hal apa yang sudah membuatnya kembali begitu cepat kepada Sang Pencipta?Aku mengangkat wajah yang basah dan mengusapnya meski belum puas menangis. Tanganku kembali terulur pada nisan dari marmer hitam itu dan mengusapnya."Assalamualaikum, Nak ...," ucapku lirih. Aku bahkan baru sadar, kalau aku belum mengucapkan salam sejak mendatangi makam ini."Ini ... papa kamu, Nak. Maaf, papa bahkan baru bisa datang sekarang. Papa pikir kamu sudah tumbuh menggemaskan, tapi ternyata ...." Bibirku rasanya kelu untuk melanjutkan.Aku berusaha untuk meredam t
Aku sudah kembali terbaring di atas ranjang rawat. Menatap langit-langit ruang rawat bercat putih terang. Satu kenyataan sudah kudapat, bahwa Chiara sudah menikah lagi. Dia sudah benar-benar melupakanku, bahkan mungkin sudah tidak mengharapkanku di hidupnya lagi. Aku pun sadar, aku sudah sangat melukainya. Kuhembus napas berat. Mencoba untuk beristirahat agar tidak terlalu mengingat Chiara lagi, terutama wajah teduhnya yang begitu manis dengan kerudungnya tadi. Membuatku gelisah dan tidak tahu malu berharap bisa melihatnya lagi. Satu jam aku sendirian di ruang rawat, berbeda dengan pasien-pasien di balik tirai sebelah yang ditembak sanak keluarganya. Hingga dokter bersama perawat datang dan mengecek kondisiku. Dokter yang berbeda, mulai memeriksa luka di bahu dan pelipisku. Hingga memberi instruksi pada perawat yang sama dengan sebelumnya untuk mengganti perban di kepalaku. "Bapak tidak mengabari saudar
Malam telah larut saat aku tiba di Malang. Kota ini begitu sunyi, hanya ada cahaya lampu jalan yang temaram menemani perjalananku menuju sebuah penginapan kecil di pinggiran kota. Udara dingin menyeruak masuk dari sela-sela jendela mobil, membuatku kian merasa sendirian di tengah malam yang gelap. Bahkan rinai hujan seolah menyambut kedatanganku.Aku memilih menginap di sebuah losmen sederhana. Tidak ada yang mewah, hanya tempat untukku merebahkan tubuh setelah perjalanan panjang dari kota. Setelah check-in, aku langsung menuju kamar dan menghempaskan tubuh di atas kasur yang terasa keras. Meski lelah, mataku tak juga terpejam. Bayangan Mama, wajah Chia, dan segala kenangan pahit terus menghantui pikiranku.Kuhembus napas kasar. Hati ini rasanya makin kacau, entah ke mana aku harus memulai pencarian nantinya. Bahkan aku tidak memiliki informasi lebih detail tentang keluarga Chiara di daerah ini.Dalam keadaan terlentang, aku meraih ponsel di meja nakas. Memandang layarnya dengan peras
Setibanya di rumah sakit, hari sudah malam. Aku langsung menuju ruang ICU di mana Mama mendapatkan perawatan intensif. Ruangan yang seharusnya steril itu, justru tampak ramai karena ada Papa, dokter dan suster di dalamnya. Aku pun masuk dan mendekat ke samping ranjang.Mama terlihat sudah membuka matanya, tapi napasnya justru tersengal dan tertahan-tahan. Aku meraih tangan Mama yang terasa begitu dingin. Aku menciumnya hingga tanpa terasa air mata menetes begitu saja, melihat keadaan Mama apalagi wajahnya yang sangat pucat."Ma ... mama harus kuat. Mama pasti sembuh dan sehat lagi," bisikku tepat di telinganya. Sementara Papa dengan matanya yang basah, terus mengusap kepala Mama."Had ... kamu harus cari keluarga Om Ruslan. Minta maaf pada mereka. Sampaikan juga permintaan maaf mama karena anak-anak mama sudah menyakiti mereka terutama Chia. Mama ... titip Rakana. Jangan biarkan dia makin tersesat. Didik dia ... agar menjadi lebih baik, Had." Suara Mama parau dan terbata-bata.Aku men
"Hari itu, aku yang menyuntikkan obat tidur saat Chia gak sadarkan diri di dalam mobilku. Aku ... memang menidurinya saat dia dalam kondisi tidak sadarkan diri. Aku terobsesi sama Chia karena aku gak rela dia mencintai Abang. Aku gak rela Chia menjadi milik Abang dan gak ada yang boleh memiliki Chia kalau aku gak bisa memilikinya. Aku yang dengan sadar merekam perbuatanku pada Chia saat dia tertidur agar Abang marah dan menceraikannya. Setelah kalian berpisah, aku bisa memilikinya kembali.""Tapi aku salah, bagaimanapun aku memohon dan mengemis, dia tetap tidak mau menerimaku lagi. Dia gak mau memberiku kesempatan. Dia dan keluarganya pergi tapi aku gagal mengikuti mereka hari itu. Aku cari-cari info tapi gak ada jejak yang bisa aku temukan. Aku kehilangan Chia, benar-benar kehilangan dia. Sampai aku mencoba mulai menerima kehadiran Faula yang sudah melahirkan. Aku mencoba berdamai dengan hubunganku bersama Faula. Hidup sebagai mana harusnya dengan Faula karena Chia gak bisa lagi aku
"Mama kenapa, Pa? Mama sakit apa?" Aku langsung memburu Papa begitu tiba di rumah sakit. Menyusul duduk di kursi tunggu sebrang ruangan ICU.Papa tampak mengusap wajahnya frustasi. Kemudian menengadahkan kepala menempel pada dinding di belakangnya. "Mama sehat-sehat aja sebenarnya, Had. Tapi ....""Tapi apa? Pa, jangan buat aku makin khawatir," pintaku cemas.Papa meraup wajah dengan kedua telapak tangannya, lalu menatapku dengan netra berembun. "Had ... apa kamu tahu Rakana di mana selama ini?"Keningku sontak mengernyit karena selama tiga tahun lamanya, baru kali ini Papa menanyakan Rakana kembali. Aku pun menggeleng. "Aku gak tahu, Pa. Aku juga gak peduli lagi dia di mana. Mungkin, dia sudah menikah dan hidup bersama Chia setelah membohongiku tiga tahun yang lalu," jawabku kemudian.Papa menoleh dan menatapku dengan tatapan tak biasa. "Bagaimana bisa kamu menduga kalau mereka menikah?"Aku mengangkat bahu malas. "Mereka masih saling saling mencintai, Pa. Sangat mungkin kalau mereka
**************TIGA TAHUN KEMUDIAN ....Drrrt Drrrt Drrrt.Aku membuka mata saat ponsel bergetar, menyala karena alarm yang disetel sebelumnya. Setelah bangun, aku segera mematikannya. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Cepat aku membuka resleting dari tenda yang menjadi tempatku tidur.Lapangan luas membentang. Bau tanah kering menyeruak. Beberapa tenda lain terpasang dengan jarak cukup jauh dari tempatku, menjadi pemandangan pagi ini.Satu tahun ke belakang, aku senang mendaki gunung. Apalagi saat berhasil summit di puncaknya. Rasanya hanya ada aku dan alam, menyatu dan menenangkan.Aku enggan beranjak dari dalam tenda. Aku duduk dengan kedua kaki menekuk sambil memeluk lutut. Memandangi hamparan tanah yang begitu luas di alun-alun Suryakencana saat ini.Saat sendiri seperti sekarang, aku selalu diingatkan akan sosok Chiara. Perempuan manis yang berhasil membuatku jatuh cinta begitu dalam, tapi juga mampu menjatuhkanku tanpa ampun bersama luka yang tak berperi.Dia berselingkuh d