"Abang gak siap-siap ke kantor?" tanyaku yang sedang membersihkan perabotan bekas sarapan di bak wastafel. Sedangkan Bang Fahad masih duduk di meja makan, dan aku baru menyadari kalau dia masih memakai pakaian rumah."Saya di rumah aja. Gak mau jauh dari kamu," jawabnya membuatku tak kuasa menahan tawa. Hingga tawaku menyembur berbarengan dengan pekerjaan yang sudah selesai. Aku mengeringkan kedua tangan lalu kembali mendekatinya di meja makan.Baru saja aku berdiri di samping kursi yang ia tempati, tanganku ditarik cukup kencang, sampai badanku oleng dan terjatuh tepat di pangkuannya."Kenapa kamu kok ketawa kayak gitu? Kamu ngeledek?" tudingnya dengan bibir mengerucut yang sangat menggemaskan."Abang ini bukannya pemimpin di kantor? Bisa-bisanya gak ke kantor cuma karena gak mau jauh dari aku," tukasku diikuti gelengan kepala.Bang Fahad mendaratkan dagunya di bahuku, menatapku dari samping dengan tatapan yang p
Sepeninggal Bang Fahad yang berangkat ke kantor hingga hari beranjak semakin siang, suasana rumah terasa sedikit sepi. Aku duduk di sofa ruang televisi, menatap gelas berisi jus strawberry buatanku sendiri. Ada rasa rindu yang aneh meskipun baru saja tadi pagi kami bersama.Tangan kiriku memegang ponsel, jemariku bergerak mencari kontak Bang Fahad. Setelah ragu sejenak, akhirnya aku mengirim pesan singkat.[Bang, udah istirahat makan siang?]Pesanku terkirim. Tak butuh waktu lama, ponselku bergetar. Sebuah balasan masuk.[Udah, Sayang. Kenapa? Kangen ya?]Aku tertawa kecil membaca pesannya. Seperti tahu isi pikiranku saja. Cepat-cepat aku mengetik balasan.[Enggak kok, cuma nanya aja]Tak sampai semenit, balasan darinya muncul lagi.[Masa? Tapi hati saya bilang kalau istri saya ini lagi mikirin saya. Bener gak?]Wajahku memanas. Sepertinya Bang Fahad ini bena
Bang Fahad tersenyum lebar, lalu mencondongkan tubuhnya mendekat. "Chiara Sayang, kalau kamu bilang enggak cemburu, kenapa wajah kamu merah begitu? Apa jus strawberry yang kamu ini kepanasan di perjalanan sampai kamu yang membawanya juga ikut panas?" tanyanya dengan nada menggoda.Aku memalingkan wajah. Menolak untuk menatapnya. "Enggak merah kok biasa aja. Abang aja suka berlebihan!" jawabku membantah, meski aku sadar suaraku terdengar melemah.Ia tertawa kecil. Tangannya yang kokoh meraih daguku, membawa wajahku terangkat hingga kembali menghadap ke arahnya. "Kalau enggak merah, terus kenapa ini pipi kamu panas sekali?" tanyanya sambil mengusap lembut pipiku dengan ibu jarinya. Sentuhannya membuatku sempat terpaku. Hingga aku berusaha mundur untuk menghindar darinya."Ini jus buat saya?" tanyanya yang hanya kubalas dengan anggukan kepala.Aku menatapnya dengan sinis, tapi dia terlihat santai saat membuka tutup botol kacanya dan mulai menyeruput
Bang Fahad melajukan mobil dengan kecepatan konstan, namun karena jalanan siang hari yang lengang mobil pun kembali tiba di rumah dengan sangat cepat. Kini, bahkan sudah berhenti di teras garasi.Dia susah keluar lebih dulu dari mobil ini. Sedangkan kau masih duduk dengan punggung bersandar di kursi. Sampai pintu mobil di sampingku dibuka dari luar."Ayo, Sayang." Suara Bang Fahad terdengar begitu lembut.Namun aku tidak juga keluar. Mengigit bibir sebab merasa gugup."Chi? Ayo, turun. Kita udah sampai rumah."Aku menoleh dan menatap Bang Fahad. "Mau turun sendiri atau saya gendong?"Aku menggeleng pelan. Kemudian mulai menggerakkan kaki hingga turun dari dalam mobil.Bang Fahad menutup pintu kembali dengan cukup kencang. Tangannya menggenggam tanganku seolah takut aku akan melarikan diri. Dengan tangan berada dalam genggamannya, dia berjalan lebih dulu, selama menuntunku di belakangnya tapi lebih tepatnya menyeret langkahku."Bang?" seruku berusaha menghentikan langkahnya yang begit
Tubuhku ambruk bersama deru napas yang terengah. Kepalaku bertumpu lemas di dada kokoh Bang Fahad yang penuh oleh keringat. Rasanya gila. Bercinta di siang hari bolong di atas sofa ruangan televisi. Pencahayaan begitu terang. Jendela besar di belakang layar televisi yang langsung menghadap pada halaman samping, seolah menjadi saksi penyatuan kami.Aku tak berdaya dalam dekapan tangan kekar Bang Fahad. Dia mencium ubun-ubunku entah berapa banyak. Tangannya silih berganti mengusap rambutku yang sudah tergerai dan pasti berantakan."Thank you, Sayang," ucapnya berbisik lembut. Aku tak menyahut, hanya terus memperbaiki napasku yang rasanya berantakan karena aktivitas ini.TING TONG"Astaga!" Aku menarik diri dengan cepat saat bel rumah berbunyi dengan nyaring."Tenang aja, Chi. Kamu kok kaget gitu sih, santai aja," ucap Bang Fahad yang juga turut bangkit.Buru-buru aku turun dari sofa. "Santai gimana? Ke
"Kamu gak kerja lagi, Chi?" tanya Mba Lin saat aku masih asyik membantu mewarnai gambar milik Keira.Aku menggeleng cepat. "Enggak, Mba. Bang Fahad gak izinin aku kerja di mana-mana.""Jadi kamu di rumah aja?"Aku mengangguk. "Tapi aku udah daftar buat kuliah lagi, ambil S2 ekonomi. Udah ikut tesnya juga, tinggal nunggu pengumuman hasilnya sekitar dua mingguan lagi.""Kamu kuliah lagi? Suami kamu kasih izin?" Mba Lin bertanya dengan nada seolah tidak percaya."Justru Bang Fahad yang nyuruh aku buat lanjut kuliah lagi, Mba."Entah bagaimana reaksi Mba Lin, aku masih fokus pada pensil warna dan gambar keponakanku."Beruntung banget kamu, Chi. Jarang-jarang ada suami yang nyuruh istrinya buat lanjut kuliah, yang ada para suami pasti nyuruh istrinya buat di rumah, ngurus rumah dan kalau udah ada anak, ya ngurusin anak. Kayak mba gini. Setelah menikah dan mba langsung hamil, Mas Kevin nyuruh mba fokus sama keluarga. Padahal pengalaman kerja Mba dulu cuma satu tahunan karena keburu diajak n
Hampir satu jam berkutat di dapur, makanan akhirnya tersaji memenuhi meja makan. Mba Lin lepas tangan, dia hanya membuat puding buah sebagai dessert dan membiarkanku memasak beberapa menu sendirian.Mba Lin dan anak-anaknya sudah mengisi meja, begitu pula denganku dan Bang Fahad yang duduk bersisian. Aku pun mulai mengisi piring makan Bang Fahad lalu menyajikannya. Berlanjut mengisi piring makanku sendiri. Sedangkan Mba Lin sudah selesai menyiapkan untuk Keira makan sendiri, sementara Keshara makan di piring yang sama dengannya.Kami semua lantas makan bersama. Keira tampak begitu lahap, sedangkan Keshara sedikit diwarnai drama gerakan tutup mulut. Seperti kebiasaan Bang Fahad, selama makan hanya denting sendok dan garpu yang terdengar. Tidak ada obrolan selama kami makan, bahkan sampai menikmati puding buah sebagai penutupnya."Keira, gimana masakan Tante Chi, kamu kasih nilai berapa?" Bang Fahad bertanya pada Keira setelah kami semua benar-benar sel
Pukul setengah sebelas malam, aku dan Bang Fahad baru pulang dari rumah Mama dan sedang di dalam mobil. Satu jam sebelumnya kami baru pulang dari mall, itupun dengan Mama yang tidak hentinya menelpon Mba Lin agar segera pulang karena dia sudah rindu pada dua cucunya.Di perjalanan pulang, sekilas aku melihat pada Bang Fahad yang sedang menyetir. Wajahnya terlihat berseri dengan senyum kecil yang tersungging."Abang kenapa? Kok senyum-senyum gitu?" tanyaku penasaran.Bang Fahad menggeleng pelan. "Gak papa, saya inget tadi jalan-jalan sama keponakan kamu. Keira walaupun baru enam tahun, tapi dia udah pintar dan tanggap. Kalau Keshara, moody-an banget anaknya," jawabnya terdengar bahagia dan antusias. "Rasanya seneng aja gitu jalan-jalan sama mereka."Aku memiringkan duduk hingga menghadap padanya dengan kepala masih dibiarkan bersandar. Jujur saja aku lelah sudah berkeliling mall bersama Mba Lin tadi. "Emm ... Abang pengen punya anak juga?"
"Om Ruslan ...?" ucapku berbisik setelah tahu siapa yang memukul wajahku. Punggung tangan bergerak mengusap sudut bibir bawah yang berdarah. Pukulan tadi memang sangat keras, karena itulah sudut bibirku sampai berdarah."Mau apa kamu ke mari? Mau apa lagi?!" Om Ruslan menghardik. Dia berdiri menjulang di depanku. Wajah dengan rahang mengeras itu menunjukkan bahwa ia tengah diliputi kemarahan. "Setelah tiga tahun berlalu, untuk apalagi kamu menampakkan diri pada Chiara, hah? Belum cukup kamu menyakiti dia sebelumnya? Sekarang Chiara sudah bahagia dan melupakan masa lalu yang buruk bersama kamu. Mau apalagi kamu mengganggu putri saya?!"Aku lantas berusaha bangkit, hingga akhirnya mampu berdiri sekaligus berhadapan dengannya. "Om, saya tidak bermaksud mengganggu Chia. Saya ... ke mari karena memang ingin berbicara pada kalian——""Halah! Sudahlah Fahad, tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sejak tiga tahun yang lalu, kami sudah memutuskan untuk tidak saling mengenal dengan kamu dan kel
Minuman pesananku baru saja datang, padahal aku berniat untuk berniat. Terpaksa aku menyeruputnya meski sedikit. Karena sudah dibayar, aku pun segera bangkit. Meninggalkan meja dan buru-buru keluar dari resto itu. Masuk ke dalam mobilku lalu duduk di balik setir kemudi. Melepas masker penutup wajah serta topi.Kepala refleks bersandar pada kursi. Obrolan sepasang suami istri tadi terbayang lagi. Aku tidak sanggup lama-lama berada di sana dan terus menguping semuanya. Makin lama hatiku makin nyeri mendengarnya. Bagaimana mereka tampaknya begitu saling menyayangi dan melindungi satu sama lain."Chiara sudah bahagia. Apa aku pulang saja tanpa pernah menemuinya? Karena untuk apalagi aku bertemu? Chiara sudah memiliki kehidupan lain," gumamku dengan tangan mencengkram setir kemudi.Aku sendiri gamang, entah harus bagaimana. Pesan terakhir Mama adalah memintaku untuk meminta maaf pada Chiara dan keluarganya. Tapi aku tidak yakin, Chiara mau bertemu denganku, apalagi keluarganya. Aku sadar k
Aku terduduk lesu dengan kedua kaki menekuk, wajahku tenggelam di antara lengan yang bertumpu. Tak kuasa aku menahan tangis, hingga tergugu sendirian di samping pusara anakku sendiri.Apa yang sudah terjadi tiga tahun ke belakang? Apa yang sudah Chiara dan kandungannya lalui? Bagaimana bisa aku mengabaikan mereka hingga kenyataan saat ini benar-benar menamparku.Darah dagingku sudah tiada tanpa aku ketahui. Apa dia sakit? Atau kecelakaan? Atau hal apa yang sudah membuatnya kembali begitu cepat kepada Sang Pencipta?Aku mengangkat wajah yang basah dan mengusapnya meski belum puas menangis. Tanganku kembali terulur pada nisan dari marmer hitam itu dan mengusapnya."Assalamualaikum, Nak ...," ucapku lirih. Aku bahkan baru sadar, kalau aku belum mengucapkan salam sejak mendatangi makam ini."Ini ... papa kamu, Nak. Maaf, papa bahkan baru bisa datang sekarang. Papa pikir kamu sudah tumbuh menggemaskan, tapi ternyata ...." Bibirku rasanya kelu untuk melanjutkan.Aku berusaha untuk meredam t
Aku sudah kembali terbaring di atas ranjang rawat. Menatap langit-langit ruang rawat bercat putih terang. Satu kenyataan sudah kudapat, bahwa Chiara sudah menikah lagi. Dia sudah benar-benar melupakanku, bahkan mungkin sudah tidak mengharapkanku di hidupnya lagi. Aku pun sadar, aku sudah sangat melukainya. Kuhembus napas berat. Mencoba untuk beristirahat agar tidak terlalu mengingat Chiara lagi, terutama wajah teduhnya yang begitu manis dengan kerudungnya tadi. Membuatku gelisah dan tidak tahu malu berharap bisa melihatnya lagi. Satu jam aku sendirian di ruang rawat, berbeda dengan pasien-pasien di balik tirai sebelah yang ditembak sanak keluarganya. Hingga dokter bersama perawat datang dan mengecek kondisiku. Dokter yang berbeda, mulai memeriksa luka di bahu dan pelipisku. Hingga memberi instruksi pada perawat yang sama dengan sebelumnya untuk mengganti perban di kepalaku. "Bapak tidak mengabari saudar
Malam telah larut saat aku tiba di Malang. Kota ini begitu sunyi, hanya ada cahaya lampu jalan yang temaram menemani perjalananku menuju sebuah penginapan kecil di pinggiran kota. Udara dingin menyeruak masuk dari sela-sela jendela mobil, membuatku kian merasa sendirian di tengah malam yang gelap. Bahkan rinai hujan seolah menyambut kedatanganku.Aku memilih menginap di sebuah losmen sederhana. Tidak ada yang mewah, hanya tempat untukku merebahkan tubuh setelah perjalanan panjang dari kota. Setelah check-in, aku langsung menuju kamar dan menghempaskan tubuh di atas kasur yang terasa keras. Meski lelah, mataku tak juga terpejam. Bayangan Mama, wajah Chia, dan segala kenangan pahit terus menghantui pikiranku.Kuhembus napas kasar. Hati ini rasanya makin kacau, entah ke mana aku harus memulai pencarian nantinya. Bahkan aku tidak memiliki informasi lebih detail tentang keluarga Chiara di daerah ini.Dalam keadaan terlentang, aku meraih ponsel di meja nakas. Memandang layarnya dengan peras
Setibanya di rumah sakit, hari sudah malam. Aku langsung menuju ruang ICU di mana Mama mendapatkan perawatan intensif. Ruangan yang seharusnya steril itu, justru tampak ramai karena ada Papa, dokter dan suster di dalamnya. Aku pun masuk dan mendekat ke samping ranjang.Mama terlihat sudah membuka matanya, tapi napasnya justru tersengal dan tertahan-tahan. Aku meraih tangan Mama yang terasa begitu dingin. Aku menciumnya hingga tanpa terasa air mata menetes begitu saja, melihat keadaan Mama apalagi wajahnya yang sangat pucat."Ma ... mama harus kuat. Mama pasti sembuh dan sehat lagi," bisikku tepat di telinganya. Sementara Papa dengan matanya yang basah, terus mengusap kepala Mama."Had ... kamu harus cari keluarga Om Ruslan. Minta maaf pada mereka. Sampaikan juga permintaan maaf mama karena anak-anak mama sudah menyakiti mereka terutama Chia. Mama ... titip Rakana. Jangan biarkan dia makin tersesat. Didik dia ... agar menjadi lebih baik, Had." Suara Mama parau dan terbata-bata.Aku men
"Hari itu, aku yang menyuntikkan obat tidur saat Chia gak sadarkan diri di dalam mobilku. Aku ... memang menidurinya saat dia dalam kondisi tidak sadarkan diri. Aku terobsesi sama Chia karena aku gak rela dia mencintai Abang. Aku gak rela Chia menjadi milik Abang dan gak ada yang boleh memiliki Chia kalau aku gak bisa memilikinya. Aku yang dengan sadar merekam perbuatanku pada Chia saat dia tertidur agar Abang marah dan menceraikannya. Setelah kalian berpisah, aku bisa memilikinya kembali.""Tapi aku salah, bagaimanapun aku memohon dan mengemis, dia tetap tidak mau menerimaku lagi. Dia gak mau memberiku kesempatan. Dia dan keluarganya pergi tapi aku gagal mengikuti mereka hari itu. Aku cari-cari info tapi gak ada jejak yang bisa aku temukan. Aku kehilangan Chia, benar-benar kehilangan dia. Sampai aku mencoba mulai menerima kehadiran Faula yang sudah melahirkan. Aku mencoba berdamai dengan hubunganku bersama Faula. Hidup sebagai mana harusnya dengan Faula karena Chia gak bisa lagi aku
"Mama kenapa, Pa? Mama sakit apa?" Aku langsung memburu Papa begitu tiba di rumah sakit. Menyusul duduk di kursi tunggu sebrang ruangan ICU.Papa tampak mengusap wajahnya frustasi. Kemudian menengadahkan kepala menempel pada dinding di belakangnya. "Mama sehat-sehat aja sebenarnya, Had. Tapi ....""Tapi apa? Pa, jangan buat aku makin khawatir," pintaku cemas.Papa meraup wajah dengan kedua telapak tangannya, lalu menatapku dengan netra berembun. "Had ... apa kamu tahu Rakana di mana selama ini?"Keningku sontak mengernyit karena selama tiga tahun lamanya, baru kali ini Papa menanyakan Rakana kembali. Aku pun menggeleng. "Aku gak tahu, Pa. Aku juga gak peduli lagi dia di mana. Mungkin, dia sudah menikah dan hidup bersama Chia setelah membohongiku tiga tahun yang lalu," jawabku kemudian.Papa menoleh dan menatapku dengan tatapan tak biasa. "Bagaimana bisa kamu menduga kalau mereka menikah?"Aku mengangkat bahu malas. "Mereka masih saling saling mencintai, Pa. Sangat mungkin kalau mereka
**************TIGA TAHUN KEMUDIAN ....Drrrt Drrrt Drrrt.Aku membuka mata saat ponsel bergetar, menyala karena alarm yang disetel sebelumnya. Setelah bangun, aku segera mematikannya. Waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Cepat aku membuka resleting dari tenda yang menjadi tempatku tidur.Lapangan luas membentang. Bau tanah kering menyeruak. Beberapa tenda lain terpasang dengan jarak cukup jauh dari tempatku, menjadi pemandangan pagi ini.Satu tahun ke belakang, aku senang mendaki gunung. Apalagi saat berhasil summit di puncaknya. Rasanya hanya ada aku dan alam, menyatu dan menenangkan.Aku enggan beranjak dari dalam tenda. Aku duduk dengan kedua kaki menekuk sambil memeluk lutut. Memandangi hamparan tanah yang begitu luas di alun-alun Suryakencana saat ini.Saat sendiri seperti sekarang, aku selalu diingatkan akan sosok Chiara. Perempuan manis yang berhasil membuatku jatuh cinta begitu dalam, tapi juga mampu menjatuhkanku tanpa ampun bersama luka yang tak berperi.Dia berselingkuh d