Tubuh Gu terus terombang-ambing setelah dihempaskan ke dalam air sungai. Beberapa kali ia nyaris terlepas dari sebatang kayu yang ia pegang. Namun, tekadnya untuk membalas semua yang telah terjadi pada diri dan keluarganya membuat wanita berambut keriting itu terus bertahan hidup. Dingin air tersebut ia tahan, tak lupa pula doa terus dipanjatkan dalam hatinya. Agar Allah memberinya kesempatan hidup kedua. Semua semata-mata demi melihat kehancuran orang yang telah menyebabkan semua penderitaan untuknya. Gigil di bibir Gu semakin menjadi, sehelelai selimut yang menutupi tubuhnya telah robek sebagian karena tersangkut di akar pepohonan. Kulit wanita itu juga tergores bebatuan yang terkadang ia lewati. Sungai yang terlihat tenang di atasnya belum tentu di bagian bawah tidak menyimpan badai. Sampai mata biru wanita itu telah lelah. Segala upaya telah ia keluarkan untuk bertahan hidup. Ia pasrahkan saja semuanya pada penggenggam hidup. Kalau pun mati sekarang, ia bisa bertemu dengan kedua
Gu masuk ke kamar mandi, di sana ia membersihkan dirinya. Air tersebut pun terasa sangat dingin ketika menyentuh tubuhnya, sebab hari sebentar lagi akan musim salju. Saat gadis Khazakh itu menyentuh kulitnya sendiri, seketika ia teringat bagaimana Ivan menggerayanginya. Memejam mata biru tersebut, ia berusaha melawan rasa takut dan trauma dalam dirinya sendiri, sebab ia merupakan petugas medis. Namun, sekuat apa pun ia mencoba, bayangan kelam itu terus saja menghantuinya. Setiap embusan napas Ivan masih terasa di sekujur tubuhnya. Gu menjadi jijik dengan tubuhnya sendiri. “Sudah tak suci lagi. Aku kotor.” Ia mengacak-acak rambut keritingnya. Napasnya langsung cepat naik turun seperti ditekan perasan bersalah. Berbagai macam pengandaian menari-nari di dalam kepalanya.“Andai aku bunuh diri saja, atau andai aku membunuhnya terlebih dahulu. Aggghhh!” jerit gadis itu di dalam kamar mandi. Ia tak tahan lagi setiap kali memejamkan mata selalu saja wajah bengis itu yang terlihat. Seolah-ola
Terhitung sudah tiga hari Gu berbaring di rumah sakit. Sarah bolak-balik membawa baju ganti juga makanan. Tak apa baginya sedikit repot walau pinggang wanita berusia setengah abad lebih itu sakit. Ia senang, akhirnya ada yang membutuhkan bantuannya. Sedangkan Gu masih berputus asa di ranjang pesakitan. Merenungi semua yang telah menimpanya. Pikiran manusia yang luar biasa lemah menyebabkan apa yang menimpa dirinya tidaklah adil. Apalagi jika Gu melihat jika Ivan hidup bahagia bergelimang harta bersama istri dan keturunannya. Akan semakin menjadi penyakit di hatinya. “Ayo, buka mulutmu, kau perlu makan,” pinta Sarah. Gu menurut saja, ia bagaikan seonggok kayu yang diberikan nyawa, tak ingin melakukan apa-apa lagi. “Katakanlah sesuatu, Nak. Apa saja yang bisa membuatmu bahagia,” ucap Sarah. Ia membersihkan bibir Gu yang remahan rotinya jatuh. “Dulu, aku memeriksa pasien yang terbaring lemah di ranjang. Sekarang akulah yang lemah. Miris sekali,” ujar Gu perlahan saja. Namun, cukup jel
Pagi harinya Sarah benar-benar mengawasi Gu untuk sholat. Agak malas sebenarnya gadis itu. Namun, ia tak punya pilihan lain sebab menumpang di rumah orang. Usai menunaikan ibadah wajib dua orang itu sama-sama memasak olahan kentang lagi. Gadis berambut keriting itu tahu apa yang dibuat oleh istri Hamis. Ditambah pasokan umbi tersebut sangat banyak ada di dapur, terlihat baru saja selesai dipanen. “Sepertinya Ibu sangat suka dengan kentang, ya?” tanya Gu ketika ia memotong-motong tipis bahan makanan tersebut. Ia harus terus berbincang dan berbagi agar tak terus-menerus memikirkan peristiwa beberapa hari silam. Tadi malam ia berpikir keras, sangat rugi memang jika Gu bunuh diri, sebab ancamannya begitu jelas berakhir di jahanam. Sementara itu Ivan hidup bahagia bergelimang harta bersama istri dan anaknya. Jadi keputusan yang diambil oleh Gu ialah mencoba untuk meneruskan hidup dan mulai melepaskan rasa sakit dalam dadanya. Beruntung ia bertemu Sarah, wanita yang juga punya luka dan mam
“Apa yang kau lihat, Gu?” Sarah membuyarkan lamunan gadis itu. Mata biru Gu tertuju pada senapan usang milik wanita paruh baya tersebut. “Bagaimana caranya Ibu memiliki senapan itu. Apa di desa ini memang lumrah orang punya senjata.”“Tidak. Bisa dihitung jari, sebab membelinya pun setara dengan harga tiga box besar kentang. Mahal, lebih baik untuk makan saja uangnya.” Sarah kembali ke teras rumahnya, lalu menyusun sisa terong yang ada. Gu mengikuti dari belakang. Ketika ada warga desa yang menginginkan hasil kebun Sarah, pembicaraan senjata tajam itu terhenti sejenak. “Lalu, kenapa engkau membelinya?” Sarah melirik benda yang ditukar dengan terong. Menarik, beberapa buah bawang merah juga putih untuk kebutuhan masak. “Berjaga-jaga. Demi keamanan, sebagai seorang dokter kau tentu paham bagaimana caranya menyikapi trauma. Entah dengan menghindar dari peristiwa yang sama atau memilih mempersiapkan diri lebih kuat dengan bekal yang lebih matang.” “Ajari aku, Bu. Aku juga ingin lebih
Setelah mencoba dan terus mencoba, pada akhirnya Gu bisa memperoleh pekerjaan di klinik. Tak mudah merayu pemilik klinik, sebab gadis asal Khazakh itu tak lagi punya bukti bahwa ia seorang dokter umum. Dan ia pun berakhir di sana sebagai petugas kebersihan saja. Setidaknya, Gu masih bisa bekerja di lingkup medis, bertemu alat-alat kedokteran juga obat-obatan. Walau rasanya ia sedikit terhina ketika harus menyapu dan mengepel ruangan saja. Namun, tak ada pilihan lain, karena ia tak mungkin terus-terusan merepotkan Sarah. Pemilik klinik tersebut adalah seorang dokter perempuan. Awal mulanya ia tak ingin memperkerjakan Gu, sebab klinik itu sudah ada petugas kebersihan. Namun, ia sempat mendengar cerita dari dokter yang berjaga tempo hari bahwa gadis berambut keriting itu sempat dirawat sebentar, indikasi disebabkan karena trauma ringan mengarah berat karena korban perkosaan. Lagi pula saat ditanyai, Gu bisa menjawab jenis-jenis obat, alat medis serta penyakit dan cara penanganan pertama
Gu meminta tespack pada petugas yang jaga di klinik. Kemudian ia bergegas ke kamar mandi, tentu dengan tangan juga kaki yang luar biasa gemetar. Ia gunakan alat itu seperti petunjuk yang tertera. Kemudian, detik yang berlalu terasa sangat lama sekali bagi gadis itu. “Negati, negatif, negatif, please!” Tak berkedip mata birunya melihat baru satu garis merah yang tercetak. Lalu seketika harapannya hancur sudah, tanda bahwa dirinya positif tak terelakkan lagi. Namun, ia masih berkilah, ada lima alat penguji, ia coba semua. Gu berharap ada setidaknya salah satu saja yang negatif. Sayang sekali, tidak ada satu pun yang sesuai dengan keinginannya. Ia tak bisa mengelak lagi, ada janin tak diinginkan yang tumbuh di dalam rahimnya. “Aku harus bagaimana?” Gu duduk di kamar mandi selama beberapa waktu. Berapa kali pun ia pandang test pack itu tetap saja tak berubah menjadi negatif. Benih dari lelaki yang paling ia benci dititipkan padanya. “Sial. Sudah laki-laki itu menghancurkan hidupkan sek
“Aku ingin menggugurkan anak ini, Nyonya,” ucap Gu ketika Hela baru saja tiba, tentu dengan setengah berbisik.“Kita bicara di ruanganku.” Hela tersenyum ramah pada salah satu pasien, seorang wanita yang juga sedang hamil besar. Gu berpaling dan tak mau tahu sama sekali. “Aku serius, aku tak bisa hidup membawa janin kotor ini.” Dua orang perempuan itu duduk berhadap-hadapan dalam pantry sambil menyesap secangkir kopi panas. “Sudah kau pikirkan baik-baik?” tanya Hela, Gu mengangguk dengan penuh keyakinan. “Bisa saja aku menggugurkan bayimu sekarang. Tapi aku ingin mengajakmu ke kota dulu. Ada sebuah obat yang harus aku beli. Dan aku tak bisa mengaborsi bayimu di sini. Terlalu riskan, ada sebuah kenalanku yang biasa melakukannya. Dia sering menggugurkan bayi-bayi yang tidak diinginkan oleh sepasang kekasih. Biasanya alasan masih ingin bersenang-senang. “Aku berbeda dengan mereka. Aku tak menginginkannya karena lelaki itu orang yang paling aku benci,” bantah gadis bermata biru itu. A