“Aku ingin menggugurkan anak ini, Nyonya,” ucap Gu ketika Hela baru saja tiba, tentu dengan setengah berbisik.“Kita bicara di ruanganku.” Hela tersenyum ramah pada salah satu pasien, seorang wanita yang juga sedang hamil besar. Gu berpaling dan tak mau tahu sama sekali. “Aku serius, aku tak bisa hidup membawa janin kotor ini.” Dua orang perempuan itu duduk berhadap-hadapan dalam pantry sambil menyesap secangkir kopi panas. “Sudah kau pikirkan baik-baik?” tanya Hela, Gu mengangguk dengan penuh keyakinan. “Bisa saja aku menggugurkan bayimu sekarang. Tapi aku ingin mengajakmu ke kota dulu. Ada sebuah obat yang harus aku beli. Dan aku tak bisa mengaborsi bayimu di sini. Terlalu riskan, ada sebuah kenalanku yang biasa melakukannya. Dia sering menggugurkan bayi-bayi yang tidak diinginkan oleh sepasang kekasih. Biasanya alasan masih ingin bersenang-senang. “Aku berbeda dengan mereka. Aku tak menginginkannya karena lelaki itu orang yang paling aku benci,” bantah gadis bermata biru itu. A
Setelah mampu berdamai dengan hati dan kesedihan, juga dendam yang tak akan pernah surut, Gu menerima dengan sepenuhnya anak yang dititipkan dalam kandungannya. Bahkan ia rutin memeriksakan calon bayi dalam rahimnya, demi agar tidak kekurangan vitamin. Cinta, tak bisa dipungkiri tumbuh perlahan-lahan, walau hadirnya dengan cara yang sangat menyakitkan. Usia kandungan itu telah memasuki lima bulan, tak sabar Gu ingin mengetahui apa anak yang dikandungnya, entah laki-laki atau perempuan. Sarah jadi ikut ketularan bahagia sendiri. Ia tak sabar juga menanti cucunya untuk lahir. Setiap malam sebelum tidur selalu ia bacakan ayat-ayat suci agar anak dalam kandungan itu terbiasa mendengarnya. “Semoga yang lahir nanti anak perempuan. Aku tak pernah mengurus mereka dari dulu. Pasti menyenangkan.” Sarah mengelus perut Gu yang sudah mulai bergerak. Terkadang gadis itu menyesali mengapa dulu ia nyaris menggugurkan kandungannya. “Aku lebih memilih anak laki-laki saja. Supaya besarnya nanti dia b
“Humaira, iya nama yang cantik untukmu, Cucuku.” Sarah mengelus pipi anak Gu. Ia dijemput oleh orang suruhan Hela untuk menjenguk satu pendatang baru di dunia mereka bertiga. Gadis tanpa suami itu hanya mengangguk saja, ia sendiri tidak pernah sibuk memikirkan nama untuk putrinya. Sebab yang lebih antusias menanti kelahirannya yaitu Sarah Ketika kondisi Gu dan putrinya sudah baik-baik saja. Hela mengantar ketiganya pulang. Empat perempuan dalam kendaraan yang sama. Memiliki nasib yang hampir-hampir mirip. Humaira sendiri belum tahu akan bagaimana jalan hidupnya, ia hanya dibesarkan dengan para ibu saja tanpa kehadiran seorang ayah yang jauh berada beberapa ratus kilometer dari desa itu. Untuk pertama kalinya Hela masuk ke rumah kecil Sarah. Hunian yang hangat sebab ada tawa anak kecil di dalamnya. Tidak ada yang spesial dalam penyambutan sang bayi, hanya makan malam biasa yang dimasak bersama Hela dan Sarah. Gu sendiri sedang asyik menimang putrinya. Mereka tak menggunakan box bayi,
Hela sedang menjalankan sebuah operasi caesar, salah satu ibu yang telah cukup umur untuk melahirkan. Tentu saja Gu ada di sana membantu. Dua tahun sudah ia menjadi asisten Hela, sudah banyak yang ia kuasai walau tak mengeyam pendidikan di fakultas lanjutan. Ilegal memang, tapi semua juga terjadi karena suatu sebab. Bisa saja Gu melanjutkan kuliahnya. Namun, negara yang ia tinggali kini juga berada dalam pengaruh Balrus. Hingga dua wanita itu sama-sama tak berani terlalu menampakkan diri. Berada di daerah perbatasan dan sunyi merupakan pilihan yang tepat.“Selesai.” Gu sudah merapikan jahitan pada perut ibu itu. Sementara bayi yang telah dikeluarkan diurus bersama dua orang perawat. “Kau semakin mahir. Andai saja ada cara untuk melegalkan kemampuanmu.” Hela membuka pakaian operasinya. Ia keluar dari ruangan itu, selanjutnya para perawat yang mengurus semuanya. Gu dan Hela sama-sama mencuci tangan di kamar mandi khusus tenaga medis. Wajah yang sama-sama kelelahan. Hari ini begitu bera
Gu terpekur di depan makam Sarah. Wanita itu dikubur di ladang tempat mereka biasa menanam kentang atau tanaman lainnya. Penyesalan gadis itu tiada terkira, andai saja permintaan untuk pergi ke Negeri Syam bisa ia jangkau, akan ia penuhi. Sayangnya, untuk ke sana pun tidak mudah. Apalagi untuk ibu tanpa suami dan anak tanpa ayah seperti mereka berdua. Tidak ada yang melindungi. Beruntung saja penyelenggaraan jenazah itu dibantu oleh Hela serta beberapa tetangga. Semampunya Gu ikuti sesuai tata cara islam. Masih ingat gadis bermata biru itu dengan perkatan Sarah beberapa minggu lalu. “Gu, aku sudah membeli kain kafan, memang di sini harganya mahal sekali. Tapi aku menggunakan uangku sendiri,” ujar Sarah ketika Gu baru saja pulang kerja. “Untuk apa, Bu?” Terkejut gadis itu, serasa ia akan ditinggal mati dalam waktu dekat. “Jaga-jaga andai aku mati. Apa kau tak kasihan denganku, Gu, sedikit saja.” Menghiba wanita paruh baya itu. “Maksud Ibu, apa? Adakah yang ingin Ibu beli?” tanya Gu
Hela tak bisa tidur beberapa malam. Ia tahu cepat atau lambat suaminya akan mengetuk pintu rumah itu. Lalu masuk dan entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Wanita berambut pirang tersebut sudah sangat paham perangai lelaki yang sudah tak terhitung berapa banyak perempuan yang telah disakiti. Suara decit mobil direm terdengar di telinga Hela. Wanita itu duduk dengan tenang sambil menenggak segelas anggur merah, ia tahu ini merupakan detik-detik kematiannya. Atau jika tidak mati ia pun tak ubahnya seperti mayat hidup saja diperbudak lelak bengis itu. Sebelum semua itu terjadi, ia mengambil ponselnya menghubungi seorang gadis yang ia khawatirkan akan terjadi sesuatu juga padanya juga sang putri, sebab identitas mereka yang begitu kentara sebagai muslim. Beruntung Sarah telah berpulang terlebih dahulu. Panggilan itu akhirnya diangkat juga. “Gu, ini pesan terakhirku untukmu. Pergilah, sekarang juga, yang jauh, jangan pernah berpikir untuk kembali. Selamatkan hidupmu juga putrimu,” uca
“Kau yang gila! Bagaimana kalau mobil ini menabrak pembatas jalan dan kita mati, ha!” bentak Ed. Ia terkejut dengan tindakan nekat Gu. “Lebih baik kita mati bertiga dariapada kau membawaku ke Cina. Kau gila? Cina itu jauh dari sini, ras kita juga berbeda dengan mereka. Pikirkan dua kali Ed. Pakai otakmu jangan hanya nafsu saja yang kau utamakan.” “Ya, kau pikir kita harus ke mana. Hanya ada dua pilihan. Ada dua wilayah yang masih dekat dengan Balrus tapi tak akan pernah mereka berani mengusiknya. Satu Cina, satu lagi Negeri Syam. Aku tak mau ke Syam, di sana kaku dan tak boleh minum dan main judi dan main perempuan. Apa enaknya hidup kaku seperti itu.” “Ke mana? Negeri Syam. Iya aku pilih ke sana saja. Antar aku ke sana. Aku tak mau ke Cina titik!” “Aku tak mau, titik.” Tak kalah Ed berargumentasi. Maira hanya melihat bergantian dua orang dewasa itu saling adu mulut. Sampai akhirnya … “Aku tak suka main kasar sebenarnya, Ed. Tapi kalau kau tak mengantarku ke Syam. Aku tembak kepa
Ali dan Firdaus sejak sampai di Negeri Syam telah menjadi sahabat yang begitu dekat satu sama lain. Mereka saling memberi manfaat. Ali mengajarkan ragam ilmu pengetahuan tentang senjata, cara membangun ketahanan fisik, strategi perang, hingga lambat laun Firdaus tubuhnya menjadi semakin kekar dan tegap. Akhirnya lelaki berambut ikal itu mengajarkan pada yang lain juga. Ali sesekali turun tangan jika memang diperlukan. Dibawah pengawasan dua orang pria itu terbentuklah suatu kesatuan yang cukup kuat. Sudah banyak wilayah yang berhasil dibebaskan. Bahkan tak menutup kemungkinan untuk menguasai armada angkatan udara milik musuh. Hanya saja usaha lebih keras tetap dibutuhkan. Sedangkan Firdaus sendiri mengajarkan ilmu agama pada Ali. Tak jarang pula keduanya pergi ke majelis ilmu bersama-sama. Ragam pengetahuan baru Ali dapatkan. Di tahun pertama ia intens belajar membaca Al Qur’an, sholat dan tetap turun perang. Lalu dengan memantapkan hati di tahun itu juga ia menunaikan ibadah puasa s
Bagian 195 Home Sweet Home Maira melebarkan bola matanya, dua bulan menikah dengan Fahmi berat badannya sudah bertambah empat kilogram. Bayangkan kalau setahun jadi berapa, dan ia pun jadi bertambah gemuk dan gemuk saja. Bagaimana tidak, masakan milik Fahmi jauh lebih enak daripada masakannya. Awal mulanya Maira letih melihat cara memasak orang India yang begitu rumit dan banyak sekali proses yang harus dilalui. Wajar saja kalau dapurnya besar. Lama-lama dicoba makanan itu enak sekali rasanya. Terus-terusan dimasak oleh Fahmi ditambah pula ekstra kentang goreng yang merupakan makanan favorit Maira dari kecil. Sedikti demi sedikit dimakan, enak, tambah lagi, begitu saja terus sampai perut Maira yang kemarin-kemarin rata, mulai menggembung. “Ya Allah, sebentar lagi akan ada lipatan lemak di mana-mana.” Putri Ali memandang cermin di kamarnya. Ia naikkan seragam kepolisian dan benar celana yang longgar itu mulai teras sesak. Ia tarik napas baru terlihat ramping lagi seperti dulu, tapi
Bagian 194 Bersama Zahra Maira tiba-tiba memeluk suaminya karena rasa bahagia yang membuncah dalam dadanya. Dulu, jangankan rayuan, membaca doa saja Amran tak pernah ingat. Untung saja tidak ada jejak yang tertinggal dalam diri Maira dulu sehingga tak perlu repot-repot mengurus anak seorang diri. Fahmi terkejut dengan reaki istrinya. Tentu saja reaksi yang menimbulkan aksi. Lelaki itu tek henti-hentinya menyentuh puncak kepala Maira, wanita yang ia cintai sejak masih ingusan.Diam saja Fahmi, hanya sampai di sana lalu tidak ada pergerakan fluktuatif yang menunjukkan grafik peningkatan amat pesat. Maira jadi bertanya-tanya sendiri. Mengapa suaminya jadi berubah lagi, padahal tadi rayuan maut sudah dilontarkan, giliran dia sudah menyerah, malah membeku di musim panas. Payah sekali Fahmi. ‘Apa aku harus memulai terlebih dahulu?’ tanya putri Ali di dalam hatinya. Ia menjauh sejenak dari pelukan Fahmi, tapi tak bisa, lelaki itu masih mendekapnya sangat erat. “Sesak napas aku lama-lama,
Bagian 193 Gombal Fahmi menyodorkan minuman dingin untuk istrinya. Satu botol besar, dan habis sekali napas oleh Maira. Tertegun lelaki itu melihat cara makan dan minum Maira. 11 12 dengan Naima, hanya saja putri Ali lebih mudah gendut, karena itu ia menjaga makan. Namun, untuk hari ini tidak ada kata diet. Maira makan semua yang ada di meja. “Kau lapar?” tanya Fahmi daripada tak ada bahan yang dibicarakan. “Tinggal batu saja yang belum aku makan,” jawab Maira, ia merobek bungkusan cokelat dan sekali hap sudah tinggal setengah batang. “Wow,” gumam Fahmi. “Mau aku belikan kentang?” tawarnya. Wajar Maira lapar, jadi pengantin kemarin ia susah buka mulut karena pengaruh kerudung dan riasan. Terus waktu berjalan sampai pagi ia sibuk mengatur lalu lintas dan bertengkar dengan suaminya. Semua kegiatan itu membutuhkan tenaga ekstra. “Dua bungkus,” ujar Maira. Fahmi pun lekas pergi, agak jauh sedikit penjual kentang goreng itu tapi ia datangi saja karena cinta. Setengah jam kemudian tig
Bagian 192 Terlalu Polos Selesai shalat Maghrib, Fahmi tak langsung pulang. Jujur saja dia agak takut dengan istrinya. Termenung lelaki itu di dalam masjid, duduk bersila, kepala ditundukkan, mata terpejam, seolah-olah sedang dzikir panjang, padahal hatinya sedang memikirkan Maira. Untuk kali ini dia memang tak bisa tenang, sekali ini dzikirnya tak fokus. “Kupikir dia kan pemalu seperti gadis-gadis yang ada dalam cerita,” gumam lelaki berdarah India itu perlahan. Malu kalau didengar orang lain. “Apa karena dia sudah janda, jadi pengalamannya lebih banyak, dan tak sabar untuk mengulanginya? Begitukah? Aduh mana aku minus ilmu hal-hal begitu. Apakah aku terlalu polos jadi laki-laki?” Putra Naina menggaruk kepalanya yang tak gatal.“Tak bisa, tak boleh seperti ini. Walau bagaimanapun aku adalah pemimpin. Aku harus jadi yang, aduh, Ya Allah kenapa kepalaku jadi pusing. Aku harus terlihat pemberani dan tegas di matanya. Sudah cukup di kantor dia jadi atasanku jangan sampai di rumah jug
Bagian 191 Gak ada Judul Khalifah memberikan penghargaan bagi para polisi juga tentara yang jujur dan amanah dalam mengemban tugas. Tentu saja nama Humaira dan lima orang timnya disebutkan. Barisan telah disusun, untuk polisi perempuan sangat sedikit sekali jumlahnya, dan baru dibuka penerimaan besar-besaran setelah berhasil membuang semua pengaruh Ex Gubernur Asad yang telah tewas. Satu demi satu mereka maju menerima penghargaan. Fahmi dan empat polisi yang lain naik pangkat satu tingkat, sedangkan Maira mendapatkan lencana kesetiaan walau pangkat tidak bertambah. Seharusnya semuanya pulang, tapi tidak dengan lima polisi yang pernah dikumpulkan jadi satu oleh Maira itu. Mereka berkumpul mengenang masa-masa indah ketika masih bertugas bersama-sama. Sekarang sudah kembali ke kota masing-masing. Maira melihat mereka dari jauh, walau bagaimanapun dia masih punya perhitungan pada Fahmi juga Musa. Kenapa Musa? Terserah dia, karena ikut-ikutan mengelabuhinya. “Ehm.” Kedatangan Maira me
Bagian 10 Benang Merah Ali menelan kekecewaan saat ke rumah Fahmi. Ternyata orangnya tidak ada. Ia pun tak berniat masuk ke rumah ketika kepala keluarga itu tidak ada di tempat. Sudahlah lelah, jauh, musim panas lagi. Sang kapten yang seharusnya sudah pensiun itu pun kembali ke kotanya. Menaiki kereta api super cepat. Beruntungnya di musim panas, siang sangat lama daripada malam, walau angin yang bertiup jadi ikut-ikutan panas. Beberapa jam kemudian ia sampai di pemberhentian kotanya, dan bertemu dengan teman lamanya lagi yang sama-sama kecewa—Hamdan.“Kenapa mukamu ditekuk begitu?” tanya Ali yang langsung menghampiri temannya. “Yang dicari tak ada di rumah,” jawab Hamdan. Mereka memang tak selemah orang-orang tua pada umumnya, tetapi kalau disuruh bepergian dan yang dicari tak ada juga, lelah terasa tubuh mereka. “Sama kalau begitu. Sudah lelah pergi ke sana, salahku juga, kenapa tak memberi tahu dulu.” Ali menarik napas panjang. Ia melirik jam tangannya, Dzuhur masih panjang sek
Bagian 189 Pertandingan Sepak Bola Pagi-pagi selepas Shubuh Maira sudah siap dengan seragam lengkapnya, minus rompi anti peluru saja, pistol dan HT turut serta ia bawa. Ia ada pekerjaan penting dari pagi sampai sore, makan dan sholat di sana saja. Namun, sebelum pergi ia sempat berpamitan pada Ali yang memandangnya agak berbeda pagi itu. “Ayah pergi menonton sepak bola nanti?” tanya Maira. “Tidak, Ayah sudah cukup tua untuk urusan itu, biar yang muda-muda saja.” “Terus rapi sekali pagi ini, Ayah mau pergi ke mana?” Agak curiga Maira. “Ada urusan penting, demi keluarga ini juga.” Ali menyembunyikan tujuannya hari itu pada putrinya. Jika Maira tahu sedang dicarikan jodoh, bisa-bisa ia mengelak lagi. “Oh, kabari bagaimana hasilnya, ya. Aku pergi dulu.“ Pagi itu Maira menggunakan mobil polisi karena tugas besar yang ia emban. Maira memimpin tim untuk menjaga keamanan pertandingan sepak bola di salah satu stadion olahraga. Putri Ali mengawasi di tempat duduk khusus perempuan, yang
Bagian 188 Pengorbanan Seorang Ayah. Gu dan tiga putrinya pulang ke kota tempat tinggal mereka menggunakan kereta cepat. Di dalam kendaraan ekpres itu, Maira hanya diam membisu memandang salju yang terus turun dari langit. Salju sebentar lagi akan berhenti, dan Hira kembali sekolah menyelesaikan pendidikannya, lalu Zahra yang masuk pendidian tingkat pertama. Maira sendiri? Tetap bekerja. Kantor tempatnya mengabdi juga mengalami revolusi besar-besaran, imbas dari kasus Gubernur Asad. Jadi sampai musim panas nanti putri Ali akan sangat sibuk. Namun, tak mengapa, dia jadi bisa melupakan Fahmi. “Kau pasti sudah kembali hidup di kota asalmu. Semoga kita tak akan pernah berjumpa lagi,” gumam Maira dalam keheningan. Ibu dan dua adik kandungnya sedang terlelap, jadi polisi wanita itu menjaga mereka dengan baik. Masalah luka hatinya, ia yakin akan membaik dengan sendirinya. Sampai juga empat perempuan beda generasi itu di stasiun. Tadinya Gu ingin menelepon Ali untuk menjemput mereka. Na
Bagian 187 Selesai Fahmi dan Maira membuka matanya perlahan-lahan ketika dua ember air dingin disiramkan ke wajah mereka. Dingin di tengah musim salju yang masih turun. Mereka saling melihat diri masing-masing. Tubuh keduanya terikat dan berada di sebuah gedung kosong juga luas. “Maira, Fahmi. Kalian dua parasit pengganggu, gara-gara kalian, saudaraku banyak yang tewas ditembak.” Lelaki itu duduk di depan keduanya. “Ya, kematian sebenarnya terlalu mudah buat kalian, tapi aku yakin di alam kubur juga kalian kena cambuk malaikat,” jawab putri Ali, sedangkan Fahmi berusaha membuka ikatan di tangannya.“Bawa mereka ke dalam mobil. Terlalu banyak bicara, bosan aku mendengarnya.” Perintah suruhan Harun. Lalu dua orang itu diangkat dalam keadaan terikat dan dimasukkan ke dalam mobil. Sebuah alat berat datang dari belakang hendak menghancurkan mobil Maira dan orangnya di dalam sekalian. Para pesuruh Harun sudah bepergian dan tinggal supir alat berat itu saja dan satu orang pengawas.“Ast