Bagian 138 Tugas SendirianPagi hari sekali, Maira telah berada di rumah gubernur wilayahnya. Ada sedikit urusan yang harus dibahas. Seharusnya, ia mengadu pada atasannya. Namun, ia benar-benar buntu sebab instansi tempatnya bekerja seperti memiliki akar yang menjerat mereka. Sudah ia cari tetapi belum berjumpa. Mungkin saja karena yang menyembunyikan masalah merupakan orang yang lebih pintar daripada Maira. Tentu saja gadis bermata biru itu juga tak semua masalah bisa ia genggam. “Asslammualaikum, Nyonya Faizah. Bolehkan aku bertemu dengan Gubernur (untuk selanjutnya akan disebut Amir). Ada urusan yang harus aku selesaikan.” Maira menyapa wanita yang membuka pagar dengan tangannya sendiri. Betapa hidup pemimpin di kota tempat gadis itu tinggal sangat sederhana. Berbanding jauh dengan amir wilayah tetangga. “Wa’alaikumussalam. Engkau Maira, kan, ya?” Faizah mengenali gadis itu dari warna matanya. Ditambah name tag yang dipasang pada jilbab. “Benar, Nyonya. Apa aku mengganggu datan
Bagian 139 Bermain Hati“Humaira. Seharusnya nama itu mencerminkan nama perempuan yang kulitnya putih dan pipinya bersemu kemerahan, atau pemalu dan tak suka ikut campur urusan laki-laki. Tapi Humaira yang satu ini berbeda.” Asad—selaku Amir di kota tetangga memejamkan mata ketika tahu ada seorang gadis kecil yang mulai mencoba mengintervensi kotanya. “Panggilannya Maira. Dia gadis yang cukup keras kepala, kepala batu, atau sejenisnya. Aku sendiri yang mengajukan pertanyaan untuknya. Aku pernah menangani kasus pembunuhan pertamanya. Dia tangguh, sayangnya dia hanya sendirian, terutama lagi dia perempuan, ruang geraknya sangat terbatas.” Harun menyayangkan ternyata Maira yang dimintakan bantuan untuk memamerkan kebaikan berkedok paket makanan beberepa waktu lalu. Satu saja ditemukan keanehan, gadis itu tak ragu untuk maju. Beruntungnya, Maira tak punya banyak teman.“Ada saran untuk menaklukkannya?” tanya Asad kakak kandung Harun. Usianya sudah memasuki angka 60 tahun. Lebih tua dar
Bagian 140 Sihir Pemikat Hati Azimah, gadis pendendam adik Reihan, tak pernah senang melihat kebahagiaan Naima dan Sultan yang baru saja dikaruniai seorang putra. Bagaimana dengan nasib kakaknya yang terkubur kedinginan? Sedangkan mereka berdekap hangat selalu setiap malam. Gadis yang merasa kehilangan kasih sayang kakaknya tersebut begitu mudah dibisiki oleh iblis. Hingga pada suatu malam ia memutuskan untuk melakukan sesuatu pada sepasang suami istri itu. Azimah mendatangi ahli nujum, letaknya sangat jauh berjam-jam lamanya dari dari tempat tinggal gadis tersebut. Namun, tak mengapa asal orang yang ia benci tercerai berai bahkan saling membenci sampai mati. “Pisahkan mereka!” Tak ada salam terucap di rumah dukun itu. Ya, lelaki yang gigi depannya telah hancur tersebut tinggal menyendiri di antara rumah kumuh lainnya. Sengaja ia di sana agar petugas kesulitan mengenalinya. Bukankah orang miskin enggan didekati. Padahal emasnya sangatlah banyak. Tentu saja hasil menjual jasa dari o
Bagian 141 Salah Paham Maira mengganti baju berwarna biru tuanya dengan abaya dan jibab biasa di dalam kamar mandi masjid. Semua perlengkapan masih ia bawa ke dalam tas. Pistol laras pendek yang selalu ada di dalam saku, tali, borgol dan benda-benda penting lainnya. Berjalan cepat gadis bermata biru itu agar bisa menyamakan langkah mengikuti Azimah. Gerak-gerik adik Reihan terlihat mencurigakan. Maira jadi bersembunyi setiap sebentar agar tak ketahuan. Perjalanan Azimah sangat jauh berjam-jam lamanya menggunakan kereta cepat. Maira mengirim pesan pada orang di rumahnya, ia sedang ada lembur dan terlambat pulang. Empat jam kemudian baru Azimah turun di pemberhentian terakhir. Wilayah di mana perbatasan negeri Syam yang banyak sekali orang miskinnya. Belum sempat tersentuh bantuan karena sebagian tentara juga dikirim perang ke Balrus yang belum juga ada penyelesaikan sampai sekarang. Penampilan Maira dengan abaya licin itu terlihat berbeda. Sedangkan Azimah menggunakan gamis lusuh a
Bagian 142 Terpaksa Mencuri Humaira mengikuti jalan persidangan Azimah selama dua hari lamanya. Sudah jelas ia dijatuhi hukuman mati karena melakukan kesyirikan dan berusaha menghancurkan rumah tangga orang lain. Namun, gadis itu tidak terlihat menyesal sedikit pun. Bahkan berani menantang Maira untuk membongkar aib orang lain yang masih mendatangi dukun. Pasti ada alasan yang jelas mengapa ahli nujum tua itu sampai memiliki banyak emas. Lalu hukuman mati dijatuhkan, oleh Hakim Harun. Adik gubernur Asad itu selalu adil dalam memutuskan perkara orang lain, tetapi tidak untuk dirinya sendiri serta keluarganya. Azimah dieksekusi mati setelah seminggu divonis oleh salah satu algojo dengan hukuman penggal. Memejam mata Maira melihat darah yang mengucur deras, tetapi memang demikanlah hukum yang harus ditegakkan agar ada efek jera bagi yang lain. Sudah diterapkan saja masih ada yang melanggar apalagi tidak diterapkan. Selesai melihat eksekusi mati Azimah, Maira tak lekas kembali ke kanto
Bagian 143 Mencari Keadilan “Suami Ibu ke mana?” tanya Maira, ia lupa dengan penjelasan Fahmi barusan. Gadis bermata biru itu duduk di pasir yang hanya beralaskan kardus saja. Ibu dan anak tersebut tak menjawab pertanyaan Maira, mereka makan begitu lahap, seolah-olah sudah lama tak bertemu dengan makanan. Bagaimana perasaan gadis itu? Tentu terluka, teringat ia lagi dengan keadaan di rumahnya yang penuh makanan. Bahkan Fahmi harus mencuri untuk hanya urusan mengganjal perut. “Suamiku baru dua hari lalu meninggal,” jawab Naina—ibu Fahmi. Raut wajah itu menjelaskan asal kelahirannya. Hidung mancung dan kulit gelap. Naina berasal dari India sedangkan suaminya tidak. Fahmi lebih condong mengikuti wajah ibunya. “Karena?” Penasaran Maira belum terpenuhi. “Sakit.” Naina lekas menyusui anak keduanya yang perempuan, bernama Rahmah. “Alhamdulillah air susuku keluar juga. Terima kasih ya, Nak, dua kali kau menolongku.” “Dua kali?” Gadis bermata biru itu mengulangnya. Maira lupa pertemuan p
Bagian 144Sekufu Maira berjalan dengan Fahmi ke satu tempat yang cukup ramai. Tak malu polisi wanita itu meski pemuda yang berjalan di belakangnya terlihat lusuh dan tak ada eloknya dipandang sama sekali. Gadis bermata biru itu mendadak lapar usai mendatangi rumah ular berbisa. Jika dituruti nafsu sudah jelas ia akan terima tawaran makan dari Nyonya Heba tadi. “Fahmi, kau pernah makan kebab dan burger?” tanya Maira berhenti di sebuah gang yang wangi makanannya sangat menggugah selera. “Dulu pernah diberikan oleh orang, setelah itu aku lupa rasanya,” jawab pemuda itu sambil menunduk, seolah-olah pesona Maira terlalu menyilaukan di matanya. “Kalau begitu, kau pergi ke pedagang sana, belikan dua buah kebab dan burger, ya, full irisan daging dan bawang. Aku tunggu di sini.” Maira memberikan beberapa lembar uang pada pemuda yang bertubuh kurus persis seperti ayahnya itu. Lekas saja Fahmi pergi, sebenarnya ia ingin meminta untuk ibunya juga, tetapi pemuda itu malu. Sudah diberi saja
Bagian 145 Jalan Tengah Fahmi beserta ibu dan adiknya berjalan kaki menuju pasar untuk mencari mesin jahit. Namun, ketika belum sampai di tujuan, ada sebuah mobil berhenti di depan mereka. Pintu mobil itu bergeser ke arah samping. Seorang laki-laki dengan badan besar muncul dan menarik paksa Naina yang membawa bayi beserta putranya. Kemudian mobil berjalan cepat menuju satu tempat yang begitu sunyi dan senyap. Jauh dari keramaian dan tidak ada satu orang pun yang bisa dimintakan tolong. “Kau yakin peritahnya hanya untuk membuang mereka saja? Tidak perlu dibunuh?” tanya lelaki yang melempar ketiganya di padang pasir pada supir. “Yakin, kalau dibunuh malah jadi masalah besar nanti. Yang penting mereka sudah pergi. Cepat, tinggalkan tempat ini.” Mobil itu kemudian pergi. Tinggalah mereka bertiga di sana tanpa arah dan tujuan. “Ya Allah, ini di mana, dan siapa mereka tadi?” Naina menenangkan Rahmah yang terus saja menangis. Cukup lama mereka di dalam mobil dan tak ingat pula ke mana