3. Nusyuz

‘Hallo, Sayang. Ada apa? Kangen, ya? Hm?’

Ratih tersenyum sembari menggosok rambutnya yang basah dengan handuk.

“Enggak perlu aku jawab, kan?”

Dito terkekeh di seberang sana. Nyatanya, walau Ratih bukan istrinya, tetapi Dito bisa menjamah alam raganya dengan leluasa. Tak perlu dipaksa, bahkan Ratih dengan sukarela mempersilakan sang mantan pacar menyalurkan rasa.

‘Eh, tumben nelepon? Suami kamu udah berangkat ngojek emang?’

“Dia udah kuusir dari rumah.”

‘Hah? Serius?’

“Hm, hm. Kami sudah bercerai.”

Dito menganga tak percaya. ‘Cerai? K-kamu enggak lagi bercanda, kan, Yang?’

“Untuk apa aku bercanda, Sayang? Si miskin itu udah tahu jejak-jejak cinta yang kamu tinggalkan di badan aku,” jawab Ratih santai. “Yaudah, sih, sekalian aja aku ngaku kalau dia udah enggak ada lagi di hati aku.”

‘Terus, terus?’

“Ya terus si Wildan jatuhin talak, deh.”

Dito terdiam.

“Sekarang kita bebas mau ngapain aja, Sayang. Enggak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Aku akan cepat urus surat cerai biar secepatnya kita bisa nikah. Gimana?”

Hening. Dito masih mencerna semua ucapan Ratih di ujung telepon. Walau Ratih adalah mantan pacarnya, tetapi Dito tak berniat untuk merebutnya kembali dari sang suami. Ia hanya ingin having fun saja tanpa mau terikat oleh hal-hal yang memusingkan.

“Hallo, Sayang? Dito? Kamu masih di sana, kan?”

‘E-eh, iya, Yang, aku dengerin kamu, kok.’

“Kok kamu diem aja, sih?”

‘Loh ... katanya pria idaman itu harus bisa menjadi pendengar yang baik. Aku lagi berusaha jadi idaman kamu, Sayang.’

Salah satu kelemahan wanita adalah kata-kata puitis nan romantis. Apalagi jika kalimat yang dibubuhi pemanis itu keluar dari bibir pria yang sudah mencuri hatinya.

“Ih, Dito ... aku makin kangen, deh ....”

Dito hanya tersenyum penuh arti.

“Ntar malam main ke rumah, ya. Aku kasih service full.”

Mata kantuk Dito langsung terbelalak. ‘Kamu serius, Yang?’

“Serius, dong. Kapan aku pernah bercanda?”

Belum sempat Dito menjawab ucapan Ratih, panggilan biasa langsung diubah ke mode video call oleh Ratih. Cepat-cepat Dito menggeser ikon kamera ke atas.

Kelopak mata pria yang sebenarnya sudah mengantuk itu seakan-akan tersangga oleh gambar yang tertangkap dari seberang sana. Ratih menyandarkan ponselnya di meja rias, sementara ia dengan sengaja memakai serum khusus pay***ra dan menunjukkan cara pengaplikasiannya pada Dito.

Sebagai pria normal, darah Dito langsung berdesir. Jakunnya naik turun dan kepalanya sudah cenat-cenut melihat pemandangan indah di depannya. Da*da Ratih sungguh sangat menggoda. Padat berisi dengan ukuran yang cukup menantang.

‘Aku otewe ke rumahmu, Yang. Sekarang!’

***

Ramdan menatap sendu pada sahabatnya yang baru saja mendapat ujian hebat dalam rumah tangganya itu. Ratih benar-benar kelewatan. Wanita yang dulunya kalem dan menutup aurat itu sudah berubah sejak setahun yang lalu.

Wildan bilang, semua bermula dari Ratih yang gemar bermain aplikasi Tok-Tak dan sering joget-joget cantik hingga banyak kontennya yang fyp. Pengikutnya semakin banyak dan mulai memuji kecantikan dan kemolekan tubuh sang istri. Wildan tahu semuanya karena dia membuat akun fake dan ikut menjadi followers sang istri.

“Sebelum-sebelumnya apa kamu sudah coba tegur dia, Dan?”

“Sudah, Ram. Berkali-kali. Tapi, Ratih selalu bilang jika semua itu hanya untuk hiburan. Dia menghibur banyak mata pria, tapi di rumah, sekalipun dia tak berminat menghiburku,” jawab Wildan dengan nada frustrasi. “Jangankan melayaniku, tersenyum dan menyiapkan makan saja sudah jarang.”

Ramdan beristigfar. “Sudah berapa lama kalian tidak berhubungan suami istri?”

“Kurang lebih empat bulan.”

“Gila! Kamu kuat nahan ha*srat selama itu?”

“Ya ... kuat enggak kuat, Ram. Aku alihkan sama gila kerja dan dapat banyak orderan, bahkan sampai larut.”

“Tapi ... kamu enggak suka main ke Oyo, kan, Dan?”

“Astagfirullah ... itu mulut pakai bismillah dulu kalau ngomong.”

Ramdan tergelak. Ia tahu lelaki seperti apa Wildan Rabbani. Andai dulu Ramdan tak telat memberitahu jika ada wanita salehah yang siap menikah, pasti Wildan sudah menjadi bagian dari keluarga besarnya. Ah, tak perlu disesali, semua sudah terjadi.

“Alhamdulillah. Aku percaya sama kamu, Dan.”

“Percaya itu sama Allah, Ram. Jangan sama aku. Musyrik ntar.”

“Beda konteks, Bambang!”

Keduanya sama-sama terkekeh agar perbincangan tak terlalu tegang.

“Terus rencana kamu ke depan gimana, Dan?”

“Aku mau cari kos-kosan dulu, Ram. Sambil ngumpulin uang buat beli surat.”

“Kamu udah mikir matang untuk melegalkan perceraian?”

Wildan menghela napas panjang dengan punggung menyandar.

"Kalau hanya cekcok soal keuangan, aku masih bisa tahan, Ram. Bahkan aku rela jadi TKI ke Taiwan atau Korea kalau Ratih maunya begitu. Cari uang yang banyak dan kita bisa program bayi tabung. Tapi ... ini masalah harga diri. Dia ngasih tubuhnya sama pria lain. Dia udah nusyuz, menghancurkan komitmen pernikahan.”

Ramdan mengangguk. Yang dikatakan Wildan semua benar. Andai ia ada di posisi Wildan dan melihat langsung jejak-jejak percintaan di tubuh sang istri dan bukan dia yang berbuat, pasti Ramdan akan menebaskan pa*rang pada tubuh istrinya. Sungguh hina sekali wanita itu. Diberi yang halal, malah memilih yang haram.

“Sebenarnya udah enggak ada kamar kosong, sih, Dan. Ada, kosong, tapi minggu depan udah mau dipakai orang.”

“Udah di DP?”

“Belum, sih.” Ramdan tampak berpikir. “Gini, deh. Malam ini kamu pakai aja dulu kamar kos yang masih kosong itu. Besok, kalau kamu mau, bersihin gudang di belakang rumah. Aku masih ada stok kasur. Kamu pakai aja sampai bosan. Gratis.”

Wajah Wildan berbinar. “Serius gratis, Ram?”

“Iya ... kamu kumpulin aja uangnya buat beli surat.”

Wildan berucap syukur dan mendekap teman baiknya itu. Ramdan menghela napas pelan. Tak banyak yang bisa ia lakukan untuk saat ini. Namun, dalam hatinya, Ramdan ikut berdoa agar pria sebaik Wildan mendapatkan yang terbaik untuk ke depannya.

Usai salat Asar, Wildan berniat untuk ngebid. Apa pun yang tengah terjadi, life must go on. Ia segera memacu motornya dan berkumpul dengan teman sesama pejuang driver ojek online. Baru saja keluar dari gerbang indekos yang tak jauh dari rumah Ramdan, ponselnya bergetar.

“Alhamdulillah ....”

Wildan tersenyum ketika ponselnya memberitahukan sebuah notifikasi pesanan akan jasa yang ia tawarkan. Wildan langsung menuju titik dari alamat sang pemesan. Setelah selesai dengan pesanan pertama, pesanan kedua datang. Tentu Wildan tak ingin menyia-nyiakan rezeki.

Hari sudah hampir Magrib dan Wildan masih belum beristirahat. Aplikasinya tiba-tiba saja gacor, gampang cari orderan. Tiga jam ia diserbu orderan bertubi-tubi. Setelah menyelesaikan satu order, ia langsung mendapat order lainnya. Namun, di balik rasa syukurnya, ada sesuatu yang terasa mencubit hati.

‘Kenapa hal seperti ini jarang terjadi saat aku bersama Ratih?’ Wildan membatin.

Wildan berusaha menepis semua itu. Ia harus fokus agar tak mengecewakan pelanggan yang memakai jasanya. Di akhir senja, lagi-lagi Wildan hoki. Ia mendapat satu order ke alamat desa Ratih. Wanita yang tadi pagi baru ia talak.

“Loh? Bang Wildan?”

“Eh? Mas Juna?”

“Mau pulang, kan, Bang? Yoklah sekalian antar saya.”

Juna adalah salah satu tetangganya yang masih berstatus mahasiswa. Wildan hanya mengangguk dan segera melajukan motornya. Di tengah perjalanan, azan Magrib berkumandang. Wildan pun menambah kecepatan motornya agar segera sampai.

Setelah selesai mengantar Juna, Wildan ingin menunaikan salat Magrib lebih dulu. Tentu saja ia harus lewat depan rumah Ratih untuk menuju masjid yang biasa ia datangi untuk salat berjamaah.

“Enggak pa-pa. Lewat doang. Pasti dia juga udah berangkat ke kafe,” gumam Wildan pelan.

(*)