Share

8. Gelisah

last update Last Updated: 2024-05-18 19:30:29

PLAK! PLAKK!

“MEMALUKAN!” bentak Pak Dandi setelah melepas dua tamparan pada kedua pipi Dito.

“Di mana otak kamu, Dito? Di mana? Hah?!”

“Bisa-bisanya kamu tidur dengan istri orang! Bisa-bisanya kamu kembali pada mantan pacar kamu itu!”

“M-maaf, Yah,” cicit Dito dengan kepala menunduk.

“Enak sekali kamu berbuat hal kotor sampai melemparkan bau dan kotorannya pada wajah Ayah, lalu hanya minta maaf?”

“Dito khilaf, Yah. Maafin Dito.”

“Khilaf? Jangan pikir Ayah enggak tahu kalau kamu suka ‘main’ sama Ratih di tempat pijat terapi! Kalau lebih dari sekali bukan khilaf namanya.”

Mata Dito membola. “A-Ayah tahu?”

“Ayah amat sangat tahu!” jawab Pak Dandi. “Nakal boleh, gobl0k jangan!”

Dito menatap ayahnya.

“Ayah juga bukan pria suci yang tak tersentuh dosa. Senakal-nakalnya Ayah saat masih remaja, belum pernah Ayah tidurin wanita kecuali ibumu. Itu pun setelah kami menikah.”

Bu Dina–istri Pak Dandi–mengelus pundak sang putra.

“Kenapa kamu bisa tidur dengan mantan pacar, bahkan saat dia sudah bergelar istri orang, ha?! Kalau kamu sudah pengen, bilang! Kami tinggal pilihkan istri buat kamu. Atau siapa pun wanita yang kamu pilih, kasih tahu Ayah sama ibumu, Dito!”

Bu Dina tak berani menyela luapan amarah sang suami.

“Dito cuma mau having fun aja, Yah.”

“Apa?! Having fun dengan cara berzi*na? Kalau mau enak ya enakin sekalian. Nikah!”

“Iya, Yah ....”

“Berapa usiamu saat ini?”

“Jalan dua puluh tujuh, Yah.”

“Memang sudah saatnya kamu menikah,” ucap Pak Dandi lirih, tetapi bisa Dito dengar.

“Tapi Ratih masih menjalani masa idah, Yah.”

Pak Dandi menatap mata sang istri. Pun dengan Bu Dina yang membalas tatapan suaminya.

“Apa Ayah memintamu untuk menikahi Ratih?”

Dito terdiam dengan menatap ayah dan ibunya bergantian.

“Apa kamu mau anak keturunanmu lahir dari wanita yang tak punya etika macam si Ratih? Apa kamu tak melihat bagaimana ia berani menantang mantan suaminya di depan kami semua?”

“Maksud Ayah?”

“Bukannya kamu bilang hanya having fun saja dengan si Ratih?”

“Iya.”

“Apa kamu mencintainya? Benar-benar ingin menjadikan dia sebagai ibu dari anak-anakmu nanti? Apa kamu tak malu jika teman-temanmu mencibir kalau istrimu mantan pegawai pijat terapi?" Pak Dandi memberondong Dito dengan berbagai pertanyaan.

Dito terlihat berpikir, lalu menggeleng.

“Bagus.”

“Tapi, Yah, gimana kalau Ratih hamil?”

“Kamu yakin kalau Ratih hanya tidur denganmu?”

Lagi-lagi Dito menggeleng pelan dengan mimik wajah berpikir.

“Ayah tahu dan paham betul apa pekerjaan Ratih di tempat pijat terapi itu. Kalau pun dia hamil, apa kamu yakin jika itu benihmu?”

Dito benar-benar tak berpikir sejauh itu. Ia blank saat ketahuan sudah satu selimut dengan Ratih tanpa sehelai benang. Yang ada di pikirannya hanyalah ingin menyelamatkan harga dirinya dan juga keluarga dengan cara menikahi mantan kekasihnya itu. Dito benar-benar takut dicoret dari KK.

“Sebejat-bejatnya pria, ia tentu akan mencari wanita baik-baik untuk melahirkan keturunannya.”

Ya, Dito pun setuju.

“Kita akan tunggu masa idah Ratih selesai. Jika ia tidak hamil, Ayah dan ibumu akan carikan solusi terbaik.”

“Kalau Ratih hamil?”

Pak Dandi menghela napas panjang dan mulai memijat pelipisnya. Kenapa anak lelakinya terlihat sangat bod0h?

“Apa kamu tak memakai pengaman saat berhubungan dengan dia?”

“Ta-tadi Dito lupa enggak pakai, Yah.”

“Dasar go**ok!” 

Tiba-tiba ponsel Bu Dina berdering. Nama sang kakak ipar terpampang di layar ponselnya.

“Yah, ada apa Mas Daud nelepon aku?”

Daud adalah kakak dari suaminya.

“Enggak tahu, Bu. Coba kamu angkat dulu.”

Bu Dina mengangguk.

“Iya, Mas? Assalamualaikum ....”

‘Waalaikumsalam, Din. Di mana suamimu?’

“Ada, Mas. Ini kami sedang mengobrol. Mau bicara sama Mas Dandi?”

Terdengar helaan napas dari seberang sana.

“Ada apa, Mas?”

‘Calon suami Adiba kecelakaan. Dia ... meninggal di tempat kejadian.’

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiun ....”

***

Dalam hidupnya, tak pernah Wildan merasa segelisah malam ini. Bukan, bukan lantaran dirinya yang sudah berstatus duda walau belum resmi. Namun, ada hal lain yang terasa mengganjal dan membuatnya merasa gelisah.

Malam sudah semakin larut. Ia pun tak bersemangat untuk melanjutkan ngebid di malam hari. Wildan segera pulang ke indekos milik Ramdan. Ia ingin cepat-cepat mengistirahatkan badan dan juga pikiran.

Sampai di halaman kos-an, ia melihat dua orang pria sedang bermain catur. Wildan mengangguk dan menuntun motornya.

“Eh, Mas ini yang make kamar paling ujung, bukan?” tanya salah seorang di antaranya.

Wildan mengangguk pelan. “Betul, Mas.”

“Namanya Wildan?”

“Iya, Mas.”

“Tadi Bang Ramdan nitip kunci garasi. Katanya, kasur yang mau dipake sama Mas Wildan udah ada di sana. Suruh ambil aja. Ini kuncinya.” Seorang pria dengan kumis tipis menyerahkan sebuah kunci.

“Oh, gitu. Bang Ramdan-nya ke mana emang, Mas?”

“Kurang tahu, Mas. Se-jam yang lalu buru-buru pergi sama istri dan anaknya, ada urusan mendadak. Katanya, sih, ke luar kota, dan kemungkinan lebih dari dua hari.”

Wildan hanya mengangguk dan menerima sebuah kunci. “Ya sudah, Mas. Saya masuk dulu. Terima kasih.”

Monggo, Mas. Sama-sama.” 

Usai membersihkan diri, Wildan segera merebah di atas kasur empuk. Mulutnya sudah menguap, tetapi matanya tak bisa terpejam. Hatinya masih terasa gelisah. Ia membuka ponselnya. Takut ada info penting yang mungkin berkaitan dengan hatinya yang terasa tak tenang.

Nihil. Tak ada info mengkhawatirkan. Wildan mengucap hamdalah lirih walau rasa khawatir itu tak sepenuhnya sirna. Ia coba mengalihkan kekhawatiran yang tak mendasar tersebut dengan mencoba berselancar di jejaring maya.

Tak sengaja unggahan terbaru dari akun bernama Purnami_Ratih lewat di berandanya. Wanita itu menuliskan sebuah caption di bawah foto dirinya yang cantik tanpa hijab.

“Yang pergi biarlah pergi, ono kowe sing ngancani,” tulisnya.

Wildan tersenyum tipis. ‘Tersangka teriak korban.’

Cepat-cepat Wildan memblokir akun sosial media sang mantan. Jika Ratih secepat itu melupakannya, Wildan pun bisa melakukan hal yang sama. Tak hanya memblokir, Wildan pun menutup akun pribadinya sendiri plus menghapus beberapa aplikasi yang mengikuti akun sang mantan istri. Mulai dari i-ge, ef-bi, dan tok-tak. Ia ingin hidup tenang tanpa sosmed.

Baru hendak menaruh ponselnya kembali, sebuah notifikasi berita online muncul di pop up.

“Calon Menantu Sang Milyader Te was Dalam Kecelakaan Tunggal.” 

(*)

Related chapters

  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   9. Negosiasi

    "Calon Menantu Sang Milyader Te was Dalam Kecelakaan Tunggal"Ingin abai, tapi nyatanya jari Wildan menyentuh judul notifikasi tersebut. Matanya sudah mengantuk, tetapi barisan huruf demi huruf berhasil ia baca soal kecelakaan yang mene*waskan seorang pria. Matanya kian memicing dengan mengezoom sebuah gambar di atas kalimat berita yang terlampir.“Ini Mas Adnan bukan, sih?”Dari merebah, kini Wildan terduduk di kasur. Benar-benar meneliti wajah lelaki yang sepertinya pernah ia kenali. Adnan, salah satu teman baiknya. Bukan, ia bahkan tak berani menganggapnya teman. Namun, pria tampan putra konglomerat itu begitu membaur dengan anak-anak panti. Tempat di mana Wildan Rabbani pernah bernaung.“Aku ingin kita berteman. Ajari aku mengaji, ya?”Wildan bergeming.“Enggak usah takut. Kita bisa jadi teman baik. Namaku Adnan Syakil.”Anak orang kaya yang benar-benar lain. Ia selalu ikut dengan ayahnya sebulan sekali untuk menyantuni anak-anak di panti. Dari sanalah Wildan akrab dengan pria yang

    Last Updated : 2024-05-19
  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   10. Penggerebekan

    Tubuh Ratih meremang saat suara serupa bisikan itu menyentuh daun telinganya. Bahkan ia kesulitan menelan salivanya sendiri. Ratih tahu, bahwa atasannya suka gonta-ganti pasangan dan main perempuan. Walau ucapan William masih menggantung, tetapi Ratih paham apa yang diinginkan pria bule bertubuh proporsional tersebut.“... asal kau mau melayaniku malam ini. Bagaimana?”William menjauhkan wajahnya dari samping wajah Ratih. Namun, sepasang bola matanya tak henti-henti menyapu tubuh salah satu karyawatinya tersebut.“Ma-maaf, Mister. Saya enggak bisa.”Senyum miring William sunggingkan. “Up to you!

    Last Updated : 2024-05-20
  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   11. Ditangkap

    “Mumpung istri juga enggak di rumah, kita keliling kota dulu ,yuk, Dan!” ajak Ramdan kepada Wildan. “Udah lama enggak motoran malam-malam.”“Walau malam dan jalan udah jadi teman sehari-hari, tapi hayuklah!” jawab Wildan.Kedua kawan baik itu berboncengan dengan sesekali mengobrol santai. Sesekali mereka tergelak, melupakan sejenak segala permasalahan hidup. Hidup ini hanya sawang sinawang. Kita hanya melihat apa yang tampak, tak mengerti dengan apa yang sebenarnya dirasa.“Dan, udah bisa buka hati belum?”“Hah?”“Laki-laki, kan, enggak ada masa idah. Kayaknya enggak salah kalau kamu mulai belajar mencintai lagi.”Wildan tergelak dalam kebisingan kendaraan yang berlalu-lalang.“Enggak semudah itu, Ferguso,” jawab Wildan.Kini, Ramdan yang tergelak. Ya, ia hanya menghibur Wildan saja. Ramdan tahu dan paham, bahwa dari sebuah perpisahan, yang sulit bukan hanya mengikhlaskan, tetapi juga melupakan segala kenangan. Entah itu cerai hidup atau cerai sebab maut.“Daftarin cerai aja belom. Ak

    Last Updated : 2024-05-21
  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   12. Luap Kemarahan

    “Mending kamu di sini dulu, To. Belajar ngolah perusahaan sama Adnan,” ucap Pak Dandi kepada sang putra.Sudah empat hari ia berikut orang tuanya menginap di paviliun sang paman yang tak lain adalah Pak Daud, orang tua dari Adiba dan Adnan. Dan hari ini, Pak Dandi berikut istrinya akan pulang. Namun, sebelumnya, mereka sudah berembuk dengan Daud agar Dito belajar mengurus perusahaan keluarga bersama Adnan, sang sepupu.Tentu saja itu adalah salah satu usaha Pak Dandi dan istri untuk menjauhkan Dito dengan Ratih. Mereka tak bisa percaya dengan sang anak begitu saja. Takut kecolongan lagi.“Kamu bisa bekerja dan belajar sama Mas Adnan,” lanjutnya.

    Last Updated : 2024-05-22
  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   13. Sebuah Keputusan

    Wildan memejam dengan dada bergemuruh. Ucapan Ratih benar-benar melukai hatinya. Benar, belati berupa lidah dan ucapan yang tajam itu akan membuat seseorang sulit memaafkan. Akan tetapi, apakah Wildan seorang pendendam?Bukan, ia bukanlah pria pendendam. Namun, Wildan tetaplah manusia biasa yang hatinya bisa berbolak-balik. Apalagi direndahkan bertubi-tubi oleh sang mantan istri. Seolah-olah kemiskinan dan tak keberuntungan yang menghampiri hidupnya adalah sebuah kutukan.Ia segera menuju tempat parkir untuk mengambil motor. Namun, suara seorang lelaki memanggil namanya.“Nak Wildan, tunggu!"Wildan menoleh. Rizal berlari ke

    Last Updated : 2024-05-23
  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   14. Debaran Aneh

    Bu Farhah menghela napas, lalu tersenyum lebih lebar dari yang sebelumnya. “Sehatnya orang sepuh, Dan. Ya begitu. Kamu langsung saja temui beliau di kamar.”Wildan sedikit lega dengan jawaban wanita yang dipanggilnya 'ibu' itu.“Sedang istirahat?”“Enggak, beliau lagi ngaji. Paling udah mau selesai.”Wildan mengangguk dan segera masuk. Belum sempat berjalan menuju kamar Bu Mentari yang akrab dipanggil Oma Tari oleh para anak asuhnya itu, adik-adik panti yang sangat hafal dengan wajah Wildan langsung berhambur.“Mas

    Last Updated : 2024-05-24
  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   15. Cerita Masa Kecil

    Adiba mencoba meredam rasa aneh yang mulai melebur dengan rasa hangat nan damai. Bahkan, ia tak mampu menerjemahkan rasa apa yang baru pertama kali dialaminya itu. Rasa yang bahkan tak pernah ia rasakan saat menatap wajah tampan Salman, saat pria itu ingin melihat keseluruhan wajah Adiba ketika taaruf.“Eh, bawa teman, Za?”“Iya, Mas. Kenalin, namanya Adiba.”Wildan mengangguk pelan dengan sebuah senyum tipis. “Assalamualaikum, Adiba. Saya Wildan.”“Waalaikumsalam warahmatullah,” jawab Adiba lirih dengan kembali menundukkan pandangannya.Wildan pun kembali memfokuskan pandangan ke depan dan lanjut mengemudi.Di dalam perjalanan, Bu Farhah dan sang keponakan heboh berbincang. Sesekali Khanza juga mengajak Wildan untuk ikut terlibat obrolan dengannya. Adiba hanya diam menjadi pendengar saja.Diam-diam, senyum renyah pria yang sedang mengemudikan roda empat itu tertangkap pantulan kaca tengah. Adiba tersenyum. Entah kenapa ia mulai kecanduan dengan senyum pria itu.“Astagfirullah ...,” uc

    Last Updated : 2024-05-25
  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   16. Nostalgia

    Menemani Khanza berlibur di panti yang dikelola oleh sang nenek memberikan warna baru bagi Adiba. Ya, dia begitu menikmati kunjungannya kali ini. Kunjungan yang tak hanya sekadar bersilaturahmi dengan para penghuni panti, tapi juga mengingatkan akan sebuah cerita yang tak pernah Adiba lupakan.Sekitar jam sembilan pagi saat anak-anak panti sudah belajar di sekolahnya masing-masing, Adiba meminta Khanza menemaninya ke danau belakang panti. Tak terlalu jauh sebenarnya, tak juga takut karena Adiba pun punya kemampuan bela diri.“Kalau sendirian kesannya kayak orang hilang enggak tahu jalan pulang,” ucapnya, sukses membuat Oma Tari dan Bu Farhah terkekeh.“Ya udah sana, Neng. Temenin Neng Adibanya. Mumpung masih di sini.”Khanza pun mengangguk dan mereka mulai mengayun langkah. Sampai di tempat, ternyata sekeliling sudah banyak berubah. Danau tak hanya dikelilingi pepohonan besar nan rindang, tetapi juga terdapat beberapa tanaman bunga yang sengaja dirawat. Pun ada beberapa kursi panjang

    Last Updated : 2024-05-26

Latest chapter

  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   46. Plot Twist di Ujung Keridhoan

    Rabbani menepuk-nepuk pipi istrinya, tetapi Adiba tak merespons. Bani langsung keluar dari kamarnya dan memberitahu papa mamanya. Sarah langsung datang ke kamar Bani dan mengecek kondisi menantunya, sementara Ibrahim langsung mengeluarkan mobil untuk membawa Adiba ke rumah sakit. “Ada apa, Bani? Istrimu kenapa?” Sarah pun tak kalah panik. “Enggak tahu, Ma. Tiba-tiba aja Diba menggigil. Bani minta tolong bawakan ponsel dan dompet Bani, ya, Ma.” Bani langsung membopong Adiba ke mobil. Kondisi istrinya benar-benar mendadak. Membuat Bani benar-benar diserang panik dan mulai tak tenang. Begitu sampai di rumah sakit, Adiba langsung dilarikan ke ruang IGD untuk dilakukan pemeriksaan awal. Kebetulan di koridor depan bertemu dengan istri dari dokter Malik, dokter senior yang merupakan teman baik Ibrahim. “Loh? Pak Ibra? Bu Sarah? Siapa yang sakit?" "Menantu saya, Dok?" "Adiba? Sakit apa?” “Entah, Dok. Tiba-tiba badannya panas dingin dan menggigil.” Dokter dengan name tag Khadijah i

  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   45. Bani Baper

    Kumandang azan Subuh terdengar samar-samar hingga akhirnya jelas menyapa telinga. Adiba menggeliat, lalu sedikit terkejut melihat seorang pria di sebelahnya. Namun, beberapa detik senyumnya terbit. Ia kembali menenggelamkan kepalanya di balik selimut putih tebal. Aksi semalam kembali terbayang. Membuat Adiba malu sekaligus bahagia. Ia tak menyangka bahwa malam pertamanya benar-benar dilakukan di hari yang sama lepas akad dan resepsi dilaksanakan. Adiba yang sudah sangat menginginkan atau Bani yang memang tak sabaran? Ah, sepertinya sama saja. Rasa ingin sudah menjadi pahala yang sangat besar nilainya. Bahkan Bani tak henti membuat istrinya berteriak menyebut namanya saat pelepasan. Benar-benar malam yang sangat dahsyat. Kepala Adiba menyembul dari selimut. Ia tersenyum. Rasanya seperti mimpi bisa bersama dan menyatukan cinta dengan orang yang kita pinta dalam doa. “Kenapa senyum-senyum?”“Eh?”Adiba terkejut melihat wajah bantal Bani yang tetap terlihat tampan dan akan selalu tamp

  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   44. Penyatuan Cinta

    “Saya terima nikah dan kawinnya Adiba Khumairo binti Daud Abdullah dengan mas kawin tersebut, tunai!”“Bagaimana para saksi?”“Sah!”Rabbani memejam dengan lirih bibirnya mengucap hamdalah. Diusapkannya kedua telapak tangan ke wajah dan ia pun sibuk mengamini doa barakah yang dibacakan seorang penghulu. Tak hanya Bani, para undangan yang ikut menjadi saksi pernikahan sepasang anak Adam dan Hawa itu pun juga ikut melangitkan pinta atas doa yang dipimpin. Di ruangan lain, Adiba menahan air mata harunya. Pernikahan yang ia impikan telah terhelat dengan cukup sempurna. Pria yang diinginkan, kini telah sah berstatus suami. Hatinya sedikit gerimis mengingat Salman. Namun, jodoh dan maut memang rahasia Sang Pemilik Kehidupan. Doa selesai.Sarah tak bisa membendung air mata bahagianya. Ia memeluk sang menantu tanpa mengucap sepatah kata pun. Air matanya cukup mewakili bahasa bahagia yang membuncah hingga kata-kata lenyap dengan sendirinya. “Ayo, Nak. Kita ke depan,” ucap Fatimah.Dua wanit

  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   43. Mendadak Santri

    Rizal baru saja keluar dari rumahnya dan hendak pergi ke balai desa karena suatu urusan. Namun, langkahnya terhenti kala sebuah bunyi notif pesan masuk ke ponselnya. “Pak, Ibu sekalian antar ke pasar, ya. Berangkatnya aja, nanti pulangnya Ibu bisa pakai ojek pangkalan.” Suara Murti yang dibawa dari belakang hingga ke depan teras hanya samar-samar di telinga Rizal. Ketua RW tersebut kaget dan juga mengucapkan hamdalah dengan lirih. “Pak, lihat apa, to? Ucapan Ibu malah gak ditanggepin?” gerutu Murti sambil mengunci pintu rumah. Rizal menoleh pada istrinya. “Bu, Ratih ketemu.” Murti langsung membalik badan. “Subhanallah, yang bener, Pak?” Rizal menyodorkan ponselnya kepada Murti. Seketika wajah Murti langsung berubah sendu, bibirnya bergetar, dan air matanya mulai berjatuhan. “W-Wildan yang ngabarin Bapak? Dia yang nemuin Ratih, Pak?” Pria berkemeja lengan pendek itu mengangguk. “Iya, Bu. Itu pesan dari Wildan. Ternyata Ratih ke Jakarta.” “Ya Allah ....” Murti terduduk

  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   42. Bertemu Ratih

    Dito menarik kembali kepalanya. Kini, Bani bisa kembali menatap wajah Dito yang terlihat sangat serius, sementara Bani sendiri masih berusaha biasa saja. Tak terlalu terkejut walau ada sedikit guratan tanda tanya di antara kedua alisnya. “Apa kali ini ucapanmu bisa aku percaya?”Lagi-lagi Dito mengembuskan napas panjangnya. Ia lebih dulu menatap sekeliling. Memastikan jika posisinya dan Bani cukup jauh dari beberapa orang. “Aku tak akan meminta maaf atas apa yang sudah aku perbuat padamu dan juga Ratih di masa lalu. Bukan aku sombong dan tak tahu diri. Aku hanya merasa ... tak pantas untuk mendapat maaf darimu, Bani. Kamu juga tak perlu memaafkanku. Dosaku sudah sangat besar dan banyak hingga membuat kalian bercerai.”Hening. Jika seorang sahabat berbuat jahat itu membahayakan, maka seorang rival yang berbuat baik itu cukup mencurigakan. Namun ... apa iya seorang Dito masih merencanakan kejahatan part dua pada Bani? “Katakan saja!” pinta Bani dengan nada datar. Kali ini Dito benar

  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   41. Pesta Tasyakuran

    “Pa?”Ibrahim menoleh. “Ya?”“Bani masih belum terlalu paham dengan perusahaan. Papa yakin mau resmiin Bani buat jadi pimpinan?”Sang ayah mengulas senyum. Tak lain halnya Sarah sang istri yang semakin hari semakin semangat menjalani hari, pun dengan Ibrahim yang semakin terlihat berwibawa dengan ketegasan yang ia miliki. Kehadiran Rabbani mampu mengembalikan cahaya dalam keluarga sang presdir. “Apa Papa akan setega itu melepasmu terjun sendiri tanpa bimbingan, Nak? Om Felix dan Papa sendiri yang akan mendampingimu mengelola kerajaan bisnismu sendiri. Rabbani Corp itu amanah untukmu. Kamu hanya perlu meyakinkan kami, bahwa seorang penerus tak akan mengecewakan para pendahulunya.”Rabbani mengangguk samar. Beberapa hari belajar tentang perusahaan milik keluarganya, Bani baru tahu jika Madava Grup dan Rabbani Corp bukan perusahaan kecil. Ada ribuan karyawan di beberapa perusahaan cabang yang menggantungkan harapan pada perusahaan milik keluarganya. “Jangan risau. Kamu tetap bisa belaj

  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   40. Di RSJ

    “Kay, kenapa harus ke sini, sih?”Kayla hanya tersenyum dengan tangan hendak membuka pintu mobil. Namun, satu tangannya lagi berhasil Dito genggam. “Mas Dito, bukannya kamu yang maksa buat ngantar aku dan mau ikut apa pun kegiatan aku?”“Iya, tapi ... mana aku tahu kalau kamu mau ke tempat beginian?”“Mas Dito nyesel? Mau balik? It's oke. Nanti aku bisa pulang pakai GoCar.”Kayla pun langsung turun tanpa memedulikan Dito yang tengah mengembuskan napas kasar. Akhir-akhir ini mood-nya sedang tidak baik. Tepatnya, setelah tahu jika mantan suami dari mantan kekasihnya, orang yang dia hina sedemikian rupa, pria yang ia pandang sebelah mata karena berprofesi sebagai sopir, ternyata dia adalah putra seorang presdir. Apalagi tak lama setelah ini ia dan keluarga besarnya mendapat undangan resmi dari sang presdir Madava Grup. Undangan pesta tasyakuran dan juga peresmian pengangkatan Rabbani Asraf Madava sebagai CEO Rabbani Corp. Tentu tak hanya keluarga Dandi, tetapi juga keluarga Daud dan be

  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   39. Tak Ada Rahasia

    Kabar soal menghilangnya Ratih yang sempat disembunyikan dari Marni sampai juga di telinga wanita itu. Sebagai seorang ibu, tentu saja Marni ikut panik walau ia tak bisa berbuat apa-apa. Ke mana putri semata sayangnya itu pergi? “Ibuk kenapa sampai kecolongan, sih, Buk?” Rizal terlihat frustrasi. “Maafin Ibuk, Pak. Ibuk panik saat dengar suara benda pecah. Ibuk masuk buat memastikan. Ternyata benar Mbak Marni butuh bantuan.”Sampai jam dua belas malam, beberapa warga yang ikut mencari keberadaan Ratih juga tak menemukan tanda-tanda. “Ibuk juga enggak tahu kalau gembok pasungnya Ratih lepas, Pak. Makanya Ibuk enggak khawatir waktu ninggalin pintu dalam keadaan sudah terbuka.”“Sudah, Pak Rizal. Jangan salahkan Bu Murti. Dia bukan lalai, hanya saja situasi dan kondisinya tidak pas. Benar kata Pak Rizal, kita kecolongan,” sela Pak RT menengahi. Rizal menghela napas panjang dan meminta maaf kepada sang istri. “Apa perlu lapor polisi?” usul salah satu warga. “Tidak bisa, Pak. Seseora

  • DIKIRA SOPIR TERNYATA PUTRA PRESDIR   38. Khitbah

    Kali ini Rabbani benar-benar merasa terkepung rasa bahagia. Diantar oleh kedua orang tua kandungnya untuk meminta sang belahan jiwa. Bidadari bermata bening yang sudah pernah ia lihat, kini akan kembali memperlihatkan keindahan parasnya sebelum berlanjut ke meja akad. Heuh? Akad? Bani tersenyum saat pikirannya sudah berkelana ke pelaminan. Senyum itu pun kian merekah saat raut hangat Daud, Fatimah, dan Adnan menyambut di dalam ruang keluarga. Sementara Adiba masih ada di kamarnya bersama Aisyah, sang kakak ipar. “Selamat datang, Kawan!” Daud memeluk erat Ibrahim. Ibrahim pun menyambut. “Semoga sebentar lagi kita akan resmi menjadi besan,” sambut Ibrahim dengan berbisik. Daud hanya tersenyum sembari menepuk-nepuk bahu teman karibnya itu. Tak lain halnya dengan Fatimah dan Sarah. Kiya juga disambut dengan sangat hangat. Begitu tiba giliran Bani, pria tampan itu pun sedikit kikuk saat bersalaman dengan Daud. “Om?” Daud tersenyum dan mendekap Bani. Ada rasa haru yang menyeruak.

DMCA.com Protection Status