Wildan memejam dengan dada bergemuruh. Ucapan Ratih benar-benar melukai hatinya. Benar, belati berupa lidah dan ucapan yang tajam itu akan membuat seseorang sulit memaafkan. Akan tetapi, apakah Wildan seorang pendendam?
Bukan, ia bukanlah pria pendendam. Namun, Wildan tetaplah manusia biasa yang hatinya bisa berbolak-balik. Apalagi direndahkan bertubi-tubi oleh sang mantan istri. Seolah-olah kemiskinan dan tak keberuntungan yang menghampiri hidupnya adalah sebuah kutukan.
Ia segera menuju tempat parkir untuk mengambil motor. Namun, suara seorang lelaki memanggil namanya.
“Nak Wildan, tunggu!"
Wildan menoleh. Rizal berlari ke
Bu Farhah menghela napas, lalu tersenyum lebih lebar dari yang sebelumnya. “Sehatnya orang sepuh, Dan. Ya begitu. Kamu langsung saja temui beliau di kamar.”Wildan sedikit lega dengan jawaban wanita yang dipanggilnya 'ibu' itu.“Sedang istirahat?”“Enggak, beliau lagi ngaji. Paling udah mau selesai.”Wildan mengangguk dan segera masuk. Belum sempat berjalan menuju kamar Bu Mentari yang akrab dipanggil Oma Tari oleh para anak asuhnya itu, adik-adik panti yang sangat hafal dengan wajah Wildan langsung berhambur.“Mas
Adiba mencoba meredam rasa aneh yang mulai melebur dengan rasa hangat nan damai. Bahkan, ia tak mampu menerjemahkan rasa apa yang baru pertama kali dialaminya itu. Rasa yang bahkan tak pernah ia rasakan saat menatap wajah tampan Salman, saat pria itu ingin melihat keseluruhan wajah Adiba ketika taaruf.“Eh, bawa teman, Za?”“Iya, Mas. Kenalin, namanya Adiba.”Wildan mengangguk pelan dengan sebuah senyum tipis. “Assalamualaikum, Adiba. Saya Wildan.”“Waalaikumsalam warahmatullah,” jawab Adiba lirih dengan kembali menundukkan pandangannya.Wildan pun kembali memfokuskan pandangan ke depan dan lanjut mengemudi.Di dalam perjalanan, Bu Farhah dan sang keponakan heboh berbincang. Sesekali Khanza juga mengajak Wildan untuk ikut terlibat obrolan dengannya. Adiba hanya diam menjadi pendengar saja.Diam-diam, senyum renyah pria yang sedang mengemudikan roda empat itu tertangkap pantulan kaca tengah. Adiba tersenyum. Entah kenapa ia mulai kecanduan dengan senyum pria itu.“Astagfirullah ...,” uc
Menemani Khanza berlibur di panti yang dikelola oleh sang nenek memberikan warna baru bagi Adiba. Ya, dia begitu menikmati kunjungannya kali ini. Kunjungan yang tak hanya sekadar bersilaturahmi dengan para penghuni panti, tapi juga mengingatkan akan sebuah cerita yang tak pernah Adiba lupakan.Sekitar jam sembilan pagi saat anak-anak panti sudah belajar di sekolahnya masing-masing, Adiba meminta Khanza menemaninya ke danau belakang panti. Tak terlalu jauh sebenarnya, tak juga takut karena Adiba pun punya kemampuan bela diri.“Kalau sendirian kesannya kayak orang hilang enggak tahu jalan pulang,” ucapnya, sukses membuat Oma Tari dan Bu Farhah terkekeh.“Ya udah sana, Neng. Temenin Neng Adibanya. Mumpung masih di sini.”Khanza pun mengangguk dan mereka mulai mengayun langkah. Sampai di tempat, ternyata sekeliling sudah banyak berubah. Danau tak hanya dikelilingi pepohonan besar nan rindang, tetapi juga terdapat beberapa tanaman bunga yang sengaja dirawat. Pun ada beberapa kursi panjang
“Gimana pamitannya, Dan?”Ada seulas getir dalam senyum yang tersungging di bibir Wildan. Pertanyaan dari Ramdan mengingatkannya pada tatapan sendu adik-adik pantinya. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang menangis dan harus dibujuk dulu agar mau melepas Wildan pergi.“Mereka ngasih restu, tapi juga terjadi adegan tangis-tangisan dulu,” jawab Wildan sembari menaruh barang di bagasi mobil Ramdan.“Ya emang gitu kalau melepas orang yang kita sayang. Berat. Tapi ... perpisahan adalah konsekuensi dari sebuah pertemuan.”“Yup, you’re right, Brother.”Ramdan terkekeh. “Aku bantuin Nisa packing dulu, ya. Entar malam kita langsung cus ke Jakarta.”Wildan hanya mengacungkan kedua jempolnya. Pria dengan berewok yang sudah mulai tumbuh itu meneliti wajahnya di kaca spion. Wildan merasa harus membersihkan bulu-bulu halus di wajahnya itu. Walau tampak keren dan kata beberapa teman seprofesinya terlihat seperti Deva Mahendra, tapi menurut Ramdan, ia harus berpenampilan bersih di hadapan sang majikan
‘Assalamualaikum, Dek. Lagi di mana?’“Waalaikumsalam, Bang. Aku lagi sama Khanza di Surabaya.”‘Hah? Ngapain?’“Healing lah ....”‘Ceile ... gaya bener.’Adiba terkekeh saat mendengar suara abangnya di seberang telepon.“Ada apa, Bang?”‘Abang mau pulang.’“Kangen sama Diba, ya?”‘Idih, enggak, tuh! Kangen sama ponakan.’Adiba mengernyit, tetapi beberapa detik langsung tersadar jika yang dimaksud adalah Cantika, putri Ramdan dan Nisa.Adnan dan sang istri–Aisyah–memang sudah lama menikah. Namun, anak belum hadir di antara mereka sampai tahun kelima. Namun, cinta keduanya masih sangat amat harmonis.Segala macam ikhtiar sudah mereka lakukan. Mulai dari yang herbal sampai program bayi tabung ke negara maju sekalipun. Namun, hasil akhir tetap menjadi hak prerogatif Allah.“Sama Bang Dito?”‘Enggak. Justru karena ada dia makanya Abang bisa tinggal pulang bentar sama kakakmu.’“Bilang aja aji mumpung!” cibir Adiba.Adnan tergelak. ‘Ini udah malem, lho, Dek. Kamu ngapain masih online? Punya
Sekitar bakda Zuhur, Adnan dan sang istri tiba di mansion orang tuanya. Senyum renyah tak henti-hentinya terulas dari bibir Aisyah. Adnan tahu, anak Ramdan dan Nisa sudah mulai menyita perhatian. Kini anak cantik dengan nama yang sangat ayu itu pun sudah pandai berceloteh di usia dua tahun.Suara salam dan pekikan girang langsung menghiasi kediaman Daud dan Fatimah. Aisyah langsung menyongsong putri Nisa setelah menyalami kedua mertuanya.“Ya ampun ... ini pipi dikasih apa, sih, Nis? Bisa kayak bakpau gitu. Ih, gemes, deh!” Aisyah menciumi pipi gembil Cantika.Walau raut sang istri terlihat cerah dan bahagia, tapi tetap saja ada perih yang menggores hati Adnan sebagai suami. Ia segera mengalihkan pandangan agar tak melow.“Bi, Ramdan mana?” tanya Adnan pada ayahnya.“Lagi di paviliun.”“Mau nginep di paviliun? Kamar tamu, kan, banyak, Bi.”“Bukan. Itu lho, lagi nganterin sopir baru yang mau tinggal di sini,” jawab Fatimah, sang ummi.Kening Adnan berkerut. “Sopir baru? Siapa, Bi?”“Te
Waktu bergulir dengan semestinya. Siang dan malam pun silih berganti tunduk pada aturan Sang Maha Kuasa. Tak peduli dengan huru-hara yang selalu mewarnai panggung sendratari dunia. Apa pun masalah kita, hidup akan terus berlanjut. Itu yang semua orang yakini, termasuk dengan Wildan Rabbani.Tak terasa dua belas bulan telah berlalu semenjak Wildan bekerja sebagai sopir pribadi keluarga Daud. Tempat tinggal dan urusan perut tak lagi ia pikirkan, sebab semua sudah disediakan. Merokok pun ia tak suka. Bonusnya, Wildan bisa menabung dari hasil jerih payahnya selama ini.Ia ingin melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah. Namun, karena terikat pada pekerjaan yang sewaktu-waktu selalu membutuhkannya, akhirnya pria yang terlihat makin segar dari hari ke hari itu memilih kuliah secara online.“Kamu serius bisa kuliah online, Dan? Bisa fokus?” tanya Daud.Wildan hanya tersenyum. “Insya Allah bisa, Pak.”Daud pun memintanya mengganti panggilan dari Tuan ke Bapak saja. Biar lebih akrab dan tak t
Wildan segera mengakhiri percakapannya dengan Murti. Ia berusaha membesarkan hati wanita yang masih dipanggilnya bulik itu, bahwa Allah pasti akan selalu memberikan yang terbaik untuk tiap hamba-Nya.Setelah itu, Wildan pun menaruh bukunya dan membuka pintu mobil. Mengaktifkan tombol kunci dan segera menyusul Adiba di dalam. Ia ingin tahu apa yang dilakukan Dito dengan wanita muda yang pinggangnya dipeluk dengan mesra itu. Tak lupa mantan suami Ratih Purnami tersebut memakai masker.“Kamu beneran enggak apa-apa nemenin aku dulu ke toko buku, Mas?”“Enggak pa-pa, Sayang. Kan, demi pendidikanmu juga,” jawab Dito renyah.Sungguh, ucapan kadal buntung macam Dito sangat membuat telinga Wildan gatal. Ia berdiri sekitar tiga meter dari dua sejoli yang terlihat memiliki hubungan tersebut.Dito memang sedang ada meeting di kantor Daud siang nanti, makanya dia datang ke Jakarta. Namun, sambil menyelam minum air. Entah diturunkan dari siapa sifat suka membual dan gonta-ganti wanita. Padahal Wild
Rabbani menepuk-nepuk pipi istrinya, tetapi Adiba tak merespons. Bani langsung keluar dari kamarnya dan memberitahu papa mamanya. Sarah langsung datang ke kamar Bani dan mengecek kondisi menantunya, sementara Ibrahim langsung mengeluarkan mobil untuk membawa Adiba ke rumah sakit. “Ada apa, Bani? Istrimu kenapa?” Sarah pun tak kalah panik. “Enggak tahu, Ma. Tiba-tiba aja Diba menggigil. Bani minta tolong bawakan ponsel dan dompet Bani, ya, Ma.” Bani langsung membopong Adiba ke mobil. Kondisi istrinya benar-benar mendadak. Membuat Bani benar-benar diserang panik dan mulai tak tenang. Begitu sampai di rumah sakit, Adiba langsung dilarikan ke ruang IGD untuk dilakukan pemeriksaan awal. Kebetulan di koridor depan bertemu dengan istri dari dokter Malik, dokter senior yang merupakan teman baik Ibrahim. “Loh? Pak Ibra? Bu Sarah? Siapa yang sakit?" "Menantu saya, Dok?" "Adiba? Sakit apa?” “Entah, Dok. Tiba-tiba badannya panas dingin dan menggigil.” Dokter dengan name tag Khadijah i
Kumandang azan Subuh terdengar samar-samar hingga akhirnya jelas menyapa telinga. Adiba menggeliat, lalu sedikit terkejut melihat seorang pria di sebelahnya. Namun, beberapa detik senyumnya terbit. Ia kembali menenggelamkan kepalanya di balik selimut putih tebal. Aksi semalam kembali terbayang. Membuat Adiba malu sekaligus bahagia. Ia tak menyangka bahwa malam pertamanya benar-benar dilakukan di hari yang sama lepas akad dan resepsi dilaksanakan. Adiba yang sudah sangat menginginkan atau Bani yang memang tak sabaran? Ah, sepertinya sama saja. Rasa ingin sudah menjadi pahala yang sangat besar nilainya. Bahkan Bani tak henti membuat istrinya berteriak menyebut namanya saat pelepasan. Benar-benar malam yang sangat dahsyat. Kepala Adiba menyembul dari selimut. Ia tersenyum. Rasanya seperti mimpi bisa bersama dan menyatukan cinta dengan orang yang kita pinta dalam doa. “Kenapa senyum-senyum?”“Eh?”Adiba terkejut melihat wajah bantal Bani yang tetap terlihat tampan dan akan selalu tamp
“Saya terima nikah dan kawinnya Adiba Khumairo binti Daud Abdullah dengan mas kawin tersebut, tunai!”“Bagaimana para saksi?”“Sah!”Rabbani memejam dengan lirih bibirnya mengucap hamdalah. Diusapkannya kedua telapak tangan ke wajah dan ia pun sibuk mengamini doa barakah yang dibacakan seorang penghulu. Tak hanya Bani, para undangan yang ikut menjadi saksi pernikahan sepasang anak Adam dan Hawa itu pun juga ikut melangitkan pinta atas doa yang dipimpin. Di ruangan lain, Adiba menahan air mata harunya. Pernikahan yang ia impikan telah terhelat dengan cukup sempurna. Pria yang diinginkan, kini telah sah berstatus suami. Hatinya sedikit gerimis mengingat Salman. Namun, jodoh dan maut memang rahasia Sang Pemilik Kehidupan. Doa selesai.Sarah tak bisa membendung air mata bahagianya. Ia memeluk sang menantu tanpa mengucap sepatah kata pun. Air matanya cukup mewakili bahasa bahagia yang membuncah hingga kata-kata lenyap dengan sendirinya. “Ayo, Nak. Kita ke depan,” ucap Fatimah.Dua wanit
Rizal baru saja keluar dari rumahnya dan hendak pergi ke balai desa karena suatu urusan. Namun, langkahnya terhenti kala sebuah bunyi notif pesan masuk ke ponselnya. “Pak, Ibu sekalian antar ke pasar, ya. Berangkatnya aja, nanti pulangnya Ibu bisa pakai ojek pangkalan.” Suara Murti yang dibawa dari belakang hingga ke depan teras hanya samar-samar di telinga Rizal. Ketua RW tersebut kaget dan juga mengucapkan hamdalah dengan lirih. “Pak, lihat apa, to? Ucapan Ibu malah gak ditanggepin?” gerutu Murti sambil mengunci pintu rumah. Rizal menoleh pada istrinya. “Bu, Ratih ketemu.” Murti langsung membalik badan. “Subhanallah, yang bener, Pak?” Rizal menyodorkan ponselnya kepada Murti. Seketika wajah Murti langsung berubah sendu, bibirnya bergetar, dan air matanya mulai berjatuhan. “W-Wildan yang ngabarin Bapak? Dia yang nemuin Ratih, Pak?” Pria berkemeja lengan pendek itu mengangguk. “Iya, Bu. Itu pesan dari Wildan. Ternyata Ratih ke Jakarta.” “Ya Allah ....” Murti terduduk
Dito menarik kembali kepalanya. Kini, Bani bisa kembali menatap wajah Dito yang terlihat sangat serius, sementara Bani sendiri masih berusaha biasa saja. Tak terlalu terkejut walau ada sedikit guratan tanda tanya di antara kedua alisnya. “Apa kali ini ucapanmu bisa aku percaya?”Lagi-lagi Dito mengembuskan napas panjangnya. Ia lebih dulu menatap sekeliling. Memastikan jika posisinya dan Bani cukup jauh dari beberapa orang. “Aku tak akan meminta maaf atas apa yang sudah aku perbuat padamu dan juga Ratih di masa lalu. Bukan aku sombong dan tak tahu diri. Aku hanya merasa ... tak pantas untuk mendapat maaf darimu, Bani. Kamu juga tak perlu memaafkanku. Dosaku sudah sangat besar dan banyak hingga membuat kalian bercerai.”Hening. Jika seorang sahabat berbuat jahat itu membahayakan, maka seorang rival yang berbuat baik itu cukup mencurigakan. Namun ... apa iya seorang Dito masih merencanakan kejahatan part dua pada Bani? “Katakan saja!” pinta Bani dengan nada datar. Kali ini Dito benar
“Pa?”Ibrahim menoleh. “Ya?”“Bani masih belum terlalu paham dengan perusahaan. Papa yakin mau resmiin Bani buat jadi pimpinan?”Sang ayah mengulas senyum. Tak lain halnya Sarah sang istri yang semakin hari semakin semangat menjalani hari, pun dengan Ibrahim yang semakin terlihat berwibawa dengan ketegasan yang ia miliki. Kehadiran Rabbani mampu mengembalikan cahaya dalam keluarga sang presdir. “Apa Papa akan setega itu melepasmu terjun sendiri tanpa bimbingan, Nak? Om Felix dan Papa sendiri yang akan mendampingimu mengelola kerajaan bisnismu sendiri. Rabbani Corp itu amanah untukmu. Kamu hanya perlu meyakinkan kami, bahwa seorang penerus tak akan mengecewakan para pendahulunya.”Rabbani mengangguk samar. Beberapa hari belajar tentang perusahaan milik keluarganya, Bani baru tahu jika Madava Grup dan Rabbani Corp bukan perusahaan kecil. Ada ribuan karyawan di beberapa perusahaan cabang yang menggantungkan harapan pada perusahaan milik keluarganya. “Jangan risau. Kamu tetap bisa belaj
“Kay, kenapa harus ke sini, sih?”Kayla hanya tersenyum dengan tangan hendak membuka pintu mobil. Namun, satu tangannya lagi berhasil Dito genggam. “Mas Dito, bukannya kamu yang maksa buat ngantar aku dan mau ikut apa pun kegiatan aku?”“Iya, tapi ... mana aku tahu kalau kamu mau ke tempat beginian?”“Mas Dito nyesel? Mau balik? It's oke. Nanti aku bisa pulang pakai GoCar.”Kayla pun langsung turun tanpa memedulikan Dito yang tengah mengembuskan napas kasar. Akhir-akhir ini mood-nya sedang tidak baik. Tepatnya, setelah tahu jika mantan suami dari mantan kekasihnya, orang yang dia hina sedemikian rupa, pria yang ia pandang sebelah mata karena berprofesi sebagai sopir, ternyata dia adalah putra seorang presdir. Apalagi tak lama setelah ini ia dan keluarga besarnya mendapat undangan resmi dari sang presdir Madava Grup. Undangan pesta tasyakuran dan juga peresmian pengangkatan Rabbani Asraf Madava sebagai CEO Rabbani Corp. Tentu tak hanya keluarga Dandi, tetapi juga keluarga Daud dan be
Kabar soal menghilangnya Ratih yang sempat disembunyikan dari Marni sampai juga di telinga wanita itu. Sebagai seorang ibu, tentu saja Marni ikut panik walau ia tak bisa berbuat apa-apa. Ke mana putri semata sayangnya itu pergi? “Ibuk kenapa sampai kecolongan, sih, Buk?” Rizal terlihat frustrasi. “Maafin Ibuk, Pak. Ibuk panik saat dengar suara benda pecah. Ibuk masuk buat memastikan. Ternyata benar Mbak Marni butuh bantuan.”Sampai jam dua belas malam, beberapa warga yang ikut mencari keberadaan Ratih juga tak menemukan tanda-tanda. “Ibuk juga enggak tahu kalau gembok pasungnya Ratih lepas, Pak. Makanya Ibuk enggak khawatir waktu ninggalin pintu dalam keadaan sudah terbuka.”“Sudah, Pak Rizal. Jangan salahkan Bu Murti. Dia bukan lalai, hanya saja situasi dan kondisinya tidak pas. Benar kata Pak Rizal, kita kecolongan,” sela Pak RT menengahi. Rizal menghela napas panjang dan meminta maaf kepada sang istri. “Apa perlu lapor polisi?” usul salah satu warga. “Tidak bisa, Pak. Seseora
Kali ini Rabbani benar-benar merasa terkepung rasa bahagia. Diantar oleh kedua orang tua kandungnya untuk meminta sang belahan jiwa. Bidadari bermata bening yang sudah pernah ia lihat, kini akan kembali memperlihatkan keindahan parasnya sebelum berlanjut ke meja akad. Heuh? Akad? Bani tersenyum saat pikirannya sudah berkelana ke pelaminan. Senyum itu pun kian merekah saat raut hangat Daud, Fatimah, dan Adnan menyambut di dalam ruang keluarga. Sementara Adiba masih ada di kamarnya bersama Aisyah, sang kakak ipar. “Selamat datang, Kawan!” Daud memeluk erat Ibrahim. Ibrahim pun menyambut. “Semoga sebentar lagi kita akan resmi menjadi besan,” sambut Ibrahim dengan berbisik. Daud hanya tersenyum sembari menepuk-nepuk bahu teman karibnya itu. Tak lain halnya dengan Fatimah dan Sarah. Kiya juga disambut dengan sangat hangat. Begitu tiba giliran Bani, pria tampan itu pun sedikit kikuk saat bersalaman dengan Daud. “Om?” Daud tersenyum dan mendekap Bani. Ada rasa haru yang menyeruak.