Dengan berat, akhirnya Wildan pun berpamitan. Dan sembari terisak-isak, Bu Marni mendekap tubuh tegap mantan menantunya itu. Kakak Murti yang bertubuh mungil dan Wildan yang bertubuh proporsional terlihat seperti sepasang ibu dan anak. Ya, mereka lebih mirip seorang ibu yang menangisi kepergian sang anak yang akan pergi jauh merantau.
Bagi Wildan, selamanya Bu Marni akan ia anggap sebagai ibu, orang tuanya. Begitu pun dengan Bu Marni yang sudah sangat menyayangi mantan menantunya tersebut.
“Maafin Wildan, Bu. Belum bisa menjadi yang terbaik buat anak Ibu," bisiknya sembari mendekap Bu Marni.
"Tidak, Nak. Harusnya Ibu yang minta maaf, anak Ibu benar-benar keterlaluan!" balas Bu Marni dengan air mata yang terus mendominasi.
"Wildan sudah maafin, kok, Bu. Wildan ikhlas. Semoga Ratih bisa segera memberikan cucu buat Ibu."
"Sampai kapan pun Ibu enggak akan mau punya cucu dari hasil zi*na!"
Suara Bu Marni terdengar tegas dan menolak.
Wildan memejam. Siapa pun tentu tak ingin memiliki keturunan dari cara yang salah. Selain sudah jelas tercatat sebagai dosa, akan sangat mempersulit status si anak di kemudian hari jika anak hasil zi*na itu seorang anak perempuan.
Wajah Ratih terlihat tak terima saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut ibunya. Bukankah selama ini ia yang sangat menginginkan seorang cucu?
“Udah, deh. Enggak usah sok dramatis!" Ratih menarik lengan ibunya. "Pamitan yang biasa aja. Enggak usah mendramatisir suasana," lanjutnya sembari menjauhkan tubuh ibunya dari sang mantan suami.
Murti dan Rizal hanya mengucap istigfar. Kenapa Ratih terlihat sebenci itu kepada Wildan? Apa hanya karena ia miskin dan belum bisa memberinya seorang keturunan?
Bahkan Pak Dandi ikut menggeleng pelan. Ratih sama sekali tak masuk kriteria menantu idamannya. Walau kaya dan punya kuasa, Pak Dandi terkenal baik dan dermawan. Tentu ia tak hanya mencari menantu yang cantik, tetapi harus punya attitude yang baik.
"Jangan sampai ada cerita part two, soal ibu mertua dan menantu lelakinya yang ada afair."
"Ratih! Jaga ucapanmu! Beliau ini ibumu!" sentak Wildan.
"Apa?!" Ratih mengangkat dagu dengan sinis."Jangan pernah membentakku, Wildan! Kamu bukan siapa-siapaku lagi.”
Wildan menghela napas panjang. Tak mau ribut dengan mantan istrinya tersebut. Ratih sudah berubah seratus delapan puluh derajat.
“Ya. Kamu benar. Aku bukan siapa-siapamu lagi. Tapi, setidaknya pelankan suaramu. Berkatalah yang baik pada ibumu.”
Bahkan Ratih tak bisa menjaga sikap di depan Pak RT dan Pak Dandi sebagai orang lain. Sedangkan Dito hanya diam. Ia seolah-olah tak berada di ruangan yang sama. Ia dan pikirannya tengah berperang sengit. Memikirkan apa yang tengah direncanakan oleh sang ayah.
Wildan berganti menyalami Rizal dan Murti. “Paklik, Bulik, maafkan semua kesalahan Wildan selama ini. Wildan pamit. Tolong jaga Ibuk.”
Rizal hanya mengangguk dan mulai mendekap Wildan. Pria santun yang pernah menjadi suami keponakannya itu terlihat sangat menyayangi Bu Marni, kakak ipar Rizal. Ditepuk-tepuknya punggung pria berparas tenang itu. Murti menatap sendu. Andai ia punya anak perempuan yang sudah siap menikah, pasti Murti akan mengambil alih Wildan untuk menjadi menantunya. Lelaki tampan dan mapan memang banyak, tetapi lelaki saleh yang mau meratukan wanitanya hanya bisa dihitung oleh jari.
Wildan mampu menafkahi Ratih, ia seorang pekerja keras. Namun, Ratih merasa kurang. Ya, kurang bersyukur. Jika kita selalu melihat rumput tetangga yang lebih hijau, sampai kapan pun rasa syukur itu akan menjauh dan tak bisa dijangkau.
“Bulik ... Wildan pamit.”
Mata Murti yang sudah berkabut langsung buram. Ia tak mampu lagi membendung air matanya. Namun, ia hanya menggenggam tangan Wildan dengan mulai terisak kecil.
“Kamu mau tinggal di mana, Dan?”
“Wildan sudah dapat kos-kosan, Bulik. Di tempat teman.”
“Jauh?”
“Kurang lebih setengah jam dari sini, Bulik.”
Murti menyusut air matanya dengan tangan. Ia tahu jika Wildan tak lagi memiliki orang tua dan saudara. Mungkin masih ada, tapi entah di mana. Wildan dibesarkan di sebuah panti.
“Jangan jadi canggung, ya, Dan. Kapan pun kamu mau bersilaturahmi, pintu rumah kami selalu terbuka buat kamu. Kita akan tetap jadi saudara.”
Wildan tersenyum. “Insya Allah, Bulik. Pasti, saya akan selalu menjaga ukhuwah.”
Murti tersenyum dan mengelus sebelah lengan Wildan. Pria itu lanjut menyalami Pak RT, Pak Dandi, dan terakhir Dito.
“Tolong jaga Ratih, To. Sebagaimana kamu bersungguh-sungguh menginginkannya, bersungguh-sungguhlah pula dalam memperjuangkannya. Lebih-lebih dalam menjaganya.”
Dito hanya bisa mengangguk pelan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Lagi-lagi Pak Dandi terharu. Hatinya pun berucap yang sama dengan Murti. Andai ia memiliki anak perempuan ....
Semua yang ada di rumah Ratih menjawab salam ketika Wildan pamit undur diri. Berbeda dengan Ratih yang terlihat ogah-ogahan. Setelah Wildan pergi dengan membawa segala kepahitan dalam kisah rumah tangganya, Pak Dandi pun meminta diri.
“Saya dan putra saya juga pamit, Pak, Bu. Saya janji, akan kurung Dito sampai masa idah Ratih selesai.”
“Baik, Pak. Kami harap, semua bisa dibicarakan lagi usai Ratih menyelesaikan masa tunggu-nya,” ucap Rizal selaku ketua RW dan juga paman dari Ratih.
“Pasti, Pak.”
“Dan kami sangat berharap, berita ini tak sampai bocor ke warga. Ini aib. Sebisa mungkin harus kita tutupi.”
Pak Dandi setuju. Hal yang sangat memalukan ini tentu tak ingin diketahui orang lain selain delapan orang yang berkumpul tadi. Akhirnya, semua pun pamit undur diri. Tersisalah Rizal, Murti, Bu Marni, dan Ratih sendiri.
“Mau ke mana kamu?” Murti bersuara ketika melihat Ratih berdiri.
“Kerja, Bulik,” jawab Ratih santai. Seolah-olah obrolan serius tadi hanya obrolan ringan saja.
“Kamu enggak paham kalau kamu sedang melewati masa idah?”
“Tapi Ratih harus kerja,” ucap Ratih setengah merengek.
“Ajukan resign. Kamu harus berdiam diri di rumah selama tiga bulan.”
“Apa?! Mana bisa begitu, Bulik? Ratih ini juga butuh pengeluaran ini dan itu. Sudah enggak ada yang nafkahin Ratih, jadi ya Ratih harus kerja.”
“Nah, itu. Sudah enak-enak nurut suami, ngapain membangkang?”
“Ck! Bulik enggak akan ngerti.”
“Iya, Bulik memang enggak ngerti sama jalan pikiran kamu. Apa otak kamu hanya tinggal tempurungnya saja? Ke mana isinya?”
“Udahlah, Bulik ... jangan buang waktu Ratih. Ini Ratih udah telat banget masuk kerjanya. Entar bonus Ratih hangus kalau pelanggan pada kecewa Ratih enggak datang.”
Kening Murti berkerut. “Pelanggan kecewa? Memang pekerja di kafe cuma kamu saja?”
Ratih melipat bibirnya ke dalam, sementara alis Murti semakin bertaut.
“Pelanggan apa maksud kamu, Ratih?”
(*)
PLAK! PLAKK!“MEMALUKAN!” bentak Pak Dandi setelah melepas dua tamparan pada kedua pipi Dito.“Di mana otak kamu, Dito? Di mana? Hah?!”“Bisa-bisanya kamu tidur dengan istri orang! Bisa-bisanya kamu kembali pada mantan pacar kamu itu!”“M-maaf, Yah,” cicit Dito dengan kepala menunduk.“Enak sekali kamu berbuat hal kotor sampai melemparkan bau dan kotorannya pada wajah Ayah, lalu hanya minta maaf?”“Dito khilaf, Y
"Calon Menantu Sang Milyader Te was Dalam Kecelakaan Tunggal"Ingin abai, tapi nyatanya jari Wildan menyentuh judul notifikasi tersebut. Matanya sudah mengantuk, tetapi barisan huruf demi huruf berhasil ia baca soal kecelakaan yang mene*waskan seorang pria. Matanya kian memicing dengan mengezoom sebuah gambar di atas kalimat berita yang terlampir.“Ini Mas Adnan bukan, sih?”Dari merebah, kini Wildan terduduk di kasur. Benar-benar meneliti wajah lelaki yang sepertinya pernah ia kenali. Adnan, salah satu teman baiknya. Bukan, ia bahkan tak berani menganggapnya teman. Namun, pria tampan putra konglomerat itu begitu membaur dengan anak-anak panti. Tempat di mana Wildan Rabbani pernah bernaung.“Aku ingin kita berteman. Ajari aku mengaji, ya?”Wildan bergeming.“Enggak usah takut. Kita bisa jadi teman baik. Namaku Adnan Syakil.”Anak orang kaya yang benar-benar lain. Ia selalu ikut dengan ayahnya sebulan sekali untuk menyantuni anak-anak di panti. Dari sanalah Wildan akrab dengan pria yang
Tubuh Ratih meremang saat suara serupa bisikan itu menyentuh daun telinganya. Bahkan ia kesulitan menelan salivanya sendiri. Ratih tahu, bahwa atasannya suka gonta-ganti pasangan dan main perempuan. Walau ucapan William masih menggantung, tetapi Ratih paham apa yang diinginkan pria bule bertubuh proporsional tersebut.“... asal kau mau melayaniku malam ini. Bagaimana?”William menjauhkan wajahnya dari samping wajah Ratih. Namun, sepasang bola matanya tak henti-henti menyapu tubuh salah satu karyawatinya tersebut.“Ma-maaf, Mister. Saya enggak bisa.”Senyum miring William sunggingkan. “Up to you!
“Mumpung istri juga enggak di rumah, kita keliling kota dulu ,yuk, Dan!” ajak Ramdan kepada Wildan. “Udah lama enggak motoran malam-malam.”“Walau malam dan jalan udah jadi teman sehari-hari, tapi hayuklah!” jawab Wildan.Kedua kawan baik itu berboncengan dengan sesekali mengobrol santai. Sesekali mereka tergelak, melupakan sejenak segala permasalahan hidup. Hidup ini hanya sawang sinawang. Kita hanya melihat apa yang tampak, tak mengerti dengan apa yang sebenarnya dirasa.“Dan, udah bisa buka hati belum?”“Hah?”“Laki-laki, kan, enggak ada masa idah. Kayaknya enggak salah kalau kamu mulai belajar mencintai lagi.”Wildan tergelak dalam kebisingan kendaraan yang berlalu-lalang.“Enggak semudah itu, Ferguso,” jawab Wildan.Kini, Ramdan yang tergelak. Ya, ia hanya menghibur Wildan saja. Ramdan tahu dan paham, bahwa dari sebuah perpisahan, yang sulit bukan hanya mengikhlaskan, tetapi juga melupakan segala kenangan. Entah itu cerai hidup atau cerai sebab maut.“Daftarin cerai aja belom. Ak
“Mending kamu di sini dulu, To. Belajar ngolah perusahaan sama Adnan,” ucap Pak Dandi kepada sang putra.Sudah empat hari ia berikut orang tuanya menginap di paviliun sang paman yang tak lain adalah Pak Daud, orang tua dari Adiba dan Adnan. Dan hari ini, Pak Dandi berikut istrinya akan pulang. Namun, sebelumnya, mereka sudah berembuk dengan Daud agar Dito belajar mengurus perusahaan keluarga bersama Adnan, sang sepupu.Tentu saja itu adalah salah satu usaha Pak Dandi dan istri untuk menjauhkan Dito dengan Ratih. Mereka tak bisa percaya dengan sang anak begitu saja. Takut kecolongan lagi.“Kamu bisa bekerja dan belajar sama Mas Adnan,” lanjutnya.
Wildan memejam dengan dada bergemuruh. Ucapan Ratih benar-benar melukai hatinya. Benar, belati berupa lidah dan ucapan yang tajam itu akan membuat seseorang sulit memaafkan. Akan tetapi, apakah Wildan seorang pendendam?Bukan, ia bukanlah pria pendendam. Namun, Wildan tetaplah manusia biasa yang hatinya bisa berbolak-balik. Apalagi direndahkan bertubi-tubi oleh sang mantan istri. Seolah-olah kemiskinan dan tak keberuntungan yang menghampiri hidupnya adalah sebuah kutukan.Ia segera menuju tempat parkir untuk mengambil motor. Namun, suara seorang lelaki memanggil namanya.“Nak Wildan, tunggu!"Wildan menoleh. Rizal berlari ke
Bu Farhah menghela napas, lalu tersenyum lebih lebar dari yang sebelumnya. “Sehatnya orang sepuh, Dan. Ya begitu. Kamu langsung saja temui beliau di kamar.”Wildan sedikit lega dengan jawaban wanita yang dipanggilnya 'ibu' itu.“Sedang istirahat?”“Enggak, beliau lagi ngaji. Paling udah mau selesai.”Wildan mengangguk dan segera masuk. Belum sempat berjalan menuju kamar Bu Mentari yang akrab dipanggil Oma Tari oleh para anak asuhnya itu, adik-adik panti yang sangat hafal dengan wajah Wildan langsung berhambur.“Mas
Adiba mencoba meredam rasa aneh yang mulai melebur dengan rasa hangat nan damai. Bahkan, ia tak mampu menerjemahkan rasa apa yang baru pertama kali dialaminya itu. Rasa yang bahkan tak pernah ia rasakan saat menatap wajah tampan Salman, saat pria itu ingin melihat keseluruhan wajah Adiba ketika taaruf.“Eh, bawa teman, Za?”“Iya, Mas. Kenalin, namanya Adiba.”Wildan mengangguk pelan dengan sebuah senyum tipis. “Assalamualaikum, Adiba. Saya Wildan.”“Waalaikumsalam warahmatullah,” jawab Adiba lirih dengan kembali menundukkan pandangannya.Wildan pun kembali memfokuskan pandangan ke depan dan lanjut mengemudi.Di dalam perjalanan, Bu Farhah dan sang keponakan heboh berbincang. Sesekali Khanza juga mengajak Wildan untuk ikut terlibat obrolan dengannya. Adiba hanya diam menjadi pendengar saja.Diam-diam, senyum renyah pria yang sedang mengemudikan roda empat itu tertangkap pantulan kaca tengah. Adiba tersenyum. Entah kenapa ia mulai kecanduan dengan senyum pria itu.“Astagfirullah ...,” uc
Rabbani menepuk-nepuk pipi istrinya, tetapi Adiba tak merespons. Bani langsung keluar dari kamarnya dan memberitahu papa mamanya. Sarah langsung datang ke kamar Bani dan mengecek kondisi menantunya, sementara Ibrahim langsung mengeluarkan mobil untuk membawa Adiba ke rumah sakit. “Ada apa, Bani? Istrimu kenapa?” Sarah pun tak kalah panik. “Enggak tahu, Ma. Tiba-tiba aja Diba menggigil. Bani minta tolong bawakan ponsel dan dompet Bani, ya, Ma.” Bani langsung membopong Adiba ke mobil. Kondisi istrinya benar-benar mendadak. Membuat Bani benar-benar diserang panik dan mulai tak tenang. Begitu sampai di rumah sakit, Adiba langsung dilarikan ke ruang IGD untuk dilakukan pemeriksaan awal. Kebetulan di koridor depan bertemu dengan istri dari dokter Malik, dokter senior yang merupakan teman baik Ibrahim. “Loh? Pak Ibra? Bu Sarah? Siapa yang sakit?" "Menantu saya, Dok?" "Adiba? Sakit apa?” “Entah, Dok. Tiba-tiba badannya panas dingin dan menggigil.” Dokter dengan name tag Khadijah i
Kumandang azan Subuh terdengar samar-samar hingga akhirnya jelas menyapa telinga. Adiba menggeliat, lalu sedikit terkejut melihat seorang pria di sebelahnya. Namun, beberapa detik senyumnya terbit. Ia kembali menenggelamkan kepalanya di balik selimut putih tebal. Aksi semalam kembali terbayang. Membuat Adiba malu sekaligus bahagia. Ia tak menyangka bahwa malam pertamanya benar-benar dilakukan di hari yang sama lepas akad dan resepsi dilaksanakan. Adiba yang sudah sangat menginginkan atau Bani yang memang tak sabaran? Ah, sepertinya sama saja. Rasa ingin sudah menjadi pahala yang sangat besar nilainya. Bahkan Bani tak henti membuat istrinya berteriak menyebut namanya saat pelepasan. Benar-benar malam yang sangat dahsyat. Kepala Adiba menyembul dari selimut. Ia tersenyum. Rasanya seperti mimpi bisa bersama dan menyatukan cinta dengan orang yang kita pinta dalam doa. “Kenapa senyum-senyum?”“Eh?”Adiba terkejut melihat wajah bantal Bani yang tetap terlihat tampan dan akan selalu tamp
“Saya terima nikah dan kawinnya Adiba Khumairo binti Daud Abdullah dengan mas kawin tersebut, tunai!”“Bagaimana para saksi?”“Sah!”Rabbani memejam dengan lirih bibirnya mengucap hamdalah. Diusapkannya kedua telapak tangan ke wajah dan ia pun sibuk mengamini doa barakah yang dibacakan seorang penghulu. Tak hanya Bani, para undangan yang ikut menjadi saksi pernikahan sepasang anak Adam dan Hawa itu pun juga ikut melangitkan pinta atas doa yang dipimpin. Di ruangan lain, Adiba menahan air mata harunya. Pernikahan yang ia impikan telah terhelat dengan cukup sempurna. Pria yang diinginkan, kini telah sah berstatus suami. Hatinya sedikit gerimis mengingat Salman. Namun, jodoh dan maut memang rahasia Sang Pemilik Kehidupan. Doa selesai.Sarah tak bisa membendung air mata bahagianya. Ia memeluk sang menantu tanpa mengucap sepatah kata pun. Air matanya cukup mewakili bahasa bahagia yang membuncah hingga kata-kata lenyap dengan sendirinya. “Ayo, Nak. Kita ke depan,” ucap Fatimah.Dua wanit
Rizal baru saja keluar dari rumahnya dan hendak pergi ke balai desa karena suatu urusan. Namun, langkahnya terhenti kala sebuah bunyi notif pesan masuk ke ponselnya. “Pak, Ibu sekalian antar ke pasar, ya. Berangkatnya aja, nanti pulangnya Ibu bisa pakai ojek pangkalan.” Suara Murti yang dibawa dari belakang hingga ke depan teras hanya samar-samar di telinga Rizal. Ketua RW tersebut kaget dan juga mengucapkan hamdalah dengan lirih. “Pak, lihat apa, to? Ucapan Ibu malah gak ditanggepin?” gerutu Murti sambil mengunci pintu rumah. Rizal menoleh pada istrinya. “Bu, Ratih ketemu.” Murti langsung membalik badan. “Subhanallah, yang bener, Pak?” Rizal menyodorkan ponselnya kepada Murti. Seketika wajah Murti langsung berubah sendu, bibirnya bergetar, dan air matanya mulai berjatuhan. “W-Wildan yang ngabarin Bapak? Dia yang nemuin Ratih, Pak?” Pria berkemeja lengan pendek itu mengangguk. “Iya, Bu. Itu pesan dari Wildan. Ternyata Ratih ke Jakarta.” “Ya Allah ....” Murti terduduk
Dito menarik kembali kepalanya. Kini, Bani bisa kembali menatap wajah Dito yang terlihat sangat serius, sementara Bani sendiri masih berusaha biasa saja. Tak terlalu terkejut walau ada sedikit guratan tanda tanya di antara kedua alisnya. “Apa kali ini ucapanmu bisa aku percaya?”Lagi-lagi Dito mengembuskan napas panjangnya. Ia lebih dulu menatap sekeliling. Memastikan jika posisinya dan Bani cukup jauh dari beberapa orang. “Aku tak akan meminta maaf atas apa yang sudah aku perbuat padamu dan juga Ratih di masa lalu. Bukan aku sombong dan tak tahu diri. Aku hanya merasa ... tak pantas untuk mendapat maaf darimu, Bani. Kamu juga tak perlu memaafkanku. Dosaku sudah sangat besar dan banyak hingga membuat kalian bercerai.”Hening. Jika seorang sahabat berbuat jahat itu membahayakan, maka seorang rival yang berbuat baik itu cukup mencurigakan. Namun ... apa iya seorang Dito masih merencanakan kejahatan part dua pada Bani? “Katakan saja!” pinta Bani dengan nada datar. Kali ini Dito benar
“Pa?”Ibrahim menoleh. “Ya?”“Bani masih belum terlalu paham dengan perusahaan. Papa yakin mau resmiin Bani buat jadi pimpinan?”Sang ayah mengulas senyum. Tak lain halnya Sarah sang istri yang semakin hari semakin semangat menjalani hari, pun dengan Ibrahim yang semakin terlihat berwibawa dengan ketegasan yang ia miliki. Kehadiran Rabbani mampu mengembalikan cahaya dalam keluarga sang presdir. “Apa Papa akan setega itu melepasmu terjun sendiri tanpa bimbingan, Nak? Om Felix dan Papa sendiri yang akan mendampingimu mengelola kerajaan bisnismu sendiri. Rabbani Corp itu amanah untukmu. Kamu hanya perlu meyakinkan kami, bahwa seorang penerus tak akan mengecewakan para pendahulunya.”Rabbani mengangguk samar. Beberapa hari belajar tentang perusahaan milik keluarganya, Bani baru tahu jika Madava Grup dan Rabbani Corp bukan perusahaan kecil. Ada ribuan karyawan di beberapa perusahaan cabang yang menggantungkan harapan pada perusahaan milik keluarganya. “Jangan risau. Kamu tetap bisa belaj
“Kay, kenapa harus ke sini, sih?”Kayla hanya tersenyum dengan tangan hendak membuka pintu mobil. Namun, satu tangannya lagi berhasil Dito genggam. “Mas Dito, bukannya kamu yang maksa buat ngantar aku dan mau ikut apa pun kegiatan aku?”“Iya, tapi ... mana aku tahu kalau kamu mau ke tempat beginian?”“Mas Dito nyesel? Mau balik? It's oke. Nanti aku bisa pulang pakai GoCar.”Kayla pun langsung turun tanpa memedulikan Dito yang tengah mengembuskan napas kasar. Akhir-akhir ini mood-nya sedang tidak baik. Tepatnya, setelah tahu jika mantan suami dari mantan kekasihnya, orang yang dia hina sedemikian rupa, pria yang ia pandang sebelah mata karena berprofesi sebagai sopir, ternyata dia adalah putra seorang presdir. Apalagi tak lama setelah ini ia dan keluarga besarnya mendapat undangan resmi dari sang presdir Madava Grup. Undangan pesta tasyakuran dan juga peresmian pengangkatan Rabbani Asraf Madava sebagai CEO Rabbani Corp. Tentu tak hanya keluarga Dandi, tetapi juga keluarga Daud dan be
Kabar soal menghilangnya Ratih yang sempat disembunyikan dari Marni sampai juga di telinga wanita itu. Sebagai seorang ibu, tentu saja Marni ikut panik walau ia tak bisa berbuat apa-apa. Ke mana putri semata sayangnya itu pergi? “Ibuk kenapa sampai kecolongan, sih, Buk?” Rizal terlihat frustrasi. “Maafin Ibuk, Pak. Ibuk panik saat dengar suara benda pecah. Ibuk masuk buat memastikan. Ternyata benar Mbak Marni butuh bantuan.”Sampai jam dua belas malam, beberapa warga yang ikut mencari keberadaan Ratih juga tak menemukan tanda-tanda. “Ibuk juga enggak tahu kalau gembok pasungnya Ratih lepas, Pak. Makanya Ibuk enggak khawatir waktu ninggalin pintu dalam keadaan sudah terbuka.”“Sudah, Pak Rizal. Jangan salahkan Bu Murti. Dia bukan lalai, hanya saja situasi dan kondisinya tidak pas. Benar kata Pak Rizal, kita kecolongan,” sela Pak RT menengahi. Rizal menghela napas panjang dan meminta maaf kepada sang istri. “Apa perlu lapor polisi?” usul salah satu warga. “Tidak bisa, Pak. Seseora
Kali ini Rabbani benar-benar merasa terkepung rasa bahagia. Diantar oleh kedua orang tua kandungnya untuk meminta sang belahan jiwa. Bidadari bermata bening yang sudah pernah ia lihat, kini akan kembali memperlihatkan keindahan parasnya sebelum berlanjut ke meja akad. Heuh? Akad? Bani tersenyum saat pikirannya sudah berkelana ke pelaminan. Senyum itu pun kian merekah saat raut hangat Daud, Fatimah, dan Adnan menyambut di dalam ruang keluarga. Sementara Adiba masih ada di kamarnya bersama Aisyah, sang kakak ipar. “Selamat datang, Kawan!” Daud memeluk erat Ibrahim. Ibrahim pun menyambut. “Semoga sebentar lagi kita akan resmi menjadi besan,” sambut Ibrahim dengan berbisik. Daud hanya tersenyum sembari menepuk-nepuk bahu teman karibnya itu. Tak lain halnya dengan Fatimah dan Sarah. Kiya juga disambut dengan sangat hangat. Begitu tiba giliran Bani, pria tampan itu pun sedikit kikuk saat bersalaman dengan Daud. “Om?” Daud tersenyum dan mendekap Bani. Ada rasa haru yang menyeruak.