5. Talak Tiga

Kelakuan Ratih benar-benar menampar harga diri Wildan sebagai seorang lelaki. Selama ini, Wildan selalu berusaha memuliakan sang istri. Menyayanginya sepenuh hati. Ia tak ingin menjadi pria yang menjadi penyebab wanitanya berurai air mata. Tapi realitanya ... justru Ratih yang mendua.

Bu Marni hanya diam. Tak lagi terdengar isaknya. Ternyata, ia sudah pingsan dalam dekapan Wildan.

“Ibu! Bu, bangun, Bu!” Wildan menepuk-nepuk pelan pipi mertuanya.

Murti hanya menoleh sekilas saat tubuh kakaknya dibopong Wildan ke kamar lain. Ia kembali menatap bengis pada dua sejoli yang kedapatan telah berbuat zi*na itu. Dadanya naik turun demi menahan mulut agar tak menyumpahserapahi kelakuan Ratih dan selingkuhannya tersebut.

“Pakai pakaian kalian, cepat!”

Murti balik badan dan menunggu keponakannya itu di ruang tamu. Mood yang kurang baik karena sedang PMS semakin diperparah dengan melihat sang keponakan berbuat me*sum dengan pria lain. Keluarga Bu Marni sangat menyukai Wildan. Mereka merasa bahagia saat pria tampan dan saleh itu menjadi bagian dari keluarganya. Namun, kelakuan Ratih benar-benar mencoreng nama baik keluarga besar.

Dito dan Ratih menunduk saat berada di hadapan Murti. Wanita itu terkenal tegas sebagai istri dari ketua RW di kampung Gembong Permai ini. Tentu saja mereka akan diadili. Entah dirajam atau diarak keliling kampung sebagai pelaku zi*na.

“Sejak kapan kalian berkelakuan seperti binatang?!”

Dito melirik Ratih dengan ekor mata, pun dengan Ratih yang melakukan hal serupa.

“Apa kamu lupa jika sudah bersuami, Ratih?”

“Dan kamu Dito, apa kamu lupa jika Ratih adalah istri orang?”

Keduanya masih saling menunduk dengan mata menatap lantai. Hening. Tak ada yang mendahului untuk menjawab pertanyaan Murti.

“Bulik malu, Ratih. Malu! Bisa-bisanya ponakan Bulik berkelakuan seperti itu. Astagfirullahal’azim ....” Murti menyandarkan punggung ke sandaran kursi dengan kedua tangan meraup wajah.

“Kamu lihat ibumu, Ratih. Mbakyuku sampai pingsan lihat kelakuan kalian. Kalian ini ... astagfirullahal’azim ....” Murti benar-benar malu. Lidahnya seolah-olah kelu untuk melanjutkan kata.

Jika saja Ratih tak berstatus sebagai istri orang, mungkin setelah diarak keliling kampung, mereka sekalian dinikahkan dan diusir dari kampung ini. Tapi kenyataannya ... Ratih istri orang. Dan suaminya juga menyaksikan perbuatan bia*dab itu.

“Nikahkan saja mereka, Bulik!”

Murti mendongak. Wildan berdiri di ambang pintu kamar sebelah dan mulai berjalan mendekati tiga orang di kursi.

“Pagi tadi, Ratih sudah saya jatuhi talak,” tambah Wildan.

Mata Murti membola. “A-apa?!”

“Sudah hampir empat bulan Ratih tak mau kusentuh. Jangankan melayaniku di ranjang, melayani perutku di meja makan saja dia sudah enggan. Dan pagi tadi adalah puncak kemarahanku padanya, Bulik. Aku ingin merayunya agar ia mau melayaniku, kembali menghangatkan rumah tangga kami yang mungkin sedang diuji, tapi ... Ratih malah menyebut nama pria lain saat aku mulai menyentuhnya.”

Murti menatap Ratih tak percaya.

“Di balik bajunya, banyak bekas kecupan yang bukan aku sebagai pelakunya. Dan dengan jujur Ratih bilang jika dia sudah tak mencintaiku lagi. Ada pria lain yang lebih segalanya dari aku, dan pria itu adalah Dito, mantan pacarnya dulu.”

Mata Dito memejam. Ia tak pernah menyangka akan secepat ini ketahuan. Andai ia dan Ratih ‘main’ di hotel atau di tempat terapi, walau ketiduran sebab kecepekan pun tak akan ada yang mengganggu. Tubuh Ratih benar-benar menggoda iman Dito, hingga pria bujang itu kalap dan kelelahan setelah aksi gila keduanya.

“Ratih, apa benar yang Wildan ucapkan?”

Walau Murti akan lebih percaya pada Wildan daripada sang keponakannya sendiri, tetapi ia ingin mendengar kalimat yang akan terucap dari bibir Ratih. Bibir yang sedari tadi terkunci, seolah-olah menegaskan tentang semua yang terjadi.

“Ya!” jawab Ratih tanpa ingin mengelak. “Aku memang sudah tak mencintai Mas Wildan, Bulik. Aku bosan hidup miskin dengannya.”

Murti menggeser duduknya dan langsung melayangkan sebuah tamparan di pipi sang keponakan. Dipegangnya kedua bahu Ratih kemudian.

“Kenapa kamu semurah ini, Ratih? Kenapa kamu jadi serendah ini?! Ya Allah ... apa dosa keluarga kami?”

Murti tentu lebih berani ketimbang Bu Marni dalam mendidik Ratih. Dulu, saat keuangan keluarga Bu Marni tak sebaik sekarang, Bu Marni pernah menjadi TKW dan Ratih dititipkan pada Murti. Murti dan suaminyalah yang mendidik Ratih dan memasukkan ponakannya itu ke sebuah pondok pesantren saat masih remaja.

“Mas Wildan tak bisa membahagiakan Ratih, Bulik. Dia juga tak bisa menghadirkan anak dalam pernikahan kami. Ratih kesepian. Apa salah jika Ratih mencari hiburan?”

“Apa?! Hiburan? Apa berz*ina kamu anggap sebagai hiburan, begitu?”

“Ya. Dito bisa membelikan barang-barang mahal yang Ratih mau—“

“Dan sebagai balasannya kamu memberikan tubuhmu pada pria itu, begitu?!” potong Murti cepat.

Ratih kembali menunduk. Murti pun melepas cekalannya pada kedua bahu sang keponakan.

“Ke mana larinya ilmu agama yang sudah kamu dapat dari nyantri dulu, Ratih? Kenapa setega ini kamu pada almarhum bapakmu? Kenapa kamu tega mengkhianati suamimu? Kenapa, Ratih? Kenapa?!”

Di dalam kamar, Bu Marni menangis tanpa suara. Ia sudah sadar dan diam-diam mendengarkan semua percakapan empat orang dewasa di ruang tamunya itu. Sungguh, ia tak pernah menyangka jika sang anak mengakui semua perbuatan hinanya. Jika ia sebagai ibu sangat terpukul, bagaimana dengan Wildan sebagai suaminya?

Murti menoleh pada Wildan yang terlihat tenang. Namun, isi pikiran dan hati pria itu tak setenang wajahnya. Badai dahsyat tengah menghantam kapal rumah tangganya yang tengah berlayar. Namun, Wildan sudah memutuskan dan memilih mundur sebagai nakhoda. Biarlah kapal yang pernah ia pimpin dalam pelayaran itu akan digantikan oleh orang lain. Jika semua sudah menjadi ketetapan Tuhan, apakah mungkin ia bertahan?

“Wildan ... apa rencanamu ke depan, Nak?” tanya Murti lembut. Sungguh, ia sangat malu dengan kelakuan keponakannya.

“Bulik, maaf jika mungkin Bulik akan mendengar ucapan yang sangat dibenci Tuhan, tapi DIA pun juga menghalalkannya,” jawab Wildan tenang. Ia tak mau capek-capek diperbudak oleh amarah. Buang-buang energi.

Alis Murti bertaut tanpa mau menyela.

“Jika pagi tadi aku sudah menjatuhkan talak satu pada Ratih, maka malam ini ....” Wildan menatap wanita cantik di hadapannya. “Ratih Purnami, kujatuhi kau dengan talak tiga. Aku melepasmu, aku melepasmu, dan aku melepasmu. Kini, kau sudah bukan istriku lagi!" ucap Wildan dengan tegas dan mantap.

Tes!

Sebulir air mata lolos. Bukan dari telaga bening Ratih, tetapi dari mata Murti, sang bulik. Sedangkan di dalam kamar, Bu Marni kembali tak sadarkan diri.

(*)