Wildan semakin intens mencumbu istrinya hingga ke area da*da. Gairah yang mulai bangun sudah terkontaminasi oleh amarah yang sudah sampai diubun-ubun. Bagaimana tidak? Jejak-jejak cupang bertebaran di da*da m*ntok sang istri. Ia menarik diri dan menyingkap gaun tidur istrinya.
Manik mata Wildan kian membola saat jejak hickey itu tak hanya bertebaran di area da*da, tetapi juga di area perut bawah, hingga pa*ha bagian dalam. Bia*ab!“M-Mas, kamu ngapain?” Ratih tergagap dan langsung mundur hingga ke punggung ranjang.Mata yang merah menandakan ia terkejut dari tidur lelapnya.“Jadi benar kamu menjual diri? Dengan siapa kamu bermaksiat, Ratih?!” Dada Wildan sudah naik turun.Ratih menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. “K-kamu ngomong apa sih, Mas?”Dengan kasar, Wildan menarik selimut dan juga menyingkap baju istrinya. Menunjuk jejak-jejak percintaan yang bukan dirinya sebagai pelaku.“Di dadamu, paha, perut, cupang itu tersebar!” ucap Wildan dengan geram. “Cepat katakan, dengan siapa kamu berma*ksiat, Ratih?!”Ratih tercekat beberapa saat. Sejujurnya ia ingin mengaku dengan sejujur-jujurnya. Namun, entah kenapa Ratih malah ciut melihat amarah yang menguasai suaminya. Ratih sudah muak hidup miskin dengan Wildan. Ya, benar, suaminya memang lumayan tampan dan soleh. Namun, ia tak bisa mengimbangi gaya hidup Ratih. Berbeda dengan sang mantan kekasih yang bisa memberikan semua yang Ratih mau.“Oke. Aku akan jujur sama kamu, Mas,” jawab Ratih akhirnya. "Kamu tidak lagi spesial di mataku. Kamu, sudah tak ada lagi di hatiku. Dan posisimu sudah digeser oleh pria lain.”JEDERRR!!!Petir seolah-olah menggelegar dan menyambar diri Wildan.“Apa aku menjual diri? Oh, tentu saja tidak. Tapi ... aku memberikannya tanpa paksaan pada pria yang bisa menuruti semua kemauanku.”Wildan mundur. Matanya pun mulai mengembun.Tidak! Dia bukan lemah. Hanya merasa bahwa semesta tak merestui penyempurnaan separuh agamanya. Semesta seperti tengah membuka tabir atas wanita yang ingin ia jaga, ingin ia lindungi, dan ingin ia ajak hidup bahagia di dunia bahkan hingga ke surga. Namun, kenapa kenyataan sebegitu menyakitkan?“Ratih ... tolong bilang kalau kamu hanya bercanda. Tolong ucapkan itu, Ratih!” pinta Wildan dengan suara pelan dan bergetar.“Tidak! Aku tidak sedang bercanda, Mas,” ujar Ratih dengan sangat enteng.Air mata Wildan lolos. Sungguh, ucapan wanita yang masih berstatus sebagai istrinya itu bagai belati yang menyayat hati. Harapan indahnya musnah. Jalan yang ingin ia tapaki bersama untuk merenda masa depan lenyap tak berarah. Wildan shock. Dia terhina. Merasa dilucuti harga dirinya sebagai seorang suami.Pengakuan Ratih, bukti jejak percintaan di tubuh sang istri sudah jelas membuktikan jika Wildan telah kalah sebagai pemilik Ratih. Ya, kepemilikan yang terlegalkan dengan adanya ijab kabul itu telah dirusak oleh seseorang. Seseorang yang sengaja Ratih persilakan, bukan karena aksi kejahatan.Wildan kembali memakai pakaiannya dengan menahan air mata, sementara Ratih masih menunggu jawaban dari suaminya. Wildan balik badan, ia menatap istrinya dengan penuh kebencian.“Baik. Jika kamu memang lebih memilih pria itu ketimbang aku, mulai hari ini, Ratih Purnami, aku melepasmu. Aku menalakmu dan kamu bukan istriku lagi.”Jika kalimat talak amat sangat ditakuti oleh kebanyakan perempuan, berbeda dengan Ratih yang justru tersenyum penuh arti. Sekarang ia bebas. Ia bukan lagi istri dari Wildan Rabbani yang miskin dan tak bisa menyenangkan istri dengan sebuah kekayaan.“Oke. Terima kasih, Wildan Rabbani. Silakan angkat kaki dan kemasi barang-barangmu. Cepat pergi dari rumahku!” desis Ratih pelan. Namun, penuh dengan penekanan.***Air mata tak melulu sebagai simbol kelemahan. Namun, adakalanya ia memang harus keluar untuk meluruhkan sesak yang terpendam. Wildan menumpahkan segala sesaknya di atas sajadah, di sujud terakhir dalam salat Duhanya.Antara pilu dan juga haru, rapalan kalimat doa beriringan dengan air mata. Pilu, sebab pernikahan yang Wildan yakini akan menjadi pernikahan pertama dan terakhir, malah terhenti di tahun ketiga. Haru, sebab Tuhan seperti tengah menunjukkan sebuah kebenaran. Kebenaran akan wanita yang pernah Wildan halalkan dengan sebuah ikrar sakral.Apa usahanya dalam merayu Tuhan kurang? Apa ini sebuah teguran? Ujian? Atau malah sebuah balasan?Wildan paling anti main perempuan. Dia seorang yatim piatu yang tak memiliki saudara kandung. Andai ia memiliki adik atau kakak perempuan, tentu ia akan melindungi dan memuliakannya seperti ia memuliakan sang ibu, dulu. Sebab, baginya, wanita adalah makhluk indah yang harus ia lindungi. Bukan malah disakiti lebih-lebih dicaci maki.Hanya lelaki terhormat yang mau menghormati wanita. Hanya lelaki mulia yang mau memuliakan wanita. Namun, kenapa seperti ini balasannya?“Ya Allah ... hamba pasrahkan semua pada-Mu. Hamba ikhlas dan ridho dengan semua takdir-Mu. Engkau mengetahui apa yang tidak hamba tahu. Engkau adalah sebaik-baik pemilik rencana.”Wildan meraup wajah dan menutup rapalan doanya dengan surat Al-Fatihah. Ia menyandar di dinding masjid yang dingin. Mungkin ia harus mulai memikirkan mencari kamar kos. Diraihnya ponsel, lalu memanggil sebuah kontak.‘Ya, Dan?’“Assalamualaikum, Ram. Ganggu, enggak?”‘Waalaikumsalam. Enggak. Gimana, gimana?’“Masih ada kamar kosong enggak di kos-an kamu?”‘Hm ... udah penuh, sih. Kamu butuh kamar?’Wildan menghela napas panjang lebih dulu. “Iya, Dan.”Ramdan menangkap hal lain dari hela napas teman baiknya itu.‘Kamu ke sini aja dulu. Kita ngobrol.’Wildan mengangguk. “Oke, Ram. Aku jalan ke tempatmu sekarang.”Obrolan by phone itu segera berakhir setelah ditutup dengan salam. Wildan segera melajukan motornya menuju rumah Ramdan. Salah satu teman baiknya yang punya usaha indekos.Sekitar dua puluh menit memacu kuda besi yang selama ini menemaninya mencari sumber kehidupan, motor matic warna hitam silver itu berhenti di depan sebuah rumah megah. Wildan tersenyum kala melihat sang tuan rumah tengah bermain di teras dengan balitanya.“Assalamualaikum ....”“Waalaikumsalam warahmatullah ...,” jawab Ramdan.“Masya Allah ... anak cantik udah besar,” sapa Wildan sembari mengelus rambut hitam putri Ramdan.“Alhamdulillah, Om. Mana, nih, temenku? Udah jadi belum?” goda Ramdan dengan niat menyindir Wildan yang sering bercerita ingin segera memiliki keturunan.Wildan hanya tersenyum kecut. Menyadari perubahan mimik wajah temannya yang lain dari biasanya, Ramdan segera memanggil sang istri. Menyerahkan balita cantik berusia satu tahun setengah itu kepada ibunya.“Ma, sekalian bilang sama Mbak, suruh bawain cemilan sama kopi dua.”“Iya, Pa,” jawab istri Ramdan dan ia pun mengangguk pelan pada Wildan.Ramdan sempat melirik tas ransel yang teronggok di motor milik temannya itu. Isinya terlihat penuh. Apa Wildan benar-benar ingin mengekos?“Kenapa, Bro? Istri lampu merah?”Wildan mengawali dengan senyum sebelum menjawab. Ramdan memang selalu peka dengan masalah kehidupan Wildan. Sejujurnya, ia malu jika harus bercerita soal aib keluarganya. Namun, selama ini hanya Ramdan-lah tempat berkeluh kesah terbaik. Selain tak pernah menghakimi, ia selalu memberikan solusi.“Bukan cuma lampu merah, Ram. Tapi udah dipasangi police line juga,” jawab Wildan dengan senyum tipis. Berusaha rileks dengan sedikit bercanda.Alis Ramdan bertaut dan ia membenarkan duduknya. “Maksudnya gimana, Dan?”“Dilarang masuk, Ram. Karena kami ... sudah bercerai.”“Astagfirullah. Kamu serius?"(*)‘Hallo, Sayang. Ada apa? Kangen, ya? Hm?’Ratih tersenyum sembari menggosok rambutnya yang basah dengan handuk.“Enggak perlu aku jawab, kan?”Dito terkekeh di seberang sana. Nyatanya, walau Ratih bukan istrinya, tetapi Dito bisa menjamah alam raganya dengan leluasa. Tak perlu dipaksa, bahkan Ratih dengan sukarela mempersilakan sang mantan pacar menyalurkan rasa.‘Eh, tumben nelepon? Suami kamu udah berangkat ngojek emang?’“Dia udah kuusir dari rumah.”‘Hah? Serius?’“Hm, hm. Kami sudah bercerai.”Dito menganga tak percaya. ‘Cerai? K-kamu enggak lagi bercanda, kan, Yang?’“Untuk apa aku bercanda, Sayang? Si miskin itu udah tahu jejak-jejak cinta yang kamu tinggalkan di badan aku,” jawab Ratih santai. “Yaudah, sih, sekalian aja aku ngaku kalau dia udah enggak ada lagi di hati aku.”‘Terus, terus?’“Ya terus si Wildan jatuhin talak, deh.”Dito terdiam.“Sekarang kita bebas mau ngapain aja, Sayang. Enggak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Aku akan cepat urus surat cerai biar secepatnya kita
Assalamualaikum warahmatullah .... Assalamualaikum warahmatullah .... Wildan mengusap wajah usai salam untuk menutup tiga rakaatnya. Selalu ada rasa damai yang menyeruak dalam diri ketika badan itu masih duduk di atas sajadah. Wildan percaya bahwa salat merupakan komunikasi yang amat sangat dahsyat antara seorang hamba dengan Sang Pencipta. Kita berbisik di bumi, tetapi terdengar hingga ke langit. Usai berzikir dan melangitkan pinta, ia segera keluar dari masjid. Pria dengan jaket khas ojek online warna hijau hitam itu terdiam beberapa saat dengan duduk di serambi berlantai keramik yang dingin. Ia teringat akan beberapa berkas yang masih tertinggal di rumah Ratih. “Aku harus ambil semua berkas-berkas yang masih ada di lemari. Tapi ....” Hati Wildan mulai resah. Apakah keputusannya menjatuhkan talak sudah benar? Bagaimana dengan Bu Marni sang mertua? Beliau tinggal di desa sebelah dan belum tahu perceraian antara dirinya dan Ratih yang baru secara agama. Semenjak suaminya yang tak
Kelakuan Ratih benar-benar menampar harga diri Wildan sebagai seorang lelaki. Selama ini, Wildan selalu berusaha memuliakan sang istri. Menyayanginya sepenuh hati. Ia tak ingin menjadi pria yang menjadi penyebab wanitanya berurai air mata. Tapi realitanya ... justru Ratih yang mendua.Bu Marni hanya diam. Tak lagi terdengar isaknya. Ternyata, ia sudah pingsan dalam dekapan Wildan.“Ibu! Bu, bangun, Bu!” Wildan menepuk-nepuk pelan pipi mertuanya. Murti hanya menoleh sekilas saat tubuh kakaknya dibopong Wildan ke kamar lain. Ia kembali menatap bengis pada dua sejoli yang kedapatan telah berbuat zi*na itu. Dadanya naik turun demi menahan mulut agar tak menyumpahserapahi kelakuan Ratih dan selingkuhannya tersebut.“Pakai pakaian kalian, cepat!”Murti balik badan dan menunggu keponakannya itu di ruang tamu. Mood yang kurang baik karena sedang PMS semakin diperparah dengan melihat sang keponakan berbuat me*sum dengan pria lain. Keluarga Bu Marni sangat menyukai Wildan. Mereka merasa bahagi
Habiburrahman El-Shirazy pernah berkata dalam tulisannya, bahwa cinta sejati adalah cinta yang terjalin setelah akad nikah. Cinta yang telah dirodhoi Allah dan didoakan oleh seratus ribu malaikat penghuni langit.Namun, rasa-rasanya cinta yang agung itu tak berlaku dalam kisah rumah tangga Wildan dan Ratih. Wanita bergelar istri itu sudah merusak sebuah komitmen dalam ikrar suci yang tiga tahun lalu telah Wildan lantunkan. Janji sakral yang pernah Wildan ucapkan telah dirusak oleh wanita yang selalu ingin ia perjuangkan.Wildan sering melihat wanita yang dicampakkan oleh suaminya. Diselingkuhi, dipu*kul, hanya dijadikan ATM berjalan, bahkan sampai dijadikan budak pem*uas na*fsu atau pabrik penghasil keturunan saja. Dalam hati, Wildan berjanji akan meratukan istrinya. Menjadikan ia sebagai pelabu
Dengan berat, akhirnya Wildan pun berpamitan. Dan sembari terisak-isak, Bu Marni mendekap tubuh tegap mantan menantunya itu. Kakak Murti yang bertubuh mungil dan Wildan yang bertubuh proporsional terlihat seperti sepasang ibu dan anak. Ya, mereka lebih mirip seorang ibu yang menangisi kepergian sang anak yang akan pergi jauh merantau.Bagi Wildan, selamanya Bu Marni akan ia anggap sebagai ibu, orang tuanya. Begitu pun dengan Bu Marni yang sudah sangat menyayangi mantan menantunya tersebut.“Maafin Wildan, Bu. Belum bisa menjadi yang terbaik buat anak Ibu," bisiknya sembari mendekap Bu Marni."Tidak, Nak. Harusnya Ibu yang minta maaf, anak Ibu benar-benar keterlaluan!" balas Bu Marni dengan air mata yang terus mendominasi."Wildan sudah maafin, kok, Bu. Wildan ikhlas. Semoga Ratih bisa segera memberikan cucu buat Ibu.""Sampai kapan pun Ibu enggak akan mau punya cucu dari hasil zi*na!"Suara Bu Marni terdengar tegas dan menolak.Wildan memejam. Siapa pun tentu tak ingin memiliki keturu
PLAK! PLAKK!“MEMALUKAN!” bentak Pak Dandi setelah melepas dua tamparan pada kedua pipi Dito.“Di mana otak kamu, Dito? Di mana? Hah?!”“Bisa-bisanya kamu tidur dengan istri orang! Bisa-bisanya kamu kembali pada mantan pacar kamu itu!”“M-maaf, Yah,” cicit Dito dengan kepala menunduk.“Enak sekali kamu berbuat hal kotor sampai melemparkan bau dan kotorannya pada wajah Ayah, lalu hanya minta maaf?”“Dito khilaf, Y
"Calon Menantu Sang Milyader Te was Dalam Kecelakaan Tunggal"Ingin abai, tapi nyatanya jari Wildan menyentuh judul notifikasi tersebut. Matanya sudah mengantuk, tetapi barisan huruf demi huruf berhasil ia baca soal kecelakaan yang mene*waskan seorang pria. Matanya kian memicing dengan mengezoom sebuah gambar di atas kalimat berita yang terlampir.“Ini Mas Adnan bukan, sih?”Dari merebah, kini Wildan terduduk di kasur. Benar-benar meneliti wajah lelaki yang sepertinya pernah ia kenali. Adnan, salah satu teman baiknya. Bukan, ia bahkan tak berani menganggapnya teman. Namun, pria tampan putra konglomerat itu begitu membaur dengan anak-anak panti. Tempat di mana Wildan Rabbani pernah bernaung.“Aku ingin kita berteman. Ajari aku mengaji, ya?”Wildan bergeming.“Enggak usah takut. Kita bisa jadi teman baik. Namaku Adnan Syakil.”Anak orang kaya yang benar-benar lain. Ia selalu ikut dengan ayahnya sebulan sekali untuk menyantuni anak-anak di panti. Dari sanalah Wildan akrab dengan pria yang
Tubuh Ratih meremang saat suara serupa bisikan itu menyentuh daun telinganya. Bahkan ia kesulitan menelan salivanya sendiri. Ratih tahu, bahwa atasannya suka gonta-ganti pasangan dan main perempuan. Walau ucapan William masih menggantung, tetapi Ratih paham apa yang diinginkan pria bule bertubuh proporsional tersebut.“... asal kau mau melayaniku malam ini. Bagaimana?”William menjauhkan wajahnya dari samping wajah Ratih. Namun, sepasang bola matanya tak henti-henti menyapu tubuh salah satu karyawatinya tersebut.“Ma-maaf, Mister. Saya enggak bisa.”Senyum miring William sunggingkan. “Up to you!
Rabbani menepuk-nepuk pipi istrinya, tetapi Adiba tak merespons. Bani langsung keluar dari kamarnya dan memberitahu papa mamanya. Sarah langsung datang ke kamar Bani dan mengecek kondisi menantunya, sementara Ibrahim langsung mengeluarkan mobil untuk membawa Adiba ke rumah sakit. “Ada apa, Bani? Istrimu kenapa?” Sarah pun tak kalah panik. “Enggak tahu, Ma. Tiba-tiba aja Diba menggigil. Bani minta tolong bawakan ponsel dan dompet Bani, ya, Ma.” Bani langsung membopong Adiba ke mobil. Kondisi istrinya benar-benar mendadak. Membuat Bani benar-benar diserang panik dan mulai tak tenang. Begitu sampai di rumah sakit, Adiba langsung dilarikan ke ruang IGD untuk dilakukan pemeriksaan awal. Kebetulan di koridor depan bertemu dengan istri dari dokter Malik, dokter senior yang merupakan teman baik Ibrahim. “Loh? Pak Ibra? Bu Sarah? Siapa yang sakit?" "Menantu saya, Dok?" "Adiba? Sakit apa?” “Entah, Dok. Tiba-tiba badannya panas dingin dan menggigil.” Dokter dengan name tag Khadijah i
Kumandang azan Subuh terdengar samar-samar hingga akhirnya jelas menyapa telinga. Adiba menggeliat, lalu sedikit terkejut melihat seorang pria di sebelahnya. Namun, beberapa detik senyumnya terbit. Ia kembali menenggelamkan kepalanya di balik selimut putih tebal. Aksi semalam kembali terbayang. Membuat Adiba malu sekaligus bahagia. Ia tak menyangka bahwa malam pertamanya benar-benar dilakukan di hari yang sama lepas akad dan resepsi dilaksanakan. Adiba yang sudah sangat menginginkan atau Bani yang memang tak sabaran? Ah, sepertinya sama saja. Rasa ingin sudah menjadi pahala yang sangat besar nilainya. Bahkan Bani tak henti membuat istrinya berteriak menyebut namanya saat pelepasan. Benar-benar malam yang sangat dahsyat. Kepala Adiba menyembul dari selimut. Ia tersenyum. Rasanya seperti mimpi bisa bersama dan menyatukan cinta dengan orang yang kita pinta dalam doa. “Kenapa senyum-senyum?”“Eh?”Adiba terkejut melihat wajah bantal Bani yang tetap terlihat tampan dan akan selalu tamp
“Saya terima nikah dan kawinnya Adiba Khumairo binti Daud Abdullah dengan mas kawin tersebut, tunai!”“Bagaimana para saksi?”“Sah!”Rabbani memejam dengan lirih bibirnya mengucap hamdalah. Diusapkannya kedua telapak tangan ke wajah dan ia pun sibuk mengamini doa barakah yang dibacakan seorang penghulu. Tak hanya Bani, para undangan yang ikut menjadi saksi pernikahan sepasang anak Adam dan Hawa itu pun juga ikut melangitkan pinta atas doa yang dipimpin. Di ruangan lain, Adiba menahan air mata harunya. Pernikahan yang ia impikan telah terhelat dengan cukup sempurna. Pria yang diinginkan, kini telah sah berstatus suami. Hatinya sedikit gerimis mengingat Salman. Namun, jodoh dan maut memang rahasia Sang Pemilik Kehidupan. Doa selesai.Sarah tak bisa membendung air mata bahagianya. Ia memeluk sang menantu tanpa mengucap sepatah kata pun. Air matanya cukup mewakili bahasa bahagia yang membuncah hingga kata-kata lenyap dengan sendirinya. “Ayo, Nak. Kita ke depan,” ucap Fatimah.Dua wanit
Rizal baru saja keluar dari rumahnya dan hendak pergi ke balai desa karena suatu urusan. Namun, langkahnya terhenti kala sebuah bunyi notif pesan masuk ke ponselnya. “Pak, Ibu sekalian antar ke pasar, ya. Berangkatnya aja, nanti pulangnya Ibu bisa pakai ojek pangkalan.” Suara Murti yang dibawa dari belakang hingga ke depan teras hanya samar-samar di telinga Rizal. Ketua RW tersebut kaget dan juga mengucapkan hamdalah dengan lirih. “Pak, lihat apa, to? Ucapan Ibu malah gak ditanggepin?” gerutu Murti sambil mengunci pintu rumah. Rizal menoleh pada istrinya. “Bu, Ratih ketemu.” Murti langsung membalik badan. “Subhanallah, yang bener, Pak?” Rizal menyodorkan ponselnya kepada Murti. Seketika wajah Murti langsung berubah sendu, bibirnya bergetar, dan air matanya mulai berjatuhan. “W-Wildan yang ngabarin Bapak? Dia yang nemuin Ratih, Pak?” Pria berkemeja lengan pendek itu mengangguk. “Iya, Bu. Itu pesan dari Wildan. Ternyata Ratih ke Jakarta.” “Ya Allah ....” Murti terduduk
Dito menarik kembali kepalanya. Kini, Bani bisa kembali menatap wajah Dito yang terlihat sangat serius, sementara Bani sendiri masih berusaha biasa saja. Tak terlalu terkejut walau ada sedikit guratan tanda tanya di antara kedua alisnya. “Apa kali ini ucapanmu bisa aku percaya?”Lagi-lagi Dito mengembuskan napas panjangnya. Ia lebih dulu menatap sekeliling. Memastikan jika posisinya dan Bani cukup jauh dari beberapa orang. “Aku tak akan meminta maaf atas apa yang sudah aku perbuat padamu dan juga Ratih di masa lalu. Bukan aku sombong dan tak tahu diri. Aku hanya merasa ... tak pantas untuk mendapat maaf darimu, Bani. Kamu juga tak perlu memaafkanku. Dosaku sudah sangat besar dan banyak hingga membuat kalian bercerai.”Hening. Jika seorang sahabat berbuat jahat itu membahayakan, maka seorang rival yang berbuat baik itu cukup mencurigakan. Namun ... apa iya seorang Dito masih merencanakan kejahatan part dua pada Bani? “Katakan saja!” pinta Bani dengan nada datar. Kali ini Dito benar
“Pa?”Ibrahim menoleh. “Ya?”“Bani masih belum terlalu paham dengan perusahaan. Papa yakin mau resmiin Bani buat jadi pimpinan?”Sang ayah mengulas senyum. Tak lain halnya Sarah sang istri yang semakin hari semakin semangat menjalani hari, pun dengan Ibrahim yang semakin terlihat berwibawa dengan ketegasan yang ia miliki. Kehadiran Rabbani mampu mengembalikan cahaya dalam keluarga sang presdir. “Apa Papa akan setega itu melepasmu terjun sendiri tanpa bimbingan, Nak? Om Felix dan Papa sendiri yang akan mendampingimu mengelola kerajaan bisnismu sendiri. Rabbani Corp itu amanah untukmu. Kamu hanya perlu meyakinkan kami, bahwa seorang penerus tak akan mengecewakan para pendahulunya.”Rabbani mengangguk samar. Beberapa hari belajar tentang perusahaan milik keluarganya, Bani baru tahu jika Madava Grup dan Rabbani Corp bukan perusahaan kecil. Ada ribuan karyawan di beberapa perusahaan cabang yang menggantungkan harapan pada perusahaan milik keluarganya. “Jangan risau. Kamu tetap bisa belaj
“Kay, kenapa harus ke sini, sih?”Kayla hanya tersenyum dengan tangan hendak membuka pintu mobil. Namun, satu tangannya lagi berhasil Dito genggam. “Mas Dito, bukannya kamu yang maksa buat ngantar aku dan mau ikut apa pun kegiatan aku?”“Iya, tapi ... mana aku tahu kalau kamu mau ke tempat beginian?”“Mas Dito nyesel? Mau balik? It's oke. Nanti aku bisa pulang pakai GoCar.”Kayla pun langsung turun tanpa memedulikan Dito yang tengah mengembuskan napas kasar. Akhir-akhir ini mood-nya sedang tidak baik. Tepatnya, setelah tahu jika mantan suami dari mantan kekasihnya, orang yang dia hina sedemikian rupa, pria yang ia pandang sebelah mata karena berprofesi sebagai sopir, ternyata dia adalah putra seorang presdir. Apalagi tak lama setelah ini ia dan keluarga besarnya mendapat undangan resmi dari sang presdir Madava Grup. Undangan pesta tasyakuran dan juga peresmian pengangkatan Rabbani Asraf Madava sebagai CEO Rabbani Corp. Tentu tak hanya keluarga Dandi, tetapi juga keluarga Daud dan be
Kabar soal menghilangnya Ratih yang sempat disembunyikan dari Marni sampai juga di telinga wanita itu. Sebagai seorang ibu, tentu saja Marni ikut panik walau ia tak bisa berbuat apa-apa. Ke mana putri semata sayangnya itu pergi? “Ibuk kenapa sampai kecolongan, sih, Buk?” Rizal terlihat frustrasi. “Maafin Ibuk, Pak. Ibuk panik saat dengar suara benda pecah. Ibuk masuk buat memastikan. Ternyata benar Mbak Marni butuh bantuan.”Sampai jam dua belas malam, beberapa warga yang ikut mencari keberadaan Ratih juga tak menemukan tanda-tanda. “Ibuk juga enggak tahu kalau gembok pasungnya Ratih lepas, Pak. Makanya Ibuk enggak khawatir waktu ninggalin pintu dalam keadaan sudah terbuka.”“Sudah, Pak Rizal. Jangan salahkan Bu Murti. Dia bukan lalai, hanya saja situasi dan kondisinya tidak pas. Benar kata Pak Rizal, kita kecolongan,” sela Pak RT menengahi. Rizal menghela napas panjang dan meminta maaf kepada sang istri. “Apa perlu lapor polisi?” usul salah satu warga. “Tidak bisa, Pak. Seseora
Kali ini Rabbani benar-benar merasa terkepung rasa bahagia. Diantar oleh kedua orang tua kandungnya untuk meminta sang belahan jiwa. Bidadari bermata bening yang sudah pernah ia lihat, kini akan kembali memperlihatkan keindahan parasnya sebelum berlanjut ke meja akad. Heuh? Akad? Bani tersenyum saat pikirannya sudah berkelana ke pelaminan. Senyum itu pun kian merekah saat raut hangat Daud, Fatimah, dan Adnan menyambut di dalam ruang keluarga. Sementara Adiba masih ada di kamarnya bersama Aisyah, sang kakak ipar. “Selamat datang, Kawan!” Daud memeluk erat Ibrahim. Ibrahim pun menyambut. “Semoga sebentar lagi kita akan resmi menjadi besan,” sambut Ibrahim dengan berbisik. Daud hanya tersenyum sembari menepuk-nepuk bahu teman karibnya itu. Tak lain halnya dengan Fatimah dan Sarah. Kiya juga disambut dengan sangat hangat. Begitu tiba giliran Bani, pria tampan itu pun sedikit kikuk saat bersalaman dengan Daud. “Om?” Daud tersenyum dan mendekap Bani. Ada rasa haru yang menyeruak.