Aku mulai mengetik cerita lanjutan yang kubuat. Inilah pekerjaanku sejak tiga tahun yang lalu. Pekerjaan yang mungkin tak terlihat banyak orang, tapi menghasilkan pundi-pundi rupiah yang cukup membanggakan.
Namun, aku memang bukan tipe orang yang suka menceritakan kehidupan pribadiku ke banyak orang. Hanya Ike dan Ryan saja yang tahu apa pekerjaanku sekarang selain usaha laundry yang memang sudah ada di cabang. Modal untuk usaha itu pun berasal dari menulis novel di platform online ini. Awalnya ibu yang memberi ide agar gaji yang kuhasilkan tak hanya tersimpan dalam tabungan, tapi bisa dipakai untuk usaha lain yang lebih menjanjikan. Kata demi kata kuketik dengan lancar. Aku memang menjalani profesi ini dengan bahagia, mungkin karena itu pula jarang sekali aku kehilangan ide untuk melanjutkan cerita-cerita yang kubuat sebelumnya. Sejak dulu, aku memang menyukai dunia menulis dan membaca, oleh karena itulah aku tak terlalu asing dengan kehidupanku sekarang. Justru inilah yang memang kuinginkan sejak dulu, sebagai penulis meski sekadar penulis online bukan cetak yang tersebar di beberapa toko buku. Ting. Sebuah pesan masuk, membuatku kembali mengambil handphone di samping laptop yang masih terbuka. Dahiku mengernyit saat melihat nomor tak dikenal itu di layar. Tak ingin semakin penasaran, aku pun membuka pesannya di W******p.[Lan, gimana kabarmu? Lama tak bertukar kabar dan tak bersua, mungkinkah kamu masih mengingatku? Bolehkah aku menyimpan nomor handphonemu atau bertemu denganmu tanpa harus menunggu acara reuni tiba?] Aku kembali tercekat saat membaca pesan itu di sana. Hatiku berdebar tak karuan saat memeriksa profil WhatsAppnya. Foto profilnya sangat tak asing bagiku sebab akulah yang memfotokannya saat itu. Dikta. Laki-laki pertama yang membuatku jatuh cinta, bahkan hingga kini di usiaku menginjak dua puluh tiga tahun, aku belum juga bisa move on darinya. Benar kata Ike, pesonanya seolah tak pernah sirna dari benakku hingga aku tak bisa menerima cinta dari lelaki selain dia. Jemariku mendadak gemetar saat mengetikkan balasan. Berulang kali ketik dan hapus membuatku semakin bingung, balasan apa yang harus kukirimkan padanya. [Tanpa kujelaskan siapa aku, kamu masih mengingatku kan, Lan?]Pesan darinya muncul kembali, diiringi pesan lain yang belum kubaca. Pesan dari Ike yang bilang jika Dikta sempat mengirimkan pesan padanya. Sekadar izin untuk menyapaku meski dia sudah mendapatkan nomorku dari grup alumni bikinan Riana itu. [Oh, jangan-jangan kamu memang sudah melupakanku. Ya sudah kalau begitu, Lan. Maaf jika sudah mengganggu kesibukanmu] Ada rasa bersalah dan kecewa yang kurasakan detik ini saat membaca pesan ketiganya. Pesan yang belum juga mendapatkan balasan dariku. Entah mengapa tadi begitu lancar mengetik cerita dengan ribuan kata, sementara sekarang hanya membalas pesannya yang cuma beberapa kata saja mendadak kaku dan kehilangan ide. Aneh memang, tapi itulah yang terjadi padaku detik ini. [Dikta]Hanya itu yang kukirimkan padanya. Tak butuh waktu lama, laki-laki itu pun kembali mengetikkan balasan. Bersamaan dengan itu, kulihat grup alumni kembali ramai dengan puluhan pesan. Bahkan ada yang mencolek namaku pula. Namun, aku belum membaca pesan-pesan mereka sebab masih menunggu balasan dari Dikta. Meski aku tak tahu balasan apa yang akan kukirimkan padanya setelah ini, tapi pesan yang diketiknya saat ini membuatku benar-benar penasaran. [Alhamdulillah jika kamu masih mengingatku, Lana. Maaf jika lancang mengirimimu pesan. Setelah sekian lama mencari keberadaan dan nomormu, akhirnya ketemu juga. Aku senang bisa ngobrol denganmu lagi meski sekadar bertukar pesan. Btw, tolong jawab pesanku yang pertama ya? Aku butuh jawaban itu segera. Kutunggu] Mendadak blank, aku pun kembali membaca pesan pertamanya. Lagi, jemariku seolah kaku saat ingin mengetikkan balasan. Benar-benar aneh dan tak masuk akal. Sebegitu gemetarnya aku kembali bertukar pesan dengannya. Sungguh, ini semua selaksa mimpi bagiku. [Boleh disave, Dik. Santai saja] Hanya itu yang kujawab, soal rencananya untuk menyimpan nomorku. Sementara permintaannya untuk bertemu sebelum reuni tiba tak perlu kubalas. Pesanku sudah terbaca, tapi dia belum juga mengetikkan balasan. Mungkin balasanku memang tak sesuai dengan keinginannya, tapi biarlah yang penting sudah kujawab daripada tak ada jawaban apapun. Tak ingin menunggu, aku pun membuka grup alumni dengan pesan yang belum terbaca seratus lebih itu. Mereka cukup akrab dan sepertinya saling tahu kegiatan dan usaha masing-masing. Berbeda denganku, jangankan kegiatan atau usaha mereka, bahkan siapa saja yang ada di grup itu pun aku tak tahu. Hanya nomor Ike saja yang tersimpan di kontakku. [Lana, rencananya minggu depan aku mau ajak Rizal sama Ratna ke kontrakanmu. Bisa kan? Ada sedikit sedekah dari kami untukmu dan Ryan. Semoga kamu bisa menerima ini karena aku tahu kalian sangat membutuhkannya. Jangan sungkan cerita sama kita, Lan. Anggap saja semua anggota di grup ini keluarga barumu.]Pesan dari Riana benar-benar menjatuhkanku. Dia seolah sengaja membuatku malu di depan teman-teman dengan cara open donasi. Seolah nasibku memang benar-benar di ambang kemiskinan dan layak dibantu oleh mereka. [Biar aku dan Ike saja yang ke rumah Lana. Silakan sedekah jika kalian punya rezeki lebih, tapi kalian tak berhak menghina siapapun yang mungkin berada di bawah kalian. Apalagi Lana, teman kita sendiri. Kalau dengan cara dan kalimat seperti di atas, kurasa bukan semata-mata ingin membantu Lana, tapi justru ingin mempermalukannya. Maaf, aku kurang respect dengan cara murahan seperti ini!]Pesan dari Dikta di grup alumni melengkungkan senyum di kedua sudut bibirku. Kupikir dia marah dengan balasan singkat dariku, ternyata dia masih membalas pesan Riana di sini. Balasan yang membuatku berbunga sebab penuh pembelaan untukku. Aku yakin detik ini wajah Riana memerah seketika. Dia pasti juga tak menyangka jika akhirnya Dikta ikut turun tangan membalas pesannya. [Minggu depan kita bisa bertemu kan, Lan?]Pesan balasan darinya membuatku tercekat. Haruskah aku bertemu dengannya secepat ini? ***[Nanti aku kabar lagi ya, Dik. Ike juga masih di Solo. Sepertinya dia belum bisa pulang ke Jakarta] Balasan itu akhirnya kuketik dan kukirimkan padanya. Sebenarnya aku memang ingin bertemu, hanya saja terlalu takut jika pertemuan itu justru membuat rasa ini semakin kuat. Terlalu banyak perbedaan antara aku dan dia. Selain strata sosial yang tak sama, pertentangan ibu saat itu pun memaksaku berpikir ulang. Mungkinkah dia jodoh yang dikirimkan Allah untukku? Tak peduli dengan ocehan di grup yang masih terus membahas tentangku, aku kembali sibuk dengan kegiatan rutinku. Menulis dua cerita on going yang harus aku update setiap hari. Setelah menyelesaikan dua bab novel, aku mulai memasak untuk makan siang. Sebentar lagi Ryan pulang dan wajib ada masakan di meja makan. Kadang jika cukup sibuk dengan urusan pernovelan, aku memang memesan makanan via online. Hanya saja, Ryan lebih senang makan masakanku sebab mirip dengan masakan almarhum ibu, katanya. Sekalian nostalgia dan merasa ibu ma
"Ya ampun, Lan! Nggak nyangka kita ketemu lagi. Kamu kerja di sini, Lan? Jadi pembantu atau cuma tukang cuci setrika kaya Bi Lastri?!" Riana melipat tangannya ke dada sembari melihat ke sekeliling. Seolah meneliti tiap sudut garasi dan taman kecil di halaman rumah. "Kerja?!" Bi Lastri berujar lirih lalu menoleh ke arahku. Kukedipkan mata padanya agar Bi Lastri tak membocorkan pada perempuan di sampingnya jika aku tak bekerja di sini melainkan pemilik rumah ini. "Kenapa kamu ada di sini, Ri?" Aku mengabaikan pertanyaan tak pentingnya. Kini yang ingin kutahu hanyalah kenapa dia bisa mengenal Bi Lastri dan kenapa dia menerima uang dari wanita itu. "Aku ada urusan sama Bi Lastri. Dia bilang mau pinjam uang ke sini makanya aku ikutin, takutnya kabur-kaburan lagi seperti minggu lalu. Nggak tahunya dia pinjam uang ke majikan kamu." Riana begitu percaya diri dengan ucapannya. Terlalu yakin jika dugaannya adalah benar. "Kok Bi Lastri bisa pinjam uang sama kamu?" Lirihku dengan dahi mengern
"Kalau beneran suka bantuin orang kenapa harus pakai bunga, Ri? Kalau minjamin orang dengan bunga bukannya rentenir ya?" Aku keceplosan bicara saat mendengar kata bunga dari Bi Lastri. Kedua perempuan itu pun menoleh ke arahku bersamaan. Riana semakin tercekat dan salah tingkah. Namun, bukan Riana kalau tak punya banyak akal untuk menguasai keadaan. "Kalau semua orang dibantu tanpa bunga, mereka bisa semena-mena dan nggak bertanggungjawab dengan hutangnya dong, Lan. Janji tanggal sekian boleh jadi dibayar tanggal sekian. Repot. Sementara aku harus mutar uang ini untuk bantu yang lain. Gimana sih kamu?! Makanya belajar bantu orang biar tahu kesusahan mereka dan nggak protes melulu!" sahutnya dengan ketus. "Ohya, satu hal lagi yang harus kamu tahu, Lan. Sebenarnya ini bukan tugasku sih. Aku punya karyawan sendiri yang mengurus ini semua, hanya saja dia cuti mendadak. Jadi, mau nggak mau aku turun tangan. Soalnya aku tahu banyak dari mereka yang membutuhkan pertolongan. Jadi, jangan m
"Rizal?" Lirihku saat melihat laki-laki itu melangkah mendekat. Dia pun mengangguk cepat. Terlihat cukup girang saat aku masih mengingat namanya. "Senangnya kamu masih ingat aku, Lan!" ujarnya seketika. Aku hanya tersenyum tipis menatap laki-laki itu duduk di kursi teras meski belum sempat kuminta. "Tadi Riana chat kalau kamu ada di sini. Kebetulan aku ke rumah paman di blok sebelah, Lan. Makanya langsung meluncur ke sini daripada nanti kamu kabur lagi." Mendengar ucapannya aku kembali mengingat kejadian beberapa bulan lalu saat aku dan dia tak sengaja bertemu di mall. Aku buru-buru meninggalkannya saat laki-laki itu menoleh sebentar ke arah teman-temannya. Saat itu aku benar-benar belum siap keluar dari persembunyian yang selama ini cukup membuatku nyaman. Ketakutan terbesarku saat itu jika dia akan mengorek banyak informasi tentangku lalu menyebarkan keberadaan dan pertemuannya ke teman-teman yang lain. Saat itu aku belum siap bertemu mereka setelah sekian tahun tak bersua. Nam
"Kenapa bengong lagi sih, Lan? Sejak sekolah kamu kebanyakan bengong. Untung pinter!" Rizal kembali tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Gimana nggak bengong, Riz. Nggak salah kamu tanya soal Dikta sama aku?" tanyaku balik membuat Rizal mengernyitkan dahi. "Lah kok?" "Kenapa? Sejak kita lulus, aku nggak pernah ketemu dia," balasku kemudian membuat Rizal benar-benar tersedak. Gegas kuambilkan segelas air putih untuknya. Dia pun meneguknya hingga tandas. "Maksudmu gimana sih, Lan? Bukannya Dikta mau melamarmu selepas SMA?" tanyanya lagi membuatku mendelik seketika. Bisa-bisanya Rizal bilang seperti itu. Padahal sejak dulu hubunganku dengan Dikta sebatas teman. Tak ada ikatan lebih di dalamnya, seperti halnya hubunganku dengan dia. "Ngaco kamu!" sahutku."Kok ngaco? Dia yang bilang sendiri sama aku kalau mau melamar kamu kok. Bahkan dia ancam aku supaya berhenti ngejar kamu. Gimana sih bocah itu!" Rizal justru geram saat menceritakan kesepakatannya dengan Dikta lima t
"Nanti aku izinin sama bosmu ya, Lan. Semoga saja dia mengizinkan kamu pergi. Biar aku yang jemput kamu ke sini. Kan nggak tiap hari juga kita ketemuan. Hanya sesekali, nggak apa kan libur sehari?" Rizal kembali menoleh ke arahku yang masih bergeming. "Nanti aku pikirkan lagi, Riz. Baiknya kamu pulang dulu soalnya aku harus beberes rumah. Lagipula sebentar lagi adikku pulang sekolah. Aku mau siapin makan siangnya." Aku mulai nggak nyaman dengan kedatangan tiga teman SMAku itu. Apalagi Riana dan Ratna yang terus menyudutkanku sesuka hati mereka. "Okelah kalau begitu, Lan. Aku save nomor kamu ya, kita lanjut di WhatsApp!" Rizal mengulurkan tangannya ke arahku, tapi hanya kujawab dengan senyum dan anggukan kepala. Dia pun terkekeh saat mendapatkan balasanku. Tangan kanannya yang terulur seketika untuk menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Lupa kalau sudah jadi ukhti-ukhti." Rizal kembali meringis kecil. "Nggak juga, Riz. Sudahlah, kamu pulang dulu ya. Maaf bukan maksud mengusir,
"Siapa sih mereka, Mbak? Rese banget tingkahnya." Ryan yang baru datang dengan sepedanya menyeletuk saat melihat Ratna dan Riana pergi dengan kendaraan roda empatnya. "Teman Mbak saat SMA itu loh, Yan. Kamu ingat nggak sama Riana. Dulu Mbak sering cerita sama kamu dan ibu soal dia." Aku mengajak adik lelakiku masuk setelah menutup gerbang kembali. "Oh, yang dulu sering bully Mbak Lana itu kan?" Dia masih ingat rupanya. Dulu aku memang sering menceritakan Riana pada ibu saat kami duduk santai di teras kontrakan atau sama-sama sibuk di dapur. Ryan kadang ikut mendengarkan di sela-sela belajarnya. "Betul. Kamu masih ingat saja sama nama itu, Yan," ujarku pendek sembari mengambilkan air putih untuknya. "Masihlah, Mbak. Dari dulu aku penasaran banget kan sama si Riana Riana itu. Eh nggak nyangka sekarang benar-benar dipertemukan. Mau ngapain perempuan itu ke sini? Apa mau bully Mbak Lana lagi?" Ryan terlihat sedikit emosi. Dia menatapku tajam minta penjelasan. "Nggak kok. Santai saja.
"Siapa yang kecelakaan, Yan?" Aku melangkah ke teras dengan tergesa. Ryan sudah berdiri di garasi bersama dua orang tetangga. Entah apa yang mereka bicarakan."Siapa yang kecelakaan?" tanyaku lagi sembari menepuk lengan Ryan. Adik lelakiku itu pun menoleh. "Rina, Mbak. Anak sulungnya Bi Marni itu kecelakaan saat pulang sekolah." "Innalillahi ... sekarang di mana dia, Bu?" Aku beralih menatap kedua tetanggaku yang mengabarkan soal kecelakaan itu. "Dibawa ke klinik Amal Sehat, Mbak. Maaf tadi Bi Marni minta tolong saya buat sampaikan kabar ini sama Mbak Lana. Sepertinya Bi Marni bingung soal biaya soalnya tadi sempat mau pinjam uang ke saya, tapi tahu sendiri kalau suami saya juga belum gajian, Mbak." Bu Ambarr menunduk lesu sembari memilin ujung hijabnya. Aku tahu keadaan Bu Ambar tak jauh beda dengan Bi Marni. Mereka tetanggaan, hanya saja suami Bu Ambar bekerja sebagai tukang serabutan di pasar. Berbeda dengan suami Bi Marni yang sekarang terpaksa menjadi pengangguran setelah kec