Ike terus saja mengoceh di W******p. Dia semakin geram saat Riana dan Ratna saling menimpali untuk menyudutkanku.
[Aku sempat ketemu tetangga Lana, dia bilang Lana sudah nggak tinggal di rumahnya yang lama. Rumah itu terpaksa dijual untuk biaya pengobatan ibunya yang kini sudah meninggal. Tragis sekali hidupnya kan? Sekarang dia mungkin tinggal di kontrakan sama adik lelakinya itu. Sebenarnya aku kasihan sih sama dia, apa kita open donasi saja ya, barang kali donasi kita bisa meringankan sedikit bebannya?]Aku kembali menggelengkan kepala saat membaca pesan yang dia kirimkan di grup. Ingin sekali kubalas pesannya, tapi aku yakin nanti akan semakin panjang. Sepertinya Riana memang sengaja memancingku keluar dan ikut menimpali obrolannya. Dia yang konon sudah sukses dengan pekerjaannya sebagai sekretaris. Gajinya jutaan dan sering mendapatkan bonus liburan dari atasan. [Beneran, Ri? Sekarang Lana di mana? Aku pengin silaturahmi ke kontrakannya dong kalau kamu tahu alamatnya] Pesan lain muncul di layar, entah siapa. Aku tak bisa menebak sebab nggak ada foto profil di WhatsAppnya. Meski sama-sama duduk di kelas 3 IPA 2, tapi aku memang tak cukup akrab dengan mereka. Hanya Ike saja teman akrabku saat itu sebab aku dan dia kebetulan selalu satu kelas dan satu bangku sejak kelas satu hingga kelas tiga. Kehidupan ekonomiku dan dia yang memang nyaris sama, membuat hubungan kami semakin dekat layaknya saudara. Meski dia pindah ke Solo, tapi hubungan kami masih dekat. Jika dia balik ke Jakarta, tak pernah lupa mampir ke rumah untuk temu kangen. Sepertinya Ike juga memantau grup alumni itu. Hanya saja dia masih diam sama sepertiku. Tak ada satu pun pesan yang dia kirimkan, tapi selalu aktif menceramahiku banyak hal. [Kamu tahu nggak siapa yang mau ke kontrakanmu itu, Lan?] Dia mengirimkan ulang pesan dari nomor tak dikenal itu padaku. Pesan yang entah dari siapa, aku pun tak tahu. [Lama ah balasnya. Itu pesan dari Rizal, ketua kelas kita yang punya lesung pipit. Bukannya sejak dulu dia naksir kamu ya?] Pesannya kembali muncul sebelum aku membalas pesan sebelumnya. Ike memang seperti itu. Dia maunya serba sat-set dan nggak suka menunggu terlalu lama. Meski sekadar menunggu balasan pesan yang baru saja kuketik. [Oh, Rizal. Kamu bilang dia playboy kan?] Aku baru masuk grup itu beberapa menit lalu, berbeda dengan Ike yang memang sudah dua bulanan masuk di grup yang sama. Dia pasti sudah hafal nomor siapa saja yang ada di grup atau mungkin sudah menyimpannya satu persatu. Dua bulan lalu saat dia balik ke Jakarta untuk menjenguk neneknya yang sakit, Ike sempat cerita soal grup itu. Dia ingin sekali memasukkan nomorku ke sana, tapi berulang kali kularang bahkan kuancam segala. Aku nggak suka jika berkumpul dengan teman-teman lama yang sering kali hanya menceritakan kesuksesan masing-masing saat pertama kali berjumpa. Seperti halnya saat reuni, aku tak pernah ikut serta dengan alasan yang sama. [Dulu memang playboy, tapi kalau sekarang tobat mana tahu, Lan. Dia juga sering nanyain kamu di grup.] Kedua mataku membulat saat membaca pesan dari Ike. Rizal, cowok playboy dengan mantan pacar lebih dari selusin itu ngapain nanyain aku segala. Apa aku akan dijadikan korban ke seratusnya? Jika dulu teman-teman lain begitu bangga menjadi kekasihnya meski bisa ditaksir hanya sekian hari, aku justru menolak mentah-mentah laki-laki itu meski hanya sekadar mengantarku pulang ke rumah. Aku alergi dengan cowok playboy sepertinya. Cinta pertamaku tetap laki-laki pendiam dan sederhana itu, Dikta. Laki-laki yang dikejar-kejar Riana karena sempat menolaknya, padahal dia adalah cewek terpopuler di sekolahku dulu. Banyak siswa yang menyatakan cinta padanya, tapi ditolak sebab Riana fokus mencuri hati Dikta, meski kudengar sampai lulus sekolah belum juga didapatkannya. [Halloooo, Lan! Kamu masih hidup di sana kan?] Aku tersenyum geli membaca tiga pesan yang sama dari Ike. Kutahu dia pasti menunggu balasanku soal Rizal. Baru kutinggal melamun sebentar, sahabat bawelku itu sudah mencak-mencak tak karuan. [Aku masih hidup dan sehat wal'afiat, Ike. Semoga saja diberi umur panjang sampai Allah menyatukan cintaku dengan cinta pertamaku itu. Hahahah] Hanya Ike dan ibu yang tahu siapa cinta pertamaku. Ibu yang dulu sempat melarangku dekat dengan laki-laki itu, entah apa alasannya. Berulang kali kutanyakan mengapa, tapi ibu hanya berkaca-kaca seolah ada luka yang disimpannya sekian tahun lamanya. [Dikta oh Dikta. Pesonanya tak pernah pudar di mata Lana. Sayangnya kalian berdua sama-sama jaim. Nggak jujur, padahal kurasa Dikta juga jatuh hati padamu sejak kita duduk di kelas dua. Btw, sekarang ibu sudah pergi, Lan. Nggak ada yang menghalangi hubungan kalian lagi. Apa aku saja yang comblangin kalian berdua?] Pesan dari Ike membuat hatiku berdebar lagi. Haruskah aku memperjuangkan cinta pertamaku meski tanpa restu almarhum ibu? Mungkinkah aku cari tahu dulu apa alasan ibu melarangku dekat dengan Dikta, padahal baru sekali mereka bertemu? ***Aku mulai mengetik cerita lanjutan yang kubuat. Inilah pekerjaanku sejak tiga tahun yang lalu. Pekerjaan yang mungkin tak terlihat banyak orang, tapi menghasilkan pundi-pundi rupiah yang cukup membanggakan. Namun, aku memang bukan tipe orang yang suka menceritakan kehidupan pribadiku ke banyak orang. Hanya Ike dan Ryan saja yang tahu apa pekerjaanku sekarang selain usaha laundry yang memang sudah ada di cabang. Modal untuk usaha itu pun berasal dari menulis novel di platform online ini. Awalnya ibu yang memberi ide agar gaji yang kuhasilkan tak hanya tersimpan dalam tabungan, tapi bisa dipakai untuk usaha lain yang lebih menjanjikan. Kata demi kata kuketik dengan lancar. Aku memang menjalani profesi ini dengan bahagia, mungkin karena itu pula jarang sekali aku kehilangan ide untuk melanjutkan cerita-cerita yang kubuat sebelumnya. Sejak dulu, aku memang menyukai dunia menulis dan membaca, oleh karena itulah aku tak terlalu asing dengan kehidupanku sekarang. Justru inilah yang meman
[Nanti aku kabar lagi ya, Dik. Ike juga masih di Solo. Sepertinya dia belum bisa pulang ke Jakarta] Balasan itu akhirnya kuketik dan kukirimkan padanya. Sebenarnya aku memang ingin bertemu, hanya saja terlalu takut jika pertemuan itu justru membuat rasa ini semakin kuat. Terlalu banyak perbedaan antara aku dan dia. Selain strata sosial yang tak sama, pertentangan ibu saat itu pun memaksaku berpikir ulang. Mungkinkah dia jodoh yang dikirimkan Allah untukku? Tak peduli dengan ocehan di grup yang masih terus membahas tentangku, aku kembali sibuk dengan kegiatan rutinku. Menulis dua cerita on going yang harus aku update setiap hari. Setelah menyelesaikan dua bab novel, aku mulai memasak untuk makan siang. Sebentar lagi Ryan pulang dan wajib ada masakan di meja makan. Kadang jika cukup sibuk dengan urusan pernovelan, aku memang memesan makanan via online. Hanya saja, Ryan lebih senang makan masakanku sebab mirip dengan masakan almarhum ibu, katanya. Sekalian nostalgia dan merasa ibu ma
"Ya ampun, Lan! Nggak nyangka kita ketemu lagi. Kamu kerja di sini, Lan? Jadi pembantu atau cuma tukang cuci setrika kaya Bi Lastri?!" Riana melipat tangannya ke dada sembari melihat ke sekeliling. Seolah meneliti tiap sudut garasi dan taman kecil di halaman rumah. "Kerja?!" Bi Lastri berujar lirih lalu menoleh ke arahku. Kukedipkan mata padanya agar Bi Lastri tak membocorkan pada perempuan di sampingnya jika aku tak bekerja di sini melainkan pemilik rumah ini. "Kenapa kamu ada di sini, Ri?" Aku mengabaikan pertanyaan tak pentingnya. Kini yang ingin kutahu hanyalah kenapa dia bisa mengenal Bi Lastri dan kenapa dia menerima uang dari wanita itu. "Aku ada urusan sama Bi Lastri. Dia bilang mau pinjam uang ke sini makanya aku ikutin, takutnya kabur-kaburan lagi seperti minggu lalu. Nggak tahunya dia pinjam uang ke majikan kamu." Riana begitu percaya diri dengan ucapannya. Terlalu yakin jika dugaannya adalah benar. "Kok Bi Lastri bisa pinjam uang sama kamu?" Lirihku dengan dahi mengern
"Kalau beneran suka bantuin orang kenapa harus pakai bunga, Ri? Kalau minjamin orang dengan bunga bukannya rentenir ya?" Aku keceplosan bicara saat mendengar kata bunga dari Bi Lastri. Kedua perempuan itu pun menoleh ke arahku bersamaan. Riana semakin tercekat dan salah tingkah. Namun, bukan Riana kalau tak punya banyak akal untuk menguasai keadaan. "Kalau semua orang dibantu tanpa bunga, mereka bisa semena-mena dan nggak bertanggungjawab dengan hutangnya dong, Lan. Janji tanggal sekian boleh jadi dibayar tanggal sekian. Repot. Sementara aku harus mutar uang ini untuk bantu yang lain. Gimana sih kamu?! Makanya belajar bantu orang biar tahu kesusahan mereka dan nggak protes melulu!" sahutnya dengan ketus. "Ohya, satu hal lagi yang harus kamu tahu, Lan. Sebenarnya ini bukan tugasku sih. Aku punya karyawan sendiri yang mengurus ini semua, hanya saja dia cuti mendadak. Jadi, mau nggak mau aku turun tangan. Soalnya aku tahu banyak dari mereka yang membutuhkan pertolongan. Jadi, jangan m
"Rizal?" Lirihku saat melihat laki-laki itu melangkah mendekat. Dia pun mengangguk cepat. Terlihat cukup girang saat aku masih mengingat namanya. "Senangnya kamu masih ingat aku, Lan!" ujarnya seketika. Aku hanya tersenyum tipis menatap laki-laki itu duduk di kursi teras meski belum sempat kuminta. "Tadi Riana chat kalau kamu ada di sini. Kebetulan aku ke rumah paman di blok sebelah, Lan. Makanya langsung meluncur ke sini daripada nanti kamu kabur lagi." Mendengar ucapannya aku kembali mengingat kejadian beberapa bulan lalu saat aku dan dia tak sengaja bertemu di mall. Aku buru-buru meninggalkannya saat laki-laki itu menoleh sebentar ke arah teman-temannya. Saat itu aku benar-benar belum siap keluar dari persembunyian yang selama ini cukup membuatku nyaman. Ketakutan terbesarku saat itu jika dia akan mengorek banyak informasi tentangku lalu menyebarkan keberadaan dan pertemuannya ke teman-teman yang lain. Saat itu aku belum siap bertemu mereka setelah sekian tahun tak bersua. Nam
"Kenapa bengong lagi sih, Lan? Sejak sekolah kamu kebanyakan bengong. Untung pinter!" Rizal kembali tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Gimana nggak bengong, Riz. Nggak salah kamu tanya soal Dikta sama aku?" tanyaku balik membuat Rizal mengernyitkan dahi. "Lah kok?" "Kenapa? Sejak kita lulus, aku nggak pernah ketemu dia," balasku kemudian membuat Rizal benar-benar tersedak. Gegas kuambilkan segelas air putih untuknya. Dia pun meneguknya hingga tandas. "Maksudmu gimana sih, Lan? Bukannya Dikta mau melamarmu selepas SMA?" tanyanya lagi membuatku mendelik seketika. Bisa-bisanya Rizal bilang seperti itu. Padahal sejak dulu hubunganku dengan Dikta sebatas teman. Tak ada ikatan lebih di dalamnya, seperti halnya hubunganku dengan dia. "Ngaco kamu!" sahutku."Kok ngaco? Dia yang bilang sendiri sama aku kalau mau melamar kamu kok. Bahkan dia ancam aku supaya berhenti ngejar kamu. Gimana sih bocah itu!" Rizal justru geram saat menceritakan kesepakatannya dengan Dikta lima t
"Nanti aku izinin sama bosmu ya, Lan. Semoga saja dia mengizinkan kamu pergi. Biar aku yang jemput kamu ke sini. Kan nggak tiap hari juga kita ketemuan. Hanya sesekali, nggak apa kan libur sehari?" Rizal kembali menoleh ke arahku yang masih bergeming. "Nanti aku pikirkan lagi, Riz. Baiknya kamu pulang dulu soalnya aku harus beberes rumah. Lagipula sebentar lagi adikku pulang sekolah. Aku mau siapin makan siangnya." Aku mulai nggak nyaman dengan kedatangan tiga teman SMAku itu. Apalagi Riana dan Ratna yang terus menyudutkanku sesuka hati mereka. "Okelah kalau begitu, Lan. Aku save nomor kamu ya, kita lanjut di WhatsApp!" Rizal mengulurkan tangannya ke arahku, tapi hanya kujawab dengan senyum dan anggukan kepala. Dia pun terkekeh saat mendapatkan balasanku. Tangan kanannya yang terulur seketika untuk menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Lupa kalau sudah jadi ukhti-ukhti." Rizal kembali meringis kecil. "Nggak juga, Riz. Sudahlah, kamu pulang dulu ya. Maaf bukan maksud mengusir,
"Siapa sih mereka, Mbak? Rese banget tingkahnya." Ryan yang baru datang dengan sepedanya menyeletuk saat melihat Ratna dan Riana pergi dengan kendaraan roda empatnya. "Teman Mbak saat SMA itu loh, Yan. Kamu ingat nggak sama Riana. Dulu Mbak sering cerita sama kamu dan ibu soal dia." Aku mengajak adik lelakiku masuk setelah menutup gerbang kembali. "Oh, yang dulu sering bully Mbak Lana itu kan?" Dia masih ingat rupanya. Dulu aku memang sering menceritakan Riana pada ibu saat kami duduk santai di teras kontrakan atau sama-sama sibuk di dapur. Ryan kadang ikut mendengarkan di sela-sela belajarnya. "Betul. Kamu masih ingat saja sama nama itu, Yan," ujarku pendek sembari mengambilkan air putih untuknya. "Masihlah, Mbak. Dari dulu aku penasaran banget kan sama si Riana Riana itu. Eh nggak nyangka sekarang benar-benar dipertemukan. Mau ngapain perempuan itu ke sini? Apa mau bully Mbak Lana lagi?" Ryan terlihat sedikit emosi. Dia menatapku tajam minta penjelasan. "Nggak kok. Santai saja.