"Ya ampun, Lan! Nggak nyangka kita ketemu lagi. Kamu kerja di sini, Lan? Jadi pembantu atau cuma tukang cuci setrika kaya Bi Lastri?!" Riana melipat tangannya ke dada sembari melihat ke sekeliling. Seolah meneliti tiap sudut garasi dan taman kecil di halaman rumah.
"Kerja?!" Bi Lastri berujar lirih lalu menoleh ke arahku. Kukedipkan mata padanya agar Bi Lastri tak membocorkan pada perempuan di sampingnya jika aku tak bekerja di sini melainkan pemilik rumah ini. "Kenapa kamu ada di sini, Ri?" Aku mengabaikan pertanyaan tak pentingnya. Kini yang ingin kutahu hanyalah kenapa dia bisa mengenal Bi Lastri dan kenapa dia menerima uang dari wanita itu. "Aku ada urusan sama Bi Lastri. Dia bilang mau pinjam uang ke sini makanya aku ikutin, takutnya kabur-kaburan lagi seperti minggu lalu. Nggak tahunya dia pinjam uang ke majikan kamu." Riana begitu percaya diri dengan ucapannya. Terlalu yakin jika dugaannya adalah benar. "Kok Bi Lastri bisa pinjam uang sama kamu?" Lirihku dengan dahi mengernyit, membuat perempuan modis yang masih berdiri di depanku itu sedikit salah tingkah lalu melangkah perlahan ke arahku. "Nggak usah dibahas. Aku memang suka membantu orang-orang yang membutuhkan seperti Bi Lastri. Kamu tahu sendiri kan kalau dari dulu aku memang nggak tegaan sama orang?" Riana tersenyum tipis lalu melirik Bi Lastri yang masih menunduk. "Oh gitu. Baguslah, Ri. Hidup memang harus saling tolong menolong sekalipun kita dalam kekurangan. Nggak bisa menolong dengan harta, bisa dengan tenaga atau dia," balasku lagi. Riana kembali manggut-manggut. Dia berdiri tiga langkah di depanku, meneliti pakaianku dari ujung kaki hingga ujung kepala lalu membandingkan dengan dirinya yang memang super modis. "Penampilanmu dari dulu nggak berubah ya, Lan. Meski sekarang agak sedikit berbeda sih. Mungkin karena jadi pembantu dan jarang keluar rumah kali ya. Jadi, wajahmu rada glowingan," ujarnya lagi membuatku sedikit tersenyum. Suka-suka dialah. Aku malas memperpanjang obrolannya soal itu. "Aku salut sama kamu, Lan. Dari zaman sekolah sampai sekarang, kamu memang pejuang keras. Dulu kamu bantuin ibumu jualan nasi uduk sampai nggak pernah nongkrong sama teman-teman. Sekarang pun masih berjuang untuk biaya hidup di Jakarta yang memang nggak murah. Apalagi aku tahulah ya, kalau kamu sudah nggak punya siapa-siapa. Tentu harus berjuang sendiri untuk sekolah adikmu dan biaya hidup kalian sehari-hari. Iya kan?" ucap Riana lagi sembari duduk di kursi teras tanpa permisi. "Iya, Ri. Aku dan Ryan memang nggak punya siapa-siapa lagi di sini. Makanya harus berhemat untuk tabungan masa depan," ujarku dengan seulas senyum. Kembali kulirik Bi Lastri yang masih mematung di samping motor maticku. Wanita paruh baya itu hanya menatapku beberapa saat lalu kembali menggelengkan kepala. "Memangnya penghasilan dari jualan nasi kuning sama gaji sebagai pembantu rumah tangga masih ada sisa, Lan? Kok pakai nabung segala." Bi Lastri kembali mendongak, lalu menatapku beberapa saat. Sepertinya dia semakin tak paham dengan ucapan Riana yang kini terus saja ngoceh untuk menghinaku. "Masih lah, Ri. Aku sama Ryan kan hidup sederhana dan berhemat, makanya masih ada sisa. Lumayanlah buat jaga-jaga kalau ada kebutuhan mendadak. Apalagi sebentar lagi Ryan harus kuliah dan butuh biaya banyak." "Betul itu, Lan. Baiknya adikmu memang kuliah, apalagi dia cowok bakal jadi pencari nafkah. Jangan sampai nasibnya sama seperti kamu yang terus nelangsa sejak dulu. Paling tidak, adikmu bisa sedikit mengubah nasiblah. Masa iya miskin terus." Aku kembali menghela napas lalu mengusap dada perlahan. Kuucap istighfar beberapa kali untuk meredam kesal yang mulai menjalar di dada. Ingin rasanya bilang jika aku tak semiskin yang dia pikirkan, tapi buat apa? Percuma saja sebab dia juga nggak akan percaya sekalipun ada Bi Lastri yang menjadi saksi. Biarkan saja dia bicara sepuasnya. Suatu saat setelah dia tahu bagaimana kehidupanku sebenarnya, mungkin dia akan malu sudah meremehkanku sedemikian rupa. "Maaf Mbak Riana, sebenarnya-- Lagi-lagi kukedipkan mata beberapa kali ke arah Bi Lastri yang kuyakin akan membocorkan rahasiaku pada Riana. Aku nggak mau perempuan ini semakin mencak-mencak dan memfitnahku macam-macam di grup alumni. Bisa saja dia kembali menuduhku ini dan itu jika Bi Lastri bilang rumah ini milikku. Aku tahu bagaimana karakter Riana. Sejak dulu dia tak pernah mau kalah dan selalu ingin terdepan, apalagi jika berhubungan denganku. Dia terlalu membenciku sebab dia bilang gara-gara akulah cintanya ditolak Dikta. Iya, Dikta. Laki-laki yang penuh pesona itu konon terang-terangan bilang menyukaiku di depan Riana dan teman-temannya. Kabar yang sempat membuatku berbunga dan salah tingkah tiap kali berpapasan dengan Dikta. "Sebenarnya apa sih, Bu? Kok nggak dilanjutin," ujar Riana saat menoleh ke arah Bi Lastri. "Sebenarnya itu, Mbak. Uang di dalam amplopnya dua juta lima ratus. Jadi, masih sisa tiga ratus ribu. Hutang ibu kan dua juta tambah bunganya dua ratus ribu," ujar bibi sedikit gugup saat kutatap wajah menuanya. Riana pun cukup kaget dengan pengakuan Bi Lastri. Buru-buru mengambil amplop putih yang sudah dimasukkannya ke dalam tas lalu menghitung lembaran merah itu satu persatu. "Kenapa nggak bilang dari tadi, Bi. Ini sisanya tiga ratus ribu aku kembalikan." Bi Lastri menerima tiga lembar seratus ribuan itu dari Riana sembari mengucapkan terima kasih. "Kalau beneran suka bantuin orang kenapa harus pakai bunga, Ri? Kalau minjamin orang dengan bunga bukannya rentenir ya?" Aku keceplosan bicara saat mendengar kata bunga dari Bi Lastri. Kedua perempuan itu pun menoleh ke arahku bersamaan. ***"Kalau beneran suka bantuin orang kenapa harus pakai bunga, Ri? Kalau minjamin orang dengan bunga bukannya rentenir ya?" Aku keceplosan bicara saat mendengar kata bunga dari Bi Lastri. Kedua perempuan itu pun menoleh ke arahku bersamaan. Riana semakin tercekat dan salah tingkah. Namun, bukan Riana kalau tak punya banyak akal untuk menguasai keadaan. "Kalau semua orang dibantu tanpa bunga, mereka bisa semena-mena dan nggak bertanggungjawab dengan hutangnya dong, Lan. Janji tanggal sekian boleh jadi dibayar tanggal sekian. Repot. Sementara aku harus mutar uang ini untuk bantu yang lain. Gimana sih kamu?! Makanya belajar bantu orang biar tahu kesusahan mereka dan nggak protes melulu!" sahutnya dengan ketus. "Ohya, satu hal lagi yang harus kamu tahu, Lan. Sebenarnya ini bukan tugasku sih. Aku punya karyawan sendiri yang mengurus ini semua, hanya saja dia cuti mendadak. Jadi, mau nggak mau aku turun tangan. Soalnya aku tahu banyak dari mereka yang membutuhkan pertolongan. Jadi, jangan m
"Rizal?" Lirihku saat melihat laki-laki itu melangkah mendekat. Dia pun mengangguk cepat. Terlihat cukup girang saat aku masih mengingat namanya. "Senangnya kamu masih ingat aku, Lan!" ujarnya seketika. Aku hanya tersenyum tipis menatap laki-laki itu duduk di kursi teras meski belum sempat kuminta. "Tadi Riana chat kalau kamu ada di sini. Kebetulan aku ke rumah paman di blok sebelah, Lan. Makanya langsung meluncur ke sini daripada nanti kamu kabur lagi." Mendengar ucapannya aku kembali mengingat kejadian beberapa bulan lalu saat aku dan dia tak sengaja bertemu di mall. Aku buru-buru meninggalkannya saat laki-laki itu menoleh sebentar ke arah teman-temannya. Saat itu aku benar-benar belum siap keluar dari persembunyian yang selama ini cukup membuatku nyaman. Ketakutan terbesarku saat itu jika dia akan mengorek banyak informasi tentangku lalu menyebarkan keberadaan dan pertemuannya ke teman-teman yang lain. Saat itu aku belum siap bertemu mereka setelah sekian tahun tak bersua. Nam
"Kenapa bengong lagi sih, Lan? Sejak sekolah kamu kebanyakan bengong. Untung pinter!" Rizal kembali tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Gimana nggak bengong, Riz. Nggak salah kamu tanya soal Dikta sama aku?" tanyaku balik membuat Rizal mengernyitkan dahi. "Lah kok?" "Kenapa? Sejak kita lulus, aku nggak pernah ketemu dia," balasku kemudian membuat Rizal benar-benar tersedak. Gegas kuambilkan segelas air putih untuknya. Dia pun meneguknya hingga tandas. "Maksudmu gimana sih, Lan? Bukannya Dikta mau melamarmu selepas SMA?" tanyanya lagi membuatku mendelik seketika. Bisa-bisanya Rizal bilang seperti itu. Padahal sejak dulu hubunganku dengan Dikta sebatas teman. Tak ada ikatan lebih di dalamnya, seperti halnya hubunganku dengan dia. "Ngaco kamu!" sahutku."Kok ngaco? Dia yang bilang sendiri sama aku kalau mau melamar kamu kok. Bahkan dia ancam aku supaya berhenti ngejar kamu. Gimana sih bocah itu!" Rizal justru geram saat menceritakan kesepakatannya dengan Dikta lima t
"Nanti aku izinin sama bosmu ya, Lan. Semoga saja dia mengizinkan kamu pergi. Biar aku yang jemput kamu ke sini. Kan nggak tiap hari juga kita ketemuan. Hanya sesekali, nggak apa kan libur sehari?" Rizal kembali menoleh ke arahku yang masih bergeming. "Nanti aku pikirkan lagi, Riz. Baiknya kamu pulang dulu soalnya aku harus beberes rumah. Lagipula sebentar lagi adikku pulang sekolah. Aku mau siapin makan siangnya." Aku mulai nggak nyaman dengan kedatangan tiga teman SMAku itu. Apalagi Riana dan Ratna yang terus menyudutkanku sesuka hati mereka. "Okelah kalau begitu, Lan. Aku save nomor kamu ya, kita lanjut di WhatsApp!" Rizal mengulurkan tangannya ke arahku, tapi hanya kujawab dengan senyum dan anggukan kepala. Dia pun terkekeh saat mendapatkan balasanku. Tangan kanannya yang terulur seketika untuk menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Lupa kalau sudah jadi ukhti-ukhti." Rizal kembali meringis kecil. "Nggak juga, Riz. Sudahlah, kamu pulang dulu ya. Maaf bukan maksud mengusir,
"Siapa sih mereka, Mbak? Rese banget tingkahnya." Ryan yang baru datang dengan sepedanya menyeletuk saat melihat Ratna dan Riana pergi dengan kendaraan roda empatnya. "Teman Mbak saat SMA itu loh, Yan. Kamu ingat nggak sama Riana. Dulu Mbak sering cerita sama kamu dan ibu soal dia." Aku mengajak adik lelakiku masuk setelah menutup gerbang kembali. "Oh, yang dulu sering bully Mbak Lana itu kan?" Dia masih ingat rupanya. Dulu aku memang sering menceritakan Riana pada ibu saat kami duduk santai di teras kontrakan atau sama-sama sibuk di dapur. Ryan kadang ikut mendengarkan di sela-sela belajarnya. "Betul. Kamu masih ingat saja sama nama itu, Yan," ujarku pendek sembari mengambilkan air putih untuknya. "Masihlah, Mbak. Dari dulu aku penasaran banget kan sama si Riana Riana itu. Eh nggak nyangka sekarang benar-benar dipertemukan. Mau ngapain perempuan itu ke sini? Apa mau bully Mbak Lana lagi?" Ryan terlihat sedikit emosi. Dia menatapku tajam minta penjelasan. "Nggak kok. Santai saja.
"Siapa yang kecelakaan, Yan?" Aku melangkah ke teras dengan tergesa. Ryan sudah berdiri di garasi bersama dua orang tetangga. Entah apa yang mereka bicarakan."Siapa yang kecelakaan?" tanyaku lagi sembari menepuk lengan Ryan. Adik lelakiku itu pun menoleh. "Rina, Mbak. Anak sulungnya Bi Marni itu kecelakaan saat pulang sekolah." "Innalillahi ... sekarang di mana dia, Bu?" Aku beralih menatap kedua tetanggaku yang mengabarkan soal kecelakaan itu. "Dibawa ke klinik Amal Sehat, Mbak. Maaf tadi Bi Marni minta tolong saya buat sampaikan kabar ini sama Mbak Lana. Sepertinya Bi Marni bingung soal biaya soalnya tadi sempat mau pinjam uang ke saya, tapi tahu sendiri kalau suami saya juga belum gajian, Mbak." Bu Ambarr menunduk lesu sembari memilin ujung hijabnya. Aku tahu keadaan Bu Ambar tak jauh beda dengan Bi Marni. Mereka tetanggaan, hanya saja suami Bu Ambar bekerja sebagai tukang serabutan di pasar. Berbeda dengan suami Bi Marni yang sekarang terpaksa menjadi pengangguran setelah kec
"Mbak." Colekan Ryan membuatku sedikit tersentak. Entah apa yang diobrolkannya dengan Bi Marni tadi, jujur aku tak mendengarnya sama sekali. Sibuk dengan lamunanku sendiri. "Gimana, Mbak?" tanyanya kemudian. Aku mengernyit sembari meringis kecil. Jelas aku tak paham apa yang dia tanyakan. "Kebiasaan. Pasti ngelamun makanya nggak paham sama pertanyaanku. Iya kan?" tebak Ryan yang memang benar adanya. Tak banyak kata, aku hanya mengangguk pelan masih dengan senyum yang sama. "Mbak Lana itu apa-apa selalu ingat masa lalu. Sudahlah, Mbak. Masa lalu cukup dikenang, tak harus diingat terus apalagi yang sedih-sedih dan menyakitkan. Sekarang waktunya Mbak menikmati perjuangan yang Mbak Lana lakukan selama ini. Jangan terus disesaki dengan kenangan pahit masa lalu. Mbak jangan minder terus. Kehidupan kita sudah tak seperti dulu yang penuh air mata, Mbak. Jangan terus tenggelam pada kesakitan masa lalu hingga tak merasakan kebahagiaan yang sepantasnya kita rasakan. Sekarang waktunya kita ber
"Kamu! Ternyata masih kere juga ya!" Hinaannya membuatku mendongak seketika. "Tan-- Tante Lisa?!" ucapku bergetar. Tak menyangka akan kembali dipertemukan dengan perempuan yang kini berkacak pinggang di depanku. "Oh, kamu masih ingat saya?!" ketusnya sembari menunjuk dada. Ibu dan anak memang tak jauh beda. Sepertinya kata pepatah soal buah jatuh tak jauh dari pohonnya itu memang benar. Buktinya wanita di depanku ini, sama persis angkuhnya dengan Riana. Iya, mereka memang ibu dan anak yang sejak dulu selalu menghinaku. Berawal saat aku pulang sekolah dengan buru-buru dan tak sengaja bertabrakan dengan Riana di pintu gerbang hingga dia terjatuh ke belakang, tas dan seragamnya kotor bekas air hujan. Saat itulah mamanya memakiku tak karuan, begitu pula anaknya. Sumpah serapah mereka lontarkan sampai akhirnya malaikat tak bersayap itu datang. Dia yang menengahi bahkan berjanji akan mengganti seragam dan tas itu jika memang nggak mau Riana memakainya lagi. Laki-laki itu, bagaimana mu