Setelah menyelesaikan tugas wajib memberikan nasi kuning gratis di tempat biasa, aku pun buru-buru belanja ke pasar untuk mengisi kulkas. Sekalian belanja bahan-bahan untuk membuat nasi kuning esok hari. Tak banyak, hanya sekitar tiga puluh bungkus saja yang mampu kubuat setiap harinya.
Sebenarnya jika aku mau, bisa saja beli jadi. Hanya saja aku belajar untuk menikmati prosesnya, sebab entah mengapa ada nikmat berbeda di tiap aktivitasnya. Setidaknya, dengan ini aku bisa terus merasakan kenangan bersama ibu dulu. Ibu yang berjuang sendirian membesarkanku dan adik lelakiku setelah bapak tiada. Ibu yang kini telah kembali ke sisiNya.Telur, tempe, bumbu-bumbu dapur, aneka sayuran, ayam dan ikan sudah lengkap di tas belanja. Tak lupa membeli kertas nasi yang hampir habis. Aku kembali memeriksa belanjaan dan kurasa cukup. Bahan untuk membuat nasi kuning pun lengkap.Aku biasa membuat nasi kuning dengan lauk orek-orek tempe campur kacang panjang, telur balado dan tumis mi. Cukup simple dan tak terlalu memakan waktu lama untuk memasaknya, tapi disukai banyak orang sebab selalu habis tak bersisa.Entah karena gratis atau karena memang enak rasanya, tapi Ryan selalu bilang kalau masakanku memang enak. Mirip sekali dengan masakan almarhum ibu.Gegas kembali ke rumah dengan motor andalan. Baru sampai garasi, terdengar suara sendok beradu. Sepertinya Ryan, adik lelakiku yang kini duduk di bangku SMA kelas dua itu baru saja sarapan. Meski sering kali dengan menu yang sama, nasi kuning saja, tapi sepertinya Ryan tak pernah bosan. Dia selalu menghabiskan apa yang kuhidangkan di meja makan. Anak itu nyaris tak pernah merepotkanku sejak kepergian ibu setahun lalu."Mbak, aku berangkat sekolah dulu ya! Jangan telat makan." Ryan buru-buru menutup pintu kamar lalu berjalan tergesa ke arahku. Seperti biasa, dia tak pernah lupa menyalamiku sebelum berangkat sekolah dengan sepeda kesayangannya.Sekolah Ryan tak terlalu jauh dari rumah. Jadi, cukup dengan bersepeda lima belas menit saja sudah sampai di pelataran sekolah. Meski teman-temannya sebagian besar bersekolah dengan kendaraan bermotor, tapi Ryan lebih memilih bersepeda saat ke sekolah.Alasan utamanya, dia merasa belum pantas naik kendaraan bermotor karena belum memiliki SIM. Alasan lain, lebih hemat seklian olah raga supaya badan lebih bugar setiap harinya."Mbak, gerbangnya kunci saja kalau mau kerja." Ryan kembali bersuara saat menutup gerbang. Aku pun mengiyakan. Gegas mengunci gerbang setelah membuka jendela dan pintu rumah.Sengaja mengunci gerbang sebab tak ingin kejadian beberapa hari lalu terulang. Tiba-tiba ada orang gila yang masuk rumah lalu nongkrong di teras beberapa menit lamanya. Beruntung ada Ryan di rumah, kalau nggak, aku pasti akan sangat ketakutan sebab di rumah sendirian.Kuambil segelas air putih lalu masuk kamar. Tak lupa membuka jendela untuk menikmati semilir angin dan harum mawar dari taman kecil di luar kamar.Baru saja menyelonjorkan kaki di sofa kamar, handphone di saku gamis bergetar berulang kali. Mau tak mau, aku pun membuka layarnya. Aku hanya tersenyum tipis saat melihat namaku dicolek berulang kali di grup W******p itu. Grup alumni yang ternyata isinya hanya teman-temanku di kelas tiga saja.Seperti yang direncanakan Riana dan Ratna tadi pagi, dia benar-benar memasukkan nomor handphoneku ke grup buatannya itu. Tak hanya itu saja, bahkan dia mengirimkan kegiatanku saat memberikan nasi kuning gratis dengan caption yang begitu menyudutkanku.[Lihatlah teman-teman, siswa terpintar di kelas bahkan di sekolah kita ternyata nasibnya tak seberuntung kita yang kerja kantoran dengan ruangan berAC. Dia sekarang hanya jualan nasi kuning di pinggir jalan yang penuh polusi, kepanasan dan kadang kehujanan. Jadi, hikmah yang bisa kita petik di sini adalah ... jangan pernah putus asa dan down jika nilai akademik kita tak memuaskan. Perjuangan masih panjang dan kita tak tahu bagaimana nasib di masa depan. Ternyata yang kita kira akan sukses, belum tentu sesukses yang pernah kita bayangkan.]Seperti biasa, Riana mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan teman-teman sesuai dugaannya saja. Meski kadang benar-benar membuatku geleng-geleng kepala atas ke-sok tahuannya tentang keseharianku.Dia pasti akan sangat shock jika tahu apa pekerjaan utamaku sebenarnya. Pekerjaan yang bisa membuatku membeli rumah sendiri seharga dua ratus juta secara cash, membeli motor matic dan menyekolahkan adik lelakiku.Silakan saja jika sekarang dia merasa menang dan bisa meremehkanku sedemikian rupa, tapi kelak dia akan sadar jika aku tak seburuk yang dia kira. Nilai akademik memang tak merujuk kesuksesan seseorang, tapi dia tak seharusnya menyudutkan seseorang hanya karena jualan di tepi jalan. Sekalipun orang itu pernah berprestasi di sekolah.[Lan, kenapa kamu nggak cerita yang sebenarnya kalau kamu juga sarjana meski kuliah di universitas swasta? Apa aku yang harus cerita kalau sebenarnya kamu punya pekerjaan yang menjanjikan dengan hasil jutaan juga? Atau aku perlu klarifikasi kalau nasi kuning itu bukan kamu jual melainkan sengaja kamu bagikan gratis?]Pesan dari Ike, teman terdekatku yang melanjutkan kuliah dan kini kerja di Solo itu pun muncul di layar. Sepertinya dia cukup kesal membaca tuduhan-tuduhan Ratna dan Riana di grup itu yang cukup menyudutkan dan menyakitkan. Wajar dia kesal, sebab dia tahu apa yang sebenarnya kulakukan.[Biar saja, Ke. Esok atau lusa mereka akan malu sendiri karena sudah menuduhku ini dan itu, padahal mereka sendiri belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.] Balasanku pun terkirim. Ike mulai mengetik pesan kembali.[Kamu selalu melarangku memasukkan nomormu ke grup, tapi kenapa kamu kasih nomor handphonemu ke mereka, Lan? Tahu sendiri bagaimana mereka sejak dulu, ribet. Aku nggak mau sahabat aku dijadikan bahan gosip dan celaan di grup. Baiknya aku beberkan bukti saja ke mereka siapa kamu sebenarnya ya! Biar mereka shock sekalian, kalau gaji mereka sebagai karyawan kantor itu tak sebanding dengan gaji dan omset laundry kamu tiap bulan]***Ike terus saja mengoceh di WhatsApp. Dia semakin geram saat Riana dan Ratna saling menimpali untuk menyudutkanku. [Aku sempat ketemu tetangga Lana, dia bilang Lana sudah nggak tinggal di rumahnya yang lama. Rumah itu terpaksa dijual untuk biaya pengobatan ibunya yang kini sudah meninggal. Tragis sekali hidupnya kan? Sekarang dia mungkin tinggal di kontrakan sama adik lelakinya itu. Sebenarnya aku kasihan sih sama dia, apa kita open donasi saja ya, barang kali donasi kita bisa meringankan sedikit bebannya?]Aku kembali menggelengkan kepala saat membaca pesan yang dia kirimkan di grup. Ingin sekali kubalas pesannya, tapi aku yakin nanti akan semakin panjang. Sepertinya Riana memang sengaja memancingku keluar dan ikut menimpali obrolannya. Dia yang konon sudah sukses dengan pekerjaannya sebagai sekretaris. Gajinya jutaan dan sering mendapatkan bonus liburan dari atasan. [Beneran, Ri? Sekarang Lana di mana? Aku pengin silaturahmi ke kontrakannya dong kalau kamu tahu alamatnya] Pesan la
Aku mulai mengetik cerita lanjutan yang kubuat. Inilah pekerjaanku sejak tiga tahun yang lalu. Pekerjaan yang mungkin tak terlihat banyak orang, tapi menghasilkan pundi-pundi rupiah yang cukup membanggakan. Namun, aku memang bukan tipe orang yang suka menceritakan kehidupan pribadiku ke banyak orang. Hanya Ike dan Ryan saja yang tahu apa pekerjaanku sekarang selain usaha laundry yang memang sudah ada di cabang. Modal untuk usaha itu pun berasal dari menulis novel di platform online ini. Awalnya ibu yang memberi ide agar gaji yang kuhasilkan tak hanya tersimpan dalam tabungan, tapi bisa dipakai untuk usaha lain yang lebih menjanjikan. Kata demi kata kuketik dengan lancar. Aku memang menjalani profesi ini dengan bahagia, mungkin karena itu pula jarang sekali aku kehilangan ide untuk melanjutkan cerita-cerita yang kubuat sebelumnya. Sejak dulu, aku memang menyukai dunia menulis dan membaca, oleh karena itulah aku tak terlalu asing dengan kehidupanku sekarang. Justru inilah yang meman
[Nanti aku kabar lagi ya, Dik. Ike juga masih di Solo. Sepertinya dia belum bisa pulang ke Jakarta] Balasan itu akhirnya kuketik dan kukirimkan padanya. Sebenarnya aku memang ingin bertemu, hanya saja terlalu takut jika pertemuan itu justru membuat rasa ini semakin kuat. Terlalu banyak perbedaan antara aku dan dia. Selain strata sosial yang tak sama, pertentangan ibu saat itu pun memaksaku berpikir ulang. Mungkinkah dia jodoh yang dikirimkan Allah untukku? Tak peduli dengan ocehan di grup yang masih terus membahas tentangku, aku kembali sibuk dengan kegiatan rutinku. Menulis dua cerita on going yang harus aku update setiap hari. Setelah menyelesaikan dua bab novel, aku mulai memasak untuk makan siang. Sebentar lagi Ryan pulang dan wajib ada masakan di meja makan. Kadang jika cukup sibuk dengan urusan pernovelan, aku memang memesan makanan via online. Hanya saja, Ryan lebih senang makan masakanku sebab mirip dengan masakan almarhum ibu, katanya. Sekalian nostalgia dan merasa ibu ma
"Ya ampun, Lan! Nggak nyangka kita ketemu lagi. Kamu kerja di sini, Lan? Jadi pembantu atau cuma tukang cuci setrika kaya Bi Lastri?!" Riana melipat tangannya ke dada sembari melihat ke sekeliling. Seolah meneliti tiap sudut garasi dan taman kecil di halaman rumah. "Kerja?!" Bi Lastri berujar lirih lalu menoleh ke arahku. Kukedipkan mata padanya agar Bi Lastri tak membocorkan pada perempuan di sampingnya jika aku tak bekerja di sini melainkan pemilik rumah ini. "Kenapa kamu ada di sini, Ri?" Aku mengabaikan pertanyaan tak pentingnya. Kini yang ingin kutahu hanyalah kenapa dia bisa mengenal Bi Lastri dan kenapa dia menerima uang dari wanita itu. "Aku ada urusan sama Bi Lastri. Dia bilang mau pinjam uang ke sini makanya aku ikutin, takutnya kabur-kaburan lagi seperti minggu lalu. Nggak tahunya dia pinjam uang ke majikan kamu." Riana begitu percaya diri dengan ucapannya. Terlalu yakin jika dugaannya adalah benar. "Kok Bi Lastri bisa pinjam uang sama kamu?" Lirihku dengan dahi mengern
"Kalau beneran suka bantuin orang kenapa harus pakai bunga, Ri? Kalau minjamin orang dengan bunga bukannya rentenir ya?" Aku keceplosan bicara saat mendengar kata bunga dari Bi Lastri. Kedua perempuan itu pun menoleh ke arahku bersamaan. Riana semakin tercekat dan salah tingkah. Namun, bukan Riana kalau tak punya banyak akal untuk menguasai keadaan. "Kalau semua orang dibantu tanpa bunga, mereka bisa semena-mena dan nggak bertanggungjawab dengan hutangnya dong, Lan. Janji tanggal sekian boleh jadi dibayar tanggal sekian. Repot. Sementara aku harus mutar uang ini untuk bantu yang lain. Gimana sih kamu?! Makanya belajar bantu orang biar tahu kesusahan mereka dan nggak protes melulu!" sahutnya dengan ketus. "Ohya, satu hal lagi yang harus kamu tahu, Lan. Sebenarnya ini bukan tugasku sih. Aku punya karyawan sendiri yang mengurus ini semua, hanya saja dia cuti mendadak. Jadi, mau nggak mau aku turun tangan. Soalnya aku tahu banyak dari mereka yang membutuhkan pertolongan. Jadi, jangan m
"Rizal?" Lirihku saat melihat laki-laki itu melangkah mendekat. Dia pun mengangguk cepat. Terlihat cukup girang saat aku masih mengingat namanya. "Senangnya kamu masih ingat aku, Lan!" ujarnya seketika. Aku hanya tersenyum tipis menatap laki-laki itu duduk di kursi teras meski belum sempat kuminta. "Tadi Riana chat kalau kamu ada di sini. Kebetulan aku ke rumah paman di blok sebelah, Lan. Makanya langsung meluncur ke sini daripada nanti kamu kabur lagi." Mendengar ucapannya aku kembali mengingat kejadian beberapa bulan lalu saat aku dan dia tak sengaja bertemu di mall. Aku buru-buru meninggalkannya saat laki-laki itu menoleh sebentar ke arah teman-temannya. Saat itu aku benar-benar belum siap keluar dari persembunyian yang selama ini cukup membuatku nyaman. Ketakutan terbesarku saat itu jika dia akan mengorek banyak informasi tentangku lalu menyebarkan keberadaan dan pertemuannya ke teman-teman yang lain. Saat itu aku belum siap bertemu mereka setelah sekian tahun tak bersua. Nam
"Kenapa bengong lagi sih, Lan? Sejak sekolah kamu kebanyakan bengong. Untung pinter!" Rizal kembali tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Gimana nggak bengong, Riz. Nggak salah kamu tanya soal Dikta sama aku?" tanyaku balik membuat Rizal mengernyitkan dahi. "Lah kok?" "Kenapa? Sejak kita lulus, aku nggak pernah ketemu dia," balasku kemudian membuat Rizal benar-benar tersedak. Gegas kuambilkan segelas air putih untuknya. Dia pun meneguknya hingga tandas. "Maksudmu gimana sih, Lan? Bukannya Dikta mau melamarmu selepas SMA?" tanyanya lagi membuatku mendelik seketika. Bisa-bisanya Rizal bilang seperti itu. Padahal sejak dulu hubunganku dengan Dikta sebatas teman. Tak ada ikatan lebih di dalamnya, seperti halnya hubunganku dengan dia. "Ngaco kamu!" sahutku."Kok ngaco? Dia yang bilang sendiri sama aku kalau mau melamar kamu kok. Bahkan dia ancam aku supaya berhenti ngejar kamu. Gimana sih bocah itu!" Rizal justru geram saat menceritakan kesepakatannya dengan Dikta lima t
"Nanti aku izinin sama bosmu ya, Lan. Semoga saja dia mengizinkan kamu pergi. Biar aku yang jemput kamu ke sini. Kan nggak tiap hari juga kita ketemuan. Hanya sesekali, nggak apa kan libur sehari?" Rizal kembali menoleh ke arahku yang masih bergeming. "Nanti aku pikirkan lagi, Riz. Baiknya kamu pulang dulu soalnya aku harus beberes rumah. Lagipula sebentar lagi adikku pulang sekolah. Aku mau siapin makan siangnya." Aku mulai nggak nyaman dengan kedatangan tiga teman SMAku itu. Apalagi Riana dan Ratna yang terus menyudutkanku sesuka hati mereka. "Okelah kalau begitu, Lan. Aku save nomor kamu ya, kita lanjut di WhatsApp!" Rizal mengulurkan tangannya ke arahku, tapi hanya kujawab dengan senyum dan anggukan kepala. Dia pun terkekeh saat mendapatkan balasanku. Tangan kanannya yang terulur seketika untuk menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Lupa kalau sudah jadi ukhti-ukhti." Rizal kembali meringis kecil. "Nggak juga, Riz. Sudahlah, kamu pulang dulu ya. Maaf bukan maksud mengusir,