Setelah menyelesaikan tugas wajib memberikan nasi kuning gratis di tempat biasa, aku pun buru-buru belanja ke pasar untuk mengisi kulkas. Sekalian belanja bahan-bahan untuk membuat nasi kuning esok hari. Tak banyak, hanya sekitar tiga puluh bungkus saja yang mampu kubuat setiap harinya.
Sebenarnya jika aku mau, bisa saja beli jadi. Hanya saja aku belajar untuk menikmati prosesnya, sebab entah mengapa ada nikmat berbeda di tiap aktivitasnya. Setidaknya, dengan ini aku bisa terus merasakan kenangan bersama ibu dulu. Ibu yang berjuang sendirian membesarkanku dan adik lelakiku setelah bapak tiada. Ibu yang kini telah kembali ke sisiNya.Telur, tempe, bumbu-bumbu dapur, aneka sayuran, ayam dan ikan sudah lengkap di tas belanja. Tak lupa membeli kertas nasi yang hampir habis. Aku kembali memeriksa belanjaan dan kurasa cukup. Bahan untuk membuat nasi kuning pun lengkap.Aku biasa membuat nasi kuning dengan lauk orek-orek tempe campur kacang panjang, telur balado dan tumis mi. Cukup simple dan tak terlalu memakan waktu lama untuk memasaknya, tapi disukai banyak orang sebab selalu habis tak bersisa.Entah karena gratis atau karena memang enak rasanya, tapi Ryan selalu bilang kalau masakanku memang enak. Mirip sekali dengan masakan almarhum ibu.Gegas kembali ke rumah dengan motor andalan. Baru sampai garasi, terdengar suara sendok beradu. Sepertinya Ryan, adik lelakiku yang kini duduk di bangku SMA kelas dua itu baru saja sarapan. Meski sering kali dengan menu yang sama, nasi kuning saja, tapi sepertinya Ryan tak pernah bosan. Dia selalu menghabiskan apa yang kuhidangkan di meja makan. Anak itu nyaris tak pernah merepotkanku sejak kepergian ibu setahun lalu."Mbak, aku berangkat sekolah dulu ya! Jangan telat makan." Ryan buru-buru menutup pintu kamar lalu berjalan tergesa ke arahku. Seperti biasa, dia tak pernah lupa menyalamiku sebelum berangkat sekolah dengan sepeda kesayangannya.Sekolah Ryan tak terlalu jauh dari rumah. Jadi, cukup dengan bersepeda lima belas menit saja sudah sampai di pelataran sekolah. Meski teman-temannya sebagian besar bersekolah dengan kendaraan bermotor, tapi Ryan lebih memilih bersepeda saat ke sekolah.Alasan utamanya, dia merasa belum pantas naik kendaraan bermotor karena belum memiliki SIM. Alasan lain, lebih hemat seklian olah raga supaya badan lebih bugar setiap harinya."Mbak, gerbangnya kunci saja kalau mau kerja." Ryan kembali bersuara saat menutup gerbang. Aku pun mengiyakan. Gegas mengunci gerbang setelah membuka jendela dan pintu rumah.Sengaja mengunci gerbang sebab tak ingin kejadian beberapa hari lalu terulang. Tiba-tiba ada orang gila yang masuk rumah lalu nongkrong di teras beberapa menit lamanya. Beruntung ada Ryan di rumah, kalau nggak, aku pasti akan sangat ketakutan sebab di rumah sendirian.Kuambil segelas air putih lalu masuk kamar. Tak lupa membuka jendela untuk menikmati semilir angin dan harum mawar dari taman kecil di luar kamar.Baru saja menyelonjorkan kaki di sofa kamar, handphone di saku gamis bergetar berulang kali. Mau tak mau, aku pun membuka layarnya. Aku hanya tersenyum tipis saat melihat namaku dicolek berulang kali di grup W******p itu. Grup alumni yang ternyata isinya hanya teman-temanku di kelas tiga saja.Seperti yang direncanakan Riana dan Ratna tadi pagi, dia benar-benar memasukkan nomor handphoneku ke grup buatannya itu. Tak hanya itu saja, bahkan dia mengirimkan kegiatanku saat memberikan nasi kuning gratis dengan caption yang begitu menyudutkanku.[Lihatlah teman-teman, siswa terpintar di kelas bahkan di sekolah kita ternyata nasibnya tak seberuntung kita yang kerja kantoran dengan ruangan berAC. Dia sekarang hanya jualan nasi kuning di pinggir jalan yang penuh polusi, kepanasan dan kadang kehujanan. Jadi, hikmah yang bisa kita petik di sini adalah ... jangan pernah putus asa dan down jika nilai akademik kita tak memuaskan. Perjuangan masih panjang dan kita tak tahu bagaimana nasib di masa depan. Ternyata yang kita kira akan sukses, belum tentu sesukses yang pernah kita bayangkan.]Seperti biasa, Riana mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan teman-teman sesuai dugaannya saja. Meski kadang benar-benar membuatku geleng-geleng kepala atas ke-sok tahuannya tentang keseharianku.Dia pasti akan sangat shock jika tahu apa pekerjaan utamaku sebenarnya. Pekerjaan yang bisa membuatku membeli rumah sendiri seharga dua ratus juta secara cash, membeli motor matic dan menyekolahkan adik lelakiku.Silakan saja jika sekarang dia merasa menang dan bisa meremehkanku sedemikian rupa, tapi kelak dia akan sadar jika aku tak seburuk yang dia kira. Nilai akademik memang tak merujuk kesuksesan seseorang, tapi dia tak seharusnya menyudutkan seseorang hanya karena jualan di tepi jalan. Sekalipun orang itu pernah berprestasi di sekolah.[Lan, kenapa kamu nggak cerita yang sebenarnya kalau kamu juga sarjana meski kuliah di universitas swasta? Apa aku yang harus cerita kalau sebenarnya kamu punya pekerjaan yang menjanjikan dengan hasil jutaan juga? Atau aku perlu klarifikasi kalau nasi kuning itu bukan kamu jual melainkan sengaja kamu bagikan gratis?]Pesan dari Ike, teman terdekatku yang melanjutkan kuliah dan kini kerja di Solo itu pun muncul di layar. Sepertinya dia cukup kesal membaca tuduhan-tuduhan Ratna dan Riana di grup itu yang cukup menyudutkan dan menyakitkan. Wajar dia kesal, sebab dia tahu apa yang sebenarnya kulakukan.[Biar saja, Ke. Esok atau lusa mereka akan malu sendiri karena sudah menuduhku ini dan itu, padahal mereka sendiri belum tahu apa yang sebenarnya terjadi.] Balasanku pun terkirim. Ike mulai mengetik pesan kembali.[Kamu selalu melarangku memasukkan nomormu ke grup, tapi kenapa kamu kasih nomor handphonemu ke mereka, Lan? Tahu sendiri bagaimana mereka sejak dulu, ribet. Aku nggak mau sahabat aku dijadikan bahan gosip dan celaan di grup. Baiknya aku beberkan bukti saja ke mereka siapa kamu sebenarnya ya! Biar mereka shock sekalian, kalau gaji mereka sebagai karyawan kantor itu tak sebanding dengan gaji dan omset laundry kamu tiap bulan]***Ike terus saja mengoceh di WhatsApp. Dia semakin geram saat Riana dan Ratna saling menimpali untuk menyudutkanku. [Aku sempat ketemu tetangga Lana, dia bilang Lana sudah nggak tinggal di rumahnya yang lama. Rumah itu terpaksa dijual untuk biaya pengobatan ibunya yang kini sudah meninggal. Tragis sekali hidupnya kan? Sekarang dia mungkin tinggal di kontrakan sama adik lelakinya itu. Sebenarnya aku kasihan sih sama dia, apa kita open donasi saja ya, barang kali donasi kita bisa meringankan sedikit bebannya?]Aku kembali menggelengkan kepala saat membaca pesan yang dia kirimkan di grup. Ingin sekali kubalas pesannya, tapi aku yakin nanti akan semakin panjang. Sepertinya Riana memang sengaja memancingku keluar dan ikut menimpali obrolannya. Dia yang konon sudah sukses dengan pekerjaannya sebagai sekretaris. Gajinya jutaan dan sering mendapatkan bonus liburan dari atasan. [Beneran, Ri? Sekarang Lana di mana? Aku pengin silaturahmi ke kontrakannya dong kalau kamu tahu alamatnya] Pesan la
Aku mulai mengetik cerita lanjutan yang kubuat. Inilah pekerjaanku sejak tiga tahun yang lalu. Pekerjaan yang mungkin tak terlihat banyak orang, tapi menghasilkan pundi-pundi rupiah yang cukup membanggakan. Namun, aku memang bukan tipe orang yang suka menceritakan kehidupan pribadiku ke banyak orang. Hanya Ike dan Ryan saja yang tahu apa pekerjaanku sekarang selain usaha laundry yang memang sudah ada di cabang. Modal untuk usaha itu pun berasal dari menulis novel di platform online ini. Awalnya ibu yang memberi ide agar gaji yang kuhasilkan tak hanya tersimpan dalam tabungan, tapi bisa dipakai untuk usaha lain yang lebih menjanjikan. Kata demi kata kuketik dengan lancar. Aku memang menjalani profesi ini dengan bahagia, mungkin karena itu pula jarang sekali aku kehilangan ide untuk melanjutkan cerita-cerita yang kubuat sebelumnya. Sejak dulu, aku memang menyukai dunia menulis dan membaca, oleh karena itulah aku tak terlalu asing dengan kehidupanku sekarang. Justru inilah yang meman
[Nanti aku kabar lagi ya, Dik. Ike juga masih di Solo. Sepertinya dia belum bisa pulang ke Jakarta] Balasan itu akhirnya kuketik dan kukirimkan padanya. Sebenarnya aku memang ingin bertemu, hanya saja terlalu takut jika pertemuan itu justru membuat rasa ini semakin kuat. Terlalu banyak perbedaan antara aku dan dia. Selain strata sosial yang tak sama, pertentangan ibu saat itu pun memaksaku berpikir ulang. Mungkinkah dia jodoh yang dikirimkan Allah untukku? Tak peduli dengan ocehan di grup yang masih terus membahas tentangku, aku kembali sibuk dengan kegiatan rutinku. Menulis dua cerita on going yang harus aku update setiap hari. Setelah menyelesaikan dua bab novel, aku mulai memasak untuk makan siang. Sebentar lagi Ryan pulang dan wajib ada masakan di meja makan. Kadang jika cukup sibuk dengan urusan pernovelan, aku memang memesan makanan via online. Hanya saja, Ryan lebih senang makan masakanku sebab mirip dengan masakan almarhum ibu, katanya. Sekalian nostalgia dan merasa ibu ma
"Ya ampun, Lan! Nggak nyangka kita ketemu lagi. Kamu kerja di sini, Lan? Jadi pembantu atau cuma tukang cuci setrika kaya Bi Lastri?!" Riana melipat tangannya ke dada sembari melihat ke sekeliling. Seolah meneliti tiap sudut garasi dan taman kecil di halaman rumah. "Kerja?!" Bi Lastri berujar lirih lalu menoleh ke arahku. Kukedipkan mata padanya agar Bi Lastri tak membocorkan pada perempuan di sampingnya jika aku tak bekerja di sini melainkan pemilik rumah ini. "Kenapa kamu ada di sini, Ri?" Aku mengabaikan pertanyaan tak pentingnya. Kini yang ingin kutahu hanyalah kenapa dia bisa mengenal Bi Lastri dan kenapa dia menerima uang dari wanita itu. "Aku ada urusan sama Bi Lastri. Dia bilang mau pinjam uang ke sini makanya aku ikutin, takutnya kabur-kaburan lagi seperti minggu lalu. Nggak tahunya dia pinjam uang ke majikan kamu." Riana begitu percaya diri dengan ucapannya. Terlalu yakin jika dugaannya adalah benar. "Kok Bi Lastri bisa pinjam uang sama kamu?" Lirihku dengan dahi mengern
"Kalau beneran suka bantuin orang kenapa harus pakai bunga, Ri? Kalau minjamin orang dengan bunga bukannya rentenir ya?" Aku keceplosan bicara saat mendengar kata bunga dari Bi Lastri. Kedua perempuan itu pun menoleh ke arahku bersamaan. Riana semakin tercekat dan salah tingkah. Namun, bukan Riana kalau tak punya banyak akal untuk menguasai keadaan. "Kalau semua orang dibantu tanpa bunga, mereka bisa semena-mena dan nggak bertanggungjawab dengan hutangnya dong, Lan. Janji tanggal sekian boleh jadi dibayar tanggal sekian. Repot. Sementara aku harus mutar uang ini untuk bantu yang lain. Gimana sih kamu?! Makanya belajar bantu orang biar tahu kesusahan mereka dan nggak protes melulu!" sahutnya dengan ketus. "Ohya, satu hal lagi yang harus kamu tahu, Lan. Sebenarnya ini bukan tugasku sih. Aku punya karyawan sendiri yang mengurus ini semua, hanya saja dia cuti mendadak. Jadi, mau nggak mau aku turun tangan. Soalnya aku tahu banyak dari mereka yang membutuhkan pertolongan. Jadi, jangan m
"Rizal?" Lirihku saat melihat laki-laki itu melangkah mendekat. Dia pun mengangguk cepat. Terlihat cukup girang saat aku masih mengingat namanya. "Senangnya kamu masih ingat aku, Lan!" ujarnya seketika. Aku hanya tersenyum tipis menatap laki-laki itu duduk di kursi teras meski belum sempat kuminta. "Tadi Riana chat kalau kamu ada di sini. Kebetulan aku ke rumah paman di blok sebelah, Lan. Makanya langsung meluncur ke sini daripada nanti kamu kabur lagi." Mendengar ucapannya aku kembali mengingat kejadian beberapa bulan lalu saat aku dan dia tak sengaja bertemu di mall. Aku buru-buru meninggalkannya saat laki-laki itu menoleh sebentar ke arah teman-temannya. Saat itu aku benar-benar belum siap keluar dari persembunyian yang selama ini cukup membuatku nyaman. Ketakutan terbesarku saat itu jika dia akan mengorek banyak informasi tentangku lalu menyebarkan keberadaan dan pertemuannya ke teman-teman yang lain. Saat itu aku belum siap bertemu mereka setelah sekian tahun tak bersua. Nam
"Kenapa bengong lagi sih, Lan? Sejak sekolah kamu kebanyakan bengong. Untung pinter!" Rizal kembali tertawa, memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Gimana nggak bengong, Riz. Nggak salah kamu tanya soal Dikta sama aku?" tanyaku balik membuat Rizal mengernyitkan dahi. "Lah kok?" "Kenapa? Sejak kita lulus, aku nggak pernah ketemu dia," balasku kemudian membuat Rizal benar-benar tersedak. Gegas kuambilkan segelas air putih untuknya. Dia pun meneguknya hingga tandas. "Maksudmu gimana sih, Lan? Bukannya Dikta mau melamarmu selepas SMA?" tanyanya lagi membuatku mendelik seketika. Bisa-bisanya Rizal bilang seperti itu. Padahal sejak dulu hubunganku dengan Dikta sebatas teman. Tak ada ikatan lebih di dalamnya, seperti halnya hubunganku dengan dia. "Ngaco kamu!" sahutku."Kok ngaco? Dia yang bilang sendiri sama aku kalau mau melamar kamu kok. Bahkan dia ancam aku supaya berhenti ngejar kamu. Gimana sih bocah itu!" Rizal justru geram saat menceritakan kesepakatannya dengan Dikta lima t
"Nanti aku izinin sama bosmu ya, Lan. Semoga saja dia mengizinkan kamu pergi. Biar aku yang jemput kamu ke sini. Kan nggak tiap hari juga kita ketemuan. Hanya sesekali, nggak apa kan libur sehari?" Rizal kembali menoleh ke arahku yang masih bergeming. "Nanti aku pikirkan lagi, Riz. Baiknya kamu pulang dulu soalnya aku harus beberes rumah. Lagipula sebentar lagi adikku pulang sekolah. Aku mau siapin makan siangnya." Aku mulai nggak nyaman dengan kedatangan tiga teman SMAku itu. Apalagi Riana dan Ratna yang terus menyudutkanku sesuka hati mereka. "Okelah kalau begitu, Lan. Aku save nomor kamu ya, kita lanjut di WhatsApp!" Rizal mengulurkan tangannya ke arahku, tapi hanya kujawab dengan senyum dan anggukan kepala. Dia pun terkekeh saat mendapatkan balasanku. Tangan kanannya yang terulur seketika untuk menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Lupa kalau sudah jadi ukhti-ukhti." Rizal kembali meringis kecil. "Nggak juga, Riz. Sudahlah, kamu pulang dulu ya. Maaf bukan maksud mengusir,
"Cantik." Suara itu terdengar di ambang pintu kamar saat Mbak Agnes fokus merapikan kebaya berwarna salem dengan taburan swarovski yang membuatnya semakin terlihat elegan.Mbak Agnes ikut menoleh lalu tersenyum lebar."Siapa dulu calon suaminya," ujarnya memuji. Kulihat sosok itu dari cermin yang kini memantulkan bayanganku dengan balutan kebaya yang kupilih, senada dengan jas dan celana panjangnya. Dikta, lelaki itu terlihat semakin tampan dengan penampilannya sekarang. Dia masih bersedekap sembari menatapku lekat."Ngapain ke sini, Dikta? Harusnya kamu di luar menyambut tamu, sebentar lagi penghulu juga datang," ujarku sedikit gugup. Aku mendadak salah tingkah saat ditatap begitu lekat olehnya. Mbak Agnes pun tak henti menggodaku, membuat wajah ini mulai memerah seperti tomat matang."Nggak apa-apa, Lana. Calon suami mau lihat calon istrinya masa nggak boleh. Takut diculik mungkin." Mbak Agnes kembali terkekeh."Jangan digoda lagi, Mbak. Calon istriku itu memang pemalu. Takutnya ng
Aku dan Dikta berjalan beriringan keluar bioskop, sementara Denada dan teman-teman yang lain sepertinya sudah pulang sejak beberapa menit lalu. Kulihat jarum jam menunjuk angka setengah sembilan malam. Weekend begini jalanan masih ramai bahkan padat di beberapa tempat. "Kita ke taman Bianglala dulu, Lan. Mau?" tanya Dikta tiba-tiba setelah menghentikan mobilnya perlahan karena terjebak lampu merah. "Jadi kangen taman itu ya setelah nonton film kita." Aku dan Dikta bersitatap lalu sama-sama tersenyum. "Ternyata kamu seromantis itu, Lan. Mengingat semua momen kebersamaan kita dulu. Novelmu cukup detail menceritakan kisah kita dan ternyata ending yang kamu tulis nyaris sama dengan kejadian aslinya. Hanya saja kita belum menikah, sementara dalam novelmu Dikta dan Lana sudah menikah dan hidup bahagia." Dikta menatapku sekilas lalu kembali fokus dengan stirnya. "Iya, Dik. Kita sudah lamaran dan sebentar lagi kamu akan menikahiku bukan? Itu artinya imajinasiku dulu akan menjadi kenyataan
"Mbak Lana!" Aku dan Dikta yang masih duduk santai di lantai atas menoleh seketika. Di samping tangga kulihat gadis cantik dengan hijab cokelatnya tersenyum lebar ke arahku. Aku menatap Dikta beberapa saat lalu kembali pada perempuan modis itu."Denada," ujar Dikta membuatku kembali tersenyum. Baru kali ini aku melihat adik Dikta yang cantik itu. Usianya menginjak dua puluh satu tahun. Beda empat tahun dibandingkan kakaknya. Meski jarak usia mereka tak terlalu dekat, tapi kulihat keduanya cukup akrab. Denada datang dengan wajah cerianya lalu menyalamiku dan Dikta. "Buat calon kakak iparku yang cantik sekaligus penulis favoritku." Denada sedikit berteriak sembari memberikan sebuah kado untukku. Dikta tersentak melihatku yang sudah akrab dan terlihat cocok dengan adiknya. Dia pasti bingung dan tak menyangka kami seakrab ini. "Kalian akrab banget kaya sudah kenal lama." Dikta mulai curiga. Dia menatapku dan Denada bergantian. "Memang sudah kenal lama kakakku sayang." Denada merangkul
"You are mine." Lagi kudengar kalimat spesial darinya, membuatku semakin berbunga. "Iya, iya. Semoga saja prosesnya tak membutuhkan waktu yang lama. Nanti kamu ikut aku buat urus ini itu kan?" Aku menoleh ke arahnya yang masih menyandarkan punggung ke sofa sembari menatapku lekat. Senyum tulusnya kembali terukir di bibir. Dia mengangguk lalu mengedipkan kedua matanya yang bening itu. "Tentu aku akan selalu dampingi kamu, Lana. Aku benar-benar bangga memiliki kamu. Perempuan hebat, mandiri dan istimewa." Lagi, pujiannya membuat hidungku kembang kempis. Gegas mengalihkan pandangan sebab tak ingin dia tahu jika wajahku kali ini pasti sudah memerah seperti tomat karena pujiannya yang berlebihan. "Kita nonton bareng saat gala premiere." Dikta berucap yakin sembari mengangguk pelan saat aku menoleh. "Makasih banyak ya, Dik. Kamu selalu menjadi pendukung pertama selain Ryan di setiap hal yang kulakukan." Aku berkaca. Tiap kali mengingat momen-momen membahagiakan kami di masa lalu maupun
Kebahagiaan mulai datang silih berganti. Setelah Dikta kembali dan restu dari mamanya kugenggam, muncul kabar lain yang tak kalah membahagiakan. Novel berjudul Bianglala yang mengisahkan tentang perjalanan cintaku sendiri dengan Dikta ternyata dipinang sebuah rumah produksi ternama. Production House yang biasa meminang novel-novel terbaik menurutnya. Kulihat ekspresi bangga di wajah Dikta saat aku menjelaskan kabar bahagia yang kudengar dari Pak Abdullah. Tante Delima dan Om Erwin pun terlihat bangga sembari mengucapkan selamat untukku. Akhirnya kini aku bisa membuktikan pada mereka jika aku bisa mandiri dan sukses dengan caraku sendiri. Setidaknya sekarang aku merasa lebih layak bersanding dengan Dikta dan tak merasa terus rendah diri saat bersamanya. Meski Dikta tetap menerimaku apa adanya dan tak pernah memandang dari segi karir yang kupunya, tapi aku ingin membuatnya bangga dan merasa lebih bersyukur memilikiku sebagai calon pendamping hidupnya. "Tante bangga sama kamu, Lana. I
"Aku bawa nampannya. Kamu pasti masih shock dengan kabar bahagia ini." Dikta mengambil alih tugasku membawa nampan berisi empat cangkir teh hangat dan camilan itu. Aku pun mengikutinya kembali ke ruang tamu. "Maaf menunggu lama, Om, Tante." Aku kembali tersenyum lalu menata cangkir dan piring berisi camilan itu ke atas meja dan menyimpan nampan di bawah mejanya. "Nggak apa-apa, Lana. Justru kami yang minta maaf karena sudah mengganggumu pagi-pagi begini." Om Erwin tersenyum tipis lalu menoleh ke arah istrinya yang ikut mengangguk pelan."Nggak masalah kok, Om, Tante. Lagipula saya nggak ada kerjaan. Saya merasa beruntung sekali pagi ini karena mendapatkan tamu spesial." Aku tersenyum tipis lalu melirik Dikta yang ikut manggut-manggut dengan senyumnya yang menawan. "Langsung saja ya, Lana. Kedatangan Om dan Tante ke sini selian untuk silaturahmi, Tante juga mau minta maaf sama kamu atas sikap buruk Tante selama ini. Kepergian Dikta lima hari belakangan karena penculikan itu membuat
POV : LANA "Assalamualaikum, Lana!" Salam terdengar dari luar gerbang. Aku buru-buru menyambar hijab dan membuka pintu utama. Kulihat sosok yang selama lima hari ini kurindukan. Dikta. Dia benar-benar datang dengan begitu bersemangat dan senyum lebarnya. "Wa'alaikumsalam, Dikta. Akhirnya ketemu kamu juga." Aku ikut semringah saat membuka gerbang. Namun, senyumku tiba-tiba padam dan mendadak salah tingkah saat melihat Tante Delima dan Om Erwin sudah ada di belakang Dikta. Mereka saling tatap lalu tersenyum tipis ke arahku. "Eh, Om dan Tante ikut juga. Maaf sudah menunggu lama, silakan masuk." Aku mendadak kikuk saat mempersilakan orang tua Dikta untuk duduk di ruang tamu. Saat pamit ke belakang untuk menyiapkan minuman, aku sempat melotot ke arah Dikta yang hanya senyum-senyum tipis. Sengaja banget dia tak memberi tahuku lebih dulu jika akan datang ke sini dengan kedua orang tuanya. "Aku bantu, Lan." Dikta beranjak dari sofa lalu mengikutiku ke dapur, meninggalkan kedua orang tuany
Lima hari Dikta tak ada kabar. Entah mengapa kini di grup alumni ramai dengan foto-foto Riana dan mamanya yang digelandang polisi. Aku benar-benar tak tahu berita apapun karena sengaja jaga jarak dengan teman-teman yang lain. Aku nggak mau terlalu membuka diri di depan mereka semua. Apalagi sejak fotoku bersama Mas Radit tersebar, aku cukup berhati-hati untuk berteman dengan siapapun. [Riana jualan daster sama jadi rentenir, Gaes. Ternyata selama ini kita tertipu! Dia dan keluarganya sudah bangkrut sejak lama, tapi selalu berlagak hedon. Kasihan Lana, selalu dijadikan bahan ejekan. Padahal Lana sekarang sukses loh. Rizal yang cerita kalau Lana nggak seperti yang diceritakan Riana] Pesan pertama yang membuatku membulatkan mata seketika. Entah siapa, aku tak menyimpan nomornya. Sempat aku intip foto profil di WhatsAppnya, tapi tetap tak bisa kutebak. Dia tak memamerkan foto asli melainkan hanya foto kucing yang mungkin dia ambil dari media sosial. Keterkejutanku bertambah saat meliha
POV : DIKTA Kedua kakiku diikat kuat sementara kedua tangan juga diikat ke belakang. Tak hanya itu saja bahkan mulutku dilakban hingga tak mampu berteriak keras. Mereka benar-benar keterlaluan. Rasa haus membuatku mencoba berteriak dan menyenggol kursi di sampingku hingga terjatuh.Dua lelaki membuka pintu. Lagi-lagi aku tak bisa menebak siapa mereka sebenarnya karena tertutup masker. Meskipun bisa, kemungkinan besar aku tak mengenalnya. Kuyakin jika mereka bukan pelaku utama. Apa mungkin Riana lagi pelakunya? Dia tak berhasil menjauhkanku dengan Lana karena foto-foto itu, lantas sekarang berusaha menculikku balik agar Lana mengira aku membencinya? Jika memang iya, Riana benar-benar kelewat batas. Dia memang pantas mendekam ke penjara atas semua yang dia lakukan. "Jangan ribut! Mau ngapain kamu?!" sentak salah seorang penjaga itu dengan suara garangnya. Aku mencoba mengucap minum meski suaranya tak terlalu ketara. "Dia minta minum, Bang." Laki-laki lain tahu apa yang kuinginkan.