Share

DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN
DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN
Penulis: Pipit Aisyafa

Bab 1

Penulis: Pipit Aisyafa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Hey, Riris! Ngapain kamu ikut ambil makanan itu!" Suara melengking Ibu Mertua terdengar sampai kebelakang.

"Kan Abi juga boleh ngambil, Nek. Riris pikir, Riris juga boleh. Kan sama-sama cucu Nenek." Terdengar lagi jawaban dari Riris. Aku segera menuju kedepan. Bakal ada drama kalau dibiarkan.

"Haii... Riris! Berapa kali aku bilang, kalau kamu bukan cucuku. Kenapa sih ini anak nggak ngerti-ngerti."

"Tapi, Nek. Aku juga anak Ibu dan Ba... "

"Dengar baik-baik, Ris! Kamu itu bukan anak dari Azmi... Kamu itu hanya.... "

"Cukup, Bu!" kupotong ucapan Ibu Mertua, agar dia tak menyebutkan bahwa Riris anak haram. Jangan sampai Riris berkecil hati tentang ini.

Segera aku meraih Riris untuk pergi dari sana. Aku tak sanggup melihat Riris terus disakiti oleh orang-orang itu. Ibu Mertua dan juga kakak iparku--Mbak Ratih--dia selalu saja menganggap Riris hanya anak haram karena selama ini aku tak pernah mau menyebutkan siapa ayahnya.

Bahkan Mas Azmi saja yang dulu berjanji akan menyayangi Riris seperti anaknya sendiri sekarang sedikit berubah. Semua itu karena hasutan dari mereka berdua.

"Bu... " panggilnya ketika sudah ada dikamar. Anak polos yang berusia sembilan tahun itu menatapku sendu.

"Iya, Sayang. Jangan sedih ya!" kuusap rambut nya yang bergelombang. Menambah anggun wajahnya yang terlihat oval.

Dia mengangguk, kemudian langsung memeluku erat.

"Kenapa Nenek dan Bude selalu merasa tak suka dengan Riris, Bu. Apa salah Riris?" dia kembali berucap sambil tersedu. Aku sendiri tak mampu mengucapkan sepatah katapun. Hanya air mata yang mengalir deras mengambarkan bahwa aku juga begitu merasakan sakit walau sebenarnya aku bukan ibu kandungnya.

~~~

"Aisyah... Ini belanjaan, seperti biasa tempatkan pada tempatnya masing-masing!" Ibu Mertua meletakan satu plastik besar yang berisi sayur mayur dan lauk pauk.

"Iya, Bu."

"Hey... Riris! Bantu tuh ibumu, jangan cuma main saja kamu bisanya," cetus Ibu Mertua ketika melihat Riris yang sedang mengerjakan tugas daringnya.

Aku mulai mengeluarkan belanjaan itu satu persatu dari plastik. Memisahkan antara lauk dan sayur serta bumbu rempah-rempah.

"Bu... Riris bantuin ya?" tanyanya.

"Tak usah, Ris. Biar saja Ibu yang kerjakan. Kamu selesaikan saja tugas sekolahmu," ucapku sambil tersenyum padanya.

Kumasukan cabe pada tempat plastik, kututup lalu kumasukan semuanya pada kulkas. Saat hendak akan membuang sampah, mataku fokus pada sebuah koran yang memang tak terlalu lebar karena sudah disobek. Itu tadi bungkus cabai.

Kuraih dan kuamati gambar disana. Dimana seorang bayi.

Berita hilang, telah hilang bayi perempuan kami bernama Aura Latifah Antareja dengan ciri-ciri...

Aku tercengang, kulihat tanggal dimana koran itu dicetak. Benarkah...? Aku kembali menatap Riris yang tengah masih serius dengan buku-bukunya. Apa mungkin dia yang dicari... Tanggal yang tertera dikoran itu beda satu hari saat aku menemukan Riris.

"Ada apa, Aisyah! Kok bengong begitu!" ucapan Mas Azmi membuatku tersadar. Segera aku melipat koran itu dan memasukan kekantong. Biar aku cari tahu. Selama ini tak ada yang tahu bahwa Riris bukanlah anak kandungku. Termasuk Mas Azmi sekalipun.

mungkin sudah saatnya aku memberitahu pada Mas Azmi, tentang siapa sebenarnya Riris. Dulu, aku katakan padanya dan mengakui Riris sebagai anaknya agar dia mau menerimanya layaknya aku menerima Riris.

Kehidupanku dulu yang jauh dari kata layak, tak membuatku surut untuk mengasuh bayi mungil yang kutemukan pada samping tempat sambah yang hanya beralaskan selimut. Bayi itu bersih, aku tak tahu usianya berapa tapi aku yakin bayi itu belum genap satu minggu. Terlihat dari tali pusatnya yang belum kering.

Sejak aku membawa pulang bayi itu kemana aku tinggal, dibawah kolong jembatan bersama puluhan orang lainnya yang senasib sebagai petugas pembersih sampah disebuah kawasan perumahan elit. Mereka mengusirku karena mengira anak itu anakku, yang lahir hasil hubungan perselingkuhan dengan Om yang dulu merawatku sebelum aku memutuskan kabur dan menemukan pekerjaan itu.

"Mas...," ucapku lembut padanya sambil memijit punggung.

"Apa!" jawabnya jutek tanpa beranjak dari layar ponselnya.

"Ada yang mau aku bicarakan!"

"Tentang?"

"Riris, Mas."

"Riris lagi! Riris lagi! Kenapa dia? Minta apa lagi! Bosan aku mendengarnya!"

"Dengarkan aku dulu, Mas!"

"Cukup, Aisyah... Anakmu itu hanya membuat kepalaku pusing! Belum punya anak sendiri saja sudah serepot ini, rasanya muak aku!"

Aku beringsut mundur, kalau sudah seperti ink Mas Azmi pasti tak akan mau lagi membahasnya. Kasian Riris, kalau sampai dengar pasti hatinya terluka. Dirumah ini hanya aku yang menyayanginya setulus hati, yang lain hanya menganggapnya sampah dan beban.

Tadinya aku pikir jika Mas Azmi mau diajak berdiskusi. Aku ingin mengatakan tentang siapa Riris dan menunjukan koran yang kutemukan tadi pagi itu. Aku akan merasa berdosa jika tak mempertemukan Riris denga orang tua kandungnya, walau nantinya aku sendiri mungkin tak sanggup untuk jauh dari anak yang kurawat selama ini.

"Mungkin lebih baik besok aku coba cari sendiri," gumamku. Dengan modal alamat rumah yang tertera pada koran yang sudah sedikit lusuh.

"Riris...!!" teriak Mbak Ratih memecahkan gendang telinga. Ada apa si? Kenapa memanggil Riris harus sekencang itu.

Kulihat Riris segera bergegas menuju dimana Mbak Ratih berada, aku mengikutinya dari belakang.

"A-ada apa, Bude?" dengan hati-hati dia bertanya.

"Pijitin kaki Bude. Pegel nih!" suruhnya.

"Biar aku saja, Mbak?" tawarku.

"Nggak, biar Riris saja! Kamu itu terlalu memanjakan anak itu, makanya jadi malas. Lebih baik kamu bikinin aku mie rebus saja sana! Jangan lupa pake telor kasih cabe rawit tiga, ingat yah! Tiga! Jangan lebih jangan kurang, sayurnya yang banyak!"

"Iya, Mbak." aku menghela nafas berat, rasanya tak tega melihat Riris harus memijit kaki gajah milik mbak Ratih. Ups! Aku menutup mulut, memang benar kakinya besar seperti kaki gajah.

Dua puluh menit kemudian aku kembali ke kamar, membawakan apa yang telah dipesan Mbak Ratih, kulirik Riris masih memijit. Ada raut lelah padanya bahkan sudah berkeringat di keningnya.

"Sini, Ris! Jangan di situ mulu, kamu malas banget jadi anak." Mbak Ratih masih saja kurang terima.

"Biar aku saja, Mbak. Aku kan sudah selesai. Riris sepertinya sudah capek!" kali ini Mbak Ratih tak menolak, kusuruh saja Riris segera keluar.

"Besok ikut Ibu ya!" kuusap ujung rambut Riris yang tengah mengambar.

"Kemana, Bu?" Dia seketika menghentikan aktifitasnya.

"Ikut saja! Ibu mau membawa kamu bertemu seseorang." Dia mengangguk dan kemudian tersenyum kecil, kembali melanjutkan mengambarnya. Dia memang seolah memiliki bakat melukis, setiap gambarnya selalu tampak bagus dan nyata. Semoga bakatmu itu dapat tersalurkan dengan baik. Besok aku akan pertemukan kamu dengan orang tuamu, percayalah bahwa orang tuamu akan lebih menyayangimu dari pada keluarga disini.

Bab terkait

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 2

    Sesuai janjiku kemarin pada Riris yang akan membawanya bertemu dengan seseorang. Sengaja hari ini aku meriasnya. Memakai baju yang kuanggap paling layak, mengikat rambutnya yang sedikit bergelombang. "Cantik!" gumamku melihat dia dari pantulan kaca. Memang Riris begitu berbeda, memiliki mata coklat dan kulit putih layaknya blasteran. Itulah yang kadang membuat orang Kepo, tentang siapa ayah dari Riris. Sedangkan aku sendiri berambut lurus dan kulit kuning langsat. "Kita mau kemana, Bu?" tanyanya masih polos seperti biasa. "Sekedar jalan-jalan, Nak. Kamu siap kan?" dia menganguk dan tersenyum. Aku beralasan pada Mas Azmi pergi kerumah teman lama yang sudah tak pernah berjumpa. Tentunya dengan berbohong bahwa dia akan memberiku pinjaman uang. Kalau masalah uang, Mas Azmi tak akan melarangku. Keluarga ini benar-benar aneh, suka sekali kalau berurusan dengan hutang piutang walau akhirnya harus ribut dengan masalah pembayarannya yang tak kunjung menentu. Aneh! Tapi, aku mencoba saja unt

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 3

    Aku langsung berlari menyusul Riris yang masih meminta ampun karena Mas Azmi belum saja melepaskan tangannya dari telinga Riris. "Cukup, Mas!" kutampik tangan Mas Azmi agar segera melepaskan tangannya. Seketika Riris memelukku dengan tangis dan tangan memegangi telinga. Bahkan kulihat sudah sangat merah telinga Riris. "Jaga dan didik anak itu baik-baik! Makanya jangan dimanja jadi ngelunjak saja!" geram Mas Azmi. Memang apa yang telah dilakukan Riris. Aku segera membawa Riris masuk, kulewati Ibu Mertua dan Mbak Ratih yang terlihat memiringkan bibirnya. Mungkin tengah mengejek pada Riris. Berbeda dengan Bu Ijah yang terlihat iba. "Riris bantu ibu saja ya!" ucapku sambil mengelus kepalanya ketika dia sudah mulai agak tenang. Dia menganguk pelan. Kupapah dia menuju meja, dimana tepung dan semua keperluan kueh sedang kusediakan. "Nanti Riris bantu ngadon donat ya, Bu?" aku menganguk setuju. Dia kembali ceria dengan senyum mengembang. Sedikit kuselingi dengan candaan. Menempelkan te

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 4

    "Biar Ibu saja, Ris!" pintaku pada Riris yang kulihat tengah menggosok baju Mas Azmi. Sedangkan Ibu Mertua masih berkacak pinggang didepannya. Kalau mencuci dimesin cuci, aku masih memaklumi dan membiarkan Riris melakukannya tapi ini...? Dengan bersusah payah dia menuruti intruksi yang dia kira adalah neneknya. Orang yang harus di hormati! Itu yang aku ajarkan pada Riris sejak dulu. Untuk menghormati orang yang lebih tua. "Kamu kenapa si, selalu saja memanjakan anak itu! Bikin ngelunjak dia. Mau kamu nanti hidupnya susah dan dia ngandalin kamu untuk melakukan semuanya! Mau kamu? Hah!"Aku menghembuskan nafas kasar! Emosiku sudah meluap sampai ubun-ubun. "Sekarang Aisyah tanya sama Ibu? Apa dulu ibu memperlakukan anak-anak Ibu seperti aku! Hingga sekarang Mbak Ratih lebih ngandelin orang lain dan lebih suka rebahan? Itu pengalaman ibu?" kali ini mulut Ibu mertua bungkam, tak dapat menjawab pertanyaanku. Memang Mbak Ratih sejak dulu, sejak aku menikah tak pernah melihat dia mengerja

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 5

    "Riris!" aku memanggil mengejarnya. Dia terus saja berlari. Aku tak mau menyerah. Dengan lari lebih cepat aku dapat segera menyusulnya. "Riris! Maafkan Ibu?" dia bergeming dengan sekali terisak. Aku yakin dia sakit hati mendengar obrolan kami. Anak mana yang mau berpisah dengan ibunya. Kucoba merengkuh tubuhnya, dia berusaha memberontak tapi kuterus memaksa untuk memeluknya. Tangisnya pecah. "I-Ibu jahat! Ibu mau memberikan aku pada orang lain! Riris kira cuma Ibu yang benar-benar tulus dengan Riris. Setahuku kasih ibu tak akan pernah surut tapi... Kenapa Ibu Riris tega! Apa karena Riris anak haram?!" pekik Riris langsung membuat air mataku jatuh. "Ka-kata siapa, Ris! Kata siapa kamu anak haram! Didunia ini tak ada anak haram, setiap yang terlahir itu suci!" aku mencoba menenangkannya. Hati ini tercabik mendengar penuturan tentang anak haram. Aku yakin dia dengar dari para tetangga yang suka mengunjing ataupun... Keluarga Mas Azmi! "Kalau gitu sekarang Ibu jawab?! Siapa ayah Rir

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 6

    "Riris!" aku memanggil mengejarnya. Dia terus saja berlari. Aku tak mau menyerah. Dengan lari lebih cepat aku dapat segera menyusulnya. "Riris! Maafkan Ibu?" dia bergeming dengan sekali terisak. Aku yakin dia sakit hati mendengar obrolan kami. Anak mana yang mau berpisah dengan ibunya. Kucoba merengkuh tubuhnya, dia berusaha memberontak tapi kuterus memaksa untuk memeluknya. Tangisnya pecah. "I-Ibu jahat! Ibu mau memberikan aku pada orang lain! Riris kira cuma Ibu yang benar-benar tulus dengan Riris. Setahuku kasih ibu tak akan pernah surut tapi... Kenapa Ibu Riris tega! Apa karena Riris anak haram?!" pekik Riris langsung membuat air mataku jatuh. "Ka-kata siapa, Ris! Kata siapa kamu anak haram! Didunia ini tak ada anak haram, setiap yang terlahir itu suci!" aku mencoba menenangkannya. Hati ini tercabik mendengar penuturan tentang anak haram. Aku yakin dia dengar dari para tetangga yang suka mengunjing ataupun... Keluarga Mas Azmi! "Kalau gitu sekarang Ibu jawab?! Siapa ayah Rir

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 7

    Aku segera berlari menuju kekamar Riris, pintu di tutup tapi langsung saja kudorong. Mas Sodikin terperanjat. Riris berada dipojokan kamar sedangkan Mas Sodikin ditepi ranjang dengan telanjang dada. "Mas! Apa yang kamu lakukan pada Riris!" tanyaku dengan mata nyalang menatap padanya benci. Dengan santai tanpa dosa Mas Sodikin justru tersenyum kecil. "Oh... Hanya mau minta kerokan aja, Sah! Tapi kayanya Riris ngga bisa. Bagaimana kalau kamu saja? Badanku meriang!" dia mendekat kearahku. Aku makin mundur. Riris yang ketakutan berlari menuju kearahku. "Ibu Riris takut!" pekiknya memeluk pinggangku."Takut kenapa, Ris!" Mas Sodikin seolah ingin membela diri. "Takut, Bu! Riris takut sama Pakde. Dia... Dia.... " Riris sepertinya sangat takut untuk menyebutkan sesuatu. "Takut apa, Ris? Katakan ada Ibu disini!""Pakde... Pakde... Memaksa menciumi Riris, Bu. Ririskan geli!" dengan gemetar Riris mengatakannya. "Kamu, Mas!" hardikku menatap tajam pada laki-laki yang tengah masih berdiri g

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 8

    "Maksud kamu apa?" Mas Azmi bertanya keheranan. Berbeda dengan Mbak Ratih, Mas Sodikin dan Ibu Mertua. Mereka justru mencibir. "Alah... Palingan itu alasan saja! Biar kita tak terus mendesak siapa ayah dari Riris. Yang pastinya dia bingung siapa ayahnya karena mungkin dia tak cukup dengan satu orang!" kali ini Mas Sodikin berkata menghakimi. "Tidak, Mas. Lihatlah, Riris begitu berbeda denganku. Dia sangat jauh denganku tak ada kemiripan sama sekali. Itu karena... ""Cukup, Sah! Bisa saja ketidak miripannya karena ayahnya. Ya... Mungkin kamu bermain dengan orang luar negri! Miris sekali ternyata istriku dulu. Pasti dia sering jadi pelampiasan orang luar yang kere!" kali ini Mas Azmi seolah telah termakan hasutan mereka. Aku mengeleng cepat, "Percayalah, Mas. Riris itu!""Cukup! Tak perlu kamu bahas lagi tentang anak itu. Disini yang kita bahas akan kelakuanmu yang mengoda kakak iparnya sendiri!" kali ini Mbak Ratih menjeda. Aku tertunduk, entah kenapa seolah aku disini terdakwa. Mir

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 9

    PoV AzmiBeberapa bulan kemudian."Azmi, kamu tak lihat anak tirimu kemarin masuk TV?" tanya Jojo teman sesama satpam. Aku mengkerutkan kening, siapa yang dimaksud jojo? Riris? Sudah beberapa bulan ini sejak pengusiran Aisyah dan Riris aku menutup mata. Tak ada niat sedikitpun untuk mencari tahu keberadaannya. "Anak tiri? Siapa yang kamu maksud?" tanyaku menyempitkan mata. "Ituloh anaknya Aisyah, yang mirip blasteran itu! Ternyata dia memang benar kalau orang tuanya itu blasteran belanda dan... ""Tunggu... Tunggu... Aku masih ngga mudeng dengan apa yang kamu katakan?" cegatku mendengar penuturan Jojo. Apa maksudnya blasteran? Jelas-jelas Aisyah kan asli orang indonesia. Bahkan wajahnya saja seperti orang kampung. Apa mungkin ayahnya? "Makanya dengerin aku selesai ngomong! Emang Aisyah tak pernah cerita kalau sebenarnya Riris itu bukan anaknya?" kali ini Jojo justru menatapku tajam, "Jadi sebenarnya itu si Riris anak yang hilang beberapa tahun lalu akibat tragedi pembunuhan!"Seke

Bab terbaru

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 30

    Aku terpaku pada sosok yang tergeletak di atas tempat tidur umum rumah sakit. Dada ini bergemuruh, antara benci marah dan trauma juga jijik. Jijik jika ingat tubuh ini selalu ia gauli dengan bengis."Kamu!" kali ini tanganku yang tengah memegang gunting mengeras. Siap mengangkat benda tajam itu dan menghujam ke hati. Orang tak punya hati nurani lebih baik kuambil hatinya. Percuma punya hati namun tak berfungsi."Aisyah! Aaaa ... " tiba-tiba manusia biadab itu bangun dan kaget. Hingga ia berteriak.Saat gunting sudah sampai pada ujung tertinggi aku ayunkan, tiba-tiba tanganku diraih paksa."Lepaskan!" rintihku."Keluar dari jasad Aisyah, Bel!" kali ini Mas Yusuf berkata sambil memlintir tanganku."Lepaskan! Aku sangat tak suka dengan manusia jenis sepertinya!"Kulihat manusia biadab itu sudah kembali memejamkan mata. Apa dia pingsan ketika melihatku ingin membunuhnya."Keluar atau aku keluarkan!" Mas Yusuf kembali dengan tegas berkata."Innalilahi wainnailahi roji'un ... " seorang dokt

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 29

    Sepanjang jalan pikiranku kalut, apa yang terjadi pada Mas Yusuf, kenapa dia sampai dirumah sakit? Berbagai pertanyaan bergelut dalam otakku. Kakek juga terlihat panik.Sampai dilobi rumah sakit aku segera berjalan ke IGD sesuai apa yang disampaikan oleh Mas Yusuf. Langkahku sedikit tergesa karena jujur aku sangat panik. Mungkin akan kembali tenang setelah melihat keadaanya.Didepan IGD tepat saat dokter keluar, aku langsung menghampirinya."Bagaimana keadaan Mas Yusuf, Dok?" tanyaku langsung. Dokter tak menjawab hanya terlihat sedikit bingung. Kemudian tak lama ada seorang memanggilku."Aisyah, Kakek!" aku langsung membalikan badan dan menghadap kearah sumber suara."Mas Yusuf!" Mas Yusuf menghampiri kami dengan sedikit memegangi perut, wajahnya nampak beberapa luka lebam jalanpun tertatih. Aku heran jika Mas Yusuf disini terus siapa didalam?"Kamu ngga papa, Mas?" tanyaku yang langsung menubruknya karena dia berjalan sedikit oleng. "Bagaimana kondisinya, Dok?" kali ini Mas Yusuf be

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 28

    Kuusap kedua netra mataku yang basah, berucap istighfar agar diberi ketenangan hati."Astagfirullah!" Kembali kutatap Mas Yusuf. Dia masih pada posisinya. Aku bingung harus bagaimana."Mas!" Kucoba memegang pundaknya. Tanpa respon."Mas!" Kali ini nada suaraku sedikit kutinggikan."Eh iya, Syah," ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Tangannya sibuk mengusap matanya. Dia menangiskah?"Mas kenapa? Apa kecewa dengan masa laluku?" tanyaku hati-hati.Tanpa menjawab dia justru tersenyum,"jangan berfikir begitu, setiap manusia memiliki masa lalu. Justru Mas sangat sedih dan terpukul dengan nasib yang menimpamu, Syah. Sekarang yang terpenting jangan sampai masa lalu itu terulang ataupun justru kembali mengusik kehidupanmu yang sekarang. Kamu sembuh dari traumatis cukup lama jadi Mas tak ingin kamu kembali pada keadaan dulu!" Mas Yusuf mengusap lembut kepalaku.Aku tersenyum, dalam hati bersyukur bisa bersama orang yang nyatanya mengerti tentang perasaan dan kondisiku. Semoga dia memang benar jodo

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 27

    Aku terbangun pagi ini, rasanya kenapa aku merasa sangat lelah sekali, bahkan aku tak ingat kapan memejamkan mata. Bergegas mandi dengan mengguyur seluruh badanku. Saat tengah menyampo rambut aku teringat bahwa semalam aku pergi bersama Mas Yusuf kejadian demi kejadian aku ingat sampai aku juga teringat ketika ada telfon yang ternyata dari Om Aceng. Dia mengingatkan pada kejadian tempo dulu yang membuat aku traumatis berat. Kini tubuhku seketika menggigil namun aku segera mengucap istighfar, agar di beri ketenangan hati. Alhamdulillah...akhirnya aku dapat mengontrol perasaanku. Namun, apa yang terjadi semalam? Apa aku?Pasti semalam Mas Yusuf dan kakek begitu mencemaskanku. Harus kujawab apa kalau mereka bertanya tentang apa penyebab aku hilang kendali dan ketakutan luar biasa.Segera aku menguyur tubuhku dan langsung bergegas untuk keluar kamar mandi. Aura masuk dan langsung tersenyum kearahku."Ibu, nanti aku mau ke Mall sama Kakek, Ibu mau ikut?" tanyanya."Nggak, Aura. Kamu pergi

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 26

    PoV YusufAku melihat Aisyah pucat pasi. Kukira dia akan senang dan kita bisa melihat kota dari atas sana. Nyatanya salah, ternyata Aisyah phobia ketinggian. Hampir saja aku membuatnya pingsan. Aku jadi merasa sangat bersalah. Kutenangkan dia, kuberi minum agar jantungnya kembali memompa dengan normal. duh! kok aku jadi seceroboh itu.Hp Aisyah berdering ketika kita akan melangkah untuk sekedar jalan-jalan saja. Aku kapok mengajak Aisyah menaiki wahana. Lebih baik sekarang aku bertanya dulu, jangan gegabah. 'Ah! Ada yang jual bunga. Lebih baik aku membelinya. Sedikit romantis kan ngga papa.'Kubergegas membeli satu tangkai bunga mawar merah. setelah membayar aku bergegas menuju Aisyah yang masih menelfon. Kusodorkan bunga padanya. Betapa aku kaget melihat raut wajah Aisyah yang lebih pucat dari yang tadi. Kenapa dia? Phobia bunga juga?"Kamu kenapa, Syah?" tanyaku yang langsung membuang bunga itu.Bibirnya bergetar hebat, raut ketakutan terpampang jelas pada wajahnya. Dia...dia kenap

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 25

    Aku yang akan sempat lari menuju kamar Kakek berubah haluan kembali ke depan."Tolong panggil kan dokter!" Perintahku pada salah satu penjaga keamanan.Aku melihat kedepan, disana suasana sudah terasa tak kondusif. Bahkan para tamu sedikit terlihat panik."Ada apa dengan Riris?" tanyaku."Ini, Non. Tadi tamu yang pulang lebih awal karena di usir Non. Memaksa Riris ikut dengannya kemudian kami merebutnya hingga akhirnya terjadi baku hantam."Aku yakin yang dimaksud pasti Mas Azmi. Apa maunya dia? Apa dia ingin menculik Riris?"Terus kenapa Riris berteriak?""Tadi saat terjadi tarik menarik dia terjatuh, Non."Aku segera menuju dimana Riris tengah diobati."Habis ini bawa Aura masuk! Kemudian perketat penjagaan. Aku mau lihat kondisi kakek dulu."Sungguh, semua kenapa jadi kacau seperti ini. Kakek pingsan dan tak tau sebabnya sekarang Mas Azmi pun tak menyerah. Andai boleh memilih, lebih baik hidup sederhana namun aman, dari pada seperti ini. Hidup serba ada tapi rasanya banyak sekali m

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 24

    "Bagaimana, boleh kan, Sah?" sepertinya Mbak Ratih tak mau menyerah, Mas Azmi menyenggol lengan kakanya itu, mungkin dia malu dengan perilakunya. "Boleh, Mbak. Silahkan saja, lagian persediaan dibelakang banyak kok." kubuat setenang mungkin. Sedikit heran dengan orang-orang seperti mereka. Aku melangkah meninggalkan mereka. "Eh... Aisyah, tunggu!" seketika aku berbalik. "Apa lagi, Mbak?" tanyaku. "Eee... Minta plastiknya dong." aku menepok jidatku. Aduh...!"Minta saja kebelakang, Mbak. Mintalah pada bagian catering." aku langsung ambil langkah seribu, takut kalau Mbak Ratih bertanya lagi. Bisa-bisa aku stres kalau menghadapi satu orang tak tahu malu macam dia. "Bagaimana, Mbak. Kita lanjutkan riasannya ya?" MUA berkata. Aku hanya mengangguk dan duduk saja. Berdiam diri sambil memikirkan kenapa mereka sampai tiba di sini dan yang lebih heran Mas Azmi meminta rujuk. Hampir satu jam aku di rias. Pakaian kebaya panjang yang sebelumnya tak pernah kubayangkan memakainya kini melekat

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 23

    "Kamu? Maksudnya apa?" aku merasa menjadi orang yang bodoh karena tak maksud. Aku tak ingin GR dulu. Seketika Yusuf memegang tanganku, ada getar didada tentang apa yang baru saja dilakukan oleh Yusuf. Akankah aku sudah jatuh cinta? "Aku ingin kamu dan aku.... " Yusuf menghentikan ucapannya. Sangat terlihat ada rasa gugup di sana. Bahkan kulihat wajahnya sedikit berkeringat. Aku masih bergeming, menatap netranya. Mencari jawaban atas apa yang akan selanjutnya ia katakan. 'Ayo... Lanjutkan kata-katamu.' batinku berteriak tak sabar mendengar ia berkata. "Aku ingin aku dan kamu menjadi.... " lagi, dia mengantung ucapannya. Hufh... Aku menghembuskan nafas lembut, sepertinya dia itu sulit sekali berucap, apakah ini pengalaman pertamanya bersama perempuan. Benarkah dia tak pernah dekat atau memiliki pacar, hingga merangkai kata yang sederhana diucapkan saja seolah kesusahan. "Maaf, aku terlalu gugup. Sungguh ini pengalaman pertamaku bersama seorang wanita yang spesial bagiku." dia men

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 22

    PoV Azmi. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam, terlihat Ibu dan Mbak Ratih terus saja mengoceh. Dia sudah tak sabar ingin segera sampai. Dari makanan enak sampai pakaian bagus bahkan sampai berkhayal tentang tidur dalam tumpukan uang menjadi bahan obrolan menemani kami dalam perjalanan. 'Sungguh aku sangat nervous, apa kata yang pertama kali kuucapkan pada Aisyah.' sekilas senyum manis Aisyah mengembang dalam anganku. 'Rindu! Lama aku merindukanmu, Sah.' tentunya kata itu hanya bisa berteriak dalam hati. Tak ingin Ibu dan Mbak Ratih tahu kalau sebenarnya aku telah lama menginginkan Aisyah kembali dalam hidupku. "Masih lama, Az?" tanya Ibu membuyarkan senyum Aisyah yang menari diangan-angan. "Enggak kok, Bu. Kalau nggak salah jalan tinggal sekitar 10 menit lagi.""Coba pake maps saja, Az!" perintah Mbak Ratih. Benar juga kenapa tak terfikirkan dari tadi. Aku terlalu gugup untuk bertemu dengan Aisyah. "Ini sepertinya, Az. Lihat ada dekorasi juga.""Sepertinya iya, Mbak.

DMCA.com Protection Status