Share

Bab 4

Penulis: Pipit Aisyafa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Biar Ibu saja, Ris!" pintaku pada Riris yang kulihat tengah menggosok baju Mas Azmi. Sedangkan Ibu Mertua masih berkacak pinggang didepannya.

Kalau mencuci dimesin cuci, aku masih memaklumi dan membiarkan Riris melakukannya tapi ini...?

Dengan bersusah payah dia menuruti intruksi yang dia kira adalah neneknya. Orang yang harus di hormati! Itu yang aku ajarkan pada Riris sejak dulu. Untuk menghormati orang yang lebih tua.

"Kamu kenapa si, selalu saja memanjakan anak itu! Bikin ngelunjak dia. Mau kamu nanti hidupnya susah dan dia ngandalin kamu untuk melakukan semuanya! Mau kamu? Hah!"

Aku menghembuskan nafas kasar! Emosiku sudah meluap sampai ubun-ubun.

"Sekarang Aisyah tanya sama Ibu? Apa dulu ibu memperlakukan anak-anak Ibu seperti aku! Hingga sekarang Mbak Ratih lebih ngandelin orang lain dan lebih suka rebahan? Itu pengalaman ibu?" kali ini mulut Ibu mertua bungkam, tak dapat menjawab pertanyaanku. Memang Mbak Ratih sejak dulu, sejak aku menikah tak pernah melihat dia mengerjakan pekerjaan rumah. Dia lebih suka rebahan, apalagi dengan badannya yang seperti gajah bengkak. Mungkin membuatnya enggan untuk melakukan hal-hal berat.

"Ada apa si? Pagi-pagi ribut mulu!" pekik Mas Azmi yang baru bangun tidur.

Aku segera mengantikan Riris mencuci baju, Ibu hanya mencibirkan bibir sambil berlalu meninggalkan kamar mandi.

"Pasti gara-gara dia!" tiba-tiba Mas Azmi menonyol kepala Riris.

"Mas!" pekikku kaget.

Mas Azmi tak mengindahkan ucapanku, dia justru pergi meninggalkan kami tanpa rasa berdosa.

'Sabar ya, Nak!' aku bergumam dalam hati sambil mengelus rambutnya. Kulihat dia tersenyum, seolah senyumnya justru menguatkanku.

"Riris bantu ibu buat bilas saja ya! Biar ibu yang ngucek." dia mengangguk cepat dan segera melakukannya tanpa protes sedikitpun.

Beruntung sekali aku memilikinya, dia adalah anugerah terindah yang telah tuhan kirim untukku. Aku siap jika suatu saat orang tuanya mengambil dariku. Aku ikhlas telah merawat dan mendidiknya dan sadar tak selamanya ia milikku.

"Nah! Selesai juga. Sudah dijemur semua cucian, sekarang tinggal mandi dan habis itu kita makan bersama. Ibu punya jajanan dari mamanya Amanda. Kamu mau?"

Dia mengangguk cepat dan langsung bergegas lari kekamar mandi, mungkin perutnya sudah keroncongan minta diisi.

~~~~

"Aisyah... Aku mau bicara!" Mas Azmi yang baru pulang tanpa mengucap salam langsung saja berkata demikian. Ada apa ini? Aku yakin ada hal yang penting yang akan dibicarakan oleh Mas Azmi.

"Iya, Mas. Ada apa?" tanyaku yang langsung mengekor dibelakang Mas Azmi.

Mas Azmi duduk pinggir ranjang. Aku duduk berjarak 30 cm darinya. Dia duduk dengan gelisah, seolah hal yang akan dia sampaikan itu sesuatu yang sangat mengganggu fikirannya.

"Aisyah... Tadi aku di jalan ketemu dengan Pak Husen dan Bu Shinta." aku mengkerutkan kening mencoba mengingat-ingat nama itu.

"Itu loh, yang rumahnya dipojok gang, rumah berlantai dua dengan warna biru."

"Ohh... Iya, Mas. Yang orang berada itu, yang suka ikut arisan sosialita di perumahan Mas Bekerja. Terus ada apa, Mas?" tanyaku penasaran.

"Gini, Sah. Dia itukan tidak punya anak dan dia kemarin lihat Riris saat sedang bersepeda dengan Amanda." hatiku mulai gelisah, pasti ada hal yang tak beres.

"Dia... Dia... Dia mau mengadopsi Riris, dia bilang kalau kamu mau, mereka mau memberi kita satu rumah dan mobil! Kamu setuju kan?!"

Benar dugaanku, pasti seperti itu. Bukan sekali dua kali Mas Azmi mengungkapkan bahwa Riris ada yang ingin mengadopsi. Sudah lelah aku menolak.

"Nggak, Mas! Pokoknya aku nggak akan serahkan Riris sama siapapun. Dia anakku anak yang kurawat sejak bayi dan aku masih sanggup untuk memenuhi kebutuhannya!"

Mas Azmi langsung berdiri, sorot matanya tajam padaku. Aku sudah yakin dia akan naik pitam.

"Ini semua demi kebaikan Riris sendiri, Sah! Coba pikirkan! Kalau dia dirawat mereka. Riris akan hidup nyaman dan tentunya akan disekolahkan sampai sarjana. Beda kalau hidup dengan kita! Aku nyerah untuk menyekolahkannya bahkan hanya untuk kesekolah menengah!" ternyata Mas Azmi masih berkata dengan nada sedikit lembut. Aku yakin dia menahan gejolak didada.

Aku diam tak tahu harus menjawab apa. Mungkin ada benarnya jika Riris hidup dengan mereka. Namun apa aku siap kehilangannya? Sepertinya aku lebih rela kalau Riris diambil orang tuanya.

"Betul apa ucapan Azmi, Sah! Kalau kamu mau menyerahkan Riris pada Pak Husen kita jadi bisa punya rumah bagus dan mobil! Ah... Ibu pasti sangat beruntung dan setidaknya sekarang Ibu tahu kalau anak itu tak membawa sial!" seongok ucapan Ibu itu bagiku sebuah pisau mengores hati. Dia setuju karena iming-iming rumah dan mobil yang mereka janjikan tanpa memikirkan perasaan orang lain!

"Tapi... Itu artinya aku menjual anakku!" kali ini mataku sudah berkaca-kaca.

"Siapa bilang! Kan mereka yang meminta. Ayolah, Sah! Disini dia juga pemalas. Aku muak lihatnya." Ibu Mertua masih berusaha membujukku.

"Ngapain kamu disini! Nguping ya?" tiba-tiba Mbak Ratih dari pintu berkata. Aku yakin pasti dia berkata pada Riris, seraut wajah gadis kecil itu menampakan pada pintu. Matanya berkaca-kaca. Mungkinkah dia mendengar semua yang sedang kami bicarakan dan sakit hati dengan ucapan mereka.

"Riris?" seketika aku akan mendekat dia justru berjalan mundur dan kemudian berlari kencang keluar. Pasti dia marah padaku! Ya Allahhh... Maafkan hambamu ini.

===!!!===

Bab terkait

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 5

    "Riris!" aku memanggil mengejarnya. Dia terus saja berlari. Aku tak mau menyerah. Dengan lari lebih cepat aku dapat segera menyusulnya. "Riris! Maafkan Ibu?" dia bergeming dengan sekali terisak. Aku yakin dia sakit hati mendengar obrolan kami. Anak mana yang mau berpisah dengan ibunya. Kucoba merengkuh tubuhnya, dia berusaha memberontak tapi kuterus memaksa untuk memeluknya. Tangisnya pecah. "I-Ibu jahat! Ibu mau memberikan aku pada orang lain! Riris kira cuma Ibu yang benar-benar tulus dengan Riris. Setahuku kasih ibu tak akan pernah surut tapi... Kenapa Ibu Riris tega! Apa karena Riris anak haram?!" pekik Riris langsung membuat air mataku jatuh. "Ka-kata siapa, Ris! Kata siapa kamu anak haram! Didunia ini tak ada anak haram, setiap yang terlahir itu suci!" aku mencoba menenangkannya. Hati ini tercabik mendengar penuturan tentang anak haram. Aku yakin dia dengar dari para tetangga yang suka mengunjing ataupun... Keluarga Mas Azmi! "Kalau gitu sekarang Ibu jawab?! Siapa ayah Rir

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 6

    "Riris!" aku memanggil mengejarnya. Dia terus saja berlari. Aku tak mau menyerah. Dengan lari lebih cepat aku dapat segera menyusulnya. "Riris! Maafkan Ibu?" dia bergeming dengan sekali terisak. Aku yakin dia sakit hati mendengar obrolan kami. Anak mana yang mau berpisah dengan ibunya. Kucoba merengkuh tubuhnya, dia berusaha memberontak tapi kuterus memaksa untuk memeluknya. Tangisnya pecah. "I-Ibu jahat! Ibu mau memberikan aku pada orang lain! Riris kira cuma Ibu yang benar-benar tulus dengan Riris. Setahuku kasih ibu tak akan pernah surut tapi... Kenapa Ibu Riris tega! Apa karena Riris anak haram?!" pekik Riris langsung membuat air mataku jatuh. "Ka-kata siapa, Ris! Kata siapa kamu anak haram! Didunia ini tak ada anak haram, setiap yang terlahir itu suci!" aku mencoba menenangkannya. Hati ini tercabik mendengar penuturan tentang anak haram. Aku yakin dia dengar dari para tetangga yang suka mengunjing ataupun... Keluarga Mas Azmi! "Kalau gitu sekarang Ibu jawab?! Siapa ayah Rir

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 7

    Aku segera berlari menuju kekamar Riris, pintu di tutup tapi langsung saja kudorong. Mas Sodikin terperanjat. Riris berada dipojokan kamar sedangkan Mas Sodikin ditepi ranjang dengan telanjang dada. "Mas! Apa yang kamu lakukan pada Riris!" tanyaku dengan mata nyalang menatap padanya benci. Dengan santai tanpa dosa Mas Sodikin justru tersenyum kecil. "Oh... Hanya mau minta kerokan aja, Sah! Tapi kayanya Riris ngga bisa. Bagaimana kalau kamu saja? Badanku meriang!" dia mendekat kearahku. Aku makin mundur. Riris yang ketakutan berlari menuju kearahku. "Ibu Riris takut!" pekiknya memeluk pinggangku."Takut kenapa, Ris!" Mas Sodikin seolah ingin membela diri. "Takut, Bu! Riris takut sama Pakde. Dia... Dia.... " Riris sepertinya sangat takut untuk menyebutkan sesuatu. "Takut apa, Ris? Katakan ada Ibu disini!""Pakde... Pakde... Memaksa menciumi Riris, Bu. Ririskan geli!" dengan gemetar Riris mengatakannya. "Kamu, Mas!" hardikku menatap tajam pada laki-laki yang tengah masih berdiri g

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 8

    "Maksud kamu apa?" Mas Azmi bertanya keheranan. Berbeda dengan Mbak Ratih, Mas Sodikin dan Ibu Mertua. Mereka justru mencibir. "Alah... Palingan itu alasan saja! Biar kita tak terus mendesak siapa ayah dari Riris. Yang pastinya dia bingung siapa ayahnya karena mungkin dia tak cukup dengan satu orang!" kali ini Mas Sodikin berkata menghakimi. "Tidak, Mas. Lihatlah, Riris begitu berbeda denganku. Dia sangat jauh denganku tak ada kemiripan sama sekali. Itu karena... ""Cukup, Sah! Bisa saja ketidak miripannya karena ayahnya. Ya... Mungkin kamu bermain dengan orang luar negri! Miris sekali ternyata istriku dulu. Pasti dia sering jadi pelampiasan orang luar yang kere!" kali ini Mas Azmi seolah telah termakan hasutan mereka. Aku mengeleng cepat, "Percayalah, Mas. Riris itu!""Cukup! Tak perlu kamu bahas lagi tentang anak itu. Disini yang kita bahas akan kelakuanmu yang mengoda kakak iparnya sendiri!" kali ini Mbak Ratih menjeda. Aku tertunduk, entah kenapa seolah aku disini terdakwa. Mir

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 9

    PoV AzmiBeberapa bulan kemudian."Azmi, kamu tak lihat anak tirimu kemarin masuk TV?" tanya Jojo teman sesama satpam. Aku mengkerutkan kening, siapa yang dimaksud jojo? Riris? Sudah beberapa bulan ini sejak pengusiran Aisyah dan Riris aku menutup mata. Tak ada niat sedikitpun untuk mencari tahu keberadaannya. "Anak tiri? Siapa yang kamu maksud?" tanyaku menyempitkan mata. "Ituloh anaknya Aisyah, yang mirip blasteran itu! Ternyata dia memang benar kalau orang tuanya itu blasteran belanda dan... ""Tunggu... Tunggu... Aku masih ngga mudeng dengan apa yang kamu katakan?" cegatku mendengar penuturan Jojo. Apa maksudnya blasteran? Jelas-jelas Aisyah kan asli orang indonesia. Bahkan wajahnya saja seperti orang kampung. Apa mungkin ayahnya? "Makanya dengerin aku selesai ngomong! Emang Aisyah tak pernah cerita kalau sebenarnya Riris itu bukan anaknya?" kali ini Jojo justru menatapku tajam, "Jadi sebenarnya itu si Riris anak yang hilang beberapa tahun lalu akibat tragedi pembunuhan!"Seke

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 10

    "Ya Allah, bangun, Nak!" kutepuk-tepuk pipi Riris. Badan Riris dingin sekali, aku celingukan, mencoba cari solusi untuk melihat sekitar.'Ada mini market yang masih buka!' Gumamku. Aku segera beranjak dan pergi kesana, kutinggalkan Riris untuk sementara waktu. Membeli minyak angin agar badan Riris hangat dan sadarkan diri. "Ibu.... " panggil Riris pelan. Alhamdulillah, akhirnya dia sadar juga. Segera kupeluk ia dan membawanya pergi ketempat yang lebih hangat. Beruntung hujan sudah reda. Setengah bulan berlalu, aku dan Riris memilih hidup dibawah kolong jembatan. Uang yang kupegang sangat minim, hingga lebih baik aku gunakan untuk makan dari pada mengontrak. Tadinya aku ingin cari pekerjaan walau sebagai buruh cuci. Namun aku tak tega meninggalkan Riris dalam waktu lama. Akhirnya aku menyambung hidup dengan mulung sedangkan Riris. Aku tak pernah menduga bahwa diusainya yang menginjal 9 tahun dia sudah sangat pandai. Bahkan melukis wajah orang sekalipun. Pagi hari yang cerah, aku li

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 11

    "Ah! Mungkin pengrasaku saja." kutatap sekeliling rumah, bangunan yang masih bernuansa kuno melekat pada rumah ini. Kakek Antareja mengambil kacamatanya yang tergeletak tak jauh dari sana. Melihat dengan segsama secarik kertas yang kuberikan. "Benar, ini berita yang kupasang 9 tahun yang lalu. Kenapa kamu masih menyimpan?" tanya Kakek Antareja dengan mata tuanya menatap. "Sebenarnya saat saya datang kesini setengah bulan lalu, berniat untuk mencari kebenaran tentang itu dan menyampaikannya."Kali ini mata Kakek terlihat menyempit, "Apa maksud kamu, Nduk?" "Jadi begini, Kek. Sebenarnya Riris itu... "Krumpyanggg! Aku terkaget dan menghentikan ucapannya. Suara itu terdengar begitu jelas dari arah dalam."Ada apa itu, Kek?""Pak, tolong, Pak!" dari dalam bapak penjaga rumah berlari kecil. "Ada apa, Mad?" tanya Pak Antareja terlihat panik. "Istri saja, Pak! Tiba-tiba pingsan." "Yanti pingsan? Ayo... " segera saja Pak Antareja masuk kedalam, diikuti aku dan juga kugandeng Riris. B

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 12

    'Aku kesurupan? Bagaimana bisa, dan kenapa. Siapa yang telah masuk keragaku.' aku benar-benar pusing, mengingat semua ini. "Bu, apa yang sempat tadi saya lakukan ke-ketika kesurupan?" tanyaku pelan pada Bu Yanti. "Sa-saya sendiri juga tak tahu banyak, Non. Karena tadi saya juga baru sadar dari pingsan. Saya lihat, Non, saat disembuhkan oleh Pak Kyai tadi." Buk Yanti menjelaskan. Benar juga, sebelum aku kesurupan memang Buk Yanti sedang pingsan. "Kalau boleh tahu, kenapa tadi Buk Yanti pingsan?" tanyaku penasaran. Terlihat wajah bingung padanya, mungkin dia sedang berfikir apa harus dia bercerita. "Ta-di saya lihat Non Linda dan Den Bagas dengan tiba-tiba." Aku mengangga. Bukankah mereka itu Ayah dan Ibunya Riris yang sudah meninggal? "Maksud, Ibu... Anak Kakek Antareja yang.... ""Iya, Non. Memang sebenarnya mereka masih sering nampak dirumah. Kadang hanya sepintas bayangan dia berjalan tapi tadi dia benar-benar berdiri di belakangku."Aku mengangguk mengerti, kemudian tak lama

Bab terbaru

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 30

    Aku terpaku pada sosok yang tergeletak di atas tempat tidur umum rumah sakit. Dada ini bergemuruh, antara benci marah dan trauma juga jijik. Jijik jika ingat tubuh ini selalu ia gauli dengan bengis."Kamu!" kali ini tanganku yang tengah memegang gunting mengeras. Siap mengangkat benda tajam itu dan menghujam ke hati. Orang tak punya hati nurani lebih baik kuambil hatinya. Percuma punya hati namun tak berfungsi."Aisyah! Aaaa ... " tiba-tiba manusia biadab itu bangun dan kaget. Hingga ia berteriak.Saat gunting sudah sampai pada ujung tertinggi aku ayunkan, tiba-tiba tanganku diraih paksa."Lepaskan!" rintihku."Keluar dari jasad Aisyah, Bel!" kali ini Mas Yusuf berkata sambil memlintir tanganku."Lepaskan! Aku sangat tak suka dengan manusia jenis sepertinya!"Kulihat manusia biadab itu sudah kembali memejamkan mata. Apa dia pingsan ketika melihatku ingin membunuhnya."Keluar atau aku keluarkan!" Mas Yusuf kembali dengan tegas berkata."Innalilahi wainnailahi roji'un ... " seorang dokt

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 29

    Sepanjang jalan pikiranku kalut, apa yang terjadi pada Mas Yusuf, kenapa dia sampai dirumah sakit? Berbagai pertanyaan bergelut dalam otakku. Kakek juga terlihat panik.Sampai dilobi rumah sakit aku segera berjalan ke IGD sesuai apa yang disampaikan oleh Mas Yusuf. Langkahku sedikit tergesa karena jujur aku sangat panik. Mungkin akan kembali tenang setelah melihat keadaanya.Didepan IGD tepat saat dokter keluar, aku langsung menghampirinya."Bagaimana keadaan Mas Yusuf, Dok?" tanyaku langsung. Dokter tak menjawab hanya terlihat sedikit bingung. Kemudian tak lama ada seorang memanggilku."Aisyah, Kakek!" aku langsung membalikan badan dan menghadap kearah sumber suara."Mas Yusuf!" Mas Yusuf menghampiri kami dengan sedikit memegangi perut, wajahnya nampak beberapa luka lebam jalanpun tertatih. Aku heran jika Mas Yusuf disini terus siapa didalam?"Kamu ngga papa, Mas?" tanyaku yang langsung menubruknya karena dia berjalan sedikit oleng. "Bagaimana kondisinya, Dok?" kali ini Mas Yusuf be

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 28

    Kuusap kedua netra mataku yang basah, berucap istighfar agar diberi ketenangan hati."Astagfirullah!" Kembali kutatap Mas Yusuf. Dia masih pada posisinya. Aku bingung harus bagaimana."Mas!" Kucoba memegang pundaknya. Tanpa respon."Mas!" Kali ini nada suaraku sedikit kutinggikan."Eh iya, Syah," ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Tangannya sibuk mengusap matanya. Dia menangiskah?"Mas kenapa? Apa kecewa dengan masa laluku?" tanyaku hati-hati.Tanpa menjawab dia justru tersenyum,"jangan berfikir begitu, setiap manusia memiliki masa lalu. Justru Mas sangat sedih dan terpukul dengan nasib yang menimpamu, Syah. Sekarang yang terpenting jangan sampai masa lalu itu terulang ataupun justru kembali mengusik kehidupanmu yang sekarang. Kamu sembuh dari traumatis cukup lama jadi Mas tak ingin kamu kembali pada keadaan dulu!" Mas Yusuf mengusap lembut kepalaku.Aku tersenyum, dalam hati bersyukur bisa bersama orang yang nyatanya mengerti tentang perasaan dan kondisiku. Semoga dia memang benar jodo

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 27

    Aku terbangun pagi ini, rasanya kenapa aku merasa sangat lelah sekali, bahkan aku tak ingat kapan memejamkan mata. Bergegas mandi dengan mengguyur seluruh badanku. Saat tengah menyampo rambut aku teringat bahwa semalam aku pergi bersama Mas Yusuf kejadian demi kejadian aku ingat sampai aku juga teringat ketika ada telfon yang ternyata dari Om Aceng. Dia mengingatkan pada kejadian tempo dulu yang membuat aku traumatis berat. Kini tubuhku seketika menggigil namun aku segera mengucap istighfar, agar di beri ketenangan hati. Alhamdulillah...akhirnya aku dapat mengontrol perasaanku. Namun, apa yang terjadi semalam? Apa aku?Pasti semalam Mas Yusuf dan kakek begitu mencemaskanku. Harus kujawab apa kalau mereka bertanya tentang apa penyebab aku hilang kendali dan ketakutan luar biasa.Segera aku menguyur tubuhku dan langsung bergegas untuk keluar kamar mandi. Aura masuk dan langsung tersenyum kearahku."Ibu, nanti aku mau ke Mall sama Kakek, Ibu mau ikut?" tanyanya."Nggak, Aura. Kamu pergi

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 26

    PoV YusufAku melihat Aisyah pucat pasi. Kukira dia akan senang dan kita bisa melihat kota dari atas sana. Nyatanya salah, ternyata Aisyah phobia ketinggian. Hampir saja aku membuatnya pingsan. Aku jadi merasa sangat bersalah. Kutenangkan dia, kuberi minum agar jantungnya kembali memompa dengan normal. duh! kok aku jadi seceroboh itu.Hp Aisyah berdering ketika kita akan melangkah untuk sekedar jalan-jalan saja. Aku kapok mengajak Aisyah menaiki wahana. Lebih baik sekarang aku bertanya dulu, jangan gegabah. 'Ah! Ada yang jual bunga. Lebih baik aku membelinya. Sedikit romantis kan ngga papa.'Kubergegas membeli satu tangkai bunga mawar merah. setelah membayar aku bergegas menuju Aisyah yang masih menelfon. Kusodorkan bunga padanya. Betapa aku kaget melihat raut wajah Aisyah yang lebih pucat dari yang tadi. Kenapa dia? Phobia bunga juga?"Kamu kenapa, Syah?" tanyaku yang langsung membuang bunga itu.Bibirnya bergetar hebat, raut ketakutan terpampang jelas pada wajahnya. Dia...dia kenap

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 25

    Aku yang akan sempat lari menuju kamar Kakek berubah haluan kembali ke depan."Tolong panggil kan dokter!" Perintahku pada salah satu penjaga keamanan.Aku melihat kedepan, disana suasana sudah terasa tak kondusif. Bahkan para tamu sedikit terlihat panik."Ada apa dengan Riris?" tanyaku."Ini, Non. Tadi tamu yang pulang lebih awal karena di usir Non. Memaksa Riris ikut dengannya kemudian kami merebutnya hingga akhirnya terjadi baku hantam."Aku yakin yang dimaksud pasti Mas Azmi. Apa maunya dia? Apa dia ingin menculik Riris?"Terus kenapa Riris berteriak?""Tadi saat terjadi tarik menarik dia terjatuh, Non."Aku segera menuju dimana Riris tengah diobati."Habis ini bawa Aura masuk! Kemudian perketat penjagaan. Aku mau lihat kondisi kakek dulu."Sungguh, semua kenapa jadi kacau seperti ini. Kakek pingsan dan tak tau sebabnya sekarang Mas Azmi pun tak menyerah. Andai boleh memilih, lebih baik hidup sederhana namun aman, dari pada seperti ini. Hidup serba ada tapi rasanya banyak sekali m

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 24

    "Bagaimana, boleh kan, Sah?" sepertinya Mbak Ratih tak mau menyerah, Mas Azmi menyenggol lengan kakanya itu, mungkin dia malu dengan perilakunya. "Boleh, Mbak. Silahkan saja, lagian persediaan dibelakang banyak kok." kubuat setenang mungkin. Sedikit heran dengan orang-orang seperti mereka. Aku melangkah meninggalkan mereka. "Eh... Aisyah, tunggu!" seketika aku berbalik. "Apa lagi, Mbak?" tanyaku. "Eee... Minta plastiknya dong." aku menepok jidatku. Aduh...!"Minta saja kebelakang, Mbak. Mintalah pada bagian catering." aku langsung ambil langkah seribu, takut kalau Mbak Ratih bertanya lagi. Bisa-bisa aku stres kalau menghadapi satu orang tak tahu malu macam dia. "Bagaimana, Mbak. Kita lanjutkan riasannya ya?" MUA berkata. Aku hanya mengangguk dan duduk saja. Berdiam diri sambil memikirkan kenapa mereka sampai tiba di sini dan yang lebih heran Mas Azmi meminta rujuk. Hampir satu jam aku di rias. Pakaian kebaya panjang yang sebelumnya tak pernah kubayangkan memakainya kini melekat

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 23

    "Kamu? Maksudnya apa?" aku merasa menjadi orang yang bodoh karena tak maksud. Aku tak ingin GR dulu. Seketika Yusuf memegang tanganku, ada getar didada tentang apa yang baru saja dilakukan oleh Yusuf. Akankah aku sudah jatuh cinta? "Aku ingin kamu dan aku.... " Yusuf menghentikan ucapannya. Sangat terlihat ada rasa gugup di sana. Bahkan kulihat wajahnya sedikit berkeringat. Aku masih bergeming, menatap netranya. Mencari jawaban atas apa yang akan selanjutnya ia katakan. 'Ayo... Lanjutkan kata-katamu.' batinku berteriak tak sabar mendengar ia berkata. "Aku ingin aku dan kamu menjadi.... " lagi, dia mengantung ucapannya. Hufh... Aku menghembuskan nafas lembut, sepertinya dia itu sulit sekali berucap, apakah ini pengalaman pertamanya bersama perempuan. Benarkah dia tak pernah dekat atau memiliki pacar, hingga merangkai kata yang sederhana diucapkan saja seolah kesusahan. "Maaf, aku terlalu gugup. Sungguh ini pengalaman pertamaku bersama seorang wanita yang spesial bagiku." dia men

  • DIKIRA ANAK HARAM, TERNYATA ANAK SULTAN   Bab 22

    PoV Azmi. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam, terlihat Ibu dan Mbak Ratih terus saja mengoceh. Dia sudah tak sabar ingin segera sampai. Dari makanan enak sampai pakaian bagus bahkan sampai berkhayal tentang tidur dalam tumpukan uang menjadi bahan obrolan menemani kami dalam perjalanan. 'Sungguh aku sangat nervous, apa kata yang pertama kali kuucapkan pada Aisyah.' sekilas senyum manis Aisyah mengembang dalam anganku. 'Rindu! Lama aku merindukanmu, Sah.' tentunya kata itu hanya bisa berteriak dalam hati. Tak ingin Ibu dan Mbak Ratih tahu kalau sebenarnya aku telah lama menginginkan Aisyah kembali dalam hidupku. "Masih lama, Az?" tanya Ibu membuyarkan senyum Aisyah yang menari diangan-angan. "Enggak kok, Bu. Kalau nggak salah jalan tinggal sekitar 10 menit lagi.""Coba pake maps saja, Az!" perintah Mbak Ratih. Benar juga kenapa tak terfikirkan dari tadi. Aku terlalu gugup untuk bertemu dengan Aisyah. "Ini sepertinya, Az. Lihat ada dekorasi juga.""Sepertinya iya, Mbak.

DMCA.com Protection Status