"Ya Allah, bangun, Nak!" kutepuk-tepuk pipi Riris. Badan Riris dingin sekali, aku celingukan, mencoba cari solusi untuk melihat sekitar.'Ada mini market yang masih buka!' Gumamku. Aku segera beranjak dan pergi kesana, kutinggalkan Riris untuk sementara waktu. Membeli minyak angin agar badan Riris hangat dan sadarkan diri. "Ibu.... " panggil Riris pelan. Alhamdulillah, akhirnya dia sadar juga. Segera kupeluk ia dan membawanya pergi ketempat yang lebih hangat. Beruntung hujan sudah reda. Setengah bulan berlalu, aku dan Riris memilih hidup dibawah kolong jembatan. Uang yang kupegang sangat minim, hingga lebih baik aku gunakan untuk makan dari pada mengontrak. Tadinya aku ingin cari pekerjaan walau sebagai buruh cuci. Namun aku tak tega meninggalkan Riris dalam waktu lama. Akhirnya aku menyambung hidup dengan mulung sedangkan Riris. Aku tak pernah menduga bahwa diusainya yang menginjal 9 tahun dia sudah sangat pandai. Bahkan melukis wajah orang sekalipun. Pagi hari yang cerah, aku li
"Ah! Mungkin pengrasaku saja." kutatap sekeliling rumah, bangunan yang masih bernuansa kuno melekat pada rumah ini. Kakek Antareja mengambil kacamatanya yang tergeletak tak jauh dari sana. Melihat dengan segsama secarik kertas yang kuberikan. "Benar, ini berita yang kupasang 9 tahun yang lalu. Kenapa kamu masih menyimpan?" tanya Kakek Antareja dengan mata tuanya menatap. "Sebenarnya saat saya datang kesini setengah bulan lalu, berniat untuk mencari kebenaran tentang itu dan menyampaikannya."Kali ini mata Kakek terlihat menyempit, "Apa maksud kamu, Nduk?" "Jadi begini, Kek. Sebenarnya Riris itu... "Krumpyanggg! Aku terkaget dan menghentikan ucapannya. Suara itu terdengar begitu jelas dari arah dalam."Ada apa itu, Kek?""Pak, tolong, Pak!" dari dalam bapak penjaga rumah berlari kecil. "Ada apa, Mad?" tanya Pak Antareja terlihat panik. "Istri saja, Pak! Tiba-tiba pingsan." "Yanti pingsan? Ayo... " segera saja Pak Antareja masuk kedalam, diikuti aku dan juga kugandeng Riris. B
'Aku kesurupan? Bagaimana bisa, dan kenapa. Siapa yang telah masuk keragaku.' aku benar-benar pusing, mengingat semua ini. "Bu, apa yang sempat tadi saya lakukan ke-ketika kesurupan?" tanyaku pelan pada Bu Yanti. "Sa-saya sendiri juga tak tahu banyak, Non. Karena tadi saya juga baru sadar dari pingsan. Saya lihat, Non, saat disembuhkan oleh Pak Kyai tadi." Buk Yanti menjelaskan. Benar juga, sebelum aku kesurupan memang Buk Yanti sedang pingsan. "Kalau boleh tahu, kenapa tadi Buk Yanti pingsan?" tanyaku penasaran. Terlihat wajah bingung padanya, mungkin dia sedang berfikir apa harus dia bercerita. "Ta-di saya lihat Non Linda dan Den Bagas dengan tiba-tiba." Aku mengangga. Bukankah mereka itu Ayah dan Ibunya Riris yang sudah meninggal? "Maksud, Ibu... Anak Kakek Antareja yang.... ""Iya, Non. Memang sebenarnya mereka masih sering nampak dirumah. Kadang hanya sepintas bayangan dia berjalan tapi tadi dia benar-benar berdiri di belakangku."Aku mengangguk mengerti, kemudian tak lama
Riris terus meraung kesakitan, aku bingung karena tak tahu dimana keluarga ini meletakkan P3K. "Non... Ada apa? Maaf, Ibuk di kebun belakang." dengan tergoboh Buk Yanti akhirnya datang. "Ini Riris kenapa pecahan kaca, Buk. Tolong ambilkan P3K. Lukanya seperti bukan cuma satu dan aku takut pecahan kaca kecilnya masih menancap."Tanpa menjawab lagi, Buk Yanti berjalan menuju keruang tengah. Kemudian kembali dengan membawa alat P3K dan air hanyat. "Sini, Buk." Kuambil saja semua yang ada ditangannya. Kuusap pelan-pelan dengan air hangat setiap darah yang menetes pada kaki Riris. Dia sudah tak menangis tapi masih sesenggukan. Kakek Antareja kembali kesana dengan nafas tersenggal-senggal. "Bagaimana kondisi kamu, Nak!" dia memegang pipi kanan dan kiri Riris. Seolah mencari luka di sana. "Alhamdulillah, Kek. Cuma kakinya saja yang terluka." Aku menjawab sambil membalut luka pada kaki Riris. Sejenak Kakek berfikir, kemudian mengangguk. Entah apa yang dia anggukan. Setelah selesai Riri
"Riris!" pekikku dengan berusaha mengapainya. Mencoba merebut Riris dari tangan seseorang. Bukk! Perutku ditendang hingga tersungkur, rumah yang hanya terdiri dari papan ini hampir roboh. Ada sakit di ulu hati. Sekian deti kemudian ketika orang itu sudah hampir melewati pintu. Aku seolah memiliki tenaga yang super kuat. Kubangkit berdiri dan langsung mencekal pundak orang itu dengan kasar. 'Ini bukan diriku!' pekikku dalam hati. "Lepaskan dia!" suara yang keluar dari mulutku bukan suaraku. Batinku bisa berkata tapi seolah raga ini dikendalikan oleh orang lain. "Jangan harap kamu dapat memusnahkan keturunan Antareja dengan mudah! Aku sendiri yang akan menghabisimu!"Terlihat raut kaget di mata orang itu, walau dia mengenakan penutup kepala tapi dapat kulihat kekagetannya lewat matanya yang melebar. "Kalau dulu kamu dapat membunuh aku, tidak dengan anakku! Apapun akan aku lakukan untuk menghalangimu!" Aku benar-benar bingung dengan apa yang baru saja aku katakan. Itu semua bukan
"I-ini rumah kakek juga?" tanyaku penasaran. "Iya, ini sebenarnya rumah hadiah untuk Belinda, di anniversary-nya yang pertama. Dia paling suka ke sini. Ke puncak Dieng dan telaga warna. Sebab itulah Kakek membelikan rumah yang tak jauh dari tempat itu. Dia juga sangat suka berkebun. Baik bunga ataupun sayuran." mata Kakek berkabut. Aku sampai tak tega melihatnya. Aku hanya mengangguk, sedangkan Riris masih sibuk kesana kemari. "Ayo kakek antar kedalam! Di sana ada yang jaga, tapi... Maaf sebelumnya nanti saya bilang kalau kalian pemilik baru rumah ini dan tak ada keterikatan keluarga dengan saya. Semua demi kebaikan kalian!" ujar Kakek. Aku hanya menganguk mengerti. Memang mungkin harus seperti itu ketika berurusan dengan orang kaya. Musuhnya pun tak kalah berat. Sebenarnya banyak yang ingin aku tanyakan tentang apa sebenarnya tujuan para penjahat terhadap Riris. Namun semua urung kulakukan. Kakek seperti tergesa untuk segera pulang. "Kakek ngga bisa lama-lama di sini! Kakek haru
"Nggak papa, Bik. Memang aku yang ceroboh. Aku takut kalau Riris kenapa-kenapa jadi panik dan tak memikirkan tentang apa yang akhirnya membuat aku ceroboh." Aku tersenyum, Bik Uti pun terlihat sedikit lega, mungkin dia takut kalau aku sampai memecat atau mengusir anaknya dari sini. "Mari, Non. Saya antar keatas?" Bik Uti bergegas mengulurkan tangan. "Nggak usah, Bik. Saya bisa sendiri." Kutolak bantuanya secara halus. Bik Uti hanya mengangguk. "Bu... Aku mau menyiram bunga bareng Om yusuf ya?" Riris berkata hingga aku menghentikan langkah seketika. Kutatap wajah Riris yang terlihat antusias. Tak tega rasanya jika aku menolak permintaannya. Pasti dia sangat kecewa. Namun untuk mengijinkannya dengan laki-laki asing yang baru di kenal itu juga bukan keputusan terbaik. Bukankah disini kita belum tau siapa kawan dan siapa lawan? Kupandang juga sosok laki-laki yang tengah berdiri tak jauh, dia tersenyum meyakinkan. Apakah aku harus curiga juga pada setiap orang? "Ya sudah tapi jangan
Aku masih tak percaya dengan apa yang disampaikan Riris, benarkah demikian? Bukankah orang yang sudah meninggal itu tak akan dapat kembali kecuali itu hanya jin khorinya. Jin yang menyerupai si orang itu. Kini aku kembali dirasa was-was. Bagaimana kalau benar orang-orang jahat itu kembali ingin mencelakai Riris. Bahkan motif pembunuhan kedua orang tuanya saja aku belum tau. Apa sebenarnya yang terjadi? "Ya sudah, sekarang masuk yuk! Ibu ingin ngobrol dengan Riris." kuajak Riris masuk kedalam rumah. Membawanya menuju kamar. "Riris tahu nggak kalau orang yang Riris gambar itu sudah meninggal?" tanyaku pelan agar Riris tak kaget. Sedikit dia berfikir kemudian mengangguk, "Tahu, Bu. Kan mereka bilang bahwa pembunuh mereka juga sekarang ingin menculik Riris."Kalau Riris tahu mereka sudah meninggal kenapa tak ada rasa takut padanya. Apa dia belum paham apa itu meninggal? "Kalau Riris tahu mereka sudah meninggal kenapa Riris tak takut? apalagi dengan penampilan mereka yang penuh darah.
Aku terpaku pada sosok yang tergeletak di atas tempat tidur umum rumah sakit. Dada ini bergemuruh, antara benci marah dan trauma juga jijik. Jijik jika ingat tubuh ini selalu ia gauli dengan bengis."Kamu!" kali ini tanganku yang tengah memegang gunting mengeras. Siap mengangkat benda tajam itu dan menghujam ke hati. Orang tak punya hati nurani lebih baik kuambil hatinya. Percuma punya hati namun tak berfungsi."Aisyah! Aaaa ... " tiba-tiba manusia biadab itu bangun dan kaget. Hingga ia berteriak.Saat gunting sudah sampai pada ujung tertinggi aku ayunkan, tiba-tiba tanganku diraih paksa."Lepaskan!" rintihku."Keluar dari jasad Aisyah, Bel!" kali ini Mas Yusuf berkata sambil memlintir tanganku."Lepaskan! Aku sangat tak suka dengan manusia jenis sepertinya!"Kulihat manusia biadab itu sudah kembali memejamkan mata. Apa dia pingsan ketika melihatku ingin membunuhnya."Keluar atau aku keluarkan!" Mas Yusuf kembali dengan tegas berkata."Innalilahi wainnailahi roji'un ... " seorang dokt
Sepanjang jalan pikiranku kalut, apa yang terjadi pada Mas Yusuf, kenapa dia sampai dirumah sakit? Berbagai pertanyaan bergelut dalam otakku. Kakek juga terlihat panik.Sampai dilobi rumah sakit aku segera berjalan ke IGD sesuai apa yang disampaikan oleh Mas Yusuf. Langkahku sedikit tergesa karena jujur aku sangat panik. Mungkin akan kembali tenang setelah melihat keadaanya.Didepan IGD tepat saat dokter keluar, aku langsung menghampirinya."Bagaimana keadaan Mas Yusuf, Dok?" tanyaku langsung. Dokter tak menjawab hanya terlihat sedikit bingung. Kemudian tak lama ada seorang memanggilku."Aisyah, Kakek!" aku langsung membalikan badan dan menghadap kearah sumber suara."Mas Yusuf!" Mas Yusuf menghampiri kami dengan sedikit memegangi perut, wajahnya nampak beberapa luka lebam jalanpun tertatih. Aku heran jika Mas Yusuf disini terus siapa didalam?"Kamu ngga papa, Mas?" tanyaku yang langsung menubruknya karena dia berjalan sedikit oleng. "Bagaimana kondisinya, Dok?" kali ini Mas Yusuf be
Kuusap kedua netra mataku yang basah, berucap istighfar agar diberi ketenangan hati."Astagfirullah!" Kembali kutatap Mas Yusuf. Dia masih pada posisinya. Aku bingung harus bagaimana."Mas!" Kucoba memegang pundaknya. Tanpa respon."Mas!" Kali ini nada suaraku sedikit kutinggikan."Eh iya, Syah," ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Tangannya sibuk mengusap matanya. Dia menangiskah?"Mas kenapa? Apa kecewa dengan masa laluku?" tanyaku hati-hati.Tanpa menjawab dia justru tersenyum,"jangan berfikir begitu, setiap manusia memiliki masa lalu. Justru Mas sangat sedih dan terpukul dengan nasib yang menimpamu, Syah. Sekarang yang terpenting jangan sampai masa lalu itu terulang ataupun justru kembali mengusik kehidupanmu yang sekarang. Kamu sembuh dari traumatis cukup lama jadi Mas tak ingin kamu kembali pada keadaan dulu!" Mas Yusuf mengusap lembut kepalaku.Aku tersenyum, dalam hati bersyukur bisa bersama orang yang nyatanya mengerti tentang perasaan dan kondisiku. Semoga dia memang benar jodo
Aku terbangun pagi ini, rasanya kenapa aku merasa sangat lelah sekali, bahkan aku tak ingat kapan memejamkan mata. Bergegas mandi dengan mengguyur seluruh badanku. Saat tengah menyampo rambut aku teringat bahwa semalam aku pergi bersama Mas Yusuf kejadian demi kejadian aku ingat sampai aku juga teringat ketika ada telfon yang ternyata dari Om Aceng. Dia mengingatkan pada kejadian tempo dulu yang membuat aku traumatis berat. Kini tubuhku seketika menggigil namun aku segera mengucap istighfar, agar di beri ketenangan hati. Alhamdulillah...akhirnya aku dapat mengontrol perasaanku. Namun, apa yang terjadi semalam? Apa aku?Pasti semalam Mas Yusuf dan kakek begitu mencemaskanku. Harus kujawab apa kalau mereka bertanya tentang apa penyebab aku hilang kendali dan ketakutan luar biasa.Segera aku menguyur tubuhku dan langsung bergegas untuk keluar kamar mandi. Aura masuk dan langsung tersenyum kearahku."Ibu, nanti aku mau ke Mall sama Kakek, Ibu mau ikut?" tanyanya."Nggak, Aura. Kamu pergi
PoV YusufAku melihat Aisyah pucat pasi. Kukira dia akan senang dan kita bisa melihat kota dari atas sana. Nyatanya salah, ternyata Aisyah phobia ketinggian. Hampir saja aku membuatnya pingsan. Aku jadi merasa sangat bersalah. Kutenangkan dia, kuberi minum agar jantungnya kembali memompa dengan normal. duh! kok aku jadi seceroboh itu.Hp Aisyah berdering ketika kita akan melangkah untuk sekedar jalan-jalan saja. Aku kapok mengajak Aisyah menaiki wahana. Lebih baik sekarang aku bertanya dulu, jangan gegabah. 'Ah! Ada yang jual bunga. Lebih baik aku membelinya. Sedikit romantis kan ngga papa.'Kubergegas membeli satu tangkai bunga mawar merah. setelah membayar aku bergegas menuju Aisyah yang masih menelfon. Kusodorkan bunga padanya. Betapa aku kaget melihat raut wajah Aisyah yang lebih pucat dari yang tadi. Kenapa dia? Phobia bunga juga?"Kamu kenapa, Syah?" tanyaku yang langsung membuang bunga itu.Bibirnya bergetar hebat, raut ketakutan terpampang jelas pada wajahnya. Dia...dia kenap
Aku yang akan sempat lari menuju kamar Kakek berubah haluan kembali ke depan."Tolong panggil kan dokter!" Perintahku pada salah satu penjaga keamanan.Aku melihat kedepan, disana suasana sudah terasa tak kondusif. Bahkan para tamu sedikit terlihat panik."Ada apa dengan Riris?" tanyaku."Ini, Non. Tadi tamu yang pulang lebih awal karena di usir Non. Memaksa Riris ikut dengannya kemudian kami merebutnya hingga akhirnya terjadi baku hantam."Aku yakin yang dimaksud pasti Mas Azmi. Apa maunya dia? Apa dia ingin menculik Riris?"Terus kenapa Riris berteriak?""Tadi saat terjadi tarik menarik dia terjatuh, Non."Aku segera menuju dimana Riris tengah diobati."Habis ini bawa Aura masuk! Kemudian perketat penjagaan. Aku mau lihat kondisi kakek dulu."Sungguh, semua kenapa jadi kacau seperti ini. Kakek pingsan dan tak tau sebabnya sekarang Mas Azmi pun tak menyerah. Andai boleh memilih, lebih baik hidup sederhana namun aman, dari pada seperti ini. Hidup serba ada tapi rasanya banyak sekali m
"Bagaimana, boleh kan, Sah?" sepertinya Mbak Ratih tak mau menyerah, Mas Azmi menyenggol lengan kakanya itu, mungkin dia malu dengan perilakunya. "Boleh, Mbak. Silahkan saja, lagian persediaan dibelakang banyak kok." kubuat setenang mungkin. Sedikit heran dengan orang-orang seperti mereka. Aku melangkah meninggalkan mereka. "Eh... Aisyah, tunggu!" seketika aku berbalik. "Apa lagi, Mbak?" tanyaku. "Eee... Minta plastiknya dong." aku menepok jidatku. Aduh...!"Minta saja kebelakang, Mbak. Mintalah pada bagian catering." aku langsung ambil langkah seribu, takut kalau Mbak Ratih bertanya lagi. Bisa-bisa aku stres kalau menghadapi satu orang tak tahu malu macam dia. "Bagaimana, Mbak. Kita lanjutkan riasannya ya?" MUA berkata. Aku hanya mengangguk dan duduk saja. Berdiam diri sambil memikirkan kenapa mereka sampai tiba di sini dan yang lebih heran Mas Azmi meminta rujuk. Hampir satu jam aku di rias. Pakaian kebaya panjang yang sebelumnya tak pernah kubayangkan memakainya kini melekat
"Kamu? Maksudnya apa?" aku merasa menjadi orang yang bodoh karena tak maksud. Aku tak ingin GR dulu. Seketika Yusuf memegang tanganku, ada getar didada tentang apa yang baru saja dilakukan oleh Yusuf. Akankah aku sudah jatuh cinta? "Aku ingin kamu dan aku.... " Yusuf menghentikan ucapannya. Sangat terlihat ada rasa gugup di sana. Bahkan kulihat wajahnya sedikit berkeringat. Aku masih bergeming, menatap netranya. Mencari jawaban atas apa yang akan selanjutnya ia katakan. 'Ayo... Lanjutkan kata-katamu.' batinku berteriak tak sabar mendengar ia berkata. "Aku ingin aku dan kamu menjadi.... " lagi, dia mengantung ucapannya. Hufh... Aku menghembuskan nafas lembut, sepertinya dia itu sulit sekali berucap, apakah ini pengalaman pertamanya bersama perempuan. Benarkah dia tak pernah dekat atau memiliki pacar, hingga merangkai kata yang sederhana diucapkan saja seolah kesusahan. "Maaf, aku terlalu gugup. Sungguh ini pengalaman pertamaku bersama seorang wanita yang spesial bagiku." dia men
PoV Azmi. Perjalanan yang memakan waktu hampir satu jam, terlihat Ibu dan Mbak Ratih terus saja mengoceh. Dia sudah tak sabar ingin segera sampai. Dari makanan enak sampai pakaian bagus bahkan sampai berkhayal tentang tidur dalam tumpukan uang menjadi bahan obrolan menemani kami dalam perjalanan. 'Sungguh aku sangat nervous, apa kata yang pertama kali kuucapkan pada Aisyah.' sekilas senyum manis Aisyah mengembang dalam anganku. 'Rindu! Lama aku merindukanmu, Sah.' tentunya kata itu hanya bisa berteriak dalam hati. Tak ingin Ibu dan Mbak Ratih tahu kalau sebenarnya aku telah lama menginginkan Aisyah kembali dalam hidupku. "Masih lama, Az?" tanya Ibu membuyarkan senyum Aisyah yang menari diangan-angan. "Enggak kok, Bu. Kalau nggak salah jalan tinggal sekitar 10 menit lagi.""Coba pake maps saja, Az!" perintah Mbak Ratih. Benar juga kenapa tak terfikirkan dari tadi. Aku terlalu gugup untuk bertemu dengan Aisyah. "Ini sepertinya, Az. Lihat ada dekorasi juga.""Sepertinya iya, Mbak.