"Riris!" pekikku dengan berusaha mengapainya. Mencoba merebut Riris dari tangan seseorang. Bukk! Perutku ditendang hingga tersungkur, rumah yang hanya terdiri dari papan ini hampir roboh. Ada sakit di ulu hati. Sekian deti kemudian ketika orang itu sudah hampir melewati pintu. Aku seolah memiliki tenaga yang super kuat. Kubangkit berdiri dan langsung mencekal pundak orang itu dengan kasar. 'Ini bukan diriku!' pekikku dalam hati. "Lepaskan dia!" suara yang keluar dari mulutku bukan suaraku. Batinku bisa berkata tapi seolah raga ini dikendalikan oleh orang lain. "Jangan harap kamu dapat memusnahkan keturunan Antareja dengan mudah! Aku sendiri yang akan menghabisimu!"Terlihat raut kaget di mata orang itu, walau dia mengenakan penutup kepala tapi dapat kulihat kekagetannya lewat matanya yang melebar. "Kalau dulu kamu dapat membunuh aku, tidak dengan anakku! Apapun akan aku lakukan untuk menghalangimu!" Aku benar-benar bingung dengan apa yang baru saja aku katakan. Itu semua bukan
"I-ini rumah kakek juga?" tanyaku penasaran. "Iya, ini sebenarnya rumah hadiah untuk Belinda, di anniversary-nya yang pertama. Dia paling suka ke sini. Ke puncak Dieng dan telaga warna. Sebab itulah Kakek membelikan rumah yang tak jauh dari tempat itu. Dia juga sangat suka berkebun. Baik bunga ataupun sayuran." mata Kakek berkabut. Aku sampai tak tega melihatnya. Aku hanya mengangguk, sedangkan Riris masih sibuk kesana kemari. "Ayo kakek antar kedalam! Di sana ada yang jaga, tapi... Maaf sebelumnya nanti saya bilang kalau kalian pemilik baru rumah ini dan tak ada keterikatan keluarga dengan saya. Semua demi kebaikan kalian!" ujar Kakek. Aku hanya menganguk mengerti. Memang mungkin harus seperti itu ketika berurusan dengan orang kaya. Musuhnya pun tak kalah berat. Sebenarnya banyak yang ingin aku tanyakan tentang apa sebenarnya tujuan para penjahat terhadap Riris. Namun semua urung kulakukan. Kakek seperti tergesa untuk segera pulang. "Kakek ngga bisa lama-lama di sini! Kakek haru
"Nggak papa, Bik. Memang aku yang ceroboh. Aku takut kalau Riris kenapa-kenapa jadi panik dan tak memikirkan tentang apa yang akhirnya membuat aku ceroboh." Aku tersenyum, Bik Uti pun terlihat sedikit lega, mungkin dia takut kalau aku sampai memecat atau mengusir anaknya dari sini. "Mari, Non. Saya antar keatas?" Bik Uti bergegas mengulurkan tangan. "Nggak usah, Bik. Saya bisa sendiri." Kutolak bantuanya secara halus. Bik Uti hanya mengangguk. "Bu... Aku mau menyiram bunga bareng Om yusuf ya?" Riris berkata hingga aku menghentikan langkah seketika. Kutatap wajah Riris yang terlihat antusias. Tak tega rasanya jika aku menolak permintaannya. Pasti dia sangat kecewa. Namun untuk mengijinkannya dengan laki-laki asing yang baru di kenal itu juga bukan keputusan terbaik. Bukankah disini kita belum tau siapa kawan dan siapa lawan? Kupandang juga sosok laki-laki yang tengah berdiri tak jauh, dia tersenyum meyakinkan. Apakah aku harus curiga juga pada setiap orang? "Ya sudah tapi jangan
Aku masih tak percaya dengan apa yang disampaikan Riris, benarkah demikian? Bukankah orang yang sudah meninggal itu tak akan dapat kembali kecuali itu hanya jin khorinya. Jin yang menyerupai si orang itu. Kini aku kembali dirasa was-was. Bagaimana kalau benar orang-orang jahat itu kembali ingin mencelakai Riris. Bahkan motif pembunuhan kedua orang tuanya saja aku belum tau. Apa sebenarnya yang terjadi? "Ya sudah, sekarang masuk yuk! Ibu ingin ngobrol dengan Riris." kuajak Riris masuk kedalam rumah. Membawanya menuju kamar. "Riris tahu nggak kalau orang yang Riris gambar itu sudah meninggal?" tanyaku pelan agar Riris tak kaget. Sedikit dia berfikir kemudian mengangguk, "Tahu, Bu. Kan mereka bilang bahwa pembunuh mereka juga sekarang ingin menculik Riris."Kalau Riris tahu mereka sudah meninggal kenapa tak ada rasa takut padanya. Apa dia belum paham apa itu meninggal? "Kalau Riris tahu mereka sudah meninggal kenapa Riris tak takut? apalagi dengan penampilan mereka yang penuh darah.
"Mbak... Mbak...!" tuh kan benar, dia curiga padaku. Aku tak menghiraukan panggilannya. Segera saja terus berjalan tanpa menengok kebelakang. Aku harus segera pergi dari sini. "Ayo, Suf. Cepat jalan!" perintahku buru-buru. Tak kupedulikan lagi wajah Yusuf yang menampakan kebingungan. Motor berjalan, aku meminta Yusuf lebih cepat lagi karena takut jika ternyata mereka mengikutiku. Ya Allahhh... Tolong hambamu ini. "Ada apa si, Syah? Kok kelihatan panik begitu!" Yusuf bertanya setelah tiba dirumah. Aku masih melihat kearah gerbang takut laki-laki tadi mengikutiku sampai kesini!"Syah!" "Eh... Iya, Suf. Maaf... Ngga ada apa-apa, kok. Cuma tadi aku sedikit trauma kalau melihat preman." aku sengaja berbohong. Tak mungkin kuceritakan sebenarnya. "Bener hanya itu? Kamu terlihat panik banget loh!" "Iya, ngga papa, makasih ya... Sudah antar saya." segera aku mengambil tas belanjaan dan masuk kedalam. Pikiranku masih kacau hingga aku sendiri tak terlalu konsentrasi pada Yusuf untuk sekeda
"Astahfirullah!" aku terperanjat kaget, ternyata aku bermimpi. Aku hampir saja membunuh orang, atas dorongan Belinda. Apakah pertanda mimpi itu? 'Bunuh atau kau yang dibunuh!' kata-kata itu masih tergiang-ngiang ditelingaku. Haruskah aku yang melakukan tindakan kriminal? Kulihat jam dinding, sudah waktu subuh. Semalam mengobrol dengan Yusuf sampai tengah malam. Aku tersenyum mengingat obrolan dengan Yusuf. "Berarti hatimu kosong dong, mungkin boleh kuisi." kata-kata terakhir dari Yusuf itu membuat aku salting, hingga akhirnya memutuskan pura-pura sudah ngantuk, hingga izin masuk kekamar. Padahal wajah ini pasti sudah bersemu merah. 'Mungkinkah Yusuf jodohku?' rasanya masih segan untuk membuka hati. Teringat akan perlakuan keluarga Mas Azmi."Eh! Ngomong-ngomong bagaimana kabar Mas Azmi dan keluarganya?" gumamku. Aku tak dendam pada mereka, hanya saja aku harap apa yang difitnahkan terhadapku dan Riris semoga semua memberi jalan bahwa itu tak benar. ***"Pagi, Non," sapa Bik Uti
PoV AzmiBenar juga, aku harus bertemu Aisyah dan mengiba padanya. Pura-pura bahwa aku sangat merasa kehilangan setelah ia pergi. Ah! Andai saja dulu aku percaya sama Aisyah. Bukankah selama menikah dia tak pernah berbohong. Kenapa dulu aku begitu terbawa emosi. Bahkan aku pun menalaknya. Pernikahan yang hanya siri otomotis sudah langsung jatuh talak tanpa harus ribet mengurus ke KUA. "Az, pinjam motornya. Mbak mau kesalon. Kan besok kita mau ke acara besar." "Iya, Mbak. Mbak sama ibu kan? Di rumah ada orang nggak?" tanyaku pada Mbak Ratih sebelum ia pergi. "Iya dong sama ibu, ada Mas Sodikin dirumah. Memang kamu mau pulang?""Iya, Mbak. Mau siap-siap juga buat ketemu Aisyah besok.""Cie... Yang kangen!""Apaan si, Mbak. Kan biar Aisyah terpesona lagi dan tinggal minta balikan deh, semua hanya demi satu... Uang!" sengaja kata terakhir hanya kubisikan. Mbak Ratih tersenyum senang dan mengacungkan jempol. Mbak Ratih melajukan motorku, aku kembali ke pos satpam. "Jo, nanti jam 2 ak
Aku tak menyangka jika Yusuf mengaku sebagai penusuk Yanto. Ingin rasanya aku tentang pengakuan itu dan mengatakan bahwa aku lah yang menusuknya. "Tadi kami berkelahi, Pak, dan saya membela diri karena dia menggunakan pisau juga ingin menusukku!" Perkataan Yusuf membuatku melonggo. "Baik, karena keterangan Anda, jadi kami tahan. Kita jelaskan lebih rinci di kantor polisi." dengan pasrah Yusuf di giring kemobil polisi. "Tung... " belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Kakek dan Mang Tejo menarik tanganku. "Sudahlah, tak perlu kamu mengatakan yang sebenarnya. Justru itu akan membuat polisi berfikir negatif.""Tapi, Kek. Ini salah, dia... Dia... Dia tak pantas untuk menanggung kesalahanku. Ini semua... "Mang Tejo mendekat, "kalau Yusuf sudah mengambil keputusan itu tandanya dia sudah pikirkan masak-masak. Sekarang lebih baik pikirkan agar Yusuf tak perlu terlalu lama di penjara. Pihak polisi pasti nanti memanggil kita untuk dimintai keterangan." Akhirnya akupun menurut, dengan tu