"Lepaskan aku, cowok brengsek!" teriak Briana sambil berusaha meronta di bawah kuasa seorang pria berotot.
Namun, pria yang tengah bernafsu itu sepertinya tak mendengar teriakan Briana. Ia terus merobek pakaian Briana tanpa ampun."Tidak perlu khawatir, Briana. Aku tidak akan melakukannya secara cuma-cuma. Aku akan membayarmu. Berapa tarifmu sekali main? Satu juta? Dua juta? Atau lima juta?" Laki-laki itu mengeluarkan dompet sambil menjaga gerakan Briana yang mencoba untuk melarikan diri.Laki-laki itu kemudian melemparkan sejumlah uang tunai ke tubuh Briana. Di bawah pengaruh alkohol, ia terus mengungkapkan ketidakpuasannya, berpikir bahwa wanita di hadapannya telah berubah menjadi pelacur."Bajingan, kau pikir aku wanita apa?" bentak Briana sambil memukul dada laki-laki itu."Tenanglah, Sayang. Aku akan memberikan bonus lebih banyak setelah berhasil mendapatkanmu." Laki-laki itu menciumi daun telinga Briana dengan lembut, menambahkan ketidaknyamanan Briana."Tolong, aku tahu kau sedang mabuk. Jangan membuatku semakin membencimu. Lepaskan aku!" Briana terus meronta, tapi laki-laki itu tetap kejam. Pakaian Briana ditarik paksa, meskipun ia berontak, menggigit, dan meludah, tapi laki-laki itu tak peduli. Nafsu dan alkohol telah menguasainya, ia terus melanjutkan aksinya hingga Briana benar-benar telanjang di hadapannya."Mengapa kau membenci aku? Bukankah ini adalah pekerjaanmu? Menjual tubuh pada pria hidung belang tadi? Jangan khawatir, Briana, milikku pasti lebih besar dan panjang dari pria-pria yang telah menyentuhmu." Laki-laki itu mencium bibir Briana dengan paksa, sementara tangannya mencoba membuat Briana menyerah dan menghasilkan pelumas alami dari tubuhnya.Briana merasa kehilangan tenaga, menyesali dirinya sendiri karena menerima sentuhan laki-laki itu. Akhirnya, laki-laki itu berhasil memasuki tubuhnya, merenggut apa yang sangat dijaganya selama ini."Aku membencimu. Aku tidak akan pernah memaafkanmu, selamanya," Briana mengutuk sambil merasakan sakit luar biasa saat tubuh laki-laki itu masuk sepenuhnya.Hati Briana hancur, masa depannya telah hancur, kebanggaannya telah direnggut secara paksa oleh seseorang yang sangat ia benci. Ia hanya bisa menumpahkan rasa sakit dan kekecewaannya dengan air mata yang terus mengalir membasahi seluruh wajahnya, bahkan hingga sprei dan kasur basah. Sementara laki-laki di atasnya mulai merasakan kenikmatan setelah merampas keperawanan Briana, gadis yang sebenarnya dicintainya secara diam-diam."Oh Tuhan, mengapa ini terasa begitu nikmat? Kamu harus hanya milikku, Briana." Laki-laki itu mulai bergerak perlahan, tak ingin kenikmatannya berakhir terlalu cepat.Briana menatap laki-laki di atasnya dengan penuh kebencian. Ia tidak mampu melawan laki-laki yang pernah menjadi juara karate dan mendulang kehormatan bagi sekolah mereka saat SMA. Setelah memuaskan nafsunya, laki-laki itu ambruk di atas tubuh Briana, mencium seluruh wajahnya dengan rasa cinta yang bercampur aduk."Aku mencintaimu, Briana. Terima kasih banyak, ternyata bercinta begitu nikmat. Kamu harus bangga karena mendapatkan perjaka seperti aku," ucap laki-laki itu sebelum akhirnya terkulai di samping Briana.Briana menatap punggung polos laki-laki di sampingnya. Rasa benci yang sempat ia lupakan sejak SMA kini kembali merasuki hatinya. Briana benar-benar membenci laki-laki yang dengan tega merenggut masa depannya.Jam dinding di apartemen itu masih menunjukkan pukul dua dini hari, artinya Briana terjebak bersama laki-laki selama lebih dari empat jam. Ia merasa sangat tercela saat ini. Briana terus menangis, hingga akhirnya lelah dan tertidur dengan wajahnya yang basah oleh air mata.Keesokan paginya, laki-laki itu terbangun dengan kepala yang terasa berat."Sial, aku pasti mabuk lagi semalam," umpatnya, lalu membuka selimut. Ia sangat terkejut melihat bahwa ia telanjang bulat. "Gila! Apa yang sudah aku lakukan?"Kepalanya terasa semakin pusing, dan kepingan memori perlahan kembali ke dalam ingatannya."Berapa hargamu sekali main? Sejuta? Dua juta? Atau lima juta? Aku akan memberikan bonus lebih banyak. Tidak boleh ada yang memilikimu, kamu cuma milikku. Aku mencintaimu, Briana. Aku benci sama kamu.""Ya Tuhan, Briana," laki-laki itu berbalik ke samping, dan matanya tertuju pada gadis yang masih tertidur di sampingnya. Meskipun wajahnya tidak terlihat, rambut gadis itu sudah sangat dikenalnya. "Ya Tuhan, apa ini mimpi?" Laki-laki itu menampar wajahnya sendiri dengan keras.Ternyata sakit. Ini bukan mimpi. Ini nyata. Ia telah berdosa pada Briana, wanita yang selama ini dicintainya secara diam-diam.Laki-laki itu terus memandangi tubuh Briana yang tertutup selimut. Tiba-tiba, Briana terbangun dan menatapnya dengan kebencian.Mereka terdiam cukup lama. Laki-laki itu merasa Briana akan mencabik-cabiknya dengan tatapan mata yang mirip singa betina.Laki-laki itu mengambil boksernya dengan cepat, memakainya, dan membuat Briana mengalihkan pandangan dari laki-laki yang tidak tahu malu itu.Pakaian Briana berserakan di lantai, terlihat kusut dan compang-camping di setiap bagian. Laki-laki itu semakin merasa bersalah. Dia telah melakukan kesalahan besar semalam.Setelah mengenakan boksir dan menatap pakaian Briana yang hancur, laki-laki itu mengambil ponselnya, lalu berkata, "Aku... aku akan membelikanmu pakaian baru."Briana tidak peduli. Dia semakin marah dan kecewa karena laki-laki itu, bukannya meminta maaf, justru lebih memperhatikan pakaian yang harganya tidak sebanding dengan harga dirinya.Takut akan tatapan Briana, laki-laki itu keluar dari kamarnya. Ia mencoba menuju ruang kerjanya untuk memeriksa apa yang sebenarnya terjadi melalui rekaman CCTV.Sementara itu, dengan perasaan yang sangat buruk, Briana memunguti pakaiannya. Tidak ada satu pun yang layak, kecuali rok miliknya dan kemeja laki-laki itu.Briana mengambil pakaian yang bisa ia kenakan, lalu mengambil tasnya dan berniat untuk keluar dari situ. Ia juga mengambil uang yang berserakan di kasur laki-laki itu. Saat keluar dari kamar apartemen itu, Briana kembali bertemu dengan laki-laki yang telah menodainya."Aku sudah memesan baju untukmu, Bri," ucapnya dengan lirih.Briana menatapnya penuh benci. "Aku tidak membutuhkan baju atau uang darimu." Lalu, ia melemparkan uang yang digenggamannya pada laki-laki itu. "Aku akan mengembalikan kemeja ini. Aku tidak bersedia menyimpan apa pun yang kamu miliki." Briana meninggalkan apartemen dengan hati yang sangat terluka. Bagaimana masa depannya akan menjadi? Bagaimana jika keluarganya mengetahui?Sementara di apartemen, laki-laki yang pengecut dan bodoh itu hanya bisa menyalahkan dirinya sendiri."Bodoh, seharusnya aku meminta maaf padanya daripada berbicara tentang pakaian." Laki-laki itu memukul kepalanya sendiri.***Dua bulan setelah kejadian itu, Briana mengalami mual-mual dan sakit kepala. Ia sudah memiliki prasangka buruk bahwa dirinya sedang hamil. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa semenjak Briana diperkosa, ia tidak lagi mengalami menstruasi bulanan.Pagi ini, dengan alat tes kehamilan yang telah dia beli beberapa minggu lalu, Briana harus memberanikan diri untuk memastikan hasilnya. Dengan tangan gemetar dan hati yang terus merapalkan doa, Briana menatap alat tes berwarna biru yang sebelumnya telah dicelupkan ke dalam air seninya. Dua garis merah terlihat jelas di sana. Briana benar-benar sedang mengandung."Tidak, aku tidak ingin mengandung anak dari dia. Aku tidak ingin menerima anak ini."Briana menangisi nasibnya, harus mengandung pada saat dia baru saja menikmati masa-masa mudanya. Dia baru saja lulus dengan nilai sempurna dan mendapatkan pekerjaan di perusahaan impiannya. Semua yang baru saja dia alami kini terasa hancur karena kehamilannya. "Bri, lo udah bangun? Gue masuk ya." Teriakan suara dari luar kamar mandi mengagetkan Briana sampai-sampai alat tes yang ada di tangannya terjatuh. Briana buru-buru mengambil alat tes itu dan menyembunyikannya di tangan. Setelah mencuci muka, Briana keluar dari kamar mandi dan menemui saudara tirinya, Davira, yang sedari tadi teriak-teriak heboh, tampaknya mencari sesuatu. "Bri, gue boleh minjem uang lo nggak? Uang gue udah habis," kata gadis itu sambil mengangkat tangannya di depan Briana. "Gue nggak punya uang lebih, Vir. Gajian masih lama," balas Bri, yang sudah merasa cukup muak dengan permintaan uang yang terus-menerus datang dari Davira, saudara tirinya. Davira selalu meminta uang dengan alasan meminjam, tapi uang ters
Ketika tiba di rumah sakit, ternyata Briana sudah dalam keadaan pembukaan lima. Dirga tidak ingin meninggalkan Briana sendirian dan bahkan bersikeras menunggu sampai bayinya lahir, meskipun Davira sudah datang dan berterima kasih padanya karena telah mengantar Briana.Davira masuk ke ruangan bersalin untuk menemani Bri, sementara Dirga menunggu di luar dengan perasaan cemas. Beberapa jam kemudian, Briana berhasil melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat secara normal. Setelah dipindahkan ke ruang perawatan, Dirga menemui Briana dan bayi kecil yang tertidur pulas di pangkuan Davira."Bri, selamat ya. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu," kata Dirga sambil mengusap rambut Briana."Terima kasih, Pak." Briana hanya tersenyum dengan paksa, lalu terdiam.Air matanya tiba-tiba mengalir begitu saja. Perasaan sesak yang selama ini berusaha dia lupakan, kini kembali menghampiri dirinya.Anak itu memiliki mata coklat seperti dia, rambutnya sedikit bergelombang, dan warnanya tidak hitam s
Briana menghela napas panjang setelah mendengar apa yang diungkapkan oleh Dirga. Sebagai seorang wanita, tentu saja dia ingin segera menikah dengan Dirga, yang telah menyukainya selama empat tahun ini.Namun, banyak hal yang membebani pikiran Briana, salah satunya adalah Ethan. Bagaimana jika keluarga Dirga tidak menerima Ethan, seperti ayah kandungnya dulu yang mengusirnya setelah mengetahui bahwa ia hamil di luar nikah."Kita bicarakan nanti, Pak." Ucap Briana."Sekarang sudah waktunya makan siang, Bri," kata Dirga sambil menatap arlojinya. "Jika kamu tidak ingin membicarakannya di sini, kita bisa melanjutkan di restoran," usul Dirga, lalu mematikan laptopnya dan mengajak Briana keluar dari ruangannya.Ketika mereka tiba di lobi, Dirga dan Briana bertemu dengan Daffa. Daffa memperhatikan wajah Briana dengan rasa penasaran tentang hubungannya dengan Gian."Kenapa kamu melihat Briana begitu, huh?" tanya Dirga dengan kesal melihat adiknya menatap Briana."Tidak apa-apa, dia memang cant
Gian masih enggan membuka pintu mobil, meskipun Briana sudah sangat khawatir tentang keadaan anaknya."Kamu mau ke mana? Aku akan mengantarmu," ucap Gian, menahan tangan Briana saat wanita itu mencoba membuka pintu dengan paksa."Bukan urusanmu. Dan jangan pegang-pegang aku. Aku jijik padamu!" protes Briana, membuat Gian mengangkat kedua tangannya sebagai isyarat perdamaian."Maaf, maaf. Sekarang, tolong beri tahu aku, kamu mau ke mana? Ingin bertemu dengan Ethan?" tanya Gian.Briana mengerutkan kening saat Gian menyebut nama Ethan. Apakah Gian sudah mengetahui tentang Ethan? Apakah dia tahu tentang anak mereka? Apakah Gian datang untuk mengambil Ethan darinya?"Kamu tahu tentang Ethan?" tanya Briana, suaranya kini pelan dan tidak marah seperti sebelumnya."Aku tidak tahu pasti, tapi karena kamu menyebut nama Ethan tadi, aku akan mencari tahu. Sepertinya kamu sangat khawatir tentang dia," ujar Gian dengan senyuman sinis, hatinya masih terasa sakit melihat Briana bersama Dirga, dan sek
Setelah bertemu Briana, Gian datang ke kantor karena panggilan dari ayahnya. Hari ini, ayahnya akan mengumumkan kepada seluruh karyawan bahwa Gian akan menjadi direktur utama menggantikan ayahnya.Setelah acara selesai, Gian langsung menduduki posisinya. Ia mulai dihadapkan dengan pekerjaan dan tanggung jawab yang tidak main-main. Namun, yang pertama kali Gian lakukan malah memasang foto Briana saat SMA yang berhasil ia dapatkan dari teman kelas Briana."Kamu masih cantik, Bri, dan aku masih jadi pengecut yang tidak bisa mengungkapkan perasaan aku," ucap Gian yang berbicara dengan potret lama Briana."Kalau saja dulu kamu tidak pacaran dengan Saga, aku pasti tidak akan mengganggumu dan membuatmu kesal padaku. Aku memang bodoh, Bri, semua yang kulakukan malah membuatmu membenci aku. Malam itu juga, kalau saja aku tidak mabuk, dan tidak melihat kamu bersama laki-laki tua itu, aku pasti tidak akan melakukan hal bodoh itu, Bri. Maafkan aku."Gian memejamkan mata sambil mengepalkan tangan.
Briana benar-benar mengusir Gian, tidak mau menjelaskan apa pun pada Gian meski laki-laki itu melibatkan Daffa. Briana bahkan mengancam akan menghubungi Dirga kalau Gian terus mengganggunya di jam kerja.Gian akhirnya kembali ke kantor dan menunggu waktu pulang untuk kembali menemui Briana. Saat perjalanan ke kantor, tanpa sengaja ia bertemu Davira dan Ethan yang sedang menyeberang di lampu merah, tepat di depan mobil Gian.Tentu saja Gian sangat syok melihat wajah Ethan yang sangat mirip dengannya waktu kecil. Akan tetapi, saat melihat Davira, ia jadi ragu karena ia tidak pernah mengenal Davira. Gian menepikan mobilnya, lalu mengejar Davira yang masih menunggu taksi."Maaf, permisi," Gian berusaha menetralkan napasnya yang tersengal-sengal.Davira melihat wajah Gian dan langsung menyembunyikan wajah Ethan yang ada dalam gendongannya."Ya, ada apa?" tanya Davira dengan tenang, ia sudah sangat pandai berakting. Apalagi, sekarang ia mendapat tawaran
Briana menatap Gian dengan pandangan benci saat ia dengan seenaknya mengakui Ethan sebagai putranya. Meskipun dia adalah ayah biologisnya, selama ini dia telah absen dari hidup mereka. Tiba-tiba saja, Gian muncul dan mengklaim dirinya sebagai ayah biologis Ethan."Empat tahun ini, kamu kemana, Gi? Di mana kamu saat aku hamil? Di mana kamu saat aku dan Ethan harus menjalani hidup tanpamu?" Briana melepaskan amarahnya dengan banyak pertanyaan yang selama ini hanya terpendam di dalam hatinya.Gian meraih tangan Briana, tetapi ia langsung menepisnya dengan kasar."Aku minta maaf, Bri. Saat itu aku sempat datang ke rumahmu, tapi kamu tidak ada. Lalu, aku pergi kuliah dan bekerja di LA. Ketika aku kembali, kamu sudah tidak tinggal di rumah itu, dan aku tidak sempat mencarimu karena aku..." jelas Gian."Semua itu hanyalah alasan, Gi. Aku tahu kamu sangat membenciku, tapi tindakanmu sangat keji. Apa yang telah kulakukan sehingga kamu bersedia menghancurkan hidup
Setelah Briana memberi tahu Dirga bahwa Gian sudah kembali, Dirga merasa semakin bingung. Dia belum mendapatkan restu dari neneknya, dan sekarang harus menerima perjodohan dengan wanita yang tidak dia cintai."Bri, ada yang ingin aku bicarakan," kata Dirga dengan ragu."Nanti saja, Pak. Saya memiliki banyak pekerjaan, dan saya sudah terlambat," jawab Briana sambil menyalakan komputernya, mengabaikan Dirga yang ingin berbicara serius dengannya."Silakan nanti siang, datanglah ke ruangan saya. Ini sangat penting!" Dirga memohon.Briana mengangguk, dan Dirga segera meninggalkan ruangannya.Sebenarnya, Briana memiliki perasaan terhadap atasannya itu, tapi dia lebih memprioritaskan hubungannya dengan Ethan di atas segalanya. Terutama jika keluarga Dirga menentang adanya Ethan, maka dia harus bersikap hati-hati.***Di kantor, Gian tampak sangat bahagia. Ia beberapa kali tersenyum bahagia.Faris, yang melihat sepupunya yang juga atas
Briana menatap laki-laki yang kini memegang botol di tangannya. Botol itulah yang tadi ditendang Ethan sampai akhirnya mengenai kepala laki-laki itu.“Kenapa dia ada di tempat ini?” batin Briana."Saga, bagaimana kamu bisa berada di sini?" tanya Briana.Saat mereka masih bersekolah di SMA, hubungan Briana dan Saga berlangsung cukup lama. Mereka berpisah saat Saga kuliah di luar negeri, dan akhirnya mereka bertemu kembali sebelum Briana menjalin hubungan dengan Gian. Sayangnya, Briana menjauhi Saga tanpa memberikan alasan yang jelas. Saat itu, Briana merasa sangat kotor dan tidak pantas bagi Saga."Aku tinggal di sini, Bri. Hai, Zee," sapa Saga bayi kecil yang ada di kereta dorong, yaitu bayi Mutia yang sudah lama mengenal Saga. "Briana, apakah dia temanmu, Mut?" tanya Saga kepada Mutia."Dia tetangga baru, Mon. Bagaimana mungkin kamu belum tahu? Rumah di ujung sana, sekarang dimiliki oleh Mbak Briana," jawab Mutia. "Aku duluan ya, seper
"Mommy, puasa itu apa?" Ethan selalu penasaran dengan kata-kata baru yang dia dengar. Apalagi jika kata-kata itu tampak menarik baginya."Em, puasa itu, menahan diri, Sayang. Menahan diri dari makan, minum, marah-marah. Intinya, puasa adalah tentang menahan diri. Apakah Ethan mengerti?" tanya Briana."Iya, Mommy. Ethan mengerti kok. Berarti Daddy tidak akan makan Mommy, bukan?" tanya Ethan, yang tampaknya masih ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut."Buayanya yang puasa, Ethan. Kamu memang seperti Kancil," kata Gian."Biarkan, Kancil itu cerdik. Tidak seperti Daddy, Buaya. Lebih baik jadi Kancil daripada Buaya. Saling menjilat adalah tindakan Buaya." Ethan sepertinya tidak lagi berpihak pada ayahnya setelah insiden 'dimakan Buaya' yang membuat leher Briana merah. Ethan masih waspada, takut kejadian itu terulang."Kita akan lihat saja nanti. Pasti Buaya bisa mengalahkan Kancil. Buaya adalah hewan buas, sedangkan Kancil kecil, pasti kalah." Gian
Gian, Briana, dan Ethan sudah mengenakan pakaian rapi saat mereka turun ke lantai bawah. Di meja makan, Mama, Papa, dan nenek Gian sudah menunggu. Briana merasa bersalah karena tidak membantu membuat sarapan."Maaf, Tante. Ehm, maksudku Mama. Maaf, ya Bri tidak membantu bikin sarapan," ucap Briana dengan perasaan bersalah.Gian memberikan tatapan pengertian pada Briana. Dia tahu bahwa Briana masih merasa canggung tinggal bersama keluarganya. Mungkin nanti dia akan membawa Briana dan Ethan pulang ke rumah mereka sendiri agar Briana merasa lebih bebas dan tidak kaku."Tidak apa-apa, Sayang. Bibi sudah masak kok. Ayo kita sarapan!" ajak Mama Dona.Briana menarik kursi dan duduk bersama keluarga Gian."Kami mengerti kok. Ini wajar untuk pengantin baru. Tidak usah sungkan, ini juga adalah rumahmu," sahut nenek Gian.Gian tersenyum dan menggenggam tangan Briana. Mereka saling menatap, menyiratkan bahwa Gian memahami perasaan Briana."Mengap
Gian sudah sangat dongkol saat ini. Ia hanya bisa merebahkan tubuhnya sambil memijat kepalanya yang terasa sangat pusing. Berkali-kali ia menggaruk kepala, bingung harus berbuat apa. Ethan masih menangis karena melihat tanda merah di leher mommynya.Sampai akhirnya, Gian membelakangi Ethan dan Briana, lalu ia menggigit guling yang dipeluknya."Udah dong, Ethan, nggak usah nangis terus. Mommy aja nggak kenapa-napa. Kok kamu yang nangis." Briana menghapus air mata putranya yang berjatuhan."Ethan sayang Mommy. Kenapa Daddy gigit, Mommy?" Ethan masih terisak."Ethan, mommy bilang digigit nyamuk ya, digigit nyamuk. Ethan nggak percaya sama Mommy?" Briana bertanya dengan nada yang tegas.Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar Gian. Dengan malas, Gian membuka pintunya dan melihat mamanya di balik pintu."Ethan kenapa? Kayaknya kencang banget nangisnya." Mama Dona mencoba mengintip ke dalam kamar Gian. Ada Briana yang sedang memangku Ethan yang me
"Papa, jangan pergi! Jangan tinggalkan aku. Aku sangat menyayangi Papa," Briana terus menangis sambil memeluk erat tubuh papanya yang terbaring. Wanita yang baru saja menjadi seorang istri itu terus tersedu. Ia memang marah, tapi bukan berarti ia siap kehilangan papanya. Gian terkejut dengan apa yang sedang dilakukan Briana. Laki-laki yang baru saja menikahi pujaan hatinya itu langsung memencet tombol bel untuk memanggil dokter. Semua orang tentu saja panik. Begitu pun dengan Davira dan ibunya. Papa Gian meminta segelintir orang yang menjadi saksi pernikahan Gian dan Briana untuk pulang. Tidak lama, dokter datang untuk memeriksa keadaan Pak Leo. Gian mengajak Briana untuk menunggu di luar. Ia memeluk Briana yang masih sangat syok. "Gi, Papa." Ucap Briana sambil terus menangis. "Papa pasti baik-baik saja, Bri. Kita doakan semoga dokter bisa menyelamatkan Papa." Kata Gian menenangkan Briana. Briana menangis dalam pelukan Gian yang kini m
Briana menolak saat Davira memintanya untuk pergi ke rumah sakit. Bagi Briana, apa pun keadaan papanya saat ini, itu tidak akan mengurangi rasa sakit hatinya terhadap sang papa. Dia sudah terlanjur kecewa, dan kecewanya itu sudah sangat mendalam.Briana baru saja selesai memandikan Ethan. Dia sebenarnya ingin pulang, tapi Gian melarangnya dengan alasan pekerjaan. Sebagai asisten pribadi Gian, Briana harus mendampingi Gian saat jam kerja, terutama saat Gian sedang sakit."Jadi aku tidak perlu pulang? Tidak perlu mandi? Tidak perlu ganti baju?" keluh Briana sambil mengganti pakaian Ethan. Tentu saja Ethan memiliki pakaian yang cukup, karena oma dan opa-nya baru-baru ini membeli banyak pakaian dan mainan untuknya."Itu mudah, Bri. Nanti aku minta Faris untuk mengurus semuanya. Dia akan datang ke sini dan menyelesaikan pekerjaanku," jawab Gian.Briana menyelesaikan mengenakan pakaian untuk Ethan. Dia mengambil piring makanan yang ada di lemari, lalu mulai men
Briana bergerak untuk melindungi Gian. Air mata mulai mengalir melewati pipinya saat melihat wajah Gian yang penuh luka. Briana merasa semakin tersentuh saat Gian mencoba tersenyum dengan bibir yang terluka."Ini tidak sebanding dengan empat tahun yang telah aku lewati, Bri. Jangan menangis!" Gian mengusap air mata yang menggenang di wajah Briana yang cantik."Bnagunlah, Gi!" Briana mencoba membantu Gian."Dia mengatakan bahwa ini tidak sebanding, bukan? Seharusnya kamu dihajar dan membusuk di penjara!" hardik papa yang saat itu dipegangi oleh Davira dan ibunya.Briana bangkit setelah membantu Gian duduk. Dia berdiri sejajar dengan ayahnya yang masih sangat emosional. "Papa pikir apa yang Papa lakukan itu benar?" tanya Briana sambil menghapus air matanya. " Papa tidak berhak memukuli Gian seperti itu.""Dia sudah mencemarkan namamu, dan kamu membela dia?" tanya Papa dengan nada kesal."Aku tidak membela siapa pun. Yang aku sesalkan adalah me
Setelah mengembalikan ikan gurami berukuran besar ke dalam kolam, Ethan dan kakeknya duduk berjongkok, mengawasi ikan-ikan yang berenang dengan bebas. Kakek itu memandang cucunya yang sangat mirip dengan Gian. Satu-satunya perbedaan adalah, Ethan lebih tertarik pada ikan, sama seperti ayahnya, sementara Gian sama sekali tidak tertarik pada binatang itu."Pa, Ethan sungguh lucu, ya," kata Mama Dona yang kini duduk di samping suaminya.Papa Gian hanya diam, enggan menanggapi perkataan istrinya. Dia lebih suka mengamati Ethan dengan diam-diam. Bocah tampan berkulit putih itu memang sangat lucu dan menggemaskan. Papa merasa seperti melihat masa kecil Gian.Mama Dona tersenyum bahagia karena melihat papanya Gian tersenyum sambil memandang cucunya. Meskipun papa Gibran tidak mengungkapkannya dengan kata-kata, mama tahu bahwa papa sudah menerima Ethan.Nenek Gian baru saja pulang dari rumah senam dan tiba-tiba muncul, langsung girang saat melihat Ethan. "Cicit n
Gian merasa kaget saat Briana mengatakan bahwa ia bukan tipe pria yang disukai Briana. Sementara itu, papa Gibran mulai tertarik dan penasaran dengan kepribadian yang dimiliki Briana."Kalau misalnya tidak ada Ethan, apakah kamu mau menikah dengan anak saya?" tanya papa Gibran kepada Briana.Briana tersenyum canggung. Dia ingin menjawab jujur, namun takut melukai perasaan Gian dan orang tuanya. Jika dia tidak jujur, bisa saja dia melukai dirinya sendiri."Em....""Jawab jujur saja, Bri!" ucap Gian dengan percaya diri. "Aku kan, tampan, kaya, pekerja keras, dan pastinya bisa membuatmu bahagia." Gian sangat yakin bahwa dia bisa memenangkan hati Briana dengan kelebihannya.Briana menggelengkan kepala dengan kesal. Dia sampai menghela nafas dalam-dalam. "Kalau boleh jujur." Briana tidak melanjutkan kalimatnya karena Ethan masih ada di dekatnya."Tidak masalah, biar Ethan bersama Mama saja. Ayo Ethan, kita lihat ikan di belakang sana." Mama Dona